Senin, 16 Februari 2009

Bag10 - Penantian ( Chap. Lagu untuk Viola )

”Apa lo bilang? Lo mau menikah dengan Viola sekarang juga? Gue nggak salah denger nih?” tanya Topan.
”Benar, Pan. Aku mau menikahi Viola.”
”Kamu benar-benar yakin akan keputusanmu, Is?” Manto ikutan bertanya.
”Aku sangat yakin, To. Lagi pula ini permintaan Viola. Demi kesembuhannya, aku rela melakukan apa saja untuknya. Aku sangat mencintainya. Kalian tahu itu. Bagaimana menurut Mas Deny? Apakah Mas merestui kami?”
”Kalau memang itu yang terbaik untuk kalian berdua, apalagi ini adalah permintaan Viola, adik kandungku satu-satunya. Tentu Mas sangat merestuinya. Mas akan urus semua secepatnya. Mas punya kenalan seorang ustadz yang bisa menikahkan kalian berdua. Namanya Ustadz Muchtar. Mas akan segera menghubungi beliau supaya pernikahan ini dapat cepat terlaksana. Kalau bisa acara akad nikah kalian kita laksanakan besok sekitar jam delapan pagi.”
”Mengenai cincin kawin, gimana Mas? Mas tahu sendiri kalau aku belum mampu membelinya. Kalau untuk mas kawin aku masih ada sedikit sisa tabungan yang bisa kugunakan untuk membeli Kitab Suci Al-Quran beserta seperangkat alat sholat.”
”Jangan khawatir, semuanya Mas yang akan urus. Kamu tenang saja, Is.”
”Tapi, Mas. Aku merasa nggak enak kalau semuanya Mas yang membelikan. Bagaimana kalau mas kawinnya aku yang membeli sendiri dengan hasil jerih payahku selama ini. Itu membuat diriku merasa lebih bertanggungjawab.”
”Kalau itu maumu, Mas nurut saja.”
”Terima kasih, Mas. Atas semuanya. Budi baik Mas, Allah SWT yang akan membalasnya.”
”Amin. Kamu nggak perlu sungkan padaku, Is. Kamu kan calon adik iparku. Sekarang Mas mau menghubungi Ustadz Muchtar dulu. O ya, bukankah kamu belum memberitahukan rencana pernikahan ini dengan orang tuamu? Apa mereka juga merestui?”
”Memang belum, Mas. Tapi setelah ini aku segera menghubungi beliau berdua di Wonosobo. Semoga mereka dapat mengerti dan merestui pernikahan kami. Aku juga berharap keluargaku semua bisa hadir di akad nikahku besok.”
”Baiklah, kamu yang atur. Sekarang Mas tinggal dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Baik, Mas. Wa’ alaikum salam. Sekali lagi terima kasih atas semuanya.”

Mas Deny berlalu dari hadapanku. Dia terlihat sedang menghubungi seseorang dengan handphonenya. Mas Deny mungkin sedang bicara dengan Ustadz Muchtar yang nantinya akan menjadi penghulu di pernikahan kami.
”Is, apa yang bisa kami bantu untukmu?” tanya Danny.
”Iya, Is. Apa yang harus kami lakukan untuk membantu acara pernikahanmu?” tanya Arif pula.
”Begini saja. Kalian berdua tolong belikan Kitab Al-Quran yang terbaik beserta seperangkat alat sholat yang paling bagus. Kalau nggak salah, di daerah Kauman banyak yang menjualnya. Kalian beli pakai uang kalian dulu. Soalnya aku nggak bawa uang cash yang banyak didompetku. Nanti aku ganti.”
”Kami berdua gimana, Is?” Manto bertanya padaku.
”To, tolong kabari teman-teman di kampus kalau besok aku akan menikah. Kalau bisa mereka datang kemari. Pak Edy kau undang juga. Aku ingin wakil dari dosen kita turut menjadi saksi atas pernikahanku. Kalau kamu, Pan. Tolong kabari Mas Dody serta Mamah Rini. Besok sekalian beliau berdua kau undang untuk menghadiri akad nikah besok pagi jam delapan.”
”Beres, Bos. Aku sekalian saja ikut mobilnya Danny pulang ke kost.”
”Aku juga ikut numpang ya ke rumah Pak Edy.”
”Kalau begitu, kami segera berangkat.”
”O ya, Dan. Jangan lupa belikan aku baju koko beserta pecinya sekalian. Akan kupakai nanti di acara akad nikah.”
”Baiklah, kami semua pergi dulu, Assalamu’ alaikum.”
” Wa’ alaikum salam, terima-kasih atas bantuannya, teman-teman.”
”Sama-sama. Itulah gunanya teman, Is.”
Mereka berempat segera pergi meninggalkan diriku.

Setelah mereka sudah tidak terlihat dari hadapanku, aku segera memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuaku. Mereka pasti akan sangat kaget mendengar berita ini. Kutarik nafsku dalam-dalam. Kemudian aku keluarkan dengan perlahan. Kumantapkan hatiku sebelum kumeraih handphone yang ada di saku celanaku. Segera kutekan nomer telepon rumahku yang berada di Wonosobo.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
Tidak ada yang mengangkat. Apakah beliau berdua belum pulang? Apakah Bapak dan Ibuku sedang bepergian? Dimana Arfi dan Nadia, kedua adik perempuanku. Kucoba menekan nomer telepon rumahku kembali.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
”Halo, Assalamu’ alaikum.” Terdengar suara di seberang sana. Kurasa itu suara Nadia, adik bungsuku.
”Wa’ alaikum salam. Ini Nadia, ya. Apa kabarmu sekarang, adikku?”
” Mas Isma ya? Wah, Mas lama nggak telpon kemari. Nadia sudah kangen nih sama Mas. Mas kapan pulang kemari?”
”Mas juga kangen dengan kalian semua. Tapi Mas belum bisa pulang karena Mas masih ada urusan yang harus Mas selesaikan disini. Nadia, Bapak dan Ibu kemana?”
”Kalau Bapak masih di kantor Kecamatan, Mas. Katanya masih ada rapat mengenai pengalokasian dana bantuan pemerintah untuk masyarakat kecil. Kalau Ibu ada di dapur.”
”Kakak kamu di mana?”
”Kalau Mbak Arfi sekarang ada di masjid dekat rumah, sedang mengajar di TPA sampai maghrib.”
”Boleh Mas bicara dengan Ibu?”
”Nadia panggilkan dulu ya Mas. Teleponnya Nadia tutup dulu ya, biar Mas bayarnya nggak mahal. Nanti Mas bisa telpon lagi.”
”Cepetan ya, Dik.”
Telepon pun tertutup. Seingatku, pesawat telepon rumahku berada di ruang tengah, sedangkan dapur terletak terpisah di belakang. Jaraknya memang agak jauh, sekitar 10 meter lebih.
Setelah kurasa Ibu sudah sampai di dekat telepon, segera kuhubungi beliau.
”Assalamu’ alaikum. Ibu?”
”Wa’ alaikum salam. Isma? Lama kamu tidak menelpon Ibumu atau Bapakmu disini. Apakah kamu sudah melupakan kami, Nak?”
”Maafkan Isma, Bu. Bukannya Isma melupakan Bapak dan Ibu. Isma selalu kangen dengan Bapak dan Ibu, juga dengan adik-adik. Tapi karena suatu hal, Isma belum bisa pulang.”
”Ada apa, anakku? Berita apa yang hendak kamu sampaikan kepada Ibumu?”
”Begini, Bu. Sebelumnya Isma mau minta maaf kepada Ibu dan Bapak. Karena Isma belum sempat menceritakan kegiatan Isma selama ini di Solo. Sebenarnya Isma ingin membuat kejutan untuk Bapak dan Ibu. Tapi karena suatu hal, Isma terpaksa bercerita lebih awal kepada Ibu. Mungkin Isma anak yang kurang berbakti.”
”Sebenarnya ada apa tho, Nak? Mengapa kamu sampai minta maaf segala kepada Ibu dan Bapakmu?”
”Bu, besok .... sekitar jam delapan pagi, Isma akan menikah, Bu.”
”Masya Allah, menikah? Apakah Ibu tidak salah dengar, Nak?”
”Tidak, Bu. Ibu tidak salah dengar. Insya Allah, besok pagi saya akan menikah.”
”Apakah kamu sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh agamamu sehingga kamu memutuskan untuk menikah sedini ini, anakku?”
”Tidak, Bu. Isma masih ingat dengan Allah SWT. Isma masih menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya seperti yang selalu Ibu pesankan padaku. Jangan Ibu su’uzan kepadaku. Justru Isma melakukan hal itu karena cinta Isma kepada Allah, Bu.”
”Apa maksud dari perkataanmu, Nak? Ibu masih belum mengerti.”
”Begini, Bu. Isma akan ceritakan semuanya.”
Aku segera bercerita kepada Ibu tentang Viola. Dari ketika aku pertama kali bertemu dengan Viola, hingga cerita tentang aku dan Coffeemilk, tentang pekerjaanku di StarMusikindo, tentang penyakit yang diderita Viola, dan yang terakhir tentang rencana pernikahanku dengan Viola. Semua kuceritakan sedetil-detilnya kepada Ibu tanpa ada yang terlupa.
Kudengar di seberang sana, Ibu agak terisak mendengar ceritaku. Kurasa Ibu mengerti akan alasanku melakukan semuanya. Dari dulu Ibu memang seorang yang bijaksana.
”Nak, Ibu sekarang mengerti alasanmu mengapa kamu ingin segera menikah.”
Kudengar Ibu mulai menangis sesenggukan. Suaranya terdengar bergetar di telingaku.
”Jadi Ibu merestuiku?”
”Kalau menurutmu itu yang terbaik buat kamu dan Neng Viola, Ibu merestui kalian.”
”Terima kasih, Bu. Lalu bagaimana dengan Bapak?”
”Nanti biar Ibu yang akan menjelaskannya kepada Bapakmu.”
”Apakah Bapak merestuiku juga, Bu?”
”Meskipun Bapakmu wataknya keras, sesungguhnya hatinya sangat lembut. Beliau akan luluh setelah mendengar ceritamu. Asalkan tidak bertentangan dengan agama dan norma-norma yang berlaku, Bapak juga akan merestuimu, anakku.”
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu serta adik-adik bisa kan besok sampai ke Solo untuk menghadiri akad nikahku?”
”Tadi jam berapa akad nikahnya?”
”Jam delapan pagi, Bu. Tempatnya di RS PKU Muhammadiyah Solo.”
”Insya Allah, Nak. Kami akan datang. Nanti Ibu segera bicara dengan Bapakmu begitu beliau datang dari kantor. Kalau masih sempat, malam ini juga kami akan berangkat ke Solo untuk mempersiapkan pernikahanmu.”
”Terima kasih, Bu. Isma sayang dengan Bapak dan Ibu, juga Dik Arfi serta Dik Nadia. Hati-hati di jalan ya, Bu. Isma tunggu di sini. Sekarang Isma pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Semoga Allah selalu bersamamu, anakku.”
Telepon pun tertutup.

O ya, ada seseorang lagi yang harus kumintakan restunya. Ya, beliau adalah Eyang Lastri. Beliau harus datang di akad nikahku besok.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, segera kutekan nomer telepon rumah Eyang Lastri.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
”Halo. Assalamu’ alaikum. Cari siapa ya?” Terdengar suara Putri dari seberang sana.
”Wa’ alaikum salam. Putri, ini dari Kak Isma.”
”Wah, Kak Isma. Putri udah kangen nih ama Kakak. Kakak kemana aja sih? Kok nggak pernah main lagi ke rumah Putri. Ke tempat warungnya Eyang juga jarang.”
”Maafin Kakak, Put. Insya Allah nanti Kakak akan main lagi ke rumah Putri.”
”Sekalian ajak Kak Viola ya.”
”Iya deh. Nanti Kakak sama Kak Viola barengan ke rumah Putri. O ya, Put. Eyang masih di rumah kan, belum pergi untuk buka warung?”
”Belum, Kak. Eyang masih di rumah. Nanti jam 5 baru pergi ke warung. Kakak mau bicara sama Eyang?”
”Iya, Put. Tolong ya.”
”Sebentar ya Kak. Putri panggilkan Eyang dulu. Eyang .. Eyang!!! Ada telpon dari Kak Isma nih.” Terdengar Putri berteriak memanggil Eyangnya.
Beberapa detik aku menunggu. Akhirnya Eyang Lastri mengangkat teleponnya.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’alaikum salam. Ini Isma, Eyang”
”Oh, Nak Isma. Kabarnya baik-baik saja? Tumben telpon ke rumah Eyang. Ada perlu sama Eyang?”
”Iya, Eyang. Saya baik-baik aja. Ada yang mau saya bicarakan dengan Eyang.”
”Sekarang Nak Isma ada di mana?”
”Eee,..sekarang saya berada di rumah sakit, Eyang.”
”Di rumah sakit? Nak Isma sakit apa? Apakah sakitnya parah sampai Nak Isma di bawa ke rumah sakit?”
”Bukan saya yang sakit, Eyang. Viola yang dirawat di sini.”
”Hah, Neng Viola. Dia sakit apa, Nak Isma?”
Aku pun bercerita kepada Eyang Lastri bagaimana Viola bisa sampai dirawat di sini, juga tentang penyakit yang telah lama diderita Viola. Kuceritakan secara perlahan kepada Eyang Lastri supaya beliau bisa memahami. Seperti Ibu sewaktu mendengar ceritaku, Eyang Lastri terdengar sesenggukan di sana. Suaranya mulai terdengar bergetar di handphoneku.
”Masya Allah. Kasihan sekali Neng Viola. Padahal dia orangnya baik, cantik, ramah, dan periang. Tidak disangka kalau nasibnya akan seperti itu.”
”Karena itulah, Eyang. Atas permintaan Viola, saya akan menikahinya.”
”Nak Isma mau menikah dengan Neng Viola?”
”Insya Allah, Eyang.”
”Alhamdulillah, mungkin itu memang yang terbaik untuk Neng Viola karena dia akan mendapatkan seorang suami yang baik dan sholeh seperti Nak Isma.”
”Eyang jangan terlalu memuji saya.”
”Eyang bukannya memuji, tapi memang menurut Eyang, Nak Isma orangnya seperti itu.”
”Jadi Eyang merestui kami?”
”Sudah pasti Eyang merestui kalian. Apa hak Eyang melarang kalian menikah?”
”Makasih, Eyang. Kalau begitu saya harap Eyang berkenan menghadiri akad nikah kami besok pagi jam delapan.”
”Di mana tempatnya, Nak Isma?”
”Di rumah sakit PKU Muhammadiyah, Eyang.”
”Baik, Eyang besok pagi akan datang. Eyang akan ajak Putri sekalian.”
”Terima kasih banyak, Eyang. Kalau begitu sekarang Isma pamit dulu. Sampaikan salam saya untuk Putri. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Telepon pun ditutup.
Akhirnya aku merasa lega. Ibu telah merestui pernikahanku. Aku belum tahu pendapat Bapak. Tapi mudah-mudahan, Ibu bisa menjelaskan semuanya dengan bijak kepada beliau dan Bapak akhirnya merestuiku juga. Eyang Lastri juga telah merestui. Semua orang yang kuhormati telah merestuiku untuk menikahi Viola besok. Siapa lagi kiranya yang harus kumintakan restunya?

Sinar mentari telah meredup di ufuk barat. Langit tampak berwarna kemerahan. Burung-burung tampak terbang bertebaran mencari jalan pulang ke sangkarnya masing-masing. Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba. Hembusan hawa dingin seketika menyapu wajahku. Menyibakkan rambutku yang tampak mulai kusut. Kemejaku yang sudah lusuh pun turut tersibak sehingga aku sedikit menggigil kedinginan.
Tiba-tiba handphoneku berdering.
Kubaca alamatnya yang terpampang di layar LCD. Kulihat telepon berasal dari rumahku di Wonosobo. Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkatnya.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Ini Bapak, Nak.”
”Oh, Bapak. Sudah pulang dari kantor, Pak?”
”Sudah. Bapak hari ini ada rapat di Kecamatan. Jadi pulangnya agak sorean. Ketika Bapak sampai ke rumah, Ibumu telah menanti dan berkata pada Bapak kalau kamu barusan telpon kemari. Terus Ibumu juga sudah berbicara kepada Bapak tentang rencana pernikahanmu. Terus terang Bapak sangat kaget tadinya. Bapak sedikit emosi dan menuduh kamu telah berbuat yang tidak-tidak. Untung Ibumu orangnya sabar dan bijak. Dia menjelaskan dengan perlahan kepada Bapak alasanmu melakukan itu semua secara detail. Dan terus terang, Bapak menjadi bangga sekaligus khawatir denganmu.”
”Apa yang Bapak khawatirkan?”
”Kamu kan sebagai anak sulung dan laki-laki di sini. Kamu nanti yang akan menggantikan posisi Bapak kelak. Kamu masih mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap adik-adik perempuanmu yang masih sekolah. Kalau kamu menikah nanti, tanggung jawab kamu akan bertambah. Kamu harus bisa menafkahi istrimu dan juga nanti anak-anakmu. Sebagai kepala keluarga, kamu harus bisa memberi mereka penghidupan yang layak. Apakah kamu sudah mempertimbangkannnya masak-masak, anakku?”
”Iya, Pak. Pertama kalinya Isma juga khawatir seperti Bapak. Isma takut kalau nantinya tidak bisa melaksanakan tanggung jawab yang besar itu. Tapi setelah Isma meminta petunjuk dari Allah dan demi cinta Isma yang tulus kepada calon istri Isma, akhirnya Isma memperoleh kekuatan untuk berani mengambil keputusan itu, Pak. Dan Insya Allah, Isma mampu.”
”Kalau kamu sudah mantap seperti itu, sebagai orang tua Bapak hanya bisa merestuimu.”
”Terima kasih, Pak. Isma sangat mengharapkan restu Bapak.”
”O ya, sekarang Bapak dan Ibumu serta adik-adikmu telah bersiap-siap berangkat ke Solo. Kami akan berangkat sekarang juga mumpung masih ada bus yang akan menuju ke Solo. Adik-adikmu tadi juga sempat terkejut mendengar beritamu. Terlebih si Arfi. Dia tadi disusul oleh Nadia ke TPA di masjid belakang rumah untuk segera pulang. Begitu sampai di rumah dan mendengar kalau kakaknya akan menikah, dia sempat terkejut sekali. Dia bingung dan terus-menerus nggak percaya apa yang Ibumu katakan padanya. Tapi setelah Bapak ikutan menjelaskan, dia kemudian terlihat menangis bercampur dengan bahagia dan dia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan kakaknya. Dia lah yang minta agar segera berangkat ke Solo saat ini juga.”
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu serta adik-adik kemungkinan tiba di Solo kira-kira jam sepuluh malam jika berangkat saat ini juga.”
”Kira-kira begitulah, Nak.”
”Nanti Isma akan jemput di Terminal Tirtonadi, Pak. Bapak, Ibu dan adik-adik hati-hati di jalan.”
”Baiklah. Sekarang Bapak mau siap-siap dulu. Takut nanti terlambat sampai terminal. Sudah dulu ya, Is. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Bapak pun menutup telponnya.

Begitu handphone kumasukkan ke saku celanaku, Mas Deny datang menghampiriku.
”Is, kamu sudah menghubungi orang tuamu? Apakah mereka telah merestui pernikahanmu?”
”Sudah, Mas. Mereka merestui, bahkan mereka akan datang malam ini juga.”
”Jam berapa mereka datang.”
”Kira-kira jam sepuluh malam nanti di Terminal Tirtonadi, Mas.”
”Baik, nanti kita barengan jemput mereka.”
”Biar aku saja, Mas. Nanti Viola nggak ada yang menjaga. Lagi pula aku bisa jemput dengan Danny atau anak-anak yang lain.”
”Terus mereka mau menginap di mana?”
”Biasanya mereka menginap di tempat kostku.”
”Mas nggak setuju kalau mereka harus menginap di tempat kostmu. Kasihan mereka. Kost-kostanmu kan jauh dari sini. Menurut Mas, mendingan mereka menginap di hotel dekat sini. Bisa di Sahid atau di Novotel. Biar nanti Mas yang urus biayanya.”
”Aku jadi merepotkan Mas terus, nih.”
”Seperti yang tadi kubilang. Kamu jangan pernah sungkan lagi pada Mas. Keluargamu kan nantinya akan menjadi keluarga Mas juga. Orang tuamu juga nantinya akan menjadi orang tua Viola juga. Jadi sudah menjadi kewajiban Mas menghormati mereka.”
”Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas terhadap keluargaku.”
”Sekarang gimana menurutmu? Mereka mau menginap di Sahid atau Novotel?”
”Sama aja, Mas. Terserah. Jarak keduanya dari sini sama jauhnya.”
”Kalau begitu di Novotel saja. Soalnya Mas biasanya menginap di sana kalau pas ada acara atau ketemu teman-teman dari Jakarta. Di sana, Mas bisa mendapat potongan harga. Nanti Mas booking kan dulu kamarnya.”
”Begitu lebih baik, Mas.”
”O ya, tadi Mas sudah contact ke Ustadz Muchtar. Beliau telah bersedia untuk menikahkan kalian besok pagi. Beliau juga sudah mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk KUA nanti. Tadi Mas juga sudah mempersiapkan cincin kawin untuk kalian. Dan ini sepasang cincinnya. Kamu bisa memasangkan ke jari manismu dan jari Viola untuk melihat apakah ukurannya sudah pas apa belum?”
Mas Deny menyerahkan sebuah kotak berwarna merah yang berisikan sepasang cincin emas bermatakan berlian yang berkilau padaku.
Aku menerimanya dengan tangan yang bergetar.
”Kalau begitu, aku ke kamar Viola dulu Mas untuk mencobakan cincin ini padanya.”
Mas Deny mengangguk.
Aku segera berlari ke ruang ICU menuju kamar Viola. Sesampainya di sana, kulihat Dik Ira masih menemani Viola yang terbaring di ranjangnya.
Melihatku masuk, mereka berdua menoleh kepadaku.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam,” jawab mereka serempak.
”Dik Ira masih disini? Mas kira tadi ikut Topan pulang ke Mentari Buana.”
”Ira pengin nemenin Mbak Viola dulu. Nanti pulangnya sekalian dengan Mamah dan Papah. Mereka tadi SMS, bilang ke Ira kalau sehabis maghrib mereka akan menjenguk Mbak Viola kemari.”
”Mbak jadi merepotkan kalian semua.”
”Nggak papa, Mbak. Mbak nggak usah mikir yang macam-macam dulu.”
”O ya, Vi. Tadi Mas Deny sudah mempersiapkan cincin kawin untuk pernikahan kita besok.. Sekarang cincinnya kubawa kemari. Aku mau mencobakannya dijarimu apakah ukuran pas atau tidak. Semisal nanti tidak pas, dapat segera ditukar kembali mengingat waktunya yang mendesak.”
”Ya sudah. Mana cincinnya, Is?”
”Ini.” Segera kusodorkan cincin emas bermatakan berlian ke Viola. Viola memperhatikan cincin itu dengan seksama.
”Modelnya aku suka. Mas Deny memang seleranya sama denganku. Is, bisa kau pakaikan cincin itu di jariku?”
”Baiklah, Vi.”
Segera kuraih tangan Viola yang tergolek lemah dari atas tempat tidur. Cincin emas itu segera kupakaikan di jari manisnya. Ternyata ukurannya sangat pas sekali. Kembali Viola memandangi cincin itu.
”Ukurannya pas sekali di jariku, Is. Bagaimana denganmu?”
Aku pun mencoba cincin yang diperuntukan untuk mempelai pria. Setelah kucoba akhirnya cincin itu telah terpasang manis di jariku.
”Kurasa punyaku juga tidak ada masalah, jadi kita nggak perlu menukarnya.”
”Kamu simpan saja baik-baik untuk besok. Sekarang tolong lepaskan punyaku, Is.”
”Biar Ira saja Mbak yang melepas cincin itu. Sini tangannya Mbak.”
Dik Ira segera melepaskan cincin dari jari Viola dan kemudian menyerahkannya padaku.
”Nih cincinnya, Mas Isma.”
Kuraih cincin Viola dan kuletakkan kembali berdampingan dengan punyaku di kotak merah.
”Is, bagaimana orang tuamu? Sudah kamu hubungi mereka? Apakah mereka besok bisa datang?”
”Jangan khawatir, Vi. Insya Allah malam ini mereka datang. Mereka sudah nggak sabar ingin bertemu denganmu. Terutama adik-adikku.”
”Oh ya? Aku senang mendengarnya. Mengenai persiapan pernikahan kita bagaimana?”
”Kamu jangan mikirin hal itu, Vi. Mas Deny sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Insya Allah besok acara akad nikah bisa berjalan dengan lancar.”
”Amin.”
Dari arah menara masjid rumah sakit yang menjulang, terdengar adzan mahgrib melantun merdu menyapaku. Suaranya menentramkan hatiku.
”Vi, aku sholat dulu ya. Tuh, adzan maghrib sudah memanggil.”
”Hati-hati, sayang. Doain aku ya.”
”Pasti. Dik Ira nggak sholat?”
”Baru berhalangan, Mas.”
”Tolong jaga Mbak Viola sebentar ya.”
”Beres, Mas. Selama ada Ira, Mbak Viola aman.”
”Makasih, Dik. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Aku pun meninggalkan mereka untuk memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.

Ruangan masjid senja ini penuh sesak. Banyak orang yang beribadah disini. Hampir dua pertiga shaf terisi penuh. Mungkin sekarang banyak orang yang sedang berkunjung ke rumah sakit ini. Biasanya jam-jam segini memang waktunya untuk berkunjung. Setelah iqamat terdengar, kami pun menunaikan sholat maghrib berjamaah dengan khusyuk. Lantunan ayat-ayat suci terdengar indah menggetarkan kalbu. Mencoba menelusur ke dalam relung jiwaku yang telah menunggu saat yang terpenting dalam hidupku. Ayat-Ayat Allah serasa menentramkan jiwaku yang telah gundah dalam penantian. Hingga diakhir sholat, tak henti-hentinya aku bermunajat kepada Sang Pencipta.

Ya Allah, berilah aku kemudahan dalam menjalankan perintah-Mu. Berilah hambamu kekuatan untuk bisa selalu beribadah kepada-Mu. Semoga saat-saat yang terpenting dan terindah dalam hidupku besok dapat berjalan dengan lancar atas ridho-Mu. Serta tak lupa aku memohon kepada-Mu, Ya Allah. Berilah kesembuhan kepada calon istriku sehingga dia bisa mendampingi diriku untuk bersama-sama beribadah kepada-Mu. Bimbinglah kami selalu di jalan-Mu. Menjalani hidup yang sakinah, mawadah, warahmah, selalu dalam lindungan-Mu. Amin.

Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menepuk pundakku.
”Assalamu’ alaikum. Nak Isma?”
”Wa’ alaikum salam. Eh, Pak Abdul.”
”Tadi nggak sengaja Bapak melihat Nak Isma sembahyang di masjid ini juga. Ketika Bapak dekati, Nak Isma terlihat khusyuk sekali berdoanya kepada Sang Pencipta. Bapak nggak berani mengganggu. Makanya Bapak menunggu hingga Nak Isma selesai.”
”Iya, Pak. Saya berdoa dengan khusyuk kepadaNya untuk meminta bimbingan dan kekuatan serta kemudahan karena besok saya akan menjalani peristiwa yang terpenting dalam hidup saya, Pak.”
”Apakah peristiwa yang Nak Isma maksud, kalau boleh Bapak tahu?”
”O ya, saya mohon maaf saya lupa belum mengundang Bapak sekalian Bu Surti dan Fatimah. Saya besok akan menikahi Viola, Pak.”
”Nak Isma mau menikah?”
”Benar, Pak. Insya Allah akad nikahnya besok pagi jam delapan.”
”Alhamdulillah, Bapak senang mendengarnya. Ibu dan Fatimah pasti juga gembira mendengar berita ini. Kalau nggak berhalangan dan kondisi Fatimah sedang bagus, kami akan hadir.”
”Terima kasih, Pak. Saya sangat berharap Bapak beserta Ibu dan Fatimah bisa hadir.”
”Insya Allah, Nak. Kalau begitu Bapak duluan. Bapak akan memberitahukan kabar gembira ini kepada Ibu dan Fatimah dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Silahkan, Pak. Wa’ alaikum salam.”
Pak Abdul segera berlalu meninggalkan masjid ini. Aku pun kembali terhanyut dalam doa-doaku kepada Allah. Kuputuskan saat ini aku ingin ber i’tikaf di masjid ini dulu hingga waktunya sholat Isya’. Aku ingin menentramkan jiwaku sebelum aku melaksanakan pernikahan besok.

Setelah selesai aku menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah dengan menjalankan sholat Isya’ berjamaah., aku segera kembali ke ruang ICU untuk menjenguk Viola. Kasihan Dik Ira sudah lama juga menemani Viola di kamar. Setelah sampai di depan pintu masuk, aku melihat Mas Dody sekeluarga telah berada di sana. Mas Deny juga terlihat bersama mereka. Dia sedang mengobrol dengan Mas Dody. Anak-anak Coffeemilk ternyata telah datang juga. Begitu melihatku, Topan, Danny, Manto dan Arif segera menghampiriku.
”Is, kami sudah menunggumu. Aku dan Arif sudah mendapat Kitab Al-Quran beserta seperangkat alat sholat lengkap yang terbagus. Juga tidak lupa kami bawakan baju koko yang bagus untukmu,” sapa Danny.
”Nyari sih agak susah, karena Kitab Al-Quran jenis ini masih jarang yang mencetak. Kata penjualnya kitab ini asli didatangkan dari Arab Saudi. Jadi agak mahalan dikit. Kami tadi sempat berkeliling Kauman untuk mencarinya. Alhamdulillah sebelum maghrib, kami sudah mendapatkannya,” imbuh Arif.
”Terima kasih banyak, teman. Bagaimana dengan kamu, To?”
”Semua teman-teman di kampus sudah kuhubungi. Namun kebanyakan mereka sedang pulang mudik ke kota asal masing-masing. Tapi Insya Allah besok si Agus, Dewi, dan Yanti bisa hadir. Begitu pula dengan Pak Edy. Beliau bersedia hadir besok begitu aku menghubunginya. Pada awalnya beliau seperti teman-teman yang lain. Pak Edy kaget begitu mendengar kamu akan menikah,” jelas Manto.
”Aku senang kalau Pak Edy dan teman-teman bisa datang.”
”Kalau gue begitu sampai di kost, segera kuberitahukan kepada Mas Dody dan Mamah Rini. Sebelumnya mereka sudah tahu dari Willy kalau Viola di rawat di sini, tapi mereka belum tahu tentang rencana pernihakanmu besok. Mereka juga kaget sekali sewaktu mendengar kabar itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk segera menjenguk Viola sehabis maghrib. Gue sekalian ikut kemari.”
”Kata Mas Deny, ortu lo datang malam ini, Is?”
”Iya, Dan. Nanti tolong ya jemput mereka di terminal bareng gue.”
”Beres.”
”Mereka menginap di kost seperti biasa?”
”Nggak, Pan. Mas Deny menyuruhku untuk menginapkan mereka di Novotel.”
”Begitu lebih baik. Kasihan kalau sampai mereka menginap di kost kita yang jauh dari sini.”
”Berarti semua sudah beres, kan? Tinggal menunggu hari H saja.”
”Iya, To. Maaf ya, aku sudah merepotkan kalian semua.”
”Nggak apa-apa, bro. Itulah gunanya teman. Susah senang kita pikul bersama.”
Sebagai wujud rasa terima kasihku atas semua bantuan teman-temanku, kupeluk mereka satu-persatu. Kami layaknya seperti saudara sendiri. Rasa keharuan seketika menyelimuti kami. Setelah bergabung di Coffeemilk, kami semua merasa menjadi saudara senasib sepenanggungan. Susah senang kita rasakan bersama. Senangnya seorang dari kami merupakan kesenangan bagi semua personil Coffeemilk.. Begitu pun sebaliknya. Ada permasalahan yang menimpa seseorang di antara kami, selalu kita selesaikan bersama-sama. Itulah keindahan sebuah persaudaraan yang sejati. Aku sangat senang semuanya kualami dalam perjalanan hidupku ini.

”Aku menemui Mas Dody dulu, ya.”
Segera kutinggalkan teman-temanku untuk menemui Mas Dody. Melihatku menghampirinya, Mas Dody menyapaku.
”Hey, Is. Bagaimana kabarmu? Maaf kalau Mas agak terlambat menjenguk Viola.”
”Nggak papa Mas. Mamah Rini di mana?”
”Ada di dalam kamar Viola bersama Dik Ira. Mas tadi sempat kaget mendengar kamu akan menikah. Begitu mendadak sekali. Tapi setelah mendengar penjelasan Topan, Mas memakluminya. Mas sangat setuju dan salut dengan keputusanmu.”
”Terima kasih, Mas. Sudah kenal kan dengan Mas Deny, kakaknya Viola?”
”Sudah, Is. Tadi setelah Mas datang kemari. Topan yang memperkenalkan kami.”
”Benar, Is. Ternyata Mas Dody ini dulu adalah kakak tingkat Mas Deny sewaktu SMU. Mas Dody ini dulu sekelas dengan Mbak Ratna, manajer kamu di StarMusikindo. Memang dulu kami tidak terlalu akrab sekali. Tapi Mas masih ingat wajahnya,” jelas Mas Deny panjang lebar.
”Wah, dunia memang sempit sekali.”
”Gimana persiapanmu, Is?” tanya Mas Dody.
”Insya Allah, saya sudah siap Mas.”
”O ya, Is. Tadi Mas sudah booking kan kamar di Novotel. Mas pesan dua kamar. Satu untuk orang tuamu dan satunya lagi untuk adik-adikmu. Nanti kalau mereka sudah tiba, kamu bisa langsung ajak mereka ke sana. Bilang ke receptionist, dengan atas nama Mas. Kamarnya nomer 401 dan 402.”
”Terima kasih, Mas.”
Saat aku masih terlibat obrolan bersama Mas Dody, Mas Deny dan teman-temanku, datang sepasang-suami istri yang mendorong putrinya di atas kursi roda menghampiri kami. Ternyata mereka adalah Pak Abdul, Bu Surti dan yang berada di kursi roda tentunya Fatimah. Segera kusambut mereka dengan ramah.
”Pak Abdul, Bu Surti, dan Fatimah. Senang sekali saya mendapat kunjungan ini. Sekira ada hal penting apa yang membuat Bapak Ibu menemui saya?”
”Maafkan kami, Nak Isma. Begitu kami mendengar kabar dari Bapak kalau Nak Isma mau menikah besok pagi, kami sangat suprise sekali. Kami hanya bisa termangu, seolah kami belum percaya apa yang barusan kami dengar. Setelah kami sadar, spontan kami ingin bertemu dengan Nak Isma. Fatimah bahkan memaksa kami karena dia ingin melihat dan berkenalan dengan calon istri Nak Isma yang bernama Neng Viola itu walau kondisinya masih lemah. Makanya kami kemari. Sekali lagi kami mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu Nak Isma,” terang Bu Surti.
”Oh, nggak, Bu. Justru saya sangat senang Bapak, Ibu dan Fatimah datang kemari.”
”Iya, Mas Isma. Maafkan Fatimah ya. Bolehkan Fatimah berkenalan dengan Mbak Viola, mumpung Fatimah masih ada waktu?”
Aku segera bersimpuh di hadapan Fatimah yang duduk di kursi roda sambil kupegang tangannya erat.
”Kamu jangan bicara seperti itu, adikku. Yakinlah bahwa Allah selalu mendengar doa-doa-Mu. Insya Allah, kamu akan sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala.”
”Amin, Mas.”
”O ya, mas ingin mengenalkan teman-teman Mas. Pasti kamu juga sudah tahu kan? Mereka juga personil Coffeemilk yang lain.”
”Yang benar, Mas?” Fatimah terlihat ceria kembali.
Topan dan yang lain segera memberi salam kepada Fatimah.
”Mas Isma nggak pernah bohong. Kami semua adalah personil Coffeemilk. Siapa nama kamu tadi, anak manis?” kata Topan.
”Fatimah, Mas. Oh, Bapak, Ibu, apakah Fatimah sedang bermimpi?”
”Tidak anakku. Kamu tidak bermimpi. Mereka semua sedang menyapamu,” jawab Bu Surti menahan haru.
Akhirnya Topan, Danny, Manto dan Arif menyalami Fatimah satu-persatu. Fatimah terlihat sangat gembira. Matanya berkaca-kaca. Kerudung putihnya mulai basah oleh linangan air matanya. Dia begitu ceria, tidak tampak sama sekali kalau dia sesungguhnya sedang menanti saat untuk bertemu kembali dengan penciptanya. Memang semua manusia telah digariskan hidupnya olehNya. Itu adalah sebuah rahasia Ilahi. Hanya Allah semata yang mengetahuinya.

”Sekarang mari kita temui Mbak Viola. Kamu ingin bertemu dengannya, kan?”
”Iya, Mas. Aku ingin berjumpa langsung dengannya.”
”Kalau begitu, yuk, Mas antar.”
Aku segera mendorong kursi roda yang dinaiki oleh Fatimah. Aku dorong dengan pelan menuju kamar Viola dirawat. Pak Abdul dan Ibu Surti yang tadi sempat berkenalan dengan Mas Deny serta Mas Dody mengikutiku dari belakang. Sesampainya di sana, aku melihat Mamah Rini dan Dik Ira sedang menemani Viola. Mereka spontan melihat ke arahku begitu pintu kamar kubuka.
”Vi, ada seseorang yang ingin berjumpa denganmu.”
Dari dalam kamar, Viola menyahut lemah. ” Siapa gerangan, Is?”
”Ini dia orangnya.” Kataku sambil memposisikan kursi roda Fatimah di samping ranjangnya Viola.
Kulihat Mamah Rini dan Dik Ira beranjak dari duduknya.
”Kalau begitu, Mamah dan Dik Ira keluar sebentar, Is. Mamah ucapkan selamat ya atas pernikahanmu besok. Jaga calon istrimu baik-baik.”
”Terima kasih, Mah.”
Mamah dan Dik Ira akhirnya keluar dari kamar Viola setelah sebelumnya berpamitan pula dengan Viola.
”Halo, adik manis. Siapa namamu?” Viola menyapa Fatimah terlebih dulu.
”Hai, Mbak Viola. Salam kenal. Namaku Fatimah. Aku penggemar berat Coffeemilk. Tadi tidak sengaja bertemu dengan Mas Isma. Mas Isma sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Mas Isma banyak cerita tentang Mbak. Ternyata benar apa yang dikatakannya.”
”Memang apa yang dikatakan Mas Isma padamu?”
”Katanya, Mbak Viola adalah wanita tercantik yang pernah dikenal oleh Mas Isma.”
Seketika tampak rona di kedua pipi Viola. Dia kemudian memandangiku dengan tatapan yang hangat. Senyumnya mengembang kepadaku.
”Benar kamu bilang seperti itu, sayang?”
”Benar, Vi. Kamulah wanita tercantik di dunia dan aku adalah manusia yang paling beruntung di dunia karena besok aku akan mempersuntingmu dan kamu akan menjadi pendamping hidupku selamanya.”
”Wah, romantisnya. Fatimah jadi iri, nih.”
”Kamu ini masih kecil. Belum boleh tahu urusan orang dewasa,” kataku sambil kuusap-usap kepalanya dengan gemas.
”Fatimah, kamu orangnya periang ya. Mbak sangat senang berkenalan denganmu.”
”Fatimah juga senang punya kakak yang cantik seperti Mbak.”
”Kamu sekolah dimana?”
”Di SMU 1, Mbak.”
”Berarti kenal donk dengan Azizah dan teman-temannya?”
”Bukan kenal lagi, Mbak. Kami sudah sohiban sejak SMP. Karena kondisi Fatimah sekarang, Fatimah tidak bisa bersama mereka lagi.”
”Jangan khawatir, Fatimah. Insya Allah kamu bisa berkumpul dengan mereka kembali.”
”Semoga, Mbak. O ya, sampai lupa. Perkenalkan, Mbak. Ini Bapak dan Ibuku.”
Viola segera menjabat tangan Pak Abdul dan Bu Surti.
”Maafkan kami, Neng. Kalau kedatangan kami mengganggu. Soalnya tadi Fatimah yang mendesak kami supaya bisa bertemu dengan Neng Viola,” kata Bu Surti.
”Maklumlah, Neng Viola. Dia anak kami satu-satunya. Sifatnya memang agak manja,” imbuh Pak Abdul.
”Nggak papa kok, Pak, Bu. Saya malahan senang kalau ada yang menjenguk. Hal itu bisa memberi semangat hidup kepada saya. Apalagi kalau yang menjenguk orangnya seperti Fatimah yang periang. Saya serasa seperti tidak pernah dirawat disini.”
”Ah, Neng Viola bisa aja.”
Kami mengobrol dengan hati yang riang. Segala kesedihan kami lupakan sejenak. Suasana di kamar Viola terasa hangat. Canda dan tawa mengiringi obrolan kami. Kami bagaikan sebuah keluarga yang penuh dengan keterbukaan dan keharmonisan.

Malam semakin larut. Malam penantian ini terasa sangatlah panjang. Pak Abdul dan Bu Surti beserta putrinya telah kembali ke kamar Fatimah setelah kami ngobrol cukup lama di kamar Viola. Begitu pula dengan keluarga Mas Dody. Mereka telah kembali ke Mentari Buana sebelum Fatimah kembali ke kamarnya. Viola pun akhirnya dapat beristirahat di kamarnya. Angin malam yang dingin menerpa tubuhku yang duduk di pinggir taman. Hanya Danny dan Topan yang masih menemaniku di sini. Mereka berdua sedang asyik menghisap rokok untuk membunuh sepi. Sedangkan Arif dan Manto sudah minta ijin pulang lebih dulu. Mereka ada keperluan mendadak yang harus segera diselesaikan. Besok pagi-pagi sekali mereka akan datang kemari. Mas Deny masih sibuk dengan SMS di handphonenya.

Suasana di ruangan ICU serasa lengang. Tidak banyak orang berada di sana. Hanya beberapa suster jaga yang masih bertugas menjaga Viola. Dia satu-satunya pasien di ruangan ICU ini. Menurut Dokter Lukman, Viola bisa dipindahkan ke kamar rawat inap mulai besok pagi. Tentunya jika kondisi Viola sudah membaik.
Tanpa kusadari, perutku mulai berbunyi minta diisi. Karena terlalu menghiraukan keadaan Viola serta sibuk dengan persiapan pernikahan besok, aku sampai lupa makan.
”Kalian sudah makan?” tanyaku memecah keheningan.
”Gue sih udah makan sebelum kemari. Emangnya lo belum makan, Is?”
Aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Danny.
”Gue juga belum. Tadi buru-buru kemari dengan Mas Dody,” timpal Topan.
”Kalian cari makan dulu sana. Biar Mas yang jaga di sini,” kata Mas Deny.
”Kalau begitu, yuk kita ke depan. Gue lihat di depan rumah sakit ini banyak berdiri warung-warung makanan.”
”Udah nanggung nih, Pan. Ini udah jam setengah sepuluh malam. Sebentar lagi, Insya Allah keluargaku akan tiba di Solo. Kalau lo udah lapar, sana duluan. Nanti aku cari makan sekalian sehabis menjemput Bapak, Ibu dan adik-adikku.”
”Kalau begitu, gue juga nanti saja. Nggak enak makan sendirian.”

Tak lama kemudian handphoneku berbunyi. Ada satu pesan yang masuk. Kulihat di layar LCD, pesan berasal dari adikku, Arfi. Setelah kubaca pesannya, dia mengatakan kalau mereka sudah tiba di daerah Pabelan. Sebentar lagi mereka akan tiba di terminal Tirtonadi.
Aku segera beranjak. Danny dan Topan pun mengikutiku.
”Mas, aku pamit dulu untuk menjemput keluargaku. Di SMS mereka mengatakan kalau sudah sampai di daerah Pabelan.”
”OK, nanti kamu langsung antar mereka ke hotel saja. Biar mereka istrirahat dulu di sana. Kasihan, mereka sehabis dalam perjalanan jauh. Nomer kamarnya belum lupa kan?”
”Aku masih ingat, Mas. Nomer 401 dan 402. Kalau begitu kami pamit dulu. Yuk, Dan, Pan. Kami berangkat dulu, Mas. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
Kami bertiga segera berlalu meninggalkan Mas Deny.

Setelah beberapa menit, kami telah berada di dalam mobilnya Danny yang sedang meluncur menuju ke arah terminal Tirtonadi. Arus kendaraan malam ini masih agak ramai. Suasana khas kota Solo di malam hari masih terasa. Beraneka warung makanan masih banyak bertebaran di pinggir jalan yang kami lalui. Masih banyak warga Solo yang menikmati makan malam di warung-warung itu. Orang Solo memang hobinya makan. Oleh karena itu, bisnis makanan di Solo selalu ramai oleh pengunjung. Di manapun tempatnya, walau di dalam gang sempit sekalipun, pasti akan dicari orang. Tapi dengan syarat, harganya harus terjangkau dan rasanya lezat menggoyang lidah.

Setelah melewati stasiun kereta api terbesar di kota Solo, yaitu Stasiun Balapan, selang beberapa menit kami telah memasuki kawasan terminal Tirtonadi. Berbeda ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku di kota Solo. Dulu kawasan ini masih terlihat sumpek dan kumuh oleh gubug-gubug liar serta para pedagang kaki lima yang banyak bertebaran tidak teratur di sekeliling terminal. Bantaran Kali Anyar yang terletak di depan terminal masih dipenuhi oleh bangunan-bangunan liar yang terkadang dijadikan tempat maksiat. Sekarang keadaannya jauh lebih baik. Di sekeliling terminal terdapat taman-taman yang asri. Ada taman dengan patung Bima berukuran raksasa berada di sebelah timur terminal. Bangunan-bangunan di bantaran Kali Anyar pun telah digusur, diganti dengan sebuah ruang terbuka yang asri bernama Taman Air Taman Kali Anyar.

Temaram lampu jalan menghiasi malam yang dingin. Kulihat masih banyak bus-bus yang berlalu lalang di sini. Kebanyakan bus dari jurusan luar kota seperti jurusan Solo-Jakarta, Solo-Joga, Solo-Semarang dan Solo-Surabaya. Seperti yang dibilang Arfi di SMSnya, mereka sekarang naik bus jurusan Solo-Semarang. Tadinya dari Wonosobo, mereka naik bus jurusan Wonosobo-Semarang. Setelah tiba di terminal Bawen, mereka berganti bus jurusan Solo-Semarang yang banyak dijumpai di sepanjang jalur Solo-Semarang.
Waktu pun sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang seperempat. Sebentar lagi keluargaku akan tiba. Kami akhirnya melewati pintu masuk utama terminal. Banyak petugas yang berjaga di sana. Penumpang pun masih terlihat ramai lalu lalang.
Ketika Danny hendak memarkirkan mobilnya masuk ke areal parkir terminal, segera kucegah dia. Aku segera menunjukkan tempat parkir yang berada di Taman Kali Anyar. Danny pun menurut. Dia memutar mobilnya melewati pembatas jalan dan akhir berhenti di areal parkir yang berada di depan terminal tersebut. Menurutku di sini lebih sepi, dan kami bisa menunggu sambil menikmati keindahan taman air ini.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bus yang ditumpangi keluargaku datang. Ku berdiri di pinggir jalan untuk dapat melihat lebih jelas. Segera kuintip melalui kaca jendelanya, mencari-cari wajah yang kukenal di dalam bus itu. Dan dari balik kaca jendela bus, kulihat Arfi dan Nadia melambaikan tangannya kepadaku. Segera kubalas lambaiannya sekaligus memberi petunjuk kalau aku menunggu di sini. Mereka tampaknya mengerti dengan isyaratku. Sesaat kemudian bus itu menghilang masuk ke dalam terminal. Aku segera berlari menuju ke arah pintu keluar penumpang yang lokasinya agak jauh dari tempatku berdiri. Kusuruh Danny dan Topan menunggu di taman. Ketika aku hampir mencapai pintu keluar, kulihat Arfi yang memakai kerudung berwarna biru dan Nadia tengah berlari kecil menuju ke arahku. Mereka memanggil-manggil namaku. Mereka terlihat gembira sekali. Aku segera mempercepat langkahku. Dan akhirnya kami pun bertemu. Seketika mereka berdua segera menubruk tubuhku hingga aku hampir terjengkang jatuh. Mereka memelukku dengan erat. Tangis keharuan pun memecah malam yang dingin.
”Mas, Nadia kangen sama Mas.”
”Arfi juga, Mas. Lama Mas tidak pulang ke Wonosobo.”
”Mas juga kangen dengan kalian, adik-adikku yang cantik.”
Kukecup kening mereka satu persatu.
Tak jauh dibelakang mereka, kulihat kedua orang yang kusayangi melangkah menuju diriku. Segera kulepaskan pelukan adik-adikku untuk menyambut mereka.
”Assalamu’ alaikum. Bapak, Ibu. Selamat datang di Solo.” Aku segera mencium tangan mereka masing-masing.
Ibu pun memelukku dengan penuh kehangatan. Air matanya meleleh membasahi pundakku.
”Oh, anakku. Ibu sangat merindukanmu. Kamu kelihatan kurus sekarang. Wajahmu tampak kusut sekali. Kamu baik-baik saja di sini, Is?”
”Isma baik-baik saja, Bu.”
Bapak menepuk pundakku. ”Kamu kelihatan lelah sekali, Is.”
”Hal itu sudah tidak Isma hiraukan lagi setelah Isma bertemu Bapak, Ibu dan adik-adik. Isma sudah tidak sabar untuk melepas rindu. Sekarang kita ke mobil saja. Teman-teman Isma sudah menunggu di sana. Biar tasnya Isma yang bawa, Bu.”

Kubimbing keluargaku menuju ke areal parkir di mana Danny dan Topan tengah menunggu. Tak seberapa lama, kami sudah tiba di sana. Danny dan Topan segera menyambut kami.
”Selamat datang di Solo, Om dan Tante,” sapa Danny.
”O ya perkenalkan, ini namanya Danny. Dia teman kuliah Isma juga yang punya mobil ini. Dan, kenalkan ini Bapak dan Ibuku. Dan itu adik-adikku, Arfi dan Nadia.”
Danny segera menyalami keluargaku.
”Nak Danny baik sekali mau menjemput kami.”
”Sudah menjadi kewajiban saya, Tante. Isma adalah teman baik saya. Dia sudah seperti saudara sendiri. Jadi keluarganya adalah keluarga saya juga.”
”Isma beruntung mempunyai saudara sepertimu, Nak Danny.”
”Om terlalu berlebihan.”
”Kalau yang ini, Isma nggak perlu memperkenalkannya kan?”
”Apa kabar, Om danTante? Sehat-sehat kan?”
”Alhamdulillah, Nak Topan. Kami baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu sendiri?”
”Saya juga baik-baik saja Om. Halo, apa kabar Arfi dan Nadia? Mas ingat kan dengan Mas Topan?”
”Kami juga baik-baik saja, Mas. Mas Topan sekarang agak gemukan ya?” sapa Arfi.
”Iya nih. Mas Isma pernah cerita kepada kami kalau Mas Topan hobinya tuh makan. Benar nggak, Mas?” Nadia ikutan menimpali.
Topan segera melotot ke arahku. Mukanya menjadi merah menahan malu.
”Sorry, Pan. Adik-adik hanya bercanda.”
Topan seketika mengayunkan pukulannya ke lenganku. Aku hanya bisa pasrah menerimanya. Melihat tingkah kami, Bapak dan Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Sudah, sudah, bercandanya lain kali aja.”
”Benar, sekarang kita masuk mobil dulu. Is, mana barang-barang bawaannya? Biar gue ama Topan yang masukin ke bagasi.”
”Thanks, Dan.”
Barang-barang yang dibawa Bapak dan Ibu tidak terlalu banyak. Hanya membawa dua tas travel ukuran sedang sehingga tak terlalu lama untuk memasukkannya ke dalam bagasi. Arfi dan Nadia memanggul ranselnya masing-masing.
”Is, sekarang kita langsung menuju ke hotel atau mau ke mana dulu?”
”Sekarang kita cari makan dulu, Dan. Terserah mau kemana, yang penting enak. Bapak dan Ibu belum makan kan?”
”Kami menurut saja, Is.”
”Mas, Nadia juga sudah lapar nih. Pengin makan nasi liwet khas Solo.”
”Baiklah. Arfi mau juga makan nasi liwet?”
”Boleh, Mas. Sudah lama Arfi nggak makan nasi liwet Solo.”
”Kalau begitu kita makan nasi liwet malam ini. Dan, kamu tahu kan harus kemana?”
”Tentu, bos. Ke daerah Keprabon apa sekalian ke Galabo?”
”Terserak kamu aja. Yuk kita berangkat sekarang.”
Mobil Danny pun meluncur membelah malam.
Bersambung ...