Rabu, 28 Januari 2009

Kenangan Jaket Biru 02





Ada suatu tempat...
Dimana ku sering menunggu
Dimana ku sering termangu
Tentang semua yang harus kujalani
Tuk mengejar semua mimpi
Yang memang jadi tujuan hidupku
Selama ini....
Di tempat itu,
Semua keluh dan kesahku
Semua riang dan candaku
Berbaur menjadi satu
Bersama sobat-sobat terkasih
Hingga terjalin sebuah cerita
Cerita indah kisahku
Waktu dulu...

Bag3 - Pertemuan Pertama 02 ( Chap. Lagu untuk Viola )

Hari sudah mulai gelap. Kira-kira sudah hampir maghrib. Mungkin kurasa cukup perkenalanku hari ini. Aku pun memutuskan untuk segera pulang, takut nanti kemaleman dan nggak dapat angkutan umum. Maklum, aku ke sini siang tadi naik bus kota dan biasanya kalau mendekati saat maghrib, bus kota yang lewat sudah jarang. Yang lewat cuma taksi. Di sini tidak ada ojek selain di daerah Terminal Tirtonadi. Dan yang pasti kalau naik taksi untuk pulang ke kost, aku harus bayar sampai puluhan ribu.

Ketika aku hendak berganti seragam, kulihat seorang cewek tampak kebingungan di sebelah rak compact disk. Dia kelihatannya sebaya denganku. Wajahnya sangat cantik. Perawakannya tinggi dengan rambut hitam pendek lurus sebahu. Tubuhnya sangat ideal untuk ukuran model, dibalut dengan kaus biru dan celana jeans model sebetis. Karena toko dalam keadaaan ramai, semua karyawan toko sedang sibuk dengan pengunjung yang lain sehingga tidak ada yang menghiraukan cewek itu. Bahkan Mas Bram pun tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin baru di lantai atas atau ke ruang administrasi. Karena merasa kasihan, aku pun segera menghampirinya.
“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapanya dengan ramah.
“Sore juga, Mas. Maaf, saya mau tanya, apa album barunya Padi udah keluar?”
“Oh, sudah Mbak. Ada di rak sebelah sana. Mari saya antar.”
Aku pun segera mengantarnya menuju ke rak compact disk yang terletak bersebelahan dengan eskalator.
“Ini Mbak, album barunya Padi. Judulnya Tak Hanya Diam, kan?”
“Nah, ini yang kucari-cari. Makasih ya Mas.”
“Sama-sama. Kalau boleh tahu, Mbak suka sama Padi ya?”
“Sebenarnya aku nggak begitu ngefans banget sih sama Padi, tapi aku suka banget sama musik dan liriknya. Terutama liriknya itu lho. Kata-katanya begitu menyentuh dan sangat romantis. Pokoknya dalem banget maknanya.”
“Oh begitu ya. Kalau saya sangat ngefans berat sama Padi. Saya sangat menyukai lagu-lagunya Padi. Memang liriknya sangat puitis dan bermakna.”
”Wah, kok selera kita bisa sama ya?”
”Ya mungkin memang liriknya itu yang bisa membikin para penggemarnya suka.”
“Eh, ngomong-ngomong, saya belum pernah lihat Mas sebelumnya di sini. Biasanya saya sering dilayani sama Mas Didik atau si Devi. Mas baru ya?”
“Iya saya baru diterima kerja di sini. Sekarang aja masih trainee. Besok Senin baru masuk pertama kerja.”
“Wah, selamat ya. O ya, kenalin. Saya Viola. Saya pelanggan lama di sini. Sejak saya kecil, saya sering diajak oleh Ayah ke sini. ”
“Saya Ismail. Panggil aja Isma”
Kami pun mulai akrab. Viola ternyata orangnya sangat ramah dan enak kalau diajak ngobrol. Wawasannya cukup luas sehingga kami pun merasa cocok satu sama lain. Dia kuliah di Universitas Gadjah Mada Jogja, ambil Jurusan Psikologi. Dia seangkatan denganku. Kebetulan hari ini dia pulang ke Solo. Mumpung liburan akhir pekan katanya. Dia rutin pulang seminggu sekali naik kereta Prameks yang memang mempunyai trayek Solo-Jogja.

Obrolan kami pun terus berlanjut hingga tak sadar waktu sudah larut.
“Wah kelihatannya udah malem nih, Is. Aku harus pergi.”
“Sama, aku juga mau pulang, takut nggak kebagian bus kota.”
“Lho, emang kamu tinggal dimana, Is?”
“Aku kost di daerah dekat kampus. Tepatnya di Kentingan.”
Ngomong-ngomong aku merasa sering mengucapkan kalimat ini. Hari ini sudah tiga orang yang bertanya di mana aku tinggal. Pertama Eyang Lastri, kemudian Bu Ratna dan yang terakhir Viola.
“Wah, lumayan jauh juga ya dari sini. Eh, kalau kamu nggak keberatan, mau nggak kamu sekalian ikut denganku?”
“Emang kamu mau ke arah kampus juga?”
“Kebetulan hari ini aku ada jadwal ke dokter di daerah dekat kampus.”
“Ke dokter? Emang kamu sakit apa?”
“Ah, nggak ada apa-apa kok, cuma check up rutin aja.”
“Yakin kamu nggak papa?”
“Udah, jangan khawatir, I’m fine.”
“O ya, dalam perjalanan nanti ada masjid nggak? Aku mau sholat maghrib dulu. Takut nggak keburu.”
“Di dekat Hotel Novotel ada masjid kok. Kamu bisa sholat di sana. Entar tak tungguin.”
“Nggak papa kamu nungguin?”
“Nggak papa.”
“Kamu nggak sholat?”
“Aku lagi berhalangan. Tahu kan maksudku.”
“Kalau begitu, aku ganti baju dulu ya.”
“Aku juga mau ke Mbak Ivonne dulu. Ku tunggu di depan ya. Mobilku kuparkirkan di pinggir jalan.”
“OK, thanks.”

Tak berapa lama, kami pun meluncur dengan menggunakan mobil sedan warna biru metalik milik Viola menyusuri jalanan kota Solo dalam keremangan lampu jalan yang berpendar menuju ke arah kampus. Para pedagang kaki lima sudah mulai menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Kebanyakan mereka menjual aneka jenis makanan khas kota Solo. Memang kota Solo terkenal akan makanannya yang beraneka ragam terutama wedhangan hik yang menjadi tempat favoritku. Aku sering menghabiskan malam nongkrong bersama anak-anak “Mentari Buana” di tempat itu sambil minum wedhang jahe serta menyantap aneka jajanan yang tersedia di gerobak hik.

Setelah aku sholat Maghrib di masjid yang dimaksud Viola tadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesekali ku mencuri pandang memperhatikan Viola saat sedang menyetir. Dia terlihat sangat gembira. Senyumnya yang manis selalu terlukis di wajahnya yang cantik. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya dibalik keriangan dirinya. Dibalik keramahannya. Dibalik senyum manisnya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Sambil memutar compact disk yang baru dibelinya tadi sore, sepanjang perjalanan kami terus-terusan ngobrol.
“Eh, Is. Ngomong-ngomong kamu udah lapar belum? Kita makan dulu yuk!”
“Mau makan di mana?”
“Di daerah Gladag. Tepatnya di depan Patung Slamet Riyadi yang baru diresmikan bulan kemarin. Aku sering ke warung lesehan langgananku. Masakannya sangat enak. Ada ayam goreng, bebek goreng dan berbagai macam sea food. Harganya pun relatif lebih murah. Penjualnya juga ramah. Gimana, mau mencoba?”
“Boleh, tapi aku yang traktir ya.”
“Nggak usah repot-repot. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ngajakin.”
“Ah, aku nggak enak, Vi. Aku pulang kan udah numpang mobil kamu. Masak makan juga dibayarin.”
“Santai aja lagi, Is.”
“Aku tetap merasa nggak enak. Biar aku yang bayarin ya. Mau kan kamu kutraktir?”
“Kalau kamu memaksa, apa boleh buat.”
Mobil Viola pun terus meluncur membelah malam. Jalan sudah mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum, malam minggu. Banyak anak muda yang ingin menghabiskan malam bersama dengan pasangannya masing-masing.

Kami pun telah sampai di tempat yang dimaksud Viola tadi. Viola segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di depan sebuah warung tenda berwarna orange yang berdiri di sepanjang trotoar. Cahaya remang -remang dari lampu minyak menambah suasana warung tersebut menjadi lebih hangat. Terlihat sudah banyak pengunjung yang duduk lesehan di sepanjang trotoar menunggu pesanan sambil melihat panorama kawasan Gladhag yang eksostis di malam hari. Tampak patung Slamet Riyadi berdiri dengan gagahnya, menutupi pesona gapura Gladhag yang telah dilupakan kenangannya. Sebenarnya patung itu kurang cocok di tempatkan di sini karena daerah ini merupakan kawasan konservasi. Banyak bangunan bersejarah berdiri di kawasan Gladhag yang merupakan jantung kota Solo. Disini terdapat bangunan Kantor Pos Pusat, Bank Indonesia, serta Beteng Vastenberg yang semuanya merupakan peninggalan dari jaman kolonial. Dikarenakan kebijakan Pemerintah Kota setempat yang kurang bijaksana, maka kawasan ini telah “tercemar” dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang secara kontekstual sangat kontras dengan bangunan-bangunan bersejarah yang ada seperti Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Belum lagi keberadaan Beteng Vastenberg yang kondisinya sangat memprihatinkan karena tidak terurus.

