Kamis, 29 Januari 2009

Bag4 - Perjumpaan Kembali 02 ( Chap. Lagu untuk Viola )

Hari kelihatannya mulai mendung. Awan gelap tampak menyelimuti kota Solo di siang ini. Mungkin sebentar lagi hujan pun akan segera turun. Aku tidak tahu kemana Viola akan membawaku pergi. Kalau kutanya pasti dia menjawab ”Ada aja!” sambil memperlihatkan senyumannya yang manis. Aku pun hanya bisa pasrah mengikuti kehendaknya. Seperti biasa, sepanjang perjalanan kami saling ngobrol dengan alunan lagu dari perangkat audio mobilnya yang selalu menyertai kami berdua.
”Is, kamu lapar lagi nggak?”
”Ya belum, tadi aku kan barusan makan banyak di rumahmu.”
”Kalau gitu temenin aku makan ya.”
”Mau makan dimana?”
”Aku pengin makan pizza nih.”
”Ya udah, aku minum aja.”

Viola pun mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah restoran pizza yang cukup terkenal di kota Solo. Restoran itu tampak sepi, mungkin karena sudah melewati jam makan siang. Setelah mobil Viola parkir di depan bangunan restoran, kami berdua turun dari mobil dan segera masuk ke dalam restoran, menuju ke arah meja yang terletak di barisan paling pinggir. Kami berdua duduk di kursi berbentuk sofa, dan tak lama kemudian seorang cewek pelayan restoran datang menghampiri kami.
”Selamat siang Mas, Mbak. Mau pesan apa?”
Viola pun segera memesan pizza kesukaannya.
”Saya pesan pizza isi daging dicampur sama keju ukuran sedang, minumnya orange juice aja. Kamu minum apa, Is?”
”Aku minum milkshake aja.”
”Jadi pesannya pizza ukuran sedang satu, orange juice satu, milkshake satu.” Pelayan restoran itu mengulangi pesanan kami. ”Mau tambah yang lain?”
”Sudah, itu saja, Mbak.”
”Baik, mohon ditunggu sebentar."
Pelayan restoran itu pun segera berlalu dari hadapan kami.
”Kamu sering makan di sini, Vi?”
”Lumayan sering juga. Habis aku sangat suka sama pizza.”
”Nggak takut gemuk?”
”Biarin, yang penting aku kan tetap cantik.” Jawab Viola centil.
”Memang, Vi. Kamu tetap cantik.” Tanpa kusadari aku berani mengatakan hal itu kepada seorang cewek yang ada di depanku sekarang ini. Akibatnya wajah Viola tampak tersipu-sipu. Aku pun jadi salah tingkah sendiri.
”Apa benar, Is? Yang barusan kamu katakan?”
”Mmmh, bener kok, aku nggak bohong, Vi. Kamu memang cantik.”
”Makasih ya, Is.”
Kami saling memandang. Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang cantik, menatap kedua bola matanya yang indah serta menatap senyumannya yang menawan. Viola pun tertunduk malu, menghindar dari tatapanku. Kami pun terdiam. Hingga akhirnya pelayan restoran datang membawakan pesanan kami.
”Ini pesanannya. Silahkan.”
”Makasih, Mbak.”
Pelayan restoran itu kembali berlalu.
”Udah, jangan melihatku seperti itu, Is. Aku kan jadi malu.”
”Ups, sorry, Vi.”
”Ayo, cobain nih pizzanya, enak lho.”
”Aku udah kenyang, Vi.”
”Ayolah, satu potong aja.”
”OK, aku coba.”
”Nah, gitu donk.”
Kami pun tengah asyik menyantap pizza serta minuman yang tersedia di depan kami.
”Gimana, Is? Enak nggak?”
”Enak juga, aku jarang sekali makan pizza.”
”Makanya sekali-kali kamu kemari. Biar bisa nyobain rasa yang lainnya.”
”Wah, bisa bangkrut kalau aku terus-terusan makan di sini. Kecuali kalau kamu yang traktir sih, aku pasti nggak keberatan.”
”Yee, maunya yang gratis terus.”
”Bercanda kok, Vi. O ya, bagaimana acaramu ke dokter kemarin? Kamu sebenarnya sakit apa sih?”
”Aku baik-baik aja kok. Jangan khawatir, kemarin aku cuma pusing-pusing dikit.”
”Manja kamu. Pusing aja sampai ke dokter segala.”
”Biarin.”

