BAGAIMANA PERJALANAN HIDUP ISMA SELANJUTNYA?
NANTIKAN DALAM THE JOURNEY - CHAPTER NADA YANG HILANG.
INSYAALLAH SELESAI TAHUN INI.
skip to main |
skip to sidebar
Minggu, 01 Maret 2009
Bag11 - Air Mata pun Berderai ( Chap. Lagu untuk Viola )
Tepat pukul sebelas malam, aku dan keluargaku tiba di Hotel Novotel Solo. Sebelumnya kami bersama Danny dan Topan pergi mencari makan malam ke daerah Keprabon yang terkenal dengan nasi liwetnya. Harga di sana memang lumayan mahal karena banyak turis-turis dari mancanegara yang sering makan di sana sehingga harganya disamakan dengan harga turis. Tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan. Sekali-kali aku ingin mengajak keluargaku makan yang enak malam ini. Kami makan sepuasnya hingga kekenyangan. Nadia terlihat gembira karena keinginannya telah tercapai. Aku bisa sepuasnya melepas rindu kepada keluargaku. Kuceritakan semua pengalamanku selama ini. Sesekali Danny dan Topan ikut menambahi. Suasana makan malam pun menjadi hangat.
Begitu sampai di bawah depan pintu masuk hotel, kami turun dari mobil. Dua orang roomboy dengan sigap menyambut kami. Mereka menawarkan bantuan untuk membawa tas travel milik Bapak dan Ibu dengan menggunakan troli. Danny dan Topan segera membimbing mereka ke bagasi. Begitu aku masuk ke lobby, segera kutuju meja receptionist yang berada tepat di depan pintu masuk. Seorang cewek receptionist menyambutku dengan ramah.
“Selamat malam, Bapak. Selamat datang di hotel kami. Ada yang bisa kami bantu.”
“Saya ingin check in malam ini, Mbak. Sebelumnya saya sudah booking kamar di sini atas nama Deny Suhendra. Saya sudah pesan dua kamar.”
“Kalau begitu harap Bapak menunggu sebentar. Saya cek dulu di database kami.”
Cewek receptionist kemudian sibuk membuka data di komputer yang berada di bawah meja.
Aku dengan sabar menunggunya. Kulihat keluargaku sudah berkumpul di belakangku. Bapak dan Ibu terlihat kelelahan. Sedangkan Arfi dan Nadia terlihat mulai mengantuk. Aku kasihan dengan mereka. Mereka datang kemari demi diriku.
Tak beberapa lama, cewek receptionist tadi menyapaku kembali.
“Permisi, Bapak. Kami sudah cek di data kami. Di sini tercatat pesanan kamar atas nama Bapak Deny Suhendra untuk malam ini. Nomer kamarnya 401 dan 402. Betul begitu, Bapak?”
“Betul, Mbak.”
“Kalau begitu, saya boleh tahu nama Bapak?”
“Nama saya Isma. Lengkapnya Muhammad Ismail Ruzain.”
“Saya boleh pinjam KTP Bapak?”
“Tunggu sebentar, saya ambilkan dulu.”
Aku segera merogoh saku celanaku untuk mengambil KTP yang terselip di dalam dompetku. Setelah kudapatkan, KTP itu segera kuberikan kepada cewek receptionist itu.
“Ini Mbak, KTP saya.”
“Baiklah, kalau begitu silahkan Bapak sekeluarga langsung naik menuju ke kamar. Biar petugas kami yang mengantar. Semoga Bapak sekeluarga puas dengan pelayanan kami dan terima kasih atas kunjungannya.”
“Sama-sama, Mbak.” Aku segera berpaling ke arah keluargaku.” Ayo kita ke kamar. Biar Bapak dan Ibu segera bisa istirahat. Arfi dan Nadia juga sudah ngantuk kan?”
“Dikit, Mas,” kata Nadia sambil mengucek matanya.
Tiba-tiba Danny menepuk pundakku.
“Is, gue dan Topan balik dulu ya. Sudah larut malam nih. Besok pagi-pagi, gue jemput kemari.”
“Gue pamit juga, Is. Gue mau balik dulu ke rumah sakit nemenin Mas Deny di sana. Lo di sini aja dulu, berkumpul dengan keluarga lo. Nanti gue hubungi kalau ada perkembangan dari rumah sakit.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, teman-teman.”
“Sama-sama, thanks juga buat nasi liwetnya. Sering-sering gue diajak kalau makan enak.”
“Lo ini, Pan. Nggak pernah berubah.”
“Kami cabut dulu ya, Is. Om, Tante, Arfi dan Nadia. Kami mohon pamit dulu. Insya Allah besok pagi saya akan jemput kemari.”
“Saya juga pamit dulu Om, Tante. Saya mau balik ke rumah sakit dulu menemani calon kakak iparnya Isma di sana. Arfi, Nadia, Mas Topan pulang dulu ya.”
“Terima kasih, Nak Danny, Nak Topan. Maafkan kami kalau sudah merepotkan kalian.”
“Tidak sama sekali, Om. Kami justru senang bisa membantu teman. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Danny dan Topan berlalu meninggalkan kami di lobby hotel.
Setelah mereka hilang dari pandangan, aku sekeluarga mengikuti roomboy yang mengantar kami menuju kamar yang kupesan. Kugelayutkan kedua tanganku untuk mendekap adik-adikku dengan erat di kedua sisi tubuhku. Mereka berdua malah bersandar di kedua bahuku dengan manja. Sesekali mereka menguap menahan kantuk. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Ternyata kamar yang kami pesan terletak di lantai empat. Kami harus menggunakan lift untuk naik ke atas. Begitu kami tiba di lantai empat, sebuah koridor yang panjang dengan lebar kira-kira 3m terhampar di hadapan kami. Koridor ini membelah bangunan hotel menjadi 2 bagian tepat di tengah-tengah. Di sisi kiri dan kanan berderet kamar –kamar hotel tersusun berurutan berdasarkan nomer kamar. Untuk kamar nomer ganjil berada di sisi kiri koridor, sedangkan untuk nomer genap berada di kanan koridor. Kamar kami terletak di ujung koridor karena nomer kamar kami berada di urutan pertama dan kedua. Kamar 401 berada di sisi kiri sedangkan kamar 402 berada di sisi kanan. Bellboy segera membukakan pintu kedua kamar dengan menggunakan kartu khusus. Ketika dia hendak menurunkan tas milik Bapak dan Ibu, segera kuperintahkan dia untuk memasukkannya ke kamar 401. Dia pun mengikuti perintahku.
“Bapak dan Ibu tidur di kamar ini saja. Biar Arfi dan Nadia tidur di kamar sebelah,” kataku kepada kedua orang tuaku.
“Kamu nanti tidur di mana, Is?”
“Isma nanti ikut di kamar adik-adik saja, Bu. Biar Bapak dan Ibu bisa beristirahat dengan tenang.”
“Baiklah kalau begitu.”
Bapak dan Ibu segera masuk ke kamarnya. Begitu pula dengan Arfi dan Nadia. Mereka segera menghambur masuk ke kamarnya dan loncat ke atas ranjang yang empuk. Mereka sudah tidak tahan menahan kantuk.
Tak lama kemudian, roomboy pun keluar dari kamar. Dia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Aku pun tak lupa memberi uang tips kepadanya. Setelah dia mengucapkan terima kasih, dia berlalu dari hadapanku. Aku segera masuk ke kamar Bapak dan Ibu.
“Bagaimana Pak, Bu. Kamarnya nyaman?”
“Wah, kamar hotel ini bagus sekali, Is. Seumur-umur, Ibu belum pernah tidur di kamar yang semewah ini. Pasti mahal ya bayarnya.”
“Ibu tidak usah memikirkan bagaimana membayarnya. Semuanya sudah diurus oleh Mas Deny, kakaknya Viola.”
“Kakaknya Viola baik sekali ya. Besok Ibu akan berterima kasih padanya atas semua pelayanan ini.”
“Bapak dan Ibu sekarang istrirahat saja di sini supaya besok bisa menghadiri pernikahanku dengan tubuh yang bugar. Tapi kalau Bapak dan Ibu mau mandi dulu, di sini juga ada air panasnya.”
“Bapak tahu, Is. Bapak kan juga pernah menginap di hotel mewah di Semarang sewaktu ada acara kantor.”
“Baik, Pak. Sekarang Isma tinggal dulu.”
“Kamu juga istrirahat sana. Kamu kelihatan lelah, Nak.”
“Jangan lupa nanti malam kamu sholat tahajjud, minta kepada Allah semoga besok pernikahanmu dapat berjalan dengan lancar.”
“Baik, Pak, Bu. Isma tinggal dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku berlalu meninggalkan Bapak dan Ibu. Setelah kututup pintu kamarnya, aku segera masuk ke kamar adik-adikku. Kulihat mereka sudah tertidur dengan pulas. Saking nyenyaknya, mereka sampai lupa melepaskan sepatu yang masih menempel di kedua kaki mereka masing-masing. Tas ransel yang mereka bawa juga terlihat berserakan di bawah ranjang. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua adikku. Kelihatannya sifat mereka belum mengalami perubahan yang mencolok. Mereka masih tetap manja kepadaku. Hanya saja sekarang Arfi tampak lebih dewasa. Mungkin karena dia sekarang telah duduk dibangku SMU. Dia tampak lebih cantik dengan jilbabnya.