Ketika kami hendak memasuki warung tersebut, tiba-tiba dari arah belakangku suara seorang anak perempuan menyapaku.
“Halo, Om Isma. Ketemu lagi.”
Suaranya terasa tidak asing bagiku. Spontan kupalingkan wajahku.
“Hah, Putri. Sedang apa kau di sini?” tanyaku sambil seketika kegendong Putri.
“Putri bantuin Eyang jualan disini.”
“Eyang jualan di sini?”
Putri menggangguk.
“Lho, Is. Kamu kenal dengan Putri?”
“Iya. Tadi aku ketemu Putri sama Eyangnya di bus kota sewaktu aku berangkat ke StarMusikindo untuk wawancara.”
“Wah, kebetulan sekali. Aku udah kenal mereka lama. Ibunya Putri adalah adik kelas Ibuku dulu sewaktu SMU.”
“Halo, Kak Viola. Lho kok bisa bareng dengan Om Isma?”
“Sekarang jangan panggil Om donk. Sekarang panggilnya Kak Isma, ya. Biar sama dengan Kak Viola.”
“Ya, … Om Is, eh .. Kak Isma. Eh, … Kakak pacarnya Kak Viola ya?”
Aku dan Viola terkejut dengan pertanyaan Putri yang masih polos itu. Kulihat Viola menjadi salah tingkah. Aku pun juga merasakan perasaan yang mendesir secara tiba-tiba. Setelah dapat menguasai perasaanku, aku menjawab pertanyaan Putri tadi.
“Nggak, Putri. Kakak sama Kak Viola cuma teman. Kamu ini masih kecil udah tahu pacaran. Nggak boleh ya?”
“Baik, Kak. O ya, yuk masuk dulu. Eyang Putri ada di dalam. Eyang pasti seneng deh ketemu Kak Isma lagi. ”

Aku dan Viola segera masuk ke warung tenda. Terlihat Eyang Lastri sibuk melayani pelanggannya yang hendak membayar. Eyang Lastri sibuk mencarikan kembalian. Viola segera berjalan didepanku ketika hendak menyapa Eyang Lastri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam, eh Neng Viola. Apa kabar?”
“Baik-baik, Eyang.”
“Sendirian ke sini?”
“Nggak. Sama teman, Eyang. Nih orangnya.”
Aku pun segera menyapa Eyang Lastri sambil masih menggendong Putri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam. Lho, Nak Isma?”
“Atas kehendak Allah, kita dipertemukan lagi, Eyang.”
“Kok bisa bareng dengan Neng Viola?”
“Kebetulan tadi Viola ke toko tempat saya kerja, Eyang. Pulangnya saya numpang mobil Viola karena kami searah. Di tengah jalan kami ingin makam malam dulu. Terus Viola ngajak saya ke sini. Eh … ternyata ini warungnya Eyang.”
“Bagaimana lamaran kerjanya, Nak Isma? Nak Mas dierima kerja di sana?”
“Alhamdulillah, berkat doa Eyang, saya diterima.”
“Wah, selamat ya Nak Isma. Ya sudah, kalian berdua mau makan apa? Biar Eyang buatkan yang spesial. Anggap saja ini sebagai ucapan syukur atas diterimanya Nak Isma kerja. Dan kali ini nggak usah bayar.”
“Lho, kok nggak usah bayar, Eyang?”
“Nggak apa-apa. Ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih Eyang atas pertolongan Nak Mas tadi siang.”
“Saya ikhlas kok, Eyang. Eyang nggak perlu repot-repot.”
“Eyang juga ikhlas, Nak Isma. Jadi mohon Nak Isma tidak menolak, seperti Eyang tadi siang juga tidak menolak atas pertolongan Nak Isma.”
“Kalau begitu makasih, Eyang.”
“Wah, saya kecipratan berkah nih.”
“Iya, Neng Viola. Kalau berteman dengan orang baik, Insya Allah akan terkena berkahnya juga. Nak Isma ini anak yang baik .”
“Ah, Eyang. Jangan memuji saya terus. Saya jadi malu.”
“Kalau boleh tahu, emangnya tadi Isma menolong Eyang apa?”
“Nak Isma tadi menolong Eyang dengan ikhlas memberikan tempat duduknya kepada Eyang sewaktu Eyang bergelantungan dengan Putri di bus kota. Padahal semua orang di dalam bus itu tidak ada yang menghiraukan Eyang. Nak Isma juga membawakan belanjaan Eyang yang lumayan berat karena Eyang habis kulakan di Pasar Gedhe.”
“Wah, aku jadi salut sama kamu, Is. Kamu ternyata orangnya baik banget.”
“Sudah, Vi. Nggak usah dibesar-besarkan. Yuk, kita cari tempat duduk.”
“Kalian mau makan apa? Terus minumannya apa?”
“Saya ayam goreng saja, Eyang. Minumnya teh manis. Kamu, Vi?”
“Saya juga ayam goreng, Eyang. Minumnya seperti biasa. Wedhang Jeruk.”
“Baik, nanti biar karyawan Eyang yang antar. Kalian pilih sendiri tempat duduknya. Jangan sungkan-sungkan di warungnya Eyang.”
“Makasih, Eyang. Kalau Putri mau makan apa?” tanyaku sambil kuturunkan Putri dari gendongan.
“Putri udah kenyang, Kak. Tadi udah makan udang goreng disuapin Eyang.”
“Lho, udah gedhe kok masih disuapin. Lain kali Putri makan sendiri ya. Udah diajarin makan yang benar di sekolah kan?”
“Udah, Kak Isma. Nanti lain kali Putri akan makan sendiri.”
“Anak pintar.”

Aku dan Viola segera mencari tempat duduk. Kami duduk lesehan di trotoar yang masih kosong. Trotoar itu diberi alas tikar dan dilengkapi sebuah meja kecil berkaki pendek tempat menaruh makanan. Terdapat sebuah lampu dengan kap terbuat dari rotan menggantung tepat di atas meja. Kami duduk bersandar pada tembok pagar bangunan yang terletak di belakang warung.Kami duduk menghadap jalan Slamet Riyadi tampak ramai dengan arus kendaraan baik mobil maupun sepeda motor. Bila malam Minggu, kawasan Gladhag sangatlah ramai. Karena selain sebagai jantung kota Solo, di kawasan ini juga ada sebuah pusat wisata kuliner yang terbentang sepanjang jalan yang berada di sebelah timur Gapura Gladhag, namanya Galabo, kepanjangannya Gladhag Langen Bogan. Hampir semua makanan khas Solo dijajakan di sana. Ada nasi liwet ( mirip dengan nasi uduk Betawi ), nasi gudheg ( daging buah nangka yang belum matang yang dimasak manis ), sambal goreng ceker (kaki ayam), tengkleng (gulai tulang kambing), hingga sate kere/gembus (ampas tahu), inthip ( kerak nasi ), srabi (kue dari tepung beras) dan kripik paru terdapat di sana. Para pendatang dari luar kota Solo pasti menyempatkan untuk singgah di sana sambail menikmati suasana malam kota Solo yang menawan. Belum lagi diringi lantunan tembang kenangan atau musik keroncong menambah suasana menjadi eksotis.
Warung Eyang Lastri tidak terdapat di kawasan Galabo. Warung Eyang terletak berseberang dengan Galabo atau di sebelah barat gapura Gladhag. Karena warung Eyang sudah berdiri lama sebelum Galabo ada. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Seorang pelayan menata pesanan kami di atas meja dan setelah selesai dia mempersilahkan kami untuk menyantap makanan yang telah tersaji. Kami menyantap makanan sambil mengobrol. Obrolan kami berkisar tentang kuliah dan kegiatan-kegiatan kami. Nggak ada perbicaraan yang spesial. Kami cuma sedang mengakrabkan diri dan mencoba lebih mengenal diri kami masing-masing.
Hampir satu jam kami mampir di warung Eyang Lastri. Dan karena dirasakan hari sudah semakin malam kami pun berpamitan ke pada Eyang Lastri.
“Eyang, kami pamit dulu. Terima kasih atas ayam gorengnya.”
“Iya, Eyang. Masakan Eyang benar-benar enak seperti yang dibilang Viola.”
“Kalian jangan kapok ya kemari. Sekali-kali kunjungi Eyang disini.”
“Insya Allah, Eyang. Kalau ada waktu, kami sempatkan kemari. Kami pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Permisi, Eyang. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
“Baik, Eyang. Dah, Putri. Kak Isma dan Kak Viola pulang dulu ya.”
“Dah, Kak. Nanti main lagi kemari ya.”

Kami pun meninggalkan Eyang Lastri dan Putri menuju ke tempat parkir mobil. Setelah memasuki mobil, Viola kembali menghidupkan audio player di mobilnya. Alunan musik yang terdengar dari perangkat audio di mobil Viola menghangatkan suasana. Mengiringi perjalanan kami dalam membelah dinginnya malam menuju ke daerah kampus. Setelah kami terlarut dalam lantunan syair-syair serta nada-nada yang menghanyutkan jiwa, tanpa terasa kami telah sampai ke tempat kostku.
“Nah, disini tempat tinggalku. Nggak terasa ya udah sampai.”
“O, ini ya kost-kostan kamu, Is? Enak juga tempatnya. Halamannya cukup luas dan rindang.”
“Yuk, mampir dulu.” Aku pun turun dari mobilnya.
“Lain kali aja, Is. Udah telat nih ke dokternya. Nanti ditungguin. Lagian ini udah malam. Aku nggak enak sama dokternya soalnya beliau teman lama Ayahku dan sudah lama menjadi dokter langganan keluargaku. Namanya Dokter Lukman. Beliau sudah kuanggap seperti Pamanku sendiri.”
“Tapi janji ya lain kali mampir ke sini.”
“OK, aku janji. Nanti kuhubungi kalau aku mau mampir. Udah dulu ya.”
“Makasih, Vi. Atas tumpangannya.”
“You’re welcome. Nice to meet you, Isma. Daah.”
Mobil Viola pun meluncur meninggalkan aku dalam kegelapan malam yang dingin…..
Bersambung...

Bag3 - Pertemuan Pertama 01 ( Chap. Lagu untuk Viola )

Sungguh panas sekali siang ini. Bulan ini memang musim kemarau sedang panas-panasnya. Matahari bersinar sangat terik dan menyilaukan. Apalagi saat ini, aku berada di tengah-tengah penumpang yang berdiri bergelantungan di sebuah bus kota. Bau keringat yang membasahi baju mereka berbaur menjadi satu menusuk hidungku. Kucuran keringat mengalir deras di dahiku. Rasa haus mulai menerpaku. Bus kota ini memang penuh sesak dengan penumpang. Tidak ada tempat duduk yang tersisa untukku. Semua kursi telah penuh terisi. Kalau tidak mengingat siang ini aku ada janji untuk interview di StarMusikindo jam satu, mungkin aku sudah enak-enakan tiduran dengan diiringi lantunan lagu dan semilirnya angin yang berhembus masuk melalui jendela kamarku. Semoga pengorbananku siang ini tidak sia- sia. Semoga aku bisa diterima bekerja di sana. Aku memang sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk menambah uang saku karena kebutuhan kuliahku yang mulai memakan banyak biaya. Sedangkan kiriman dari ortu per bulan kurasa tidak mencukupi. Belum lagi sekarang aku sudah membentuk sebuah band yang baru. Tentu dengan adanya band ini pasti butuh biaya yang ekstra. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak akan kulewatkan.

Ketika bus kota hampir sampai di daerah Pasar Gedhe, sebuah bangunan pasar yang merupakan bangunan peninggalan jaman penjajahan kolonial dulu, seorang pria separuh baya yang duduk di sampingku sepertinya hendak bersiap untuk turun.
Tak lama kemudian kondektur pun berteriak, “ Pasar Gedhe, Pasar Gedhe!”
Pria itu segera berdiri dan maju mendekati pintu keluar.
Melihat kursi disampingku kosong, aku pun segera beranjak untuk duduk.
Bersamaan dengan turunnya pria tadi, seorang nenek dengan menggandeng cucu perempuannya naik ke dalam bus. Nenek tersebut tampak celingukan mencari tempat duduk yang kosong.
Keperhatikan semua penumpang yang duduk tampak tidak menghiraukan sang nenek. Bahkan mungkin ada yang sengaja tidak memperhatikan. Aku pun jadi merasa jengkel melihat ulah para penumpang tersebut. Mungkin sudah hilang rasa empati mereka terhadap sesamanya. Dan aku pun hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan ulah mereka.

Kulihat nenek tersebut membawa tas belanjaan yang lumayan besar. Mungkin beliau habis berbelanja membeli barang-barang kebutuhan pokok di Pasar Gedhe. Beliau tampaknya agak kerepotan juga. Selain membawa belanjaannya, nenek tersebut juga menggandeng cucunya. Sehingga ketika bus mulai berjalan, nenek itu agak terhuyung berdirinya.
Ketika kondektur menyuruh nenek tersebut agar berdiri lebih ke tengah, nenek tersebut berjalan mendekatiku. Seketika itu aku berdiri. Aku segera memanggil nenek tersebut.
“ Nek, silahkan duduk di kursi saya saja. Mari belanjaannya saya bawakan.”
Tanganku pun segera meraih tas belanjaan nenek itu. Memang berat juga belanjaannya. Mungkin hampir sekitar sepuluh kilo.
“Matur nuwun, Nak Mas.”
“Sama-sama, Nek.”
Nenek itu pun segera duduk ditempatku tadi. Cucu perempuannya dia posisikan duduk di pangkuannya. Sedangkan tas belanjaannya kutaruh di bawah tempat duduk.
“Nak Mas baik sekali mau menolong kami,” kata nenek itu tiba-tiba.
“Itu sudah kewajiban saya, Nek.”
“Nama Nak Mas siapa?”
“Nama saya Isma, Nek.”
“O, Nak Isma. Nak Isma bisa panggil saya Eyang Lastri. Kenalkan ini cucu Eyang. Namanya Putri. Ayo, salaman sama Om Isma.”
Cucu perempuannya pun segera menjulurkan tangannya.
Aku pun segera meraih tangan yang mungil itu.
“Halo, Put. Putri udah sekolah belum?”
“Udah, Om. Tapi masih di playgroup.”
“Udah bisa nyanyi, donk?”
“Iya, Om. Putri udah bisa nyanyi Balonku, Burung Kakak Tua dan Pelangi.”
“Wah, anak pintar.”
“Nak Isma mau kemana?” tanya Eyang Lastri.
“Saya mau melamar kerja, Eyang.”
“Melamar kerja di mana?”
“Alamatnya di Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya depan Solo Grand Mall , Eyang. Saya mau melamar kerja sebagai karyawan toko musik.”
“Sekarang Nak Isma kerja di mana?”
“Saya masih kuliah di UNS, Eyang. Saya kerja buat mencari tambahan uang saku.”
“Nak Isma tinggal di mana?”
“Asli saya dari Wonosobo, Eyang. Saya di sini kost di daerah Kentingan.”
“Wah, saya kagum dengan Nak Isma. Nak Mas mau bekerja untuk mencari uang, padahal Nak Mas sendiri masih kuliah. Nak Mas memang anak yang baik, mau meringankan beban orang tua.”
“Eyang jangan terlalu memuji saya.”
“Kalau sempat, Nak Isma bisa mampir ke rumah Eyang?”
“Eyang tinggal dimana?”
“Eyang tinggal di daerah Mangkuyudan. Eyang di sana tinggal dengan Putri dan dua orang pembantu. Anak Eyang cuma seorang, ya Ibunya si Putri ini. Namanya Larasati. Tapi dia sudah tinggal di Jakarta bersama suaminya. Sengaja Putri dititipkan sama Eyang dan sekolah di sini. Memang itu permintaan Eyang sendiri supaya Eyang tidak kesepian. Suami Eyang sudah lama meninggal dunia. Jadi sehari-hari, Putri ini lah yang selalu menemani dan menghibur Eyang. Kalau Nak Isma sudi berkunjung ke rumah Eyang, tentu Eyang akan sangat senang.”
“Terima kasih atas tawarannya, Eyang. Insya Allah kalau ada waktu, saya akan bersilahturahmi ke rumah Eyang.”
“Nanti kalau mau ke rumah, Nak Isma bisa telepon dulu. Ini nomer teleponnya. Nak Mas bisa mencatatnya.”
Segera kumasukkan nomer yang diberikan Eyang Lastri ke dalam memory card di handphoneku.

Karena aku terhanyut dalam obrolan dengan Eyang Lastri, tanpa terasa bus kota yang kutumpangi sampai di perempatan Gendengan di sebelah barat Solo Grand Mall. Kondektur pun kembali berteriak,” SGM, SGM!”
Aku pun segera berpamitan dengan Eyang Lastri.
“Eyang, saya turun disini dulu. Mohon doa restunya supaya saya bisa diterima. Dah, Putri. Om turun dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, semoga diterima yang Nak Mas. Dan jangan lupa ya Nak Isma mampir ke rumah.”
“Insya Allah, Eyang.”
Aku pun segera bergegas turun.
Kusempatkan diriku untuk melambaikan tangan ke arah Eyang Lastri dan Putri. Mereka pun membalas dengan lambaian tangan yang tulus dan senyum yang mengembang.
Bus kota tersebut kemudian berlalu dari hadapanku. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke arah StarMusikindo.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku berdiri di depan sebuah bangunan yang megah dengan gaya arsitektur minimalis modern. StarMusikindo merupakan toko musik terbesar dan teramai di kota Solo. Letaknya juga di pinggiran jalan protokol sehingga lokasinya sangat strategis. Tiap hari toko ini selalu ramai oleh pengunjung seperti yang sedang kulihat sekarang. Aku pun segera memasuki pintu utamanya yang bergaya hi-tech . Aku segera menuju ke customer service. Terlihat seorang cewek dengan wajah yang lumayan cantik, dengan rambut hitam yang panjang tergerai rapi dan mengenakan seragam sedang sibuk mengangkat telepon. Melihatku berjalan ke arahnya, cewek customer service itu segera meletakkan kembali teleponnya dan menyambutku dengan senyumnya yang ramah.
“Selamat siang, Mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan manajer di sini. Tadi saya udah janjian dengan beliau. Siang ini saya mau ada interview.”
“O, jadi Mas yang sudah masukin lowongan kerja kemarin? Langsung aja naik ke lantai atas, Mas. Bu Ratna sudah menunggu.”
“Maaf, siapa Bu Ratna?”
“Oh, maaf. Saya lupa kalau Mas belum tahu. Bu Ratna adalah manajer di StarMusikindo sini.”
“Begitu ya.”
“Silahkan. Mas langsung naik aja. Tangganya ada di sebelah sana.” Kata cewek customer service sambil menunjuk ke arah tangga yang terletak agak di belakang toko.
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun segera berlalu meninggalkannya menuju tangga yang dimaksud oleh cewek tadi. Toko ini memang sangat besar. Mungkin luasnya sekitar empat ratusan meter persegi. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai atas memiliki sebuah void yang cukup luas yang dilengkapi dengan dua buah eskalator untuk akses naik turun. Sedangkan tangga yang kunaiki ternyata hanya dikhususkan untuk para karyawan toko saja karena langsung menuju ke ruangan administrasi dari toko musik ini.
Sesampainya aku di lantai atas, aku segera menuju ke ruangan manajer yang papan namanya cukup terlihat jelas dari sini sehingga aku tidak perlu lagi bertanya untuk mencari-cari. Segera kuketuk pintu yang bertuliskan “MANAGER” sebanyak dua kali dan tak lama kemudian terdengar suara dari balik pintu yang berlapis panil kayu tersebut.
“Masuk. Nggak dikunci kok.”
Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Bu.”
“Selamat siang.” Terlihat seorang wanita separuh baya mengenakan setelan blazer warna merah marun sedang duduk di sebuah kursi besar dengan meja kerja yang terlihat rapi, menyambut diriku.
“Mari, silahkan duduk.”
Aku pun mengikuti perintahnya, duduk di depan meja kerjanya dan segera menyapa beliau.
“Kenalkan, saya Ismail,“ sapaku sambil menyodorkan tangan. Beliau pun membalasnya dengan ramah.
“Saya Ratna, manajer di sini. Panggil saja Bu Ratna. Saudara yang mau kerja di sini?”
“Betul, Bu. Saya yang mengajukan lamaran kerja di sini. Kata karyawan Ibu di telepon pagi tadi, hari ini akan ada interview.”
“Betul. Saya sendiri yang akan mewancarai Saudara. Saudara tinggal di mana?”
“Saya di Solo masih kuliah, Bu. Saya di sini kost di daerah dekat kampus UNS. Tepatnya di Kentingan. Asli saya dari Wonosobo.”
“O, begitu.”
Kulihat Bu Ratna sedang membaca curriculum vitae yang kumasukkan bersama surat lamaran kerjaku kemarin.
“Bagaimana, bisa kita mulai ? Saudara nggak usah tegang, rileks aja.”
“Baik, Bu. Insya Allah, saya siap.”

Hampir dua jam lamanya acara interview tersebut berlangsung. Bu Ratna ternyata orangnya sangat ramah. Beliau sering mengajakku bercanda di sela-sela interview sehingga hal itu agak mengurangi sedikit ketegangan yang menyelimuti diriku. Dan aku pun jadi lebih rileks dalam menjawab semua pertanyaaan yang diajukan oleh Bu Ratna kepadaku. Bu Ratna tampak manggut-manggut, mendengarkan semua jawaban yang kusampaikan kepadanya.
Waktu menunjukkan jam setengah tiga. Interview pun selesai.
“Bagaimana? Saudara cocok dengan tawaran yang tadi saya ajukan?” Bu Ratna berkata kepadaku sambil merapikan meja kerjanya.
“Saya bersedia, Bu.”
“OK, kalau begitu Saudara bisa mulai kerja besok hari Senin sebagai karyawan toko. Nanti seragamnya bisa diambil di customer service. Seperti yang telah kita sepakati. Waktu kerja Saudara setengah hari kerja mengingat Saudara masih kuliah. Hari Senin sampai Jum’at, Saudara dapat giliran masuk sore dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam dan untuk hari Sabtu Minggu, Saudara masuk pagi dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Ada yang keberatan?”
“Ada satu hal, Bu.”
“Apa itu?”
“Ibu boleh panggil saya cukup dengan Isma saja.”
“Baik, akan Ibu turuti. Sejujurnya Ibu sangat menyukai kepribadianmu, Isma. Semoga nanti kamu bisa menjadi karyawan yang baik di sini.”
“Insya Allah, Bu.”
“O ya, Is. Hari ini kamu ada acara nggak?”
“Kelihatannya nggak ada. Memang ada apa, Bu?”
“Ah, nggak ada apa-apa. Cuma Ibu ingin siang ini kamu bisa mulai mengenal toko ini lebih dekat supaya pas hari pertama kerja kamu nanti nggak kaku.”
“Wah, dengan senang hati, Bu.”
“Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu boleh pergi. Jangan lupa sekalian ambil seragamnya ya sama Mbak Shinta di customer service.”
“Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
“Monggo. Wa’alaikum salam.”

Setelah keluar dari ruangan Bu Ratna, aku lewati ruang administrasi kembali lalu kuturuni tangga menuju ke lantai dasar. Aku segera bergegas menuju ke customer service untuk mengambil seragamku. Ternyata cewek tadi itu namanya Mbak Shinta. Setelah melihatku, Mbak Shinta menyapa dengan ramah. Senyum yang manis terhampar di wajahnya yang cantik.
“Gimana, diterima nggak?”
“Alhamdulillah, Mbak. Saya diterima kerja di sini.”
“Syukurlah, saya ikut senang. O ya, kenalkan. Saya Shinta.”
“Saya Ismail. Mbak bisa panggil dengan Isma aja.”
“Terus kapan donk kamu bisa mulai kerja?”
“Sebenarnya sih baru besok hari Senin, tapi kata Bu Ratna, sore ini aku disuruh mengenal toko ini terlebih dahulu, mungkin semacam trainee kali ya, Mbak?”
“Memang disini biasanya kalau ada karyawan baru disuruh trainee dulu. Biar nggak kaku. O ya, kamu mau ambil seragam, kan? Sebentar kuambilkan.”
Mbak Shinta pun mengambil seragam yang sudah disiapkannya di rak meja dan segera menyerahkannya padaku.
”Tuh, ruang gantinya di sana.”
“Makasih, Mbak. Saya tinggal dulu ya.”
Sekarang aku telah mengganti pakaianku dengan seragam karyawan StarMusikindo yang berwarna kuning menyala dengan strip biru dilengannya, aku segera berjalan mengelilingi toko, mengitari rak-rak display tempat kaset dan compact disc diatur sedemikian rupa. Di toko ini juga menjual berbagai alat musik. Bahkan buku-buku tentang musik pun ada di sini. Kulihat beberapa karyawan toko yang tersebar di seluruh sudut ruangan terlihat sibuk melayani para pengunjung. Kira-kira jumlahnya ada enam orang. Semuanya memakai seragam sepertiku. Ketika aku sibuk mengamati, tiba-tiba ada dua orang cowok karyawan toko menghampiriku. Yang satu bertubuh tinggi besar berkepala gundul sedangkan yang satunya lagi berbadan gendut dengan rambut ikal. Karena merasa sebagai karyawan baru, aku pun menyapa mereka terlebih dahulu.
“Assalamu’ alaikum, Mas. Salam kenal. Saya Isma, karyawan baru di sini.”
“Wa’alaikum salam. Kelihatannya Bu Ratna udah terima karyawan lagi ya buat membantu kita di sini.” Balas karyawan toko yang bertubuh gendut. “Salam kenal juga, namaku Didik.”
“Kalau aku dipanggil Bram.” Yang bertubuh tinggi besar ikutan berkenalan.
“Jadi bisa kupanggil Mas Bram ama Mas Didik ya?”
“Boleh.”

Dalam hitungan menit, kami bertiga pun jadi akrab satu sama lain. Rasanya aku seperti mengenal mereka sebagai sahabat lama. Mereka berdua memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mas Bram orangnya agak kalem. Nggak banyak omong. Cocok banget kalau jadi security. Beda banget sama Mas Didik yang ngocol abis. Orangnya selalu ceria. Kalau ngobrol selalu di selingi dengan humor-humor segar sehingga suasananya menjadi menyenangkan. Oleh Mas Bram dan Mas Didik, aku dikenalkan dengan karyawan yang lain. Tanpa waktu yang lama, aku sudah mengenal semua karyawan di sini. Selain ada Mbak Shinta, Mas Didik dan Mas Bram, aku sudah berkenalan dengan Mbak Ivonne penjaga kasir, serta karyawan toko yang lain seperti Mas Seno, Rio, Devi dan Nisa. Ketiga karyawan terakhir ini sebaya denganku. Mereka semuanya sangat ramah padaku dan kelihatannya aku akan kerasan kerja di sini. Tanpa sengaja, aku melihat Bu Ratna sedang memperhatikanku dari balik jendela ruang kerjanya yang langsung menghadap ke arah toko. Aku segera tersenyum kepadanya dan beliau pun membalasnya. Merasa agak risih, aku pun kembali melanjutkan pekerjaaanku. Sore ini memang toko sangat ramai. Mungkin karena pas malam Minggu, kulihat pengunjung toko kebanyakan para anak ABG atau orang kuliahan sepertiku.

Kenangan Jaket Biru 01







Ada yang tampan...
Ada yang cantik...
Ada yang tinggi...
Ada yang pendek...
Ada yang hitam...
Ada yang putih...
Ada yang gemuk...
Ada yang kurus...
Ada yang pemarah...
Ada yang penyabar...
Ada yang tertawa...
Ada yang bersedih...
Semuanya menjadi satu...
Dalam naungan kampus yang kurindu

KENANGAN DI JOGJA




Banyak mulut cerita tentangmu
Banyak mata kagumi elokmu
Sejuta pesonamu decakkan mereka
Bagai untaian permata tak ternilai
Budaya negeri bertebaran memikat
Tergerai semerbak penuhi ku berpijak
Harum mewangi laksana melati
Tak pernah terganti.....
Tak bisa terbeli.....
Betapa indah dirimu
Sungguh epik semua kisahmu
Terhampar dari puncak nan abadi
Terbentang hingga ke pantai misteri
Ingin lagi kusinggahimu
Nikmati lagi semua keramahanmu
Biar tertanam sampai ke khayalan