Viola pun kembali tersenyum manja. Kelihatannya dia gembira sekali hari ini.
”Vi, kamu berdua aja sama Mas Deny di rumah? Tadi aku nggak melihat Ayah dan Ibumu. Memangnya mereka baru pergi kemana?”
Tiba-tiba Viola terdiam sejenak.
”Orang tuaku sudah lama meninggal karena kecelakaan, Is. Kejadiannya waktu aku masih SMU.” Raut muka Viola seketika terlihat sedih dan matanya mulai berkaca-kaca.
”Ups, sorry, Vi. Aku nggak tahu. Sorry, kalau kata-kataku tadi membuatmu sedih.”
”Nggak papa, Is. Aku sudah terbiasa kok. Pada awalnya sih aku nggak bisa menerima kenyataan itu tapi aku mencoba untuk tetap tegar setelah kepergian mereka berdua. Aku nggak ingin larut terlalu lama dalam kesedihan. Life must go on, Is.”
“Aku kagum sama kamu, Vi. Aku mungkin nggak bisa ngebayangin kalau aku di posisi kamu. Aku sangat menyayangi kedua ortuku. Sekali lagi, maafin aku ya.”
”Sudahlah, kita ganti topik yang lain aja. Biar nggak tambah sedih.”
”Baiklah kalau begitu, sebenarnya kita mau kemana sih?”
”Dari tadi tanyanya itu melulu sih, penasaran ya?”
”Ngapain sih pake rahasia-rahasia segala?”
”Biar surprise.”
“Kalau mau kamu begitu, aku sih nurut aja.”
“Kamu udah selesai makannya, Is? Yuk kita pergi, nanti keburu hujan.”
Setelah membayar ke kasir, kami berdua pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke tempat dimana Viola ingin mengajakku kesana.
“O ya, Is! Kamu bisa setir mobil nggak?”
“Kalau bisa, dari kemarin aku pasti sudah setir mobil kamu.”
”Kapan-kapan aku ajarin mau?”
”Boleh, gratis kan?”
”Yee, bayar donk.”
”Berapa?”
”Bayarnya nggak pake duit.”
“Terus pake apaan?”
“Kamu.”
“Aku? Emangnya ada apa denganku?”
”Kamu harus mau menemaniku kalau aku mengajakmu pergi! Gimana, sanggup?”
”Mmmh, gimana ya? Tapi kurasa itu cukup adil.”
“Deal or No Deal?”
“OK, deal.” Kami pun saling mengaitkan jari kelingking masing-masing.

Mobil Viola kembali meluncur menyusuri jalan protokol yang membelah Kota Solo. Terlihat jalanan cukup ramai. Banyak masyarakat Solo yang sedang pergi keluar siang ini. Mungkin karena hari ini hari libur, kebanyakan mereka habiskan waktunya pergi ke tempat-tempat hiburan atau pusat-pusat perbelanjaan yang banyak bertebaran di seluruh Kota Solo. Alunan musik kembali melantun, mengiringi perjalanan kami berdua.
“Ngomong-ngomong aku boleh nanya sesuatu nggak ke kamu?”
“Boleh, emang mau nanya apaan?”
“Aku mau nanya, seberapa penting sih arti grup band kamu hingga kalian berlima sampai bela-belain mau bergabung sama kakakku?”
“Kalau ditanya seberapa pentingnya, band ini mempunyai arti yang sangat penting dalam hidupku. Kamu tahu, Vi? Dari kecil aku sangat menyukai musik. Aku pertama kali mengenal musik ketika bapakku sering mengajakku untuk mendengarkan atau menyanyikan lagu-lagu kesayangan koleksinya yang kebanyakan dari grup Koes Plus. Mulai saat itu, musik sangat berperan penting dalam hidupku. Dalam musik, kadang-kadang aku bisa menemukan siapa diriku yang sesungguhnya. Dan mungkin suatu saat nanti, aku ingin bisa seperti Koes Plus yang menjadi legenda hingga semua orang nanti akan terus mengenangku walaupun aku sudah tidak bisa bermain musik lagi. Bisa dibilang inilah impianku sejak dulu, Vi. Kalau aku kuliah di arsitektur, bukannya di sekolah musik, kuanggap itu sebagai baktiku kepada orang tua yang menginginkanku untuk menjalani pendidikan formal dan lulus sebagai sarjana. Yang penting selama masih ada unsur seninya, nggak menjadi kendala bagiku menjalaninya karena aku nggak terlalu jauh menyimpang dari siapa sesungguhnya aku.”
”Wow, ternyata kamu sangat serius ya dalam bermusik.”
”Tekadku sudah bulat, Vi. Aku nggak mau menjalaninya setengah hati.”
”Wah, Is. Rupanya kita udah sampe nih.”
”Lho, ini kan taman kota yang namanya Taman Sriwedari? Ngapain kita di sini?”
”Sebentar lagi kamu juga akan tahu.”