Nadia juga tak kalah cantiknya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai rapi. Dia memang belum mengenakan jilbab seperti kakaknya. Sifatnya masih manja sekali meskipun sekarang dia sudah duduk di bangku SLTP. Maklum dia adalah anak bungsu di keluargaku.
Segera kurapikan tas ransel mereka yang berserakan di bawah ranjang ke tempat yang sudah disediakan. Kulepas sepatu yang masih melekat di kedua kaki adik-adikku. Mereka hanya menggeliat manja ketika kulepas sepatunya. Kukecup kening mereka satu-persatu. Mereka masih tertidur dengan nyenyak di ranjangnya masing-masing.
Malam semakin larut. Kupandangi lampu-lampu yang menghiasi kota Solo diwaktu malam hari dari balik jendela kamar. Tak kusangka pemandangan kota Solo dari atas sini terlihat indah. Kamar yang kutempati memiliki jendela yang menghadap langsung ke arah jalan utama kota Solo. Beberapa kendaraan masih melintas di atas aspalnya. Para pedagang makanan lesehan yang berada di trotoar-trotoar jalan terlihat ada beberapa yang mulai tutup. Mereka sedang merapikan tenda serta dagangannya. Kulihat di kejauhan malam, patung Slamet Riyadi berdiri menjulang dengan sombongnya. Aku kembali teringat ketika aku dan Viola mengunjungi warung Eyang Lastri yang letaknya tak jauh dari patung itu. Apa warung Eyang Lastri juga sudah tutup sekarang? Kasihan juga si Putri. Malam-malam begini baru bisa pulang ke rumah Eyang Lastri. Ah, semoga dia baik-baik saja.
Aku terhanyut dalam lamunan. Pikiranku dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang menimpaku seharian ini. Mulai dari ikut festival, bertemu Azizah dan teman-temannya, naik ke atas panggung, Viola mengalami musibah, dan seterusnya hingga kejadian dimana aku menyatakan kesanggupan untuk menikahi Viola. Aku tidak bisa melupakannya. Hal itu menyebabkan aku tidak bisa memejamkan mata. Perasaanku menjadi tidak tenang. Bayang-bayang wajah Viola tidak bisa hilang dari hadapanku. Aku terus memikirkannya. Khayalanku tak bisa lepas darinya.
Berbagai pertanyan mulai timbul di kepalaku. Apakah sekarang Viola sedang tertidur dengan pulas? Bagaimana kondisinya saat ini? Apakah sudah membaik atau malah memburuk? Apakah Viola bisa melewati malam ini? Apakah cinta kami bisa bersanding dengan bahagia besok pagi? Apakah …? Apakah …? Apakah …?
Terus menerus pikiran-pikiran itu menghantuiku. Aku menjadi gelisah. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui keadaan Viola saat ini. Dan ketika aku hendak mengambil handphone untuk menghubungi Topan atau Mas Deny, tiba-tiba sebuah SMS masuk. Untung tadi aku sempat mengatur deringnya ke silent mode sehingga adik-adikku tidak terganggu.
Kulihat pesan berasal Mas Deny. Ya Allah, ada apa gerangan Mas Deny menghubungiku malam-malam begini? Apakah sesuatu terjadi dengan Viola. Segera kubaca isi pesannya.
Maaf kalau mlm2 Mas mengganggu.
Mas mlm ini tdk bs tidur.
Mas khawatir dng Viola.
Mas tdk berani meninggalkannya!
Kamu bgmn?
Ternyata kondisi Mas Deny tidak jauh berbeda denganku. Tentu Mas Deny juga mengkhawatirkan adiknya. Segera kubalas pesannya.
Aku jg tdk bs tidur, Mas
Aku jg mengkhawatirkan Viola.
Bgmn kondisinya saat ini?
Apa dia baik2 saja?
Mas Deny segera membalasnya.
Viola masih tertidur pulas.
Dia dalam pengaruh obat.
Kamu jgn khawatir.
Ada Mas dan Topan yang jaga di sini.
Kamu tidur skrg spy besok bisa bugar.
Besok hari pernikahanmu.
Sudah dulu. Sorry kalau mengganggu.
Setelah membaca pesan terakhir Mas Deny, aku menjadi lega. Perasaan cemasnya mulai hilang. Kuputuskan untuk segera tidur malam ini. Benar kata Mas Deny. Besok aku harus tampil dengan tubuh yang bugar karena besok adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku. Aku harus tampil sesempurna mungkin. Segera kurebahkan tubuhku di antara kedua ranjang adikku. Tepatnya di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar hotel ini. Kucoba untuk memejamkan mata. Pikiranku perlahan mulai kosong. Dan akhirnya aku pun tertidur dengan lelap.
Sekitar jam empat pagi, handphoneku tiba-tiba bergetar di dekat telingaku. Spontan aku terbangun dari tidurku. Rupanya aku ketiduran setelah sholat tahajjud semalam. Sengaja handphone kuletakkan di sana supaya kalau ada telpon masuk, aku segera menyadarinya. Kulihat di layar LCD, Topan mencoba menghubungiku. Ada ada gerangan shubuh-shubuh begini menelponku? Karena penasaran, segera kuangkat telponnya.
“Halo. Assalamu’ alaikum. Ada apa, Pan?”
“Wa’ alaikum salam. Ada kabar buruk dari rumah sakit.”
“Apa sesuatu terjadi dengan Viola, Pan?”
“Gue tidak bisa ngomong banyak di sini. Handphone gue sedang lowbat. Kalau bisa lo segera kemari.”
“Baik. Setelah sholat shubuh aku segera ke sana.”
“OK, gue tunggu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Telpon tertutup.
Aku masih tidak bergerak. Pikiranku kembali bertanya-tanya. Hal apa yang telah terjadi di rumah sakit? Supaya dapat mengetahui jawabannya, aku segera menunaikan sholat shubuh.
Selang beberapa menit setelah aku menulis pesan yang kuletakkan di atas meja, aku segera meninggalkan adik-adikku yang masih tertidur. Begitu keluar dari kamar, aku segera berlari melewati koridor menuju tempat lift. Rupanya lift masih kosong, jadi aku tidak perlu menunggu lama untuk naik ke dalamnya. Segera kutekan tombol groundfloor yang menyala merah. Begitu sampai di bawah, aku berlari menuju lobby hingga akhirnya aku keluar dari hotel. Beberapa staf hotel menyapaku dengan wajah bingung dan keheranan. Aku tidak memperdulikan mereka. Karena jarak hotel dengan rumah sakit hanya beberapa ratus meter saja, kuputuskan untuk berlari tanpa membuang waktu. Hitung-hitung aku lari-lari pagi yang semenjak kuliah sudah jarang kulakukan lagi. Nafasku mulai memburu. Keringat mulai membasahi tubuhku. Tapi aku terus berlari dan berlari tanpa memperdulikan kakiku yang terasa pegal.
Akhirnya aku sampai juga di rumah sakit. Aku segera berlari menuju ke ruang ICU. Aku sangat mengkhawatirkan Viola saat ini. Aku sudah membayangkan kemungkinan yang terburuk akan terjadi.
Sesampainya di sana, kulihat suasananya terlihat lengang. Hanya terlihat dua orang suster yang berjaga. Mas Deny dan Topan tidak terlihat batang hidungnya. Kuintip Viola dari balik kaca yang berada di daun pintu. Kulihat Viola masih tertidur dengan lelap. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku menjadi sedikit heran. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimana Topan yang barusan menghubungiku? Kemana dia? Belum selesai kujawab pertanyaanku sendiri, aku melihat sesosok tubuh yang agak gempal berlari ke arahku. Aku mengenal sosok itu. Itu Topan yang kucari-cari. Tanpa menunggunya, aku juga berlari menghampirinya. Kami pun bertemu di koridor yang tak jauh dari ruang ICU.
“Pan, darimana saja kamu? Aku mencarimu kemana-mana? Tadi kulihat di dalam, Viola tampak baik-baik saja. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
“Sorry, gue barusan dari Ruang Operasi. Bukan Viola yang mengalami kondisi yang memburuk, tapi Fatimah.”
“Fatimah? Apa yang telah terjadi padanya, Pan.”
“Tadi sebelum adzan shubuh, gue dan Mas Deny tiba-tiba mendengar suara histeris dari arah kamar VIP. Setelah kami mencari sumbernya, ternyata suara itu berasal dari kamar Fatimah. Gue dan Mas Deny segera berlari ke sana. Kemudian kami bertemu dengan Pak Abdul. Beliau mengatakan kalau tiba-tiba Fatimah menjerit kesakitan sambil memegangi kepalanya. Dia terus-menerus menjerit tanpa henti. Bu Surti ikutan menjerit histeris melihat derita yang dialami oleh putrinya. Kami juga kasihan sewaktu melihatnya. Kondisi Fatimah sangat memprihatinkan. Sekarang dia telah dibawa ke ruang Operasi supaya segera bisa diambil tindakan untuk menolongnya. Mas Deny masih di sana bersama Pak Abdul dan istrinya. Kondisi Fatimah sedang kritis dan dia mengalami koma.”
“Kalau begitu, aku segera ke sana. Kamu nggak ikutan?”
“Gue tunggu di sini saja. Tadi Mas Deny menyuruhku untuk berjaga di sini kalau ada apa-apa dengan Viola.”
“Baiklah, Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku segera meninggalkan Topan menuju ke Ruang Operasi. Oh, adikku Fatimah. Gadis periang yang malang itu sekarang sedang menunggu saat-saat terakhirnya. Ya Allah, apakah waktunya sudah tiba? Apakah Engkau akan memanggil Fatimah untuk segera menghadap-Mu? Jika itu memang kehendak-Mu, berilah kemudahan untuknya. Jangan Kau biarkan dia merasakan siksaan yang diluar kemampuannya. Ya Allah, semoga engkau mendengarkan doaku ini.
Sambil kuucapkan asma Allah tiada henti, aku terus berlari. Letak Ruang Operasi memang agak jauh ke dalam. Aku memerlukan waktu hingga lima menit untuk sampai ke sana setelah bertanya ke sana-kemari. Begitu sampai di sebuah ruang tunggu, aku melihat Mas Deny duduk menemani Pak Abdul yang tengah menghibur Bu Surti yang masih menangis. Segera kuhampiri mereka.
“Assalamu’ alaikum. Pak Abdul, Bu Surti, bagaimana keadaan Fatimah?”
Bu Surti segera berdiri dan memelukku. Bu Surti berkata kepadaku dengan terbata-bata. “Oh, Nak Isma. Tolong Fatimah, Nak. Tolong Fatimah…”
“Iya, Bu. Saya tahu. Ibu tenang dulu. Istighfar, Bu. Istighfar. Biar dokter yang menolong Fatimah di dalam,” kataku sambil melepaskan pelukan Bu Surti secara perlahan.
“Kasihan sekali Fatimah, anakku.”
“Bersabarlah, Bu. Semoga dia baik-baik saja. Mari kita berdoa minta pertolongan kepada Yang Diatas. Semoga Fatimah masih bisa bersama kita kembali.”
“Bapak senang Nak Isma bisa datang. Kami merasa terhibur bila Nak Isma ada di sini menemani kami.”
“Sudah sepantasnya, Pak. Fatimah sudah seperti adik saya sendiri.”
“Mudah-mudahan mukjizat terjadi pada diri anak kami.”
“Bila Allah menghendaki, semua bisa terjadi, Pak.”
Bu Surti sekarang tampak lebih tenang. Dia terduduk lunglai di bangku. Wajahnya memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Tatapan matanya kosong. Semangat hidupnya serasa hilang. Pak Abdul juga memperlihatkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan istrinya. Hanya saja beliau tampak lebih tabah menghadapi cobaan ini. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka.
Kuhampiri Mas Deny yang sedari tadi duduk terdiam. Aku pun duduk disampingnya. Wajahnya kelihatan sangat kelelahan. Mungkin dia kurang tidur karena menjaga Viola. Aku jadi merasa tidak enak hati.
“Mas baik-baik saja?” sapaku.
“Nggak papa, Is. Semalam Mas hanya kurang tidur. Mas tidak bisa memejamkan mata. Mas takut Viola kenapa-kenapa.”
“Sekarang Mas istirahat dulu saja. Biar aku yang tunggu di sini. Topan juga sudah menjaga Viola di sana.”
“Bagaimana dengan keluargamu, Is? Mereka nyaman tidur di hotel?”
“Mereka sangat senang sekali, Mas. Ibu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Mas atas kebaikan Mas.”
“Sudahlah, Is. Mas turut senang kalau mereka nyaman di sana? Ngomong-ngomong, apa mereka tahu kamu berada disini?”
“Belum, Mas. Mereka semua masih istrirahat, aku tidak mau mengganggu. Tapi aku sudah titip pesan yang kuletakkan di atas meja.”
“Semoga mereka tidak khawatir. Sekarang Mas mau istirahat sebentar, mumpung masih ada waktu.”
“Silahkan, Mas.”
“Mas pergi dulu ya. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Mas Deny segera meninggalkanku. Tak lupa dia berpamitan dengan Pak Abdul dan Bu Surti. Setelah itu, dia menghilang di balik dinding rumah sakit bercat hijau.
Menit-menit terus berlalu. Belum ada perkembangan yang berarti mengenai kondisi Fatimah. Dia masih koma di dalam. Bu Surti terlihat ketiduran di bahu suaminya. Sedangkan Pak Abdul duduk bersandar dengan wajah yang letih.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Silent mode masih kuaktifkan. Terlihat Danny menghubungi.
“Halo, Is. Assalamu’alaikum. Posisi lo sekarang di mana?”
“Wa’ alaikum salam. Sekarang aku berada di rumah sakit. Aku sedang menunggu Fatimah yang telah koma.”
“Fatimah koma? Ya Allah, semoga dia tidak apa-apa. O ya, sekarang gue sudah di lobby hotel mau jemput keluarga lo. Mereka sudah kuhubungi lewat operator hotel untuk bersiap-siap. Sebentar lagi mereka akan turun. Gimana, aku langsung antar mereka ke rumah sakit?”
“Begini saja. Biar mereka sarapan dulu di hotel. Setelah itu baru lo antar kemari.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Gue bisa numpang mandi di rumah sakit saja. Lagian baju untuk akad nikah nanti semuanya sudah siap kan?”
“Baiklah kalau begitu. Sampai ketemu di rumah sakit. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku tutup teleponnya. Kulihat jam tanganku sebentar. Waktu sudah menunjukkan hampir jam enam pagi. Aku harus segera bersiap-siap. Dua jam lagi peristiwa penting dalam hidupku akan dilaksanakan. Segera kuhampiri Pak Abdul dengan perlahan.
“Pak Abdul?”
“Oh, Nak Isma. Ada apa?”
“Saya mohon maaf karena tidak bisa menunggu lama di sini. Saya harus segera bersiap-siap. Seperti yang Bapak tahu. Pagi ini saya mau menikah, jadi saya mohon pamit dulu.”
“Silahkan, Nak. Malahan kami yang harus minta maaf karena sudah merepotkan dan mengganggu persiapan pernikahan Nak Isma.”
“Nggak papa, Pak. Saya turut prihatian dengan kondisi Fatimah. Mohon Bapak sudi menghubungi saya kalau ada perkembangan dari Fatimah.”
“Insya Allah, Nak.”
“Kalau begitu, saya pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku berlalu meninggalkan Pak Abdul dan Bu Surti.
Segera kuayunkan langkahku menuju ke tempat Viola kembali. Sesampainya di sana, kulihat Topan dan Mas Deny sedang membawa barang-barang untuk acara akad nikah nanti.
“Lho, mau dibawa kemana Mas barang-barangnya?”
“Pagi tadi Om Lukman sempat menengok Viola. Kondisi Viola agak membaik. Untuk itu, Om Lukman akan memindahkan Viola ke kamar rawat VIP yang terletak di samping kamar Fatimah. Kalau di ruang ICU nanti takutnya mengganggu pasien yang lain. Lagipula di kamar rawat inap tempatnya lebih luas karena mempunyai teras yang bisa digunakan untuk menerima tamu.”
“Sekarang Viola di mana?”
“Viola masih berada di kamar ICU.”
“Masih ada barang yang tertinggal, Pan?”
“Sudah tidak ada yang tersisa. Semuanya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Baju untuk akad nikah lo juga sudah kusiapkan. Ngomong-ngomong lo udah mandi belum. Kalau aku tadi sempat mandi di kamar mandi rumah sakit. Sekarang sudah jam enam pagi. Cepetan lo harus siap-siap.”
“Benar Is. Kamu harus siap-siap sekarang.”
“Baklah, aku mau menjenguk Viola dulu. Setelah itu baru aku mandi.”
Aku segera berlari menuju ke kamar Viola. Kulihat Viola sudah terbangun.
“Assalamu’ alaikum, cantik.”
Viola agak terkejut melihat kedatanganku.”Wa’ alaikum salam. Oh, kamu Isma. Pagi, sayang.”
“Bagaimana keadaanmu, Vi.?”
“Sudah lebih baik dari kemarin. Keluargamu di mana? Mereka sudah datang kan?”
“Mereka masih di hotel bersama Danny. Sebentar lagi kamu akan bertemu mereka.”
“Lho kamu kok belum siap-siap, Is?”
“Aku ingin menjenguk kamu dulu. Setelah itu aku mau ganti baju sekalian mandi di sini.”
“Kalau begitu cepetan, gih. Biar segar badanmu.”
“Kutinggal sebentar ya, sayang?”
“Jangan lama-lama.”
“Beres.”
Aku segera meninggalkan Viola.
Kata Topan baju yang akan kukenakan nanti sudah disiapkan ke kamar rawat inap.
Aku segera menuju ke sana.
Setelah mengambil baju koko yang tersimpan di dalam cordenza yang tersedia di kamar itu, aku segera membersihkan tubuhku. Badanku terasa segar kembali. Capek dan penatku perlahan sirna. Berganti dengan semangat membara untuk menyambut hari bahagia. Kupakai baju koko warna putih dengan hiasan bordir di depannya yang dibelikan Danny kemarin di Kauman. Baju ini serasa pas dengan tubuhku. Serasi dengan celana hitam yang kupakai saat ini. Kemudian kurapikan rambut yang sudah mulai memanjang. Setelah tergerai dengan teratur, kupakaikan sebuah peci untuk menutupinya.
Aku pun menemui Viola kembali. Kelihatannya Viola juga sudah bersiap diri. Mungkin para perawat di sini yang telah membantunya. Wajahnya yang cantik telah dirias sedemikian rupa sehingga menambah kecantikannya. Rambutnya yang panjang sudah tergerai indah. Alat bantu pernapasannya juga sudah dilepas. Tinggal selang infus saja yang masih melekat di pergelangan tangannya.
“Wah, kamu tampan sekali memakai pakaian itu, sayang.”
“Benarkah, Vi. Kamu suka?”
“Aku suka sekali. Kamu akan kelihatan gagah di acara akad nikah kita nanti.”
“Kamu juga kelihatan cantik, bidadariku.”
“Makasih, sayang.”
Tiba-tiba Dokter Lukman masuk ke kamar Viola.
“Assalamu’ alaikum. Selamat pagi.”
“Wa’ alaikum salam. Oh, Om Lukman.”
“Iya, Viola. Pagi, Isma. Kamu sudah ada di sini rupanya. Maaf kalau Om mengganggu kalian.”
“Nggak papa, Dok.”
“Kelihatannya kalian sudah siap untuk acara akad nanti. Kalian sudah tampak rapi. Isma kelihatan tampan dan Viola juga terlihat cantik. Kalian memang pasangan yang serasi. Kalau begitu sekarang Om akan memindahkan Viola ke ruang rawat. Suster, tolong bantu.”
Setelah berkata begitu, dua orang suster segera masuk ke kamar Viola. Mereka membereskan semua perlengkapan medis yang ada. Setelah mereka selesai dengan pekerjaannya, Viola didorong oleh mereka secara perlahan menuju ke kamar yang baru dengan posisi tetap berbaring di ranjang.
Aku dan Dokter Lukman mengikuti dari belakang.
“Bagaimana perasaanmu, Is?” Dokter Lukman tiba-tiba bertanya kepadaku.
“Memang saya agak deg-degan menanti acara akad nanti. Tapi Insya Allah, saya sudah siap, Dok.”
“Semoga kamu bisa menjaga Viola untuk selamanya.”
“Dengan segenap hati saya, Dok.”
Akhirnya kami sampai di depan kamar Viola yang baru. Mas Deny dan Topan telah menanti di sana. Kedua suster yang mendorong ranjang Viola segera bersiap untuk membopong Viola untuk dipindahkan ke ranjang yang baru. Dengan sigap aku dan Mas Deny segera membantu. Aku dan Mas Deny segera membopong tubuh Viola yang masih lemah. Kutopang kepala serta bahunya dengan kedua tanganku. Kedua tangan Viola bergelayut manja di leherku. Mas Deny menopang punggungnya. Sedangkan salah satu suster menopang kaki Viola. Suster yang satunya tampak sedang merapikan ranjang yang akan di tempati. Topan turut membantu membawakan tiang infus. Kami segera meletakkan Viola dengan hati-hati di ranjangnya yang baru. Setelah Viola berbaring, kedua suster segera memasangkan peralatan medis kembali ke tubuh Viola. Viola tersenyum kepadaku. Aku berbisik kepadanya.
“Sebentar lagi, sayang. Kita akan bersama selamanya.”
Viola mengangguk mengiyakan perkataanku.
Dokter Lukman memeriksa keadaan Viola kembali. Kami semua diminta untuk keluar kamar sebentar. Ketika aku hendak duduk di kursi teras, kulihat Danny datang bersama keluargaku. Mereka berjalan kearahku. Aku segera beranjak untuk menyambutnya.
“Assalamu’ alaikum. Pagi semuanya.”
“Wa’ alaikum salam.”
“Tadi kami sempat ke ICU, katanya Viola sudah dipindahkan ke kamar rawat inap VIP. Jadi kuantar keluargamu kemari.”
“Thanks, Dan.”
“Isma, apa yang terjadi Nak? Mengapa kamu meninggalkan kami di hotel shubuh-shubuh?”
“Maafkan Isma, Bu. Isma tidak pamit kepada Bapak dan Ibu. Takut mengganggu. Shubuh tadi Isma buru-buru kemari karena ada salah seorang teman kami yang kondisinya sedang kritis. Isma ingin menjenguknya. Saat ini dia masih koma di ruang Operasi.”
“Kalau Neng Viola baik-baik saja, kan?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja, Pak. Dokter sedang memeriksa kesehatannya di dalam. O ya, Isma hampir lupa. Bapak dan Ibu, perkenalkan ini yang namanya Mas Deny, kakaknya Viola.”
Mas Deny segera mengulurkan tangannya menyambut keluargaku.
“Bapak, Ibu, selamat datang di Solo. Saya Deny Suhendra, kakaknya Viola. Senang sekali Bapak Ibu sekalian bisa hadir kemari.”
“Sama-sama, Nak Deny. Kami yang justru berterima kasih atas semua pelayanan yang Nak berikan kepada keluarga kami. Kami sangat senang dan menikmatinya. Sekali lagi terima kasih banyak.”
“Bapak Ibu tidak perlu sungkan pada saya. Itu sudah menjadi kewajiban saya. Sebentar lagi kita akan menjadi satu keluarga.”
“Kenalkan Nak Deny, ini adik-adiknya Isma.”
“Salam kenal Mas. Nama saya Arfi.”
“Kalau saya namanya Nadia, Mas.”
“Salam kenal juga, Dik. Nama saya Deny. Wah tidak Mas sangka kalau adik-adiknya Isma cantik-cantik juga. Sudah kelas berapa sekolahnya?”
“Saya sudah kelas 3 SMU, Mas. Kalau Nadia masih kelas 1 SLTP.”
Sambil menunggu Dokter Lukman yang masih memeriksa kondisi Viola, kami membicarakan tentang persiapan akad nikah nanti.
“Bagaimana persiapannya, Mas? Ustadz Muchtar bisa hadir pagi ini?”
“Sebelum Viola di pindah kemari, tadi Ustadz Muchtar sudah menghubungi Mas. Beliau sekarang sedang dalam perjalanan kemari. Rumahnya memang agak jauh dari sini. Tepatnya di Perumahan Mojosongo, perumahan yang terletak di batas utara kota Solo. Insya Allah tiga puluh menit sudah sampai kemari.”
“Bagaimana dengan maharnya, Is. Apakah kamu sudah menyiapkannya?”
“Sudah, Bu. Semuanya sudah lengkap. Kemarin saya sudah membeli Kitab Al-Quran dan seperangkat alat sholat yang terbaik untuk mas kawinnya.”
“Cincinnya bagaimana?”
“Sudah disiapkan oleh Mas Deny, Pak. Sebenarnya Isma masih nggak enak karena semuanya Mas Deny yang ngurusin.”
“Kamu ini gimana tho, Is. Masa yang mau menikah kamu tapi yang ngurusin semuanya Mas Deny. Dimana tanggung jawabmu?”
“Sebenarnya Isma juga malu, Bu. Tapi karena semuanya terjadi begitu mendadak, jadi Isma tidak bisa mempersiapkan semuanya dengan baik. Maafkan Isma, Bu.”
“Sudahlah, Bu. Jangan memarahi Isma terus. Kasihan Isma. Nanti dia tidak bisa konsentrasi.”
“Benar apa kata Bapak, Bu. Sebenarnya ini semua adalah tanggung jawab saya sebagai kakaknya Viola. Viola meminta Isma untuk menikahinya dengan mendadak. Tentulah Isma belum mempersiapkan segala. Jadi saya dengan ikhlas membantunya. Asalkan Isma mau memenuhi keinginan adik saya satu-satunya, saya akan rela melakukan apapun, Bu.”
“Kami jadi berhutang budi kepada Nak Deny. Sebagai orang tua kami merasa harus bertanggung jawab dengan semua ini. Seperti yang Nak Deny bilang, kejadiannya begitu cepat sehingga kami belum siap apa-apa. Bahkan kami pun belum sempat melamar Neng Viola untuk anak kami.”
“Anggap saja saat ini Bapak dan Ibu telah melamar Viola untuk dijadikan istrinya Isma. Dan saya sebagai walinya menyatakan kalau saya menerima lamaran Bapak Ibu sekalian. ”
“Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas budi baik Nak Deny sekeluarga.” Ibu pun tak kuasa menahan tangis. Air matanya meleleh membasahi kerudungnya.
Suasana seketika berubah menjadi keharuan dan kebahagian. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Bapak dan Mas Deny terlihat saling berpelukan. Aku pun memeluk Ibu dengan penuh kasih sayang. Kulihat Arfi dan Nadia juga menitikkan air mata. Topan yang biasanya celelekan juga tak bisa membendung air matanya. Dia sesenggukan melihat pemandangan ini.
Namun suasananya menjadi tenang kembali setelah pintu kamar Viola terbuka. Dokter Lukman terlihat keluar dari dalam kamar. Beliau telah selesai dengan pekerjaannya. Kami pun segera menghampirinya.
“Om, bagaimana kondisi Viola saat ini? Apa dia baik-baik saja?”
“Tenang, Den. Kondisi Viola sekarang sudah stabil. Tapi dia tidak boleh terlalu lelah. Sebenarnya dia masih harus banyak istrirahat. Tapi karena pagi ini ada cara penting yang harus dilaksanakan, Om rasa Viola masih mampu menjalaninya.”
“Kami boleh menjenguknya sekarang, Dok?” tanyaku.
“Silahkan, tapi jangan terlalu banyak orang. Sekarang Om tinggal dulu. Nanti Om kemari lagi pas acaranya dimulai.”
“Om, saya ada sebuah permintaan buat Om. Saya berharap Om bersedia menjadi saksi dalam akad nikah nanti. Saya mohon dengan sangat Om tidak menolaknya. Bagaimana, Om?”
“Insya Allah, Den. Om sanggup menjadi saksi untuk pernikahan Viola. ”
“Terima kasih, Om.”
Dokter Lukman berlalu meninggalkan kami diiringi kedua suster yang tadi turut memindahkan Viola. Dari kejauhan Dokter Lukman tampak berpapasan dengan seorang nenek yang menggandeng cucu perempuannya. Itu pastilah Eyang Lastri dan Putri. Aku segera menyambut mereka. Putri terlihat senang melihatku. Aku pun segera menggendongnya. Eyang Lastri aku perkenalkan satu-persatu dengan keluargaku. Kami menjadi akrab satu sama lain. Bahkan Nadia tampak sedang bermain dengan Putri. Mereka terlihat gembira.
Sesaat kemudian, aku segera mempertemukan keluargaku dengan Viola.
“Bapak, Ibu, maafkan saya tidak bisa menyambut.”
Viola sepertinya hendak beranjak dari ranjang. Namun Bapak dan Ibu mencegahnya.
“Kamu berbaring saja, Nak.”
Viola segera mencium tangan kedua orang tuaku dengan penuh perasaan.
Ibu membelai rambut Viola dengan penuh kasih sayang.
“Kamu cantik sekali, Nak. Isma sangat beruntung bisa mempersuntingmu.”
“Terima kasih, Bu.” Air mata Viola tiba-tiba menetes dengan sendirinya. Viola terus bergelayut di telapak tangan Ibu. Kurasa dia telah menemukan sesuatu yang dirindukannya selama ini. Dia merindukan belaian penuh kasih sayang dari seorang Ibu yang telah meninggalkannya sejak lama. Sekarang dia telah menemukannya pada diri Ibuku.
“Vi, kenalkan ini adik-adikku. Arfi dan Nadia.”
“Hai, adik-adik manis. Kemarilah. Mbak ingin mendekap kalian.”
Arfi dan Nadia menuruti perkataan Viola. Mereka berdua memeluk Viola dengan penuh kehangatan.
“Kalian cantik-cantik sekali. Mbak senang akan mempunyai adik-adik seperti kalian.”
“Mbak Viola juga cantik. Mbak wajahnya tak kalah cantik dengan bintang sinetron,” kata Nadia polos.
“Kamu bisa aja, Nad. Mbak mau tahu, apakah kalian senang memiliki kakak seperti Mbak?”
“Tentu kami senang, Mbak. Mas Isma sangat beruntung bisa mempunyai istri secantik Mbak,” jawab Arfi.
“Walaupun kondisi Mbak seperti ini?”
“Jangan khawatir, Mbak. Mas Isma akan mencintai Mbak dengan sepenuh hatinya apapun kondisi Mbak Viola. Arfi sangat mengenal Mas Isma. Mas Isma akan mencintai seseorang dengan sepenuh hatinya., seperti yang Mas berikan kepada kami berdua. Cinta Mas Isma begitu tulus. Cintanya seputih awan di langit biru. Mbak akan berbahagia bersamanya. Kalau Mas Isma saja bisa menerima Mbak, kenapa kami tidak bisa?”
Kata-kata Arfi sungguh mengagetkan diriku. Aku tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut adikku yang seingatku dulu sering bermanja-manjaan kepadaku. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu indah. Bagaikan setetes embun pagi yang menyirami hatiku. Kata-katanya begitu sejuk menusuk kalbu.
Viola kembali menitikkan air mata. Dipeluknya kembali Arfi dan Nadia dengan erat. “Meski Mbak baru pertama kali bertemu kalian, Mbak sangat sayang kepada kalian.”
“Kami juga sayang sama Mbak.”
Aku menjadi terharu melihat mereka bertiga.
Begitu pula dengan Ibu. Air mata kebahagiaan tak henti-hentinya mengalir dari kedua bola matanya. Bapak hanya berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca. Kami semua larut dalam kebahagiaan tiada terhingga.
Acara yang kunantikan telah tiba. Ustadz Muchtar telah hadir untuk menikahkan kami. Pak Edy juga telah datang bersama Agus, Yanti, Liana dan Dewi. Terlihat pula keluarga Mas Dody di sana. Dan ternyata Bu Ratna juga turut hadir. Mungkin Mas Deny yang menghubunginya. Kami semua berkumpul di kamar Viola. Sebagai saksi di acara akad nikah ini, ditunjuklah Dokter Lukman dan Bu Ratna dari pihak Viola. Mas Dody dan Pak Edy menjadi saksi dari pihakku.
Sebelum acara dimulai, Pak Abdul tiba –tiba muncul. Bu Surti tidak bersamanya. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. Dia memohon maaf karena telah menyela acara akad nikah yang akan berlangsung. Beliau memintaku untuk bisa menemuinya sejenak di luar.
Setelah minta persetujuan dari semua hadirin, aku menemui Pak Abdul.
“Pak, mana Ibu? Beliau tidak bersama Bapak? Bagaimana keadaan Fatimah?”
Pak Abdul diam sejenak. Beliau terlihat sedang menahan kesedihan dari hatinya yang terdalam.
“Maafkan Bapak, Nak Isma. Bapak dan Ibu tidak bisa menghadiri acara akah nikah Nak Isma.”
“Apa yang telah terjadi,Pak?”
“Nak Isma, …. Fatimah, …. Fatimah telah meninggal dunia.”
Innalillahi wa’ innalillahi roji’un.
Air mataku hampir tumpah mendengar kabar yang di sampaikan Pak Abdul.
Pak Abdul seketika menepuk pundakku.
“Nak Isma, ada sesuatu yang hendak Bapak sampaikan.”
“Apakah itu, Pak?”
“Sebelum Fatimah mengalami kesakitan shubuh tadi, ia sempat menulis sebuah surat. Dia berpesan kepada Bapak untuk menyerahkan surat itu kepada Nak Isma. Kemudian dia kembali berpesan kalau surat itu harus dibuka setelah acara akad nikah Nak Isma selesai dan Nak Isma sendiri yang harus membukanya. Ini surat dari Fatimah, Nak.”
Pak Abdul menyerahkan sepucuk surat beramplop warna kuning kepadaku. Tak ada tulisan apapun dalam amplopnya. Aku pun segera menerimanya dengan hati yang masih berduka. Kumasukkan surat itu ke dalam sakuku.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mohon pamit. Bapak akan mengurusi jenazah Fatimah dulu.”
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa membantu. Tapi Insya Allah setelah acara ini, saya akan menjenguk Fatimah untuk terakhir kali. Saya ingin mensholatkannya dan mendoakannya.”
“Terima kasih, Nak Isma. Bapak pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Pak Abdul pergi dengan langkah gontai.
Aku pun kembali ke dalam kamar dengan perasaan sedih yang kusembunyikan. Aku tidak ingin semuanya mengetahui kalau aku telah kehilangan seorang adik, seorang teman, seorang penggemar setia yang periang. Fatimah telah berpulang kepada penciptanya. Dan aku sangat kehilangan dirinya.
Setelah semuanya siap, acara pun dimulai. Ustadz Muchtar mulai memberikan ceramah singkatnya sebelum memasuki acara inti.
Selang beberapa menit, tibalah saat yang paling mendebarkan bagi diriku. Viola melihat semua proses yang berlangsung dari atas ranjangnya. Dia terlihat pasrah dan menyerahkan semuanya kepadaku. Sebagai walinya, Mas Deny segera menjabat tanganku dengan erat. Mengikuti semua perkataan Ustadz Muchtar, Mas Deny berkata kepadaku.
“Aku nikahkan dan kawinkan, Viola binti Suhendra dengan mas kawin sepasang cincin emas bermata berlian beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Aku pun segera menjawab dengan mantap dan lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya, Viola binti Suhendra dengan mas kawin sepasang cincin emas bermata berlian beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Ustadz Muchtar segera bertanya kepada para saksi.” Bagaimana para saksi? Apakah sah?”
Para saksi pun menjawab serempak. ”Sah!!!”
Aku pun segera sujud syukur. Ya Allah, terima kasih atas semua kebahagian yang telah Kau limpahkan padaku. Detik itu juga Viola telah menjadi istriku. Kupeluk Mas Deny erat-erat. Sekarang dia telah resmi menjadi kakak iparku. Aku segera beranjak mendekati Viola. Wajahnya yang cantik telah basah oleh linangan air mata. Mulutnya terkunci. Semuanya begitu indah untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata. Segera kupeluk istriku dengan penuh kasih sayang. Kukecup keningnya dengan lembut. Semua yang menyaksikan tidak bisa menahan linangan air mata. Semua menangis dalam kebahagiaan. Kesedihan yang kualami karena kehilangan Fatimah sesaat terlupakan.
Kembali kudekap tubuh istriku dengan erat. Kini kami telah bersatu selamanya. Cinta kami yang suci telah bersanding abadi dengan indahnya. Dunia seakan tersenyum melihat kami berdua terhanyut dalam anugerah tiada terhingga. Semua tangis bahagia tertumpah ruah menyambutnya.
Namun tak seberapa lama, tangis kebahagian terhenti ketika kudengar suara yang mengejutkan dari alat monitor detak jantung yang berada di sebelah ranjang Viola. Layar monitor itu menunjukkan sebuah garis lurus bewarna hijau yang berjalan tiada hentinya. Kami semua tersentak. Segera kulihat wajah Viola. Wajahnya tampak teduh bercahaya. Senyumnya mengembang dimulutnya. Namun kedua matanya terpejam tak bergerak. Seketika tangannya yang bergelayut di pundakku jatuh tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya diam tak bergerak. Viola tergolek lemah tak berdaya di atas ranjangnya. Semuanya terpaku. Semuanya terdiam. Suasana bahagia seketika terhenti. Sunyi, sepi dan kehampaaan mulai menyelimuti. Begitu tersadar, Dokter Lukman segera bergegas dan menyuruhku untuk menyingkir. Dia segera memeriksa keadaan Viola. Para suster perawat segera datang memberi pertolongan. Alat pacu jantung segera dipersiapkan. Kami semua masih terpaku. Kami tidak mempercayai apa yang kami lihat saat ini. Tubuh Viola terguncang hebat. Sebuah sengatan listrik menyambar tubuhnya. Begitu berulang-ulang tindakan itu dilakukan oleh Dokter Lukman. Namun Viola tetap tidak bergerak. Layar monitor masih menunjukkan garis lurus yang panjang. Pandanganku menjadi kabur. Aku tidak bisa berpikir lagi. Semuanya menjadi gelap. Air mataku tumpah tak terbendung. Seketika aku berteriak memanggil istriku dengan sekuat tenaga. Aku berteriak seperti orang gila. Aku tidak peduli. Aku terus berteriak, berteriak dan berteriak tanpa henti. Aku terus memanggil-manggil namanya. Namun Viola tetap tidak mendengarkanku. Tubuhku tetap diam tak bergerak sedikitpun dengan senyum mengembang di wajahnya ….
SEKIAN
Dan perjalananku pun masih terus berlanjut…
Begitu sampai di bawah depan pintu masuk hotel, kami turun dari mobil. Dua orang roomboy dengan sigap menyambut kami. Mereka menawarkan bantuan untuk membawa tas travel milik Bapak dan Ibu dengan menggunakan troli. Danny dan Topan segera membimbing mereka ke bagasi. Begitu aku masuk ke lobby, segera kutuju meja receptionist yang berada tepat di depan pintu masuk. Seorang cewek receptionist menyambutku dengan ramah.
“Selamat malam, Bapak. Selamat datang di hotel kami. Ada yang bisa kami bantu.”
“Saya ingin check in malam ini, Mbak. Sebelumnya saya sudah booking kamar di sini atas nama Deny Suhendra. Saya sudah pesan dua kamar.”
“Kalau begitu harap Bapak menunggu sebentar. Saya cek dulu di database kami.”
Cewek receptionist kemudian sibuk membuka data di komputer yang berada di bawah meja.
Aku dengan sabar menunggunya. Kulihat keluargaku sudah berkumpul di belakangku. Bapak dan Ibu terlihat kelelahan. Sedangkan Arfi dan Nadia terlihat mulai mengantuk. Aku kasihan dengan mereka. Mereka datang kemari demi diriku.
Tak beberapa lama, cewek receptionist tadi menyapaku kembali.
“Permisi, Bapak. Kami sudah cek di data kami. Di sini tercatat pesanan kamar atas nama Bapak Deny Suhendra untuk malam ini. Nomer kamarnya 401 dan 402. Betul begitu, Bapak?”
“Betul, Mbak.”
“Kalau begitu, saya boleh tahu nama Bapak?”
“Nama saya Isma. Lengkapnya Muhammad Ismail Ruzain.”
“Saya boleh pinjam KTP Bapak?”
“Tunggu sebentar, saya ambilkan dulu.”
Aku segera merogoh saku celanaku untuk mengambil KTP yang terselip di dalam dompetku. Setelah kudapatkan, KTP itu segera kuberikan kepada cewek receptionist itu.
“Ini Mbak, KTP saya.”
“Baiklah, kalau begitu silahkan Bapak sekeluarga langsung naik menuju ke kamar. Biar petugas kami yang mengantar. Semoga Bapak sekeluarga puas dengan pelayanan kami dan terima kasih atas kunjungannya.”
“Sama-sama, Mbak.” Aku segera berpaling ke arah keluargaku.” Ayo kita ke kamar. Biar Bapak dan Ibu segera bisa istirahat. Arfi dan Nadia juga sudah ngantuk kan?”
“Dikit, Mas,” kata Nadia sambil mengucek matanya.
Tiba-tiba Danny menepuk pundakku.
“Is, gue dan Topan balik dulu ya. Sudah larut malam nih. Besok pagi-pagi, gue jemput kemari.”
“Gue pamit juga, Is. Gue mau balik dulu ke rumah sakit nemenin Mas Deny di sana. Lo di sini aja dulu, berkumpul dengan keluarga lo. Nanti gue hubungi kalau ada perkembangan dari rumah sakit.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, teman-teman.”
“Sama-sama, thanks juga buat nasi liwetnya. Sering-sering gue diajak kalau makan enak.”
“Lo ini, Pan. Nggak pernah berubah.”
“Kami cabut dulu ya, Is. Om, Tante, Arfi dan Nadia. Kami mohon pamit dulu. Insya Allah besok pagi saya akan jemput kemari.”
“Saya juga pamit dulu Om, Tante. Saya mau balik ke rumah sakit dulu menemani calon kakak iparnya Isma di sana. Arfi, Nadia, Mas Topan pulang dulu ya.”
“Terima kasih, Nak Danny, Nak Topan. Maafkan kami kalau sudah merepotkan kalian.”
“Tidak sama sekali, Om. Kami justru senang bisa membantu teman. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Danny dan Topan berlalu meninggalkan kami di lobby hotel.
Setelah mereka hilang dari pandangan, aku sekeluarga mengikuti roomboy yang mengantar kami menuju kamar yang kupesan. Kugelayutkan kedua tanganku untuk mendekap adik-adikku dengan erat di kedua sisi tubuhku. Mereka berdua malah bersandar di kedua bahuku dengan manja. Sesekali mereka menguap menahan kantuk. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Ternyata kamar yang kami pesan terletak di lantai empat. Kami harus menggunakan lift untuk naik ke atas. Begitu kami tiba di lantai empat, sebuah koridor yang panjang dengan lebar kira-kira 3m terhampar di hadapan kami. Koridor ini membelah bangunan hotel menjadi 2 bagian tepat di tengah-tengah. Di sisi kiri dan kanan berderet kamar –kamar hotel tersusun berurutan berdasarkan nomer kamar. Untuk kamar nomer ganjil berada di sisi kiri koridor, sedangkan untuk nomer genap berada di kanan koridor. Kamar kami terletak di ujung koridor karena nomer kamar kami berada di urutan pertama dan kedua. Kamar 401 berada di sisi kiri sedangkan kamar 402 berada di sisi kanan. Bellboy segera membukakan pintu kedua kamar dengan menggunakan kartu khusus. Ketika dia hendak menurunkan tas milik Bapak dan Ibu, segera kuperintahkan dia untuk memasukkannya ke kamar 401. Dia pun mengikuti perintahku.
“Bapak dan Ibu tidur di kamar ini saja. Biar Arfi dan Nadia tidur di kamar sebelah,” kataku kepada kedua orang tuaku.
“Kamu nanti tidur di mana, Is?”
“Isma nanti ikut di kamar adik-adik saja, Bu. Biar Bapak dan Ibu bisa beristirahat dengan tenang.”
“Baiklah kalau begitu.”
Bapak dan Ibu segera masuk ke kamarnya. Begitu pula dengan Arfi dan Nadia. Mereka segera menghambur masuk ke kamarnya dan loncat ke atas ranjang yang empuk. Mereka sudah tidak tahan menahan kantuk.
Tak lama kemudian, roomboy pun keluar dari kamar. Dia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Aku pun tak lupa memberi uang tips kepadanya. Setelah dia mengucapkan terima kasih, dia berlalu dari hadapanku. Aku segera masuk ke kamar Bapak dan Ibu.
“Bagaimana Pak, Bu. Kamarnya nyaman?”
“Wah, kamar hotel ini bagus sekali, Is. Seumur-umur, Ibu belum pernah tidur di kamar yang semewah ini. Pasti mahal ya bayarnya.”
“Ibu tidak usah memikirkan bagaimana membayarnya. Semuanya sudah diurus oleh Mas Deny, kakaknya Viola.”
“Kakaknya Viola baik sekali ya. Besok Ibu akan berterima kasih padanya atas semua pelayanan ini.”
“Bapak dan Ibu sekarang istrirahat saja di sini supaya besok bisa menghadiri pernikahanku dengan tubuh yang bugar. Tapi kalau Bapak dan Ibu mau mandi dulu, di sini juga ada air panasnya.”
“Bapak tahu, Is. Bapak kan juga pernah menginap di hotel mewah di Semarang sewaktu ada acara kantor.”
“Baik, Pak. Sekarang Isma tinggal dulu.”
“Kamu juga istrirahat sana. Kamu kelihatan lelah, Nak.”
“Jangan lupa nanti malam kamu sholat tahajjud, minta kepada Allah semoga besok pernikahanmu dapat berjalan dengan lancar.”
“Baik, Pak, Bu. Isma tinggal dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku berlalu meninggalkan Bapak dan Ibu. Setelah kututup pintu kamarnya, aku segera masuk ke kamar adik-adikku. Kulihat mereka sudah tertidur dengan pulas. Saking nyenyaknya, mereka sampai lupa melepaskan sepatu yang masih menempel di kedua kaki mereka masing-masing. Tas ransel yang mereka bawa juga terlihat berserakan di bawah ranjang. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua adikku. Kelihatannya sifat mereka belum mengalami perubahan yang mencolok. Mereka masih tetap manja kepadaku. Hanya saja sekarang Arfi tampak lebih dewasa. Mungkin karena dia sekarang telah duduk dibangku SMU. Dia tampak lebih cantik dengan jilbabnya.
Nadia juga tak kalah cantiknya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai rapi. Dia memang belum mengenakan jilbab seperti kakaknya. Sifatnya masih manja sekali meskipun sekarang dia sudah duduk di bangku SLTP. Maklum dia adalah anak bungsu di keluargaku.
Segera kurapikan tas ransel mereka yang berserakan di bawah ranjang ke tempat yang sudah disediakan. Kulepas sepatu yang masih melekat di kedua kaki adik-adikku. Mereka hanya menggeliat manja ketika kulepas sepatunya. Kukecup kening mereka satu-persatu. Mereka masih tertidur dengan nyenyak di ranjangnya masing-masing.
Malam semakin larut. Kupandangi lampu-lampu yang menghiasi kota Solo diwaktu malam hari dari balik jendela kamar. Tak kusangka pemandangan kota Solo dari atas sini terlihat indah. Kamar yang kutempati memiliki jendela yang menghadap langsung ke arah jalan utama kota Solo. Beberapa kendaraan masih melintas di atas aspalnya. Para pedagang makanan lesehan yang berada di trotoar-trotoar jalan terlihat ada beberapa yang mulai tutup. Mereka sedang merapikan tenda serta dagangannya. Kulihat di kejauhan malam, patung Slamet Riyadi berdiri menjulang dengan sombongnya. Aku kembali teringat ketika aku dan Viola mengunjungi warung Eyang Lastri yang letaknya tak jauh dari patung itu. Apa warung Eyang Lastri juga sudah tutup sekarang? Kasihan juga si Putri. Malam-malam begini baru bisa pulang ke rumah Eyang Lastri. Ah, semoga dia baik-baik saja.
Aku terhanyut dalam lamunan. Pikiranku dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang menimpaku seharian ini. Mulai dari ikut festival, bertemu Azizah dan teman-temannya, naik ke atas panggung, Viola mengalami musibah, dan seterusnya hingga kejadian dimana aku menyatakan kesanggupan untuk menikahi Viola. Aku tidak bisa melupakannya. Hal itu menyebabkan aku tidak bisa memejamkan mata. Perasaanku menjadi tidak tenang. Bayang-bayang wajah Viola tidak bisa hilang dari hadapanku. Aku terus memikirkannya. Khayalanku tak bisa lepas darinya.
Berbagai pertanyan mulai timbul di kepalaku. Apakah sekarang Viola sedang tertidur dengan pulas? Bagaimana kondisinya saat ini? Apakah sudah membaik atau malah memburuk? Apakah Viola bisa melewati malam ini? Apakah cinta kami bisa bersanding dengan bahagia besok pagi? Apakah …? Apakah …? Apakah …?
Terus menerus pikiran-pikiran itu menghantuiku. Aku menjadi gelisah. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui keadaan Viola saat ini. Dan ketika aku hendak mengambil handphone untuk menghubungi Topan atau Mas Deny, tiba-tiba sebuah SMS masuk. Untung tadi aku sempat mengatur deringnya ke silent mode sehingga adik-adikku tidak terganggu.
Kulihat pesan berasal Mas Deny. Ya Allah, ada apa gerangan Mas Deny menghubungiku malam-malam begini? Apakah sesuatu terjadi dengan Viola. Segera kubaca isi pesannya.
Maaf kalau mlm2 Mas mengganggu.
Mas mlm ini tdk bs tidur.
Mas khawatir dng Viola.
Mas tdk berani meninggalkannya!
Kamu bgmn?
Ternyata kondisi Mas Deny tidak jauh berbeda denganku. Tentu Mas Deny juga mengkhawatirkan adiknya. Segera kubalas pesannya.
Aku jg tdk bs tidur, Mas
Aku jg mengkhawatirkan Viola.
Bgmn kondisinya saat ini?
Apa dia baik2 saja?
Mas Deny segera membalasnya.
Viola masih tertidur pulas.
Dia dalam pengaruh obat.
Kamu jgn khawatir.
Ada Mas dan Topan yang jaga di sini.
Kamu tidur skrg spy besok bisa bugar.
Besok hari pernikahanmu.
Sudah dulu. Sorry kalau mengganggu.
Setelah membaca pesan terakhir Mas Deny, aku menjadi lega. Perasaan cemasnya mulai hilang. Kuputuskan untuk segera tidur malam ini. Benar kata Mas Deny. Besok aku harus tampil dengan tubuh yang bugar karena besok adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku. Aku harus tampil sesempurna mungkin. Segera kurebahkan tubuhku di antara kedua ranjang adikku. Tepatnya di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar hotel ini. Kucoba untuk memejamkan mata. Pikiranku perlahan mulai kosong. Dan akhirnya aku pun tertidur dengan lelap.
Sekitar jam empat pagi, handphoneku tiba-tiba bergetar di dekat telingaku. Spontan aku terbangun dari tidurku. Rupanya aku ketiduran setelah sholat tahajjud semalam. Sengaja handphone kuletakkan di sana supaya kalau ada telpon masuk, aku segera menyadarinya. Kulihat di layar LCD, Topan mencoba menghubungiku. Ada ada gerangan shubuh-shubuh begini menelponku? Karena penasaran, segera kuangkat telponnya.
“Halo. Assalamu’ alaikum. Ada apa, Pan?”
“Wa’ alaikum salam. Ada kabar buruk dari rumah sakit.”
“Apa sesuatu terjadi dengan Viola, Pan?”
“Gue tidak bisa ngomong banyak di sini. Handphone gue sedang lowbat. Kalau bisa lo segera kemari.”
“Baik. Setelah sholat shubuh aku segera ke sana.”
“OK, gue tunggu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Telpon tertutup.
Aku masih tidak bergerak. Pikiranku kembali bertanya-tanya. Hal apa yang telah terjadi di rumah sakit? Supaya dapat mengetahui jawabannya, aku segera menunaikan sholat shubuh.
Selang beberapa menit setelah aku menulis pesan yang kuletakkan di atas meja, aku segera meninggalkan adik-adikku yang masih tertidur. Begitu keluar dari kamar, aku segera berlari melewati koridor menuju tempat lift. Rupanya lift masih kosong, jadi aku tidak perlu menunggu lama untuk naik ke dalamnya. Segera kutekan tombol groundfloor yang menyala merah. Begitu sampai di bawah, aku berlari menuju lobby hingga akhirnya aku keluar dari hotel. Beberapa staf hotel menyapaku dengan wajah bingung dan keheranan. Aku tidak memperdulikan mereka. Karena jarak hotel dengan rumah sakit hanya beberapa ratus meter saja, kuputuskan untuk berlari tanpa membuang waktu. Hitung-hitung aku lari-lari pagi yang semenjak kuliah sudah jarang kulakukan lagi. Nafasku mulai memburu. Keringat mulai membasahi tubuhku. Tapi aku terus berlari dan berlari tanpa memperdulikan kakiku yang terasa pegal.
Akhirnya aku sampai juga di rumah sakit. Aku segera berlari menuju ke ruang ICU. Aku sangat mengkhawatirkan Viola saat ini. Aku sudah membayangkan kemungkinan yang terburuk akan terjadi.
Sesampainya di sana, kulihat suasananya terlihat lengang. Hanya terlihat dua orang suster yang berjaga. Mas Deny dan Topan tidak terlihat batang hidungnya. Kuintip Viola dari balik kaca yang berada di daun pintu. Kulihat Viola masih tertidur dengan lelap. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Aku menjadi sedikit heran. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimana Topan yang barusan menghubungiku? Kemana dia? Belum selesai kujawab pertanyaanku sendiri, aku melihat sesosok tubuh yang agak gempal berlari ke arahku. Aku mengenal sosok itu. Itu Topan yang kucari-cari. Tanpa menunggunya, aku juga berlari menghampirinya. Kami pun bertemu di koridor yang tak jauh dari ruang ICU.
“Pan, darimana saja kamu? Aku mencarimu kemana-mana? Tadi kulihat di dalam, Viola tampak baik-baik saja. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
“Sorry, gue barusan dari Ruang Operasi. Bukan Viola yang mengalami kondisi yang memburuk, tapi Fatimah.”
“Fatimah? Apa yang telah terjadi padanya, Pan.”
“Tadi sebelum adzan shubuh, gue dan Mas Deny tiba-tiba mendengar suara histeris dari arah kamar VIP. Setelah kami mencari sumbernya, ternyata suara itu berasal dari kamar Fatimah. Gue dan Mas Deny segera berlari ke sana. Kemudian kami bertemu dengan Pak Abdul. Beliau mengatakan kalau tiba-tiba Fatimah menjerit kesakitan sambil memegangi kepalanya. Dia terus-menerus menjerit tanpa henti. Bu Surti ikutan menjerit histeris melihat derita yang dialami oleh putrinya. Kami juga kasihan sewaktu melihatnya. Kondisi Fatimah sangat memprihatinkan. Sekarang dia telah dibawa ke ruang Operasi supaya segera bisa diambil tindakan untuk menolongnya. Mas Deny masih di sana bersama Pak Abdul dan istrinya. Kondisi Fatimah sedang kritis dan dia mengalami koma.”
“Kalau begitu, aku segera ke sana. Kamu nggak ikutan?”
“Gue tunggu di sini saja. Tadi Mas Deny menyuruhku untuk berjaga di sini kalau ada apa-apa dengan Viola.”
“Baiklah, Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku segera meninggalkan Topan menuju ke Ruang Operasi. Oh, adikku Fatimah. Gadis periang yang malang itu sekarang sedang menunggu saat-saat terakhirnya. Ya Allah, apakah waktunya sudah tiba? Apakah Engkau akan memanggil Fatimah untuk segera menghadap-Mu? Jika itu memang kehendak-Mu, berilah kemudahan untuknya. Jangan Kau biarkan dia merasakan siksaan yang diluar kemampuannya. Ya Allah, semoga engkau mendengarkan doaku ini.
Sambil kuucapkan asma Allah tiada henti, aku terus berlari. Letak Ruang Operasi memang agak jauh ke dalam. Aku memerlukan waktu hingga lima menit untuk sampai ke sana setelah bertanya ke sana-kemari. Begitu sampai di sebuah ruang tunggu, aku melihat Mas Deny duduk menemani Pak Abdul yang tengah menghibur Bu Surti yang masih menangis. Segera kuhampiri mereka.
“Assalamu’ alaikum. Pak Abdul, Bu Surti, bagaimana keadaan Fatimah?”
Bu Surti segera berdiri dan memelukku. Bu Surti berkata kepadaku dengan terbata-bata. “Oh, Nak Isma. Tolong Fatimah, Nak. Tolong Fatimah…”
“Iya, Bu. Saya tahu. Ibu tenang dulu. Istighfar, Bu. Istighfar. Biar dokter yang menolong Fatimah di dalam,” kataku sambil melepaskan pelukan Bu Surti secara perlahan.
“Kasihan sekali Fatimah, anakku.”
“Bersabarlah, Bu. Semoga dia baik-baik saja. Mari kita berdoa minta pertolongan kepada Yang Diatas. Semoga Fatimah masih bisa bersama kita kembali.”
“Bapak senang Nak Isma bisa datang. Kami merasa terhibur bila Nak Isma ada di sini menemani kami.”
“Sudah sepantasnya, Pak. Fatimah sudah seperti adik saya sendiri.”
“Mudah-mudahan mukjizat terjadi pada diri anak kami.”
“Bila Allah menghendaki, semua bisa terjadi, Pak.”
Bu Surti sekarang tampak lebih tenang. Dia terduduk lunglai di bangku. Wajahnya memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Tatapan matanya kosong. Semangat hidupnya serasa hilang. Pak Abdul juga memperlihatkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan istrinya. Hanya saja beliau tampak lebih tabah menghadapi cobaan ini. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka.
Kuhampiri Mas Deny yang sedari tadi duduk terdiam. Aku pun duduk disampingnya. Wajahnya kelihatan sangat kelelahan. Mungkin dia kurang tidur karena menjaga Viola. Aku jadi merasa tidak enak hati.
“Mas baik-baik saja?” sapaku.
“Nggak papa, Is. Semalam Mas hanya kurang tidur. Mas tidak bisa memejamkan mata. Mas takut Viola kenapa-kenapa.”
“Sekarang Mas istirahat dulu saja. Biar aku yang tunggu di sini. Topan juga sudah menjaga Viola di sana.”
“Bagaimana dengan keluargamu, Is? Mereka nyaman tidur di hotel?”
“Mereka sangat senang sekali, Mas. Ibu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Mas atas kebaikan Mas.”
“Sudahlah, Is. Mas turut senang kalau mereka nyaman di sana? Ngomong-ngomong, apa mereka tahu kamu berada disini?”
“Belum, Mas. Mereka semua masih istrirahat, aku tidak mau mengganggu. Tapi aku sudah titip pesan yang kuletakkan di atas meja.”
“Semoga mereka tidak khawatir. Sekarang Mas mau istirahat sebentar, mumpung masih ada waktu.”
“Silahkan, Mas.”
“Mas pergi dulu ya. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Mas Deny segera meninggalkanku. Tak lupa dia berpamitan dengan Pak Abdul dan Bu Surti. Setelah itu, dia menghilang di balik dinding rumah sakit bercat hijau.
Menit-menit terus berlalu. Belum ada perkembangan yang berarti mengenai kondisi Fatimah. Dia masih koma di dalam. Bu Surti terlihat ketiduran di bahu suaminya. Sedangkan Pak Abdul duduk bersandar dengan wajah yang letih.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Silent mode masih kuaktifkan. Terlihat Danny menghubungi.
“Halo, Is. Assalamu’alaikum. Posisi lo sekarang di mana?”
“Wa’ alaikum salam. Sekarang aku berada di rumah sakit. Aku sedang menunggu Fatimah yang telah koma.”
“Fatimah koma? Ya Allah, semoga dia tidak apa-apa. O ya, sekarang gue sudah di lobby hotel mau jemput keluarga lo. Mereka sudah kuhubungi lewat operator hotel untuk bersiap-siap. Sebentar lagi mereka akan turun. Gimana, aku langsung antar mereka ke rumah sakit?”
“Begini saja. Biar mereka sarapan dulu di hotel. Setelah itu baru lo antar kemari.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Gue bisa numpang mandi di rumah sakit saja. Lagian baju untuk akad nikah nanti semuanya sudah siap kan?”
“Baiklah kalau begitu. Sampai ketemu di rumah sakit. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku tutup teleponnya. Kulihat jam tanganku sebentar. Waktu sudah menunjukkan hampir jam enam pagi. Aku harus segera bersiap-siap. Dua jam lagi peristiwa penting dalam hidupku akan dilaksanakan. Segera kuhampiri Pak Abdul dengan perlahan.
“Pak Abdul?”
“Oh, Nak Isma. Ada apa?”
“Saya mohon maaf karena tidak bisa menunggu lama di sini. Saya harus segera bersiap-siap. Seperti yang Bapak tahu. Pagi ini saya mau menikah, jadi saya mohon pamit dulu.”
“Silahkan, Nak. Malahan kami yang harus minta maaf karena sudah merepotkan dan mengganggu persiapan pernikahan Nak Isma.”
“Nggak papa, Pak. Saya turut prihatian dengan kondisi Fatimah. Mohon Bapak sudi menghubungi saya kalau ada perkembangan dari Fatimah.”
“Insya Allah, Nak.”
“Kalau begitu, saya pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Aku berlalu meninggalkan Pak Abdul dan Bu Surti.
Segera kuayunkan langkahku menuju ke tempat Viola kembali. Sesampainya di sana, kulihat Topan dan Mas Deny sedang membawa barang-barang untuk acara akad nikah nanti.
“Lho, mau dibawa kemana Mas barang-barangnya?”
“Pagi tadi Om Lukman sempat menengok Viola. Kondisi Viola agak membaik. Untuk itu, Om Lukman akan memindahkan Viola ke kamar rawat VIP yang terletak di samping kamar Fatimah. Kalau di ruang ICU nanti takutnya mengganggu pasien yang lain. Lagipula di kamar rawat inap tempatnya lebih luas karena mempunyai teras yang bisa digunakan untuