Rabu, 29 April 2009

Balada Rumah Biru, Schedule 09 - Bongkar Pasang Pemain eh .. Pegawai

Setelah berbulan-bulan aku ditemani oleh Mardi akhirnya saat perpisahan pun tiba. Mungkin karena tidak tahan dengan kerja ala Daendels di Rumah Biru, dan juga dapet obat cuci perut gratis kalo pas dinas luar karena muntah melulu kalo naik mobil sama si Bos, Mardi pun memutuskan untuk hengkang. Hiiiks…..aku sendiri lagi nih!

Ternyata selama bekerja di sini, Mardi mencoba untuk melamar di sebuah bank pemerintah. Dan setelah menjalani tes berkali-kali akhirnya dia pun di terima. Maka dengan senang hati, lho kok senang … lha iya lah, keluar dari sarang gorilla masak sedih sih, dia pun keluar dari Rumah Biru yang penuh dengan janji-janji palsu. Ugh, tega kau , Di ... aku kau tinggal sendiri bersama dengan penderitaan ini, hiiiks.

Sepeninggalan Mardi, Rumah Biru sering bongkar pasang pemain … eh pegawai maksudnya. Gak tau tuh, kenapa Pak Achmad punya banyak sekali stok pegawai (yang mau aja dibohongin). Tapi semuanya bernasib hampir sama dengan Mardi, tidak betah berlama-lama kerja rodi. Herannya, kok aku masih betah di sini ya? Apa aku kena guna-guna dari si Bos ya? Semacam pelet gitu? Allahuallam.

Tapi tidak semuanya bisa lepas dari cengkeraman Rumah Biru. Salah satunya adalah si Prast. Dia anak arsitek yang lagi-lagi seangkatan denganku. Asli orang Solo. Biasa kami memanggilnya dengan nama Gondrong, padahal sekarang rambutnya udah gundul. Dia juga betah banget kerja di sini. Nggak tahu kenapa. Ternyata setelah kutanya sebabnya, dia bilang seperti di bawah ini.
“Lumayan, Is. Disini banyak fasilitas gratis yang bisa kupake buat ngerjain proyek pribadi. Nggak bayar kan kalo numpang nge-print dokumen disini. Tinta gratis. Kertas pun gratis.”

Aku pun manggut-manggut tanda sepakat dengannya.

Seingatku ada beberapa orang yang pernah menjadi teman kerjaku. Sudah tak terhitung lagi siapa saja yang keluar masuk di kantor Rumah Biru yang tidak tercinta ini. Seingatku dulu, berikut daftar teman kerja rodiku dulu yang sekarang sudah bebas dari jaman per”budak”an:

• KANDAR, anak Lampung, arsitek juga. Alumni UNS juga. Seangkatan denganku. Cuma bertahan satu bulan, terus pulang ke Lampung dengan alasan mengurusi ternak kuda di sana. Tapi kemarin kutahu dari foto-fotonya di fesbuk, dia sekarang sudah alih profesi jadi tukang ojek di Bandung. Hehehehe …. Sorry, bro. Abis foto lo di fesbuk cuma ada gambar lo pas nongkrong di motor dengan plat D.

• WIDI, anak Colomadu, arsitek yang asli dodol abis. Juga teman seangkatanku. Bertahan cukup lama sekitar enam bulan. Alasan keluar karena milih “mengamen” di Jakarta daripada kerja paksa di Rumah Biru. Sebenarnya sih yang kutahu alasannya keluar karena dia dituntut oleh client kami, sebuah rumah sakit daerah di kota Solo. Ketika tahap perencanaan desain bangunan poliklinik, si Widi melakukan survey bersamaku untuk mengukur luas tanah yang digunakan untuk pembangunan poli. Saat tiba di lapangan ternyata dia lupa tidak membawa meteran. Mau balik lagi ke kantor, jaraknya lumayan jauh. Lagian waktu itu, matahari bersinar dengan teriknya. Males banget. Ketika kami kebingungan, si Widi mempunyai ide terkonyol yang pernah kuketahui sepanjang sejarah proyek. Dia mengukur panjang lebar tanah dengan menggunakan jangkah kakinya. Hebat kan !!!

“Eh, Is …..kamu catat ya, panjang tanahnya 193 jangkah, kalo lebarnya 98 jangkah. Nanti kamu hitung luasnya ya?” perintah Widi seenaknya.

“Lho, memangnya patokan satu jangkahmu berapa senti?

“Ya, tadi kalo normalnya sih 1 jangkah = 90 cm, tapi tadi aku sempat kesandung kira-kira 14 kali, saat kesandung 1 jangkahnya menjadi 50 cm. Nah, kamu kira-kira sendiri ya luasnya. Bisa, kan?

“What@#$%#$%#$%^&&6^^***&**&*&&@@@!!!” ( tak bisa diucapkan dengan kata-kata karena aku keburu pingsan )

Nah, tentunya tahu kan hasil rancangannya seperti apa? Pas ketika dimulainya pembangunan, gambar dan kondisi lapangan tidak klop. Maka si Bos pun dimaki-maki oleh client karena dinilai kerjaannya nggak becus. Setelah itu, tentunya Bos segera mencari si Widi sebagai sang arsitek proyek si biang kerok. Tapi yang bersangkutan keburu menghilang tanpa jejak! Kabur dulu ah …

• HASIM, berasal dari Purwodadi, anak sipil, alumni UNS. Bertahan tiga bulan. Alasan keluar klise, tentulah masalah gaji yang lebih rendah dari UMR pegawai pabrik. Mengharapkan bonus dari Bos, ibarat mengimpikan Cristian Ronaldo main di Persis Solo. Nggak mungkin banget lah yau!!!

• ROBI, anak sipil, alumni UGM, bertahan empat bulan. Alasan keluar karena merasa ditipu oleh si Bos. Saat hendak menagih tagihan proyek yang tinggal 15%, si Bos berkata waktu itu bahwa dana yang tersisa tersebut akan dibagikan kepada seluruh pegawai Rumah Biru sebagai bonus. Maka dengan semangat 45, si Robi yang bertugas sebagai administrasi proyek segera mengurus tagihan itu kepada client. Eh nggak tahunya … setelah duitnya cair dan masuk ke rekening Pak Achmad, bonus pun tak kunjung cair. Sampe akhirnya dana tersebut malah digunakan oleh Bos untuk menyunatkan si Wawan, anak laki-lakinya yang nggak kalah sifatnya ama senoirnya. Robi pun marah karena merasa dimanfaatkan dan langsung angkat ransel, cabut, merantau ke pulau seberang. Hey, gimana kabarmu, bro ……!!! Tolonglah daku yang masih nyangkut di sini.

Nah, setelah kepergian mereka, datanglah para calon-calon korban baru yang mau aja dikibulin ( istilah kami : dikempongin ) ama si Bos. Meskipun mereka nanti akhirnya bisa lepas dari jaman jahiliyah, tidak seperti diriku dan Prast yang sampe sekarang masih terkapar lemah tak berdaya di Rumah Biru. Hiiiks lagi …

• ALUNG, seorang arsitek lulusan UII Jogja, asli dari Sukoharjo. Bertahan cukup lama. Kira-kira hampir dua tahun. Dia sekarang kerja di perusahaan BUMN di Jakarta. Alasan keluar bilangnya sih karena gajinya sedikit. Klise banget ya, tapi emang kenyataannya kaya gitu mo apalagi! Tapi alasan sebenarnya, dia nggak tahan aja disuruh nganterin si Bos kesana-kemari kaya sopir taksi. Maklum, dulu, hanya dia yang bisa setir mobil. Lagian, ngapain juga dia ke kantor pake mobil. Tahu si Bos orangnya pelit sampe melilit. Daripada keluar bensin, mendingan nebeng terus sama si Alung minta anter kesana-kemari. Pernah suatu ketika si Bos ngajak kita semua nonton film di 21. Tentunya pake mobil si Alung. So pasti lah di Alung misuh-misuh. Mana nggak diganti pula ongkos bensinnya. Sampelah kita di tempat yang dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di kawasan Singosaren. Kebetulan tempat parkir di bawah penuh. Mau nggak mau, Alung harus memarkirkan mobilnya di top floor. Ketika hendak naik melewati ramp ( jalan miring –red ), tiba-tiba mobil Alung tidak bisa berjalan naik. Gimana mo jalan, mobil sedan dipake buat bertujuh, kelebihan berat cink. Malah mobil si Alung berangsur-angsur beranjak turun. Tiba-tiba tanpa dikomando, Pak Achmad keluar dari mobil dan meninggalkan kami berenam di dalam mobil yang hendak meluncur turun. Toloong!!! Tega kali kau , Bos.

• HADI, anak sipil alumni UNS. Asli orang Purwokerto. Semasa hidupnya eh salah ... maksudnya semasa bekerja di Rumah Biru, si Hadi ini punya hobi yang unik. hobinya mendengarkan siaran radio khusus musik dangdut sampe dari pagi sampe siang bolong. Tentunya memakai radio butut kesayanganku dulu. Nggak usah kerja, yang penting goyang men!!! Satu lagi acara favoritnya, dengerin siaran talk show perkumpulan mahasiswa di Solo yang berasal dari daerah asalnya, Purwokerto. Begitu on air, bahasa planet pluto mulai mengudara memenuhi ruang studio. Sampe pusing dengerinnya. Ngapak-ngapak gitu, ganti. Aja kaya kiye! Lha kepriben lah! Karena teman sekantor nggak ada yang punya selera yang sama, setelah berjalan empat bulan, daripada jadi minoritas, dia pun hengkang meninggalkan kami.

• ZAINI, anak sipil UNS juga. Bahkan seangkatan dan sekelas dengan Hadi. Asli dari Klaten. Bertahan sama seperti Hadi, empat bulan! Kompak banget! Alasan keluar karena ingin mencari pengalaman yang lebih menyenangkan dan menghasilkan banyak uang daripada di Rumah Biru.

• DIKA, anak arsitek UNS, adik angkatanku. Asli orang Solo. Paling jago ngomong di antara kami semua. Pantes jadi orang marketing. Istilah jadulnya salesman. Makanya semua yang berbau presentasi, Bos selalu menyuruhnya. Tapi cuma bertahan empat bulan. Alasan keluar sebenarnya sih sepele, bukan soal gaji yang di bawah UMR. Cuma stres aja karena kerjaannya cuma bikin studi kelayakan dan presentasi terus menerus, nggak kelar-kelar. Pernah sekali dia disuruh Bos bikin proposal untuk perencanaan pembangunan Carrefour di Solo. Sampe dia keluar pun, proyek itu nggak pernah ada realisasinya, ya cuma presentasi-presentasi sana-sini nggak ada juntrungannya. Karena boring dengan kerjaan model begitu, Dika pun meninggalkan Rumah Biru dan sukses menjadi wirausaha.

• ARIS, anak sipil UNS, asli orang Solo. Bertahan cuma tiga bulan. Setelah itu hijrah ke Ibukota menjadi pegawai salah satu bank pemerintah di sana. Alasan dia keluar karena nggak tahan perlakuan semena-mena di kantor Rumah Biru. Masak sarjana sipil kerjaan nyebokin anak. Yang bener aja. Lho kok bisa? Cerita begini, suatu saat keponakan Pak Achmad dari Jogja yang baru berumur 3 tahun datang ke Solo bersama ortunya. Singkat cerita, Bos sama sodaranya mo pergi sebentar cari makan. Kebetulan tuh anak baru molor. Sialnya pagi itu, di kantor yang nongol baru si Aris. Makanya si Bos menitipkan keponakannya sama di Aris. Nah, kira-kira setengah jam-an, saat kami semua sudah berada di kantor, si Bos dan sodara belum juga pulang. Tiba-tiba tuh anak menangis kenceng banget. Aris pun kaget. Dia pun tergopoh-gopoh segera turun. Karena heran kami pun mengikutinya.

“Waduh, cilaka, tuh anak pake acara bangun lagi.”

“Lho, emang tuh anak siapa, Ris?” tanyaku.

“Keponakannya bos dari Jogja. Tadi sebelum pergi, Bos titipkan padaku.”

“Wah, jadi babysitter lo sekarang. Tambahan bonus nih,” tambah Prast.

“Bonus kepala lo. Yang ada mah tambah mules ngurusin anak.”

“Ya udah sana, ditengokin. Kali aja tuh anak mo minta nenen, hahahaha,” Alung ikut-ikutan.

“Sialan lo pade.”

Aris pun segera menuju kamar sang anak. Setelah beberapa menit kami menunggu di luar, suara tangis anak itu menghilang. Tak lama kemudian Aris pun muncul dengan muka kusut.

“Lho, Ris. Kamu apain keponakannya Bos, kok udah nggak nagis lagi?” tanya Alung.

“Mukanya kamu tutupin bantal ya,” tambahku.

“Emangnya aku pembunuh anak kecil, gila lo.”

“Terus kenapa tadi nangis?”

“Rupanya tadi si keponakan Bos tuh eek di celana, makanya nangis. Terpaksa deh gue cebokin. Nasib, nasib.”

“HAH, lo nyebokin dia, yang bener Ris?”

Kami semua menahan tawa sampe sakit perut.

“Ye, malah pada ngeledekin ya. Awas kalian.”

Aris seketika mengejar kami sambil tangannya mengacungkan popok yang penuh dengan kotoran tuh anak ke arah kami. Karuan saja kami pun kabur menyelamatkan diri. Makan degan di Parangtritis. Kasihan kau, Ris.

Setelah angkatan si Alung dkk, muncullah pasukan rodi generasi berikutnya yang datang ke Rumah Biru untuk menjemput ajal, namun lagi-lagi mereka semua akhirnya dapat juga meloloskan diri dari benteng Radjiman 173. Kembali hanya diriku bersama Prast yang masih saja betah di Rumah Biru. Hiiiks 10x …

• FAHMI, lulusan arsitek UNS, juga adik angkatanku. Asli orang Kutoarjo. Bertahan selama hampir setahun. Alasan keluar dari Rumah Biru karena ingin mencari pekerjaan yang lebih layak daripada kerja rodi di sini.

• VINO, alumni arsitek UNS, adik angkatanku, asli orang Purwokerto kaya si Hadi. Bertahan cuma satu bulan. Alasan keluar karena diterima bekerja di sebuah konsultan interior di Semarang yang tentunya lebih prosfektif dengan gaji yang lebih besar daripada di Rumah Biru.

• MAS SIDIK, pegawai tertua yang pernah ada di Rumah Biru. Cuma bertahan sebulan. Selisih 3 angkatan di atasku. Anak akuntansi. Alasan keluar karena bingung dan tidak cocok sama sikap si Bos. Ceritanya, Mas Sidik diminta oleh Pak Achmad untuk membuat laporan cash flow perusahaan yang nantinya akan dipresentasikan dengan para komisaris. Tapi ketika ditanya data-datanya, si Bos tidak mau terbuka mengenai keuangan perusahaan. Takut dituntut kenaikan gaji sih.

“Kamu kerjakan saja seperti yang saya minta, data-datanya kamu rekayasa sendiri. Minggu depan harus sudah siap ya.” Begitulah perintah Bos.

Maka bingunglah Mas Sidik. Dan akhirnya daripada dia mengerjakan sesuatu yang tidak jelas, dia memilih untuk mengundurkan diri. Wah, ...salut deh sama kamu, Mas.

• ANDRI, pengganti Mas Sidik. Anak akuntansi UNS, asli dari Bekonang, Sukoharjo. Bertahan cukup lama, hampir tiga tahun. Sebabnya karena masih mengharap bonus yang dijanjikan Bos pas interview dengannya dulu. Karena tidak kunjung datang tuh bonus, akhirnya dia memutuskan untung hengkang, dan akhirnya sekarang bekerja di sebuah maskapai penerbangan nasional di Jakarta. Namun sampe saat ini si Andri masih sering SMS-an, tapi pada intinya dia tetap menanyakan apa bonus sudah keluar belum? Udah nggak di Rumah Biru masih juga mengharap bonus, kasihan deh lo, Andri.

• SIGI, anak ekonomi pembangunan, asli dari Gunung Kidul. Sering di sangka orang cina karena matanya yang kecil alias sipit. Kalo pas ketawa, anak-anak langsung pada ngumpet. Habis ketawanya sambil merem. Bertahan hampir setahun. Memutuskan hengkang karena diterima bekerja di sebuah bank pemerintah.

• ROMI, anak D3 sipil, asli orang Solo. Bertahan hanya dua bulan. Alasan keluar karena di Rumah Biru dia hanya menuruti perintah ortu saja ketika Bos meminta mereka supaya Romi bisa membantu di Rumah Biru. Kebetulan Bos dan ortunya Romi kenal sejak lama. Namun karena lama-lama tahu sifat Bos yang sedemikian rupa, maka Romi pun meminta ijin kepada ortunya untuk hengkang dan bekerja di tempat lain.

• DAMAR, anak sipil, orang Sukoharjo. Bertahan selama enam bulan. Alasan keluar karena nggak sanggup menyandang predikat OB di Rumah Biru. Habis wajahnya bagai pinang dibelah kapal tanker sama Sayuti di sikom OB yang tayang di salah satu stasiun TV swasta. Maka kami pun punya panggilan buat doi, Mas Say. Setelah keluar dari Rumah Biru, dia malah diterima sebagai PNS, gawatnya lagi di BPK ( Badan Pemeriksaaan Keuangan, red ). Nah, loh. Kalo sampe si Bos korupsi nih di proyek, bisa langsung diciduk ama Mas Say. Sekalian balas dendam sama kelakukan Bos pas dia kerja di Rumah Biru. Sikaaaat, Mas Say.

• BUDI, teman seangkatan dan sejurusan dengan si Sigi. Anak Klaten tulen. Seorang mantan aktivis semenjak kuliah di HMI. Vokal dan seorang kritikus sejati. Di kantor, selalu berdebat kusir dengan Bos kalo beda pendapat. Bisa sampe tiga hari tiga malam belom kelar-kelar. Namun semenjak peristiwa di Aceh, dia jadi pendiam. Ceritanya nanti ya di lain schedule. Dan akhirnya karena tidak tahan berlama-lama di Rumah Biru yang makin “mendekati kemungkaran”, istilah rohisnya versi Budi nih, maka dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengabdikan diri menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Solo.

Setelah mengalami bongkar pasang seperti telah kusebutkan di atas, saat ini Rumah Biru tinggal menyisakan hanya empat orang pegawai saja termasuk diriku dan Prast tentunya. Dua pegawai yang lainnya bernama Kurnia dan Purno.

• KURNIA, alumni arsitek UNS, asli orang Colomadu Sukoharjo. Masuk di Rumah Biru sebagai fresh graduated. Terbujuk rayuan Bos mengenai bonus yang gedhe, maka dia memutuskan untuk tetap bertahan di Rumah Biru. Tapi dia memiliki sebuah obsesi atau boleh dikatakan cita-cita dia sejak kecil, kalo dia lulus bisa menjadi seorang PNS sejati, maka bye-bye deh Rumah Biru. Hidup PNS!!!

• PURNO, alumni sipil UNS, teman seangkatan si Aris ... masih ingat kan? Yang nyebokin ponakan Bos dulu? Nah, setelah Aris cabut dia merekomendasikan si Purno untuk menggantikan tugasnya ... tapi bukan buat nyebokin lho. Si Purno nih asli dari Wonogiri. Orangnya sedikit gila kerja. Workaholic gitu. Semuanya dikerjakannya dengan giat tak kenal waktu. Makanya Pak Achmad sangat menyukainya, bahkan dia pun seolah sudah seperti sekretaris pribadinya si Bos. Mulai dari ngurusin schedule meeting, bikin surat, ngurusin tiket pesawat, bikin laporan pajak, jadi debt collector, semuanya Parno yang ngerjain. Asal nggak diajak check in aja ... sama-sama cowok gitu hiiiiiy.

Balada Rumah Biru, Schedule 08 - Lembur Sampe (ber) Malam

Matahari bersinar dengan teriknya siang itu. Aku dan Mardi sampe mandi keringat. Kipas angin di kantor sudah tidak mempan. Mardi pun berinisiatif membuka jendela. Bukannya angin segar yang masuk, malah debu jalan memenuhi ruang studio. Maklum pinggir jalan besar. Akhirnya jendela ditutupnya kembali.

“Busyet, panas banget. Is, kamu kegerahan, nggak?”

“Nggak kok, aku malah kedinginan. Yee, sudah tahu aku keringatan begini masih nanya.”

“Kamu usul aja sama si Bos, pasang AC kek. Hari gini konsultan perencana kantornya pake kipas angin, nggak jaman!”

“Kamu ini, Di. Udah tahu si Bos pelitnya ngalahin demit. Boro-boro AC, kipas manual pake tangan aja pasti nggak akan dibeliin.”

“Kalo begini caranya, bisa-bisa kita matang nih di dalam sini. Panasnya udah kaya microwave.”

“Coba tadi aku bawa biji jagung, bisa jadi popcorn di sini.”

Ketika kami berdua masih sibuk dengan omelan masing-masing, Pak Achmad pun muncul. “Lho, kalian berdua baru ngapain? Kok pada keringatan begitu. Siang bolong kok malah olahraga. Kaya orang gila aja. Kerjaan udah selesai belum?”

Kalo tidak kucegah, Mardi pasti udah melempar keyboard ke arah Pak Achmad saking kesalnya.

“Kerjaan yang mana maksud Bapak? Kan gambar denah serta perspketif yang Bapak minta sudah kita siapkan kemarin sore,” tanyaku.

“Maksud saya, kerjaan yang baru saya bawa ini.”

Mardi kembali geram. Anak itu memang agak temperamental. Apalagi cuaca sedang panas-panasnya.

Pak Achmad pun duduk di meja meeting. Kami berdua mengikutinya.

“Itu proyek apa lagi, Pak?” tanyaku mengawali pembicaraan.

“Ini ada proyek baru, cuma bikin bangunan rumah tinggal milik teman saya. Nilainya sih tidak seberapa cuma butuh cepat pengerjaannya.”

“Deadline-nya berapa hari, Pak?” tanya Mardi

“Besok siang! Jadi kalian harus lembur sampe malam. Sekalian saja kalian tidur di sini jaga kantor dan rumah. Soalnya saya ada urusan keluarga mendadak di Jogja malam ini. Pulangnya baru besok siang. Mbak Inah juga sore ini mau menengok anaknya di Wonogiri.”

What? Gubraaak!!!!
Lembur lagi, lembur lagi! Capek deh!

Singkat cerita, aku dan Mardi pun bermalam di kantor. Bos dan keluarganya sudah mengosongkan rumah sejak ba’da Maghrib. Begitu juga dengan Mbak Inah. Mbah Hamid pun sudah pulang ke rumah mungilnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tinggal kami berdua di rumah yang serem ini. Hiiiyyyy...

“Di, coba perhatiin. Kalo malem di sini serem juga ya.”

“Iya, Is. Maklumlah rumah kuno. Mana gedhe lagi.”

“Sekarang kita enaknya mo ngapain nih?”

“Lho. Kita kan ada kerjaan dari Bos. Gimana sih kamu, Is?”

“Males, Di. Mood ku ilang nih gara-gara liat suasana kantor yang serem kaya gini. Mana bisa tenang bikin rancangan desain kalo suasana di sini kaya di kompleks kuburan.”

“Iya juga sih. Jangan-jangan pas kita sedang asyik gambar, dari belakang ada yang nyolek, trus pas kita tengok, eh ... mukanya rata berdarah-darah! Hiiiiiiiy!”

“Makanya jangan sering-sering liat film nasional yang temanya kebanyakan horor nggak bermutu. Jadi parno kan pikiran lo? Ehm, .... mendingan gini aja, Di. Gimana kalo kita sekarang turun aja ke bawah. Kita ke ruang TV.”

“What? Udah gila kamu, Is. Di bawah kan lebih menyeramkan. Demit dan kawan-kawannya kan pada mangkal di sana. Banyak lukisan-lukisan kuno lagi di dindingnya.”

“Emang demit mangkal kaya tukang ojek? Ada-ada aja! Udah, nggak papa. Kita kan berdua. Nggak usah takut, Di. Nanti kita liat TV kabel punyanya si Bos aja. Acara kan bagus-bagus. Kalo nggak salah, dulu Bos pernah cerita kalo dia sering liat acara di Fashion TV. Isinya ya model-model cantik sedunia lenggak-lenggok di catwalk. Kalo enggak, stasiun tv yang nyiarin ada juga film-film box office, tanpa sensor pula. Lumayan kan buat ngillangin takut.”

“Itu sih maumu, Is. Dasar ngeres lo!”
“Tapi kamu juga mau kan?.”

“He-eh”

“Let’s go down, bro.”

Tak berselang lama, kami pun sudah duduk di depan TV mantengin Fashion Station dengan modelnya yang memperagakan busana perancang top dunia. Mata si Mardi terus melotot sampe nggak berkedip, ... kaya mo lepas aja tuh mata saking beloknya.

“Di, ngomong-ngomong laper nih. Ada makanan nggak ya di dapur?”

“Tau ah, kamu ini gangguin aja. Baru asyik nih. Coba aja cari di kulkas kek, di lemari makan kek. Siapa tahu Mbak Inah nyimpen makanan di sana.”

Kuturuti saran Mardi. Aku beranjak menuju dapur. Celingak-celinguk. Kaya maling mo nyuri jemuran aja. Akhirnya ketemu juga tuh kulkas. Segera kubuka pintu kulkas dua pintu itu. Ketengok isi di dalamnya. Di atas rak-rak tersebar makanan-makanan ringan. Lumayan juga nih buat ganjal perut. Kuambil beberapa bungkus, sekalian untuk si Mardi. Aku pun kembali menuju ke ruang TV. Mardi masih asyik dengan Fashion TV-nya ketika aku menghampirinya.

“Nih, ada snack di kulkas. Lumayan buat ngemil sambil nonton TV.”

“Wah, enak tuh keliatannya.”
Tanpa komando, langsung diambilnya beberapa bungkus makanan ringan kemudian dibukanya satu –persatu. Beberapa snack pun dilahapnya dengan rakus.

Ketika aku hendak membuka satu bungkus snack, tanpa sengaja kulihat keterangan expired date di bagian belakang. Disitu tertulis JAN 01. Lho, padahal sekarang kan udah bulan Maret. Busyeet, makanan basi nih!
“Di, awas makanannya kadaluwarsa.”

“What?”
Mardi segera melihat kode kadaluwarsa di bungkus makanannya.
“Hueeek, punyaku juga kadaluwarsa. Is, kamu gimana sih? Masak makanan kaya gini dibawa?”

“Yee, mana kutahu. Kuambil semuanya dari kulkas.”

“Sialan nih si Bos. Masak makanan basi disimpan di kulkas sih.”

“Buat ngerjain kita kali, Di. Tahu kita mo nginep sini, eh ... makanan yang dikasih expired semua.”

“Bener-bener tega tuh orang.”

Akhirnya kami pun kembali menonton TV dengan perut keroncongan. Cuma minum air putih aja sepanjang malam. ..... beser donk! Hingga tak sadar, kami berdua sudah ketiduran di ruang TV, dikelilingi para demit dan genderuwo penunggu rumah yang melihat kami dengan rasa iba. Kasihan nih anak orang, ..... pada kelaparan sampe ketiduran gitu. Gak jadi deh gue isep darahnya. Takut expired juga....hehehe.

Keesokan harinya, kita kesiangan. Jam delapan pagi baru bisa bangun. Kami segera membereskan semua yang berantakan di ruang TV. Setelah bersih-bersih, kemudian sholat subuh ...... gila nih anak, jam delapan pagi sholat subuh, kami berdua kembali ke studio.

Deadline tinggal jam empat jam lagi. Kami berdua belum juga membuat rancangan desain yang diminta Pak Achmad sedikit pun. Sampe ketika Bos datang, kami berdua belum menyelesaikannya.

Dan Pak Achmad seperti biasa, langsung marah-marah, mengomel tak karuan.
“Kalian ini, ngapain aja semaleman, kok kerjaan belum kelar sampe siang ini. Kalian pasti nggak mengerjakan semalem, kan? Terus ngapain aja? Begadang? Mabuk-mabukan? Dugem? Main perempuan? AYO, JAWAB!!!”
Perempuan yang mana maksudnya? Perasaan di sini cuma ada si kunti, si suster ngesot, si hantu jeruk purut .. .itu mah semuanya selera lo, Bos.

“Sebenarnya semalem kita udah bikin, Bos. Cuma karena desainnya sudah EXPIREEEEEEEEED ( sengaja ngomongnya dikencengin ), so kita buang aja.”

HAH!!! Si Bos pun bengong.