“Pan, cepetan ganti bajunya! Anak-anak udah nunggu tuh di bawah.”
“Iya, iya! Bawel amat sih loe, Is. Ini aku juga udah selesai ganti bajunya.”
“Ganti baju apa make up loe? Kok loe harum banget, pake bedak harum segala ya?”
“Ngarang, loe! Ini namanya cologne, tau! Emang loe yang nggak pernah pake minyak wangi.”
“Biarin aja, gue kan nggak bau badan kok, ngapain juga gue pake minyak wangi.”
“Nyindir nih.”
“Ah, udah. Ayo cepetan.”
Hari ini aku dan Topan serta anak-anak Coffemilk yang lain akan pergi ke tempat Mas Denny. Pagi-pagi tadi, Danny ditelpon oleh Mas Deny kalau nanti siang kami berlima disuruh datang ke Yellowbeat. Katanya sih ada yang mesti diomongin. Mungkin saja Mas Denny sudah dapat schedule latihan buat Coffeemilk.
“Hei, kalian lagi ngapain sih di atas kok lama banget, nanti kalau terlambat, Mas Denny bisa marah-marah nih,” Danny teriak-teriak di bawah karena nggak sabar.
“Iya, kita turun nih, maklum si Topan dandannya lama,” balasku.
Topan pun mendaratkan pukulannya ke lenganku.
Setelah sampai di bawah, Danny dan Arif terlihat asyik ngobrol ama Kang Deden. Mungkin baru ngomongin bola kali. Mereka semua memang maniak bola. Rela begadang semalaman hanya karena nungguin siaran langsung yang biasanya ditayangkan saat dini hari. Kalau aku sih mendingan buat tidur. Bukannya aku nggak suka bola, cuma nggak semaniak mereka aja.
“Ayo, cabut!” Topan langsung berjalan kearah mobilnya Danny yang diparkir di sebelah kost-kostan.
“Kang Deden, kita cabut dulu ya. Takut telat!” Aku berpamitan ke Kang Deden.
“OK, good luck deh buat band baru kalian. O ya Is, bisa pinjam komputermu nggak?”
“Pake aja. Kunci kamarnya ada di tempat biasa.”
“OK, aku ke atas dulu ya.” Kang Deden pun pergi meninggalkan kami.
“Manto mana?” tanyaku.
“Tadi kita berdua udah mampir ke pondokannya, tapi anak itu udah pergi dari tadi pagi, pas gue calling, katanya nanti di jemput aja di depan Pasar Klewer. Dia mendadak dapat pesanan kain batik dari nyokapnya buat di kirim ke Jogja,” jawab Arif.
“Kalau gitu, cabut sekarang aja yuk!”
Kami bertiga segera bergegas menuju mobil. Tampak Topan sudah duduk di jok depan sambil menghisap rokok yang udah tinggal filter aja.
Tak lama kemudian, kami sudah meluncur menuju ke Yellowbeat. Tak lupa kami menjemput si Manto di Pasar Klewer. Kami tak perlu repot-repot mengambil rute yang lain karena lokasi Pasar Klewer searah dengan rute menuju ke Yellowbeat. Kira-kira hanya seperempat jam lamanya, kami telah tiba di depan pasar. Pasar ini katanya merupakan pasar batik terbesar se-Indonesia. Bahkan ada yang bilang terbesar se-Asia Tenggara. Nilai transaksi perhari di pasar ini bisa mencapai angka milyaran rupiah. Pasar ini sehari-harinya selalu ramai oleh pengunjung. Namun kali ini keadaan jalan di depan Pasar Klewer tidak begitu ramai. Padahal biasanya sampai macet hingga membuat antrian kendaraan yang cukup panjang. Sekarang jalannya sudah terlihat lancar. Mungkin sudah ditertibkan oleh petugas. Kami berempat mulai celingukan, mencari-cari Manto yang mungkin sedang menunggu di pinggir jalan. Aku dan Danny mencari di sisi kanan, Topan dan Arif mencari di sisi kiri. Hanya butuh waktu lima menit, kami melihat sosok berambut gondrong dikucir dengan badan yang kurus kerempeng membawa bungkusan yang lumayan banyak sedang berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangannya.
“Tuh si Manto! Gila, belanjaannya banyak amat, kaya pedagang baju di Tanah Abang aja.” Topan pun segera membalas melambaikan tangannya.
Mobil Danny segera menepi dan kemudian berhenti di depan Manto.
“Hey, guys!” sapa Manto.
“Bawaan loe banyak amat, To. Mau buka toko batik loe?” ledek Topan.
“Mamiku baru dapat pesanan batik banyak, katanya sih temennya ada yang mau hajatan, dan dia butuh banyak baju batik buat seragam acara hajatannya.”
“Kenapa nggak nyari di Jogja aja.?” Arif menimpali.
“Temannya Mami katanya orang Solo, penginnya batik Solo. Tau lah! Emang gue pikiran. Aku tinggal belanja saja.”
“Cepetan gih, taruh di jok belakang semua,” perintah Dany.
“Bantuin dong.” Manto menyodorkan setumpuk baju batik ke arahku yang kemudian langsung aku taruh di jok belakang. Setelah semua bungkusan baju batik terangkut, kami pun segera melanjutkan perjalanan ke Yellowbeat. Manto segera duduk di jok belakang disamping belanjaannya. Dan tak lama kemudian seperti biasa, dia pun langsung ketiduran. Dasar!!!
“Is, ngomong-ngomong, kemaren loe ama Viola kemana sih?” Tiba-tiba Topan bertanya kepadaku dengan pandangan yang meledek.
“Mau tau aja urusan orang loe.”
“Yeee, ama temen sendiri pake rahasia-rahasiaan segala.”
“Nggak kok, kita cuma makan pizza aja kok.”
“Hah? Loe makan lagi, Is! Kan waktu itu kita semua baru aja lunch ama Mas Denny.”
“Iya sih, tapi gue cuma nemenin Viola makan pizza. Gue hanya nyobain sepotong aja sambil pesan minuman. Gue kan jarang-jarang makan pizza. Lumayan ada yang traktir.”
“Tahu gitu, gue kemaren ikutan Is. Gue kan juga pengin makan pizza.”
“Ah loe, Pan. Emang apa sih yang loe nggak doyan.”
“Kok yang diajak cuma kamu aja? Emang kamu ama Viola ada apaan, Is?” Arif ikutan bertanya padaku.
“Kok gue kaya diinterograsi nih? Sueeer, nggak ada apa-apa kok. Gue ama Viola hanya temenan aja. Dia cuma butuh teman buat curhat aja kok. That’s it. Mungkin karena kita ngobrolnya nyambung so Viola merasa cocok dan ngajak gue bukan kalian apalagi loe Pan. Bisa tekor dia kalau bayarin loe makan.”
“Is, kalau gue boleh kasih pendapat nih, menurut gue kalian berdua itu cocok banget lho. Kenapa kalian nggak jadian aja?” Danny yang dari tadi diam ikutan ngobrol.
“Iya, Is. Viola kan anaknya cantik banget. Orangnya juga baik, lembut, smart lagi. Loe jadi cowoknya aja.”
“Kok kalian jadi nyomblangin gue sih? Gue belum kepikiran sampai ke situ.”
“Nggak usah dipikir, langsung tembak aja.” Topan asal bicara.
“Masa baru kenal beberapa hari langsung main tembak aja? Emang loe, Pan? Yang nembak-nembak melulu tapi nggak ada yang kena.”
“Udah, jangan berantem. Gini aja, Is. Kalau loe nggak berani ngomong ke Viola, gimana kalau gue nanti bilang ama Mas Deny, pasti Mas Deny setuju kalau loe jadian ama Viola.”
“Ah, gue nggak mau, Dan! Kalau bisa jangan ngelibatin Mas Deny ke dalam urusan ini. Gini aja deh, daripada kita ribut cuma gara-gara pengin nyomblangin gue ama Viola, mendingan kalian nggak usah ikut campur dulu deh, biar gue yang mutusin sendiri baiknya gimana. Kalian tinggal liat perkembangannya aja. OK? Sekarang yang penting, mendingan kita fokus ke band aja. Jangan mikiran yang lain.”
“Kok loe jadi marah-marah sih. Emang loe nggak suka ama Viola?” tanya Topan.
“Jujur aja, gue sebenarnya suka ama dia. Baru kali ini gue punya perasaan yang lebih ke cewek selain ke nyokap dan adik-adik gue. Tapi gue rasa sekarang belum saat yang tepat gue ngungkapin hal itu ke Viola. Gue takut nantinya akan merusak persahabatan gue dengannya.”
“Kalau memang begitu keputusan loe, kami akan hargain dan jangan khawatir, Is, kita semua pasti akan selalu medukungmu, iya nggak, guys?” sambung Danny.
“Yoi!!!” jawab Arif dan Topan serempak.
“Ah, kalian nih, but thanks a lot guys, you’re really my best friends.”
“Nah, kalau gitu tos dulu dong,”
“Hidup, Coffeemilk.”
Kami pun saling menepukan telapak tangan masing-masing.
“Eh, ada apaan sih rame-rame.” Tiba-tiba terdengar suara dari jok belakang.
Rupanya si Manto udah bangun, dasar tukang tidur nih anak. Tapi yang aku heran, kok badannya bisa kurus kering begitu ya? Cacingan kali!!!
Tanpa terasa, kami sudah hampir sampai di Yellowbeat. Danny segera menghubungi Mas Deny lewat handphone-nya. Setelah beberapa menit, mobil Danny telah sampai di depan gerbang Yellowbeat dan segera memarkirkannya di tempat biasa. Kami berlima pun segera turun dari mobil dan bergegas menuju di studio. Kata Danny, Mas Deny rupanya sudah menunggu kami di studio dan kami langsung di suruh masuk aja karena pintu garasinya nggak dikunci.
Ketika melewati garasi, seorang cewek cantik pun menyapa kami. “Hei, apa kabar semuanya? Kalian udah datang ya, langsung aja ke studio, Mas Deny udah nunggu tuh!”
Hari ini, Viola tampak cantik seperti biasanya. Dengan dibalut kaos warna kuning dan celana blue jeans, Viola tampak sibuk merapikan mobilnya.
“Emang kamu mau kemana, Vi?” Danny bertanya kepadanya.
“Hari ini aku mau ke balik ke Jogja, mau ketemu dosenku buat bimbingan tugas. Kemarin aku udah janjian dengan beliau kalau hari ini mau ketemu dan beliau kebetulan pas nggak ada acara. Jarang-jarang lho aku bisa ketemu dengannya. Maklum orang sibuk so aku bela-belain hari ini balik ke Jogja,” jawab Viola panjang lebar.
“Loe nggak ikutan, Is?” Topan berkata kepadaku sambil menendang kakiku.
Gila, nih anak!!!
“Kamu mau ikutan, Is? Wah, kebetulan banget. Aku seneng banget kalau ada yang nemenin.”
“Eee…., aku…..” Mendadak aku jadi gugup.
Arif langsung menyela dan ikut-ikutan meledekku, “Jelas mau donk, Vi. Kan jarang-jarang Isma pergi ke Jogja.”
Melihat tingkah teman-temanku yang udah pada gila, Viola hanya tersenyum. Senyuman yang khas, senyuman yang membuatku tidak bisa melupakannya.
“Eee.. penginnya sih pengin, tapi sekarang aku ke Mas Deny dulu ya Vi.”
“OK deh kalau begitu. Kalau nanti jadi ikutan, kutunggu ya.”
Kami pun segera meninggalkannya. Kulihat anak-anak semuanya tersenyum meledekku kecuali tentunya si Manto yang nggak tahu apa-apa.
Mas Deny terlihat duduk-duduk di teras studio sambil memegang secangkir kopi dan selembar kertas. Raut mukanya tampak serius memikirkan sesuatu. Kami segera menghampirinya.
“Siang, Mas.” Serempak kami menyapanya.
“Siang juga. Ayo, duduk semua, ada yang mau Mas omongin. Kalian udah makan belum?”
“Kalau ditawarin ya mau aja, Mas.” Topan segera membalas mendengar ditawarin makan.
Mendengar jawaban Topan kami semua hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Dasar tukang makan!!!
“Gimana, Mas? Katanya ada yang mau diomongin?” Aku bertanya kepada Mas Deny.
“O ya, ini aku udah buat schedule buat latihan kalian. Kalian bisa latihan di sini tiap hari, mulai dari jam sepuluh pagi sampai jam dua siang. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, kalian latihan jam empat sore sampai sembilan malam mengingat Isma harus kerja part time. Kalau kalian kebetulan pas hari Senin sampai Jum’at ada kuliah, kalian bisa ijin dulu sama Mas. Nanti kita tinggal reschedule aja. Gimana? Ada yang merasa keberatan? Atau ada pertanyaan?”
“Kita setuju aja, Mas. Terserah Mas yang atur aja.”
“Kalau udah setuju, nanti Mas akan carikan agenda acara-acara musik selama setahun ke depan yang mungkin nanti bisa kalian ikuti guna menambah jam terbang. Atau kalau ada pentas-pentas seni di kampus kalian dalam waktu dekat ini, kalian juga bisa ikutan berpartisipasi disitu. Nggak apa-apa! Kita memang harus mulai dari bawah dulu. Insya Allah, kalau kalian tekun dan bekerja keras, mungkin Coffeemilk bisa jadi band terkemuka dan dikenal di blantika musik Indonesia.”
“Amiiiin!” Serempak kami menyahut.
“Mengenai materi latihan, kalian atur aja sendiri. Cuma Mas pengin ngasih saran kalau bisa kalian bikin materi lagu yang kalian aransemen dengan musik kalian sendiri. Setidaknya nanti kalian bisa punya ciri khas lah, ini lho musik Coffeemilk! Kalian harus kreatif, syukur-syukur kalian bisa bikin lagu sendiri. Dan jangan lupa khususnya buat Topan, tingkatkan terus olah vokal kamu, intonasinya, pernapasannya, kontrol pitch-nya dan yang terpenting, agak kurangin nafsu makanmu supaya lebih terkontrol. Jangan makan sembarangan, nanti bisa berefek pada pita suaramu. OK?”
“Yes, Bos!”
“Sekarang kalian boleh latihan, Mas ke dalam dulu sebentar, Mas baru nungguin telepon dari teman Mas yang di Jakarta.”
“OK, Mas.”
Mas Deny segera bergegas menuju rumah induk melewati pergola kayu dan kemudian menghilang di balik pintu kayu jati berwarna coklat tua.
Ketika kami hendak beranjak menuju ruangan studio, tiba-tiba Viola berteriak memanggilku.
“Isma, tunggu sebentar!”
Viola segera menghampiriku. Anak-anak langsung tersenyum menggodaku.
“Is, kita duluan ke studionya, nanti kamu segera nyusul ya! Jangan lama-lama pacarannya!” kata Danny menggoda.
“Apa-apaan sih loe, Dan. Ok, nanti gue nyusul. Udah sana buruan masuk.”
Viola tampak tersipu melihat anak-anak menggodaku. Tak lama kemudian mereka berempat telah menghilang di balik ruang studio. Kini hanya tinggal aku dengan Viola yang berdiri di teras studio. Kami berdua pun segera mencari tempat duduk.
“Gini, Is. Mengenai kejadian waktu di taman Sriwedari kemarin, aku minta maaf ya soal itu. Kamu jadi ikutan sedih deh. Sorry banget ya!”
“Nggak papa kok, Vi. Itu wajar kok. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti merasakan seperti apa yang kau rasakan.”
“Sorry, ya.”
“Iya, iya.”
“Thanks, ya. Kamu memang penuh pengertian, Is. O ya, ngomong-ngomong kamu jadi ikut nggak ke Jogja?”
“Gimana ya?”
“Ikut aja ya, please! Temani aku ya, soalnya aku baru males nih sendirian naik mobil, bete!”
“Aku sih mau-mau aja nemenin kamu ke Jogja, tapi kamu tahu sendiri, Vi. Habis latihan, aku langsung masuk kerja. Masa pegawai baru udah bolos sih? Aku nanti jadi nggak enak sama Bu Ratna.”
“Kalau itu masalahnya, gini aja, Is! Nanti biar aku minta sama Mas Deny buat ngijinin kamu sama Bu Ratna. Pasti Bu Ratna nggak keberatan kok.”
“Kok bisa?”
“Soalnya Mas Deny udah kenal lama sama Bu Ratna. Mereka sama-sama sekolah di SMU 1. Bu Ratna itu kakak tingkatnya Mas Denny di sekolah dulu dan mereka juga pernah bekerja sama dalam suatu event musik di Jogja dulu. Sampai sekarang hubungan mereka masih akrab kok.”
“Wah, KKN nih.”
“Nggak papa KKN dikit, kan nggak merugikan siapa-siapa.”
“Sok tahu kamu.”
“Biarin! Gimana? Jadi ikut nggak?”
“Mmmh……. Gampang lah, bisa diatur.”
“Bener ya! Awas kalau nggak jadi! Kamu kan udah janji mau nemenin aku kemana aja.”
“Iya, iya, aku nggak lupa kok, sekarang aku latihan dulu ya, nggak enak sama anak-anak, mereka sudah kelamaan nungguin aku.”
“Ok, nanti aku kabarin lagi. Udah sana latihan! Yang benar mainnya! Aku mau mandi dulu terus packing keperluanku buat di Jogja, see you later, daah!”
Viola berlalu meninggalkan aku. Aku pun segera memasuki ruangan studio menyusul teman-temanku. Tampaknya mereka berempat sudah menempati posisi masing-masing.
“Gimana pacarannya, Is? Sukses nggak?” Topan menggodaku.
“Siapa yang pacaran, Pan? Ngaco, loe. Udah, jangan ngomongin itu melulu. Ayo, sekarang kita latihan aja,” balasku.
“Yes, Bos. Galak amat loe.”
“Eh, gimana nih latihannya? Mau main lagu apaan nih?” tanya Manto
“Gimana kalau kita main lagunya Guns N’Roses aja.” Arif punya usul.
“Yang mana? Sweet Child O’Mine, Don’t Cry, November Rain, apa Mr. Brownstone?” tanyaku.
Untuk lagu-lagunya Guns N’Roses, aku sudah hafal semuanya karena aku punya koleksi kasetnya yang aku kumpulkan sejak SMP. Mulai dari album Appetite for Destructions hingga album terakhir, Spagghety Accident. Soalnya jaman dulu masih jarang yang pakai compact disk. Aku memang penggemar berat Guns N’Roses. Sayang sekarang kabarnya mereka sudah bubar.
“Sweet Child O’Mine aja, gimana?” jawab Topan.
“OK, setuju, ready?”
“Ready.”
Dan melodi pembuka yang khas dari lagu tersebut segera kumainkan, menggema ke seluruh ruangan studio. Tak lama kemudian kami sudah larut ke dalam beat-beat yang kami mainkan, diantara dentuman pukulan drum, betotan bas dan lengkingan suara gitar yang terpadu dengan suara yang lantang, membius kami berlima.
Bersambung...
skip to main |
skip to sidebar
Rabu, 04 Februari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.