Kami pun segera memasuki sebuah gerbang yang berdiri megah terbuat batu. Taman ini terletak tepat di tengah-tengah kota Solo. Selain berfungsi sebagai unsur keindahan, taman ini juga berfungsi sebagai paru-paru kota yang dimana sudah jarang sekali ditemui di kota-kota besar. Selain katanya sebagai tempat pacaran juga. Viola mengarahkan mobilnya menyusuri jalan-jalan setapak dari bebatuan yang membelah taman kota ini menjadi dua bagian. Di sebelah kiri kami terlihat sebuah telaga buatan yang cukup besar dengan air yang jernih serta ditumbuhi oleh bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Sebuah pulau kecil yang terletak di tengah-tengah telaga dengan dilengkapi sebuah gazebo yang terbuat dari kayu terlihat dari pinggiran telaga. Sungguh indah pemandangan di sini. Kami mulai merasa nyaman di sini setelah berjam-jam yang lalu larut dan tenggelam dalam kesumpekan kota. Viola akhirnya memarkirkan mobilnya di pinggiran telaga.
”Yuk turun, Is. Ada yang ingin kulihatkan padamu.”
”Aku nggak nyangka kalau taman kota ini cukup indah juga pemandangannya. Padahal aku sudah lama kuliah di sini, tapi sekalipun aku belum pernah masuk ke taman ini.”
”Makanya sekarang aku ajak kamu ke sini, yuk.”
Ternyata Viola mengajakku menyusuri sebuah jembatan kayu yang menghubungkannya dengan pulau yang berada di tengah telaga. Tanpa kami sadari, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Rupanya hujan akan segera turun. Kami pun mempercepat langkah menuju ke arah gazebo kayu yang berada di tengah pulau. Setibanya di dalam gazebo, hujan pun turun dengan lebatnya. Angin dingin mulai berhembus dengan kencangnya menerpa kami berdua. Kami berdua pun duduk menikmati pemandangan telaga yang telah diguyur oleh derasnya air hujan. Riak air hujan yang jatuh ke telaga terasa indah dipandang. Suara gemericiknya menentramkan jiwa. Viola kelihatannya mulai menggigil kedinginan. Segera kulepaskan kemeja flannel yang kukenakan sehingga aku hanya menyisakan kaos hitam membalut tubuhku. Kupakaikan kemejaku ke tubuh Viola untuk memberi kehangatan padanya. Viola memandangku dengan senyuman khasnya.
”Makasih, Is. Kamu baik banget.”
”Aku nggak ingin kamu kedinginan, nanti kalau sakit aku bisa dimarahin sama Mas Deny.”
”Sekali lagi, makasih ya, Is.”
”O ya, katanya ada sesuatu yang ingin kamu tunjukin kepadaku. Apa itu?”
”Is, kamu lihat pohon mangga yang tumbuh di pinggir pulau itu?”
”Yang nggak begitu tinggi itu?”
”That’s right.”
”Emang kenapa dengan pohon itu?”
”Itulah kenanganku yang terakhir bersama kedua orang tuaku, Is. Beberapa hari sebelum mereka pergi, aku, Mas Deny dan kedua orang tuaku pergi ke taman ini. Mas Deny dan Ayah sangat hobi memancing ikan di telaga ini. Ketika kami berempat mengunjungi pulau ini, aku dan Ibu sengaja menanam bibit pohon mangga yang kami beli di dekat gerbang masuk tadi. Kami menanamnya di situ dan sekarang seperti yang kau lihat, pohon itu sudah tumbuh dengan baik. Kami sering duduk di dekat pohon mangga itu memandangi telaga yang jernih sambil bercanda dan menyantap makanan yang kami bawa dari rumah.”
”Apa hal itu nggak membuatmu menjadi sedih, Vi?”
”Aku hanya sesekali kemari kalau aku kangen sekali dengan mereka. Kadang-kadang aku merasa kalau mereka masih bersamaku. Aku sangat merindukan mereka, Is.”

Air mata mulai membasahi wajah cantik Viola. Dia tak kuasa untuk membendung emosinya sehingga Viola seketika menangis terisak-isak dengan tangan menutupi mulutnya. Aku jadi terharu melihatnya. Pemandangan ini sungguh membuat ngilu hatiku. Sesungguhnya dibalik ketegaranku, aku ini seorang yang rapuh. Aku nggak tahan melihat air mata yang mengalir. Itulah salah satunya mengapa aku sangat menyukai musik. Aku ingin membahagiakan semua orang dengan musik sehingga tak akan ada lagi air mata yang mengalir kecuali hanya air mata kebahagiaan. Karena merasa iba, aku pun segera meraih saputangan yang ada di saku celanaku dan kuberikan kepada Viola. Viola memandangku dengan senyumannya. Matanya masih berkaca-kaca. Air matanya masih berlinang di pipinya. Seiring air hujan yang makin lama makin deras, suara tangis Viola pun larut di dalamnya. Tenggelam di antara titik-titik air hujan yang berjatuhan, tenggelam di antara rindangnya pohon-pohon hijau yang terbentang...
Bersambung...

Bag4 - Perjumpaan Kembali 01 ( Chap. Lagu untuk Viola )

Di hari Minggu yang agak mendung, kami berlima bertolak menuju ke studio temannya Danny yang terletak di daerah Solo Baru. Hari ini kami sudah janjian akan ke sana jam sepuluh pagi. Padahal kalau hari Minggu, aku dan Topan jam segini biasanya masih bermalas-malasan di kamar. Tapi karena jam delapan tadi si Danny sudah menjemput, terpaksa kami harus bangun pagi-pagi sekali.
Setelah menjemput Manto dan Arif, maka kami segera meluncur ke arah Solo Baru. Sepanjang perjalanan, anak-anak selalu bercanda untuk mengurangi kejenuhan. Baru pertama kali ini kami berlima bisa pergi bersama. Dan aku merasa, ada suasana dan semangat baru yang sedang tumbuh di antara kami. Semangat untuk bersama-sama menggapai mimpi. Meskipun ini baru awal dari sebuah perjalanan. Kuyakin nanti semua akan berjalan seperti apa yang telah kami impikan. Semoga...
“Eh, Is. Kok bengong? Baru ngelamunin apaan?” Tiba-tiba Arif menegurku.
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Ah, bohong loe. Paling-paling lagi ngelamunin cewek yang semalem nganterin loe kan? Eh, ngomong-ngomong siapa sih namanya?” Topan ikutan nimbrung.
“Lho kok loe tahu, Pan?”
“Semalem kan gue liat dari balkon pas loe pulang.”
“Dasar tukang intip loe.”
“Siapa sih dia?”
“Cuman temen aja. Kenalnya juga di StarMusikindo.”

Aku kembali teringat akan pertemuanku dengan Viola. Memang dia teman yang ramah. Dan entah kenapa ketika ngobrol dengannya, ada sesuatu yang muncul di dalam tubuhku. Sebuah perasaaan yang membuatku menjadi tentram dan damai. Atau inikah yang namanya cinta? Padahal aku baru bertemu dengannya kemarin. Masak sih aku bisa jatuh cinta kepada Viola? Ah, mana mungkin. Sejujurnya aku belum pernah merasakan jatuh cinta, selain kepada Bapak, Ibu dan kedua adikku. Aku jadi bingung. Aku masih belum bisa menemukan jawaban yang sebenarnya.
“Ngomong-ngomong kemarin lamaran kerja loe diterima nggak?” Tiba-tiba Danny membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya…, Alhamdulillah, gue diterima. Besok gue baru mulai kerja.”
“Wah selamat, Is. Jangan lupa, ditunggu syukurannya aja.”
”Thanks, Dan. O ya, studionya masih jauh?”
”Sebentar lagi sampai. Paling lama seperempat jam lagi.”
Kami pun telah memasuki kawasan Solo Baru. Kawasan ini merupakan kawasan elite di selatan kota Solo. Kulihat banyak pembangunan di sana-sini. Dari perumahanan mewah, pusat perbelanjaan, ruko, showroom, gedung bioskop hingga gelanggang olahraga pun ada. Kawasan ini memang sedang berkembang dengan pesatnya.
”Is, udah mau sampe nih. Kita tinggal belok di tikungan depan, nanti ada papan nama warna kuning yang besar di kiri jalan.” Kata Danny sambil menunjukkan tangannya ke arah tikungan yang dimaksud.
Seperti yang Danny bilang, setelah berbelok melewati tikungan, tak lama kemudian kami melihat sebuah papan nama yang cukup besar berdiri kokoh di pinggir jalan. Dengan dominan warna kuning menyala, desainnya juga cukup unik, lain dari papan nama kebanyakan. Terdapat tulisan ”YELLOWBEAT” berwarna hitam yang terletak agak di pinggir papan nama. Danny segera memarkirkan mobilnya di sisi jalan yang tak jauh dari papan nama tersebut.
”Ayo buruan turun.” Kata Danny sambil membuka pintu mobil di sampingnya.
”Disini ya studionya?” Manto tiba-tiba meregangkan tubuhnya. Rupanya nih anak dari tadi ketiduran di jok belakang. Pantes saja nggak kedengaran suaranya.

Kami berlima pun segera bergegas turun dan berjalan menuju ke studio. Danny berjalan paling depan sambil memegang handphone. Mungkin dia akan menghubungi temannya yang punya studio, memberitahu kalau kami sudah ada di depan. Tak lama kemudian dari dalam rumah yang bergaya minimalis modern, keluar seorang pria setengah baya dari pintu garasi. Rambutnya panjang tergerai rapi dengan perawakan yang agak gemuk. Dia segera menyambut kami dengan ramah sambil tersenyum.
”Teman-teman. Kenalin. Ini Mas Deny, yang punya studio ini.” Danny pun memperkenalkannya kepada kami.
”Halo, selamat datang. Kenalkan, saya Deny. Bagaimana perjalanan kalian?”
Kami pun segera memperkenalkan diri. Mas Deny ternyata orangnya sangat terbuka dan humoris. Dia selalu memberi joke-joke segar di sela-sela obrolan sehingga kami pun segera akrab dengannya. Setelah puas bercengkrama, Mas Deny pun mempersilahkan kami berlima untuk segera melihat studionya. Setelah berjalan melewati garasi, kami pun tiba di sebuah halaman yang cukup luas dan asri. Saat melewati garasi tadi, aku sempat melihat sebuah mobil yang sepertinya aku pernah melihatnya. Sebuah mobil sedan warna biru metalik. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.
” Eh, kok bengong, ayo masuk saja jangan malu-malu. Apa ada yang sedang kamu pikiran, Is?” Mas Deny segera membimbingku.
”Nggak ada apa-apa kok, Mas. O ya, di mana studionya?”
“Sabar, sebentar lagi juga kelihatan.”

Dan benar juga perkataan Mas Deny. Setelah melewati halaman yang cukup luas itu, kami segera melihat sebuah paviliun yang letaknya agak di belakang dari rumah induk. Paviliun itulah yang oleh Mas Deny difungsikan sebagai studio. Anak-anak tampak terkagum-kagum termasuk aku. Selain bergaya arsitektur minimalis serasi dengan rumah induk, penataan ruangan di studio ini juga terlihat cukup nyaman. Pertama memasuki paviliun ini, kami disambut oleh teras yang bermaterial batu alam yang langsung menghadap ke arah halaman yang rindang dengan dilengkapi seperangkat kursi dan meja bergaya minimalis pula. Sebuah pintu kayu yang cukup besar yang difungsikan sebagai akses menuju ke dalam studio berdiri kokoh di sudut teras.
”Mari, silahkan duduk. Mau minum apa?” Mas Deny segera mempersilahkan kami untuk duduk.
”Ah, nggak usah repot-repot, Mas.” Aku pun berbasa-basi.
”Nggak apa-apa, kok.”
” Begini, Mas, Kita langsung aja ya ngomongnya. Kami ini kan baru bergabung membentuk sebuah band, namanya Coffeemilk. Sebagai band baru, kami belum mempunyai tempat latihan yang bisa kami pakai secara rutin, mungkin seminggu sekali atau dua kali. Kalau Mas Deny mengijinkan, bisakah kami latihan di sini dan bagaimana prosedurnya?”
”Oh begitu. Kalau prosedurnya sih nggak jauh beda sama studio-studio yang lain. Kalau ingin latihan disini seperti biasa untuk yang reguler ongkosnya per jamnya tiga puluh ribu rupiah. Tapi kalau Mas melihat ada sebuah grup band yang dirasa berpotensi atau berbakat, mungkin Mas bisa kasih gratis atau studio ini bisa dijadikan basecamp asal lolos seleksi dan mau ikut bergabung sama manajemen di sini.”
”Jadi Mas Deny juga sering sebagai manajer band?” Tanya Topan.
Mas Deny pun mengangguk. ”Sudah ada beberapa band yang alumni dari sini, kebanyakan mereka sekarang sudah hijrah ke Ibukota.”
Serasa ada sebuah angin segar yang berhembus menerpaku mendengar perkataan Mas Deny. Tanpa pikir panjang, aku pun segera mengajukan sebuah tawaran kepadanya.
”Kalau begitu, gimana kalau Mas Deny sekalian menjadi manajer kami?”
Aku segera memandang ke arah anak-anak yang lain. Keliatannya anak-anak pun setuju akan usulanku barusan. Mas Deny terdiam sejenak.
”O ya, apa nama bandnya tadi?”
”Coffeemilk, Mas.”
”Cukup unik. Mmmh, mungkin Mas bisa jadi manajer kalian tapi kalian harus melalui proses audisi dulu. Gimana?”
”Nggak masalah.”

Kami pun segera beranjak memasuki studio. Studionya Mas Deny ternyata cukup lengkap fasilitasnya. Selain ruang studionya sendiri, terdapat pula ruangan kantor, ruang recording, ruang mixing hingga ruang editing. Mungkin disini Mas Deny bisa sekalian membikin sebuah demo bagi grup band baru. Studionya sendiri juga cukup lengkap alatnya. Ada seperangkat alat musik yang masih terawat dengan baik. Ada tiga buah gitar elektrik lengkap dengan aksesorisnya, dua buah gitar akustik, dua buah bass elektrik, satu buah keyboard, satu set drum serta perangkat audio dan soundeffect yang sangat lengkap. Kami pun kembali terkagum-kagum. Ruangan studio ini kira-kira berukuran 5x7 meter persegi dengan dinding yang dilapisi oleh lapisan peredam suara serta terdapat beberapa cermin berukuran besar di salah satu sisinya. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna abu-abu. Di dalam studio terasa sangat dingin karena memakai air conditioner. Setelah kami merasa puas melihat-lihat, akhirnya acara audisi pun segera dimulai. Kami segera diuji oleh Mas Deny satu persatu. Dimulai terlebih dahulu dari Topan sebagai vokalis, dilanjutkan aku dan Manto sebagai gitaris, terus Danny di posisi bassist dan yang terakhir Arif sebagai drummer. Mas Deny tampak serius sekali melihat kami menunjukkan skill, performa serta kekompakan kami dalam bermusik hingga akhirnya Mas Deny terlihat tersenyum puas. Setelah hampir dua jam lamanya kami mengikuti proses audisi, Mas Deny mengacungkan jempol ke arah kami.
”Not bad, sebagai grup baru, kalian cukup punya talenta.”
”Jadi bagaimana, Mas? Apa kami diterima di sini?”
“Mmmh, kalian memang berbakat dan musik kalian cukup unik, mungkin dengan sentuhan sedikit di sana-sini, kalian bisa jadi grup band yang bagus, jadi Mas cuma bisa kasih satu komentar, welcome to Yellowbeat.”
Kami pun sontak kegirangan. Kami nggak menyangka kalau Mas Deny bisa menerima kami dalam manajemennya. Maka mulai detik ini, Mas Deny telah resmi menjadi manajer kami. Dan untuk merayakannya, Mas Deny mengajak kami untuk lunch dengannya, dan kami pun tentu tidak bisa menolak ajakannya terutama Topan si tukang makan, wajahnya segera berseri-seri mendengar kata makanan. Acara lunch berlangsung di teras paviliun. Di bawah rindangnya pepohonan, kami menikmati semua makanan dan minuman yang tersaji dihadapan kami. Mungkin karena kecapekan karena proses audisi tadi, selera makan kami menjadi gila-gilaan. Tapi Mas Deny tidak marah atas sikap kami. Justru dia terus melontarkan joke-joke segarnya kembali sesekali menyerempet yang berbau porno sedikit untuk memeriahkan suasana.

Tiba-tiba di tengah acara lunch sedang berlangsung, terdengar sebuah suara memanggil Mas Deny dari dalam rumah.
”Mas Deny, udah selesai belum acaranya? Jadi nggak kita keluar?”
Aku terkejut. Suara itu terasa sangat tidak asing bagiku. Dan ketika kutolehkan wajahku, kulihat seorang cewek sedang berdiri di bawah pergola yang menghubungkan rumah induk dengan paviliun. Ternyata...
”Viola?”
”Lho, Isma? Ngapain kamu disini?” Viola pun terkejut dan menghampiriku.
”Kalian sudah saling kenal ya?” Mas Deny terheran-heran.
”Kemarin aku ketemu Isma di StarMusikindo. Isma kan pegawai baru di sana.”
”Pantas wawasan musik kamu cukup bagus, Is. Oh ya, sampai lupa! Topan, Arif, Danny, Manto, kenalkan, ini Viola, adikku.”
Rupanya Viola adiknya Mas Deny. Sungguh ini terasa diluar dugaanku. Apakah ini sebuah kebetulan saja atau ada sebuah maksud yang telah ditakdirkan dalam perjalananku sehingga aku bisa bertemu dengan Viola kembali?
”O, jadi kemaren Viola ya yang nganterin loe, Is.” Topan pun mulai menggodaku.
Viola pun tampak tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah karena malu. Tapi justru itu yang membuatnya tampak terlihat lebih cantik. Tiba-tiba perasaan itu kembali muncul dalam diriku. Aku pun mencoba untuk tenang dan tidak terbawa suasana.
”Udah, Pan. Tuh, Viola jadi merah mukanya.” Arif ikutan menggoda.
”Apa-apaan sih kalian. Kalau adikku sampai nangis, awas ya! Mas bisa batalin perjanjian kita!” Mas Deny ikutan bercanda.
”Sorry deh, Mas. Sorry ya Viola.” Anak-anak pun serentak minta maaf.
”Nggak papa kok. O ya, Mas Deny, nanti aku nggak jadi pergi sama Mas. Aku sama Isma aja. Is, kamu nggak ada acara kan setelah ini?”
Aku pun berpaling ke arah anak-anak yang lain tapi mereka malah lebih menggodaku.
”Emang kamu mau ke mana sih?”
”Pokoknya kamu ikut aja dulu, gimana?”
”Gimana nih, Mas?” Aku mencoba meminta ijin kepada Mas Deny.
”Urusan kita sudah selesai hari ini. Nanti masalah schedule latihan serta yang lainnya, kita bahas lain hari. Kamu bisa pergi sama Viola kalau kamu nggak keberatan.”
”Iya, Is. Tenang aja. Kita nggak papa kok. Demi teman. Nanti anak-anak biar gue yang anterin pulang satu-satu.” Danny juga mengiyakan.
”Thanks, guys.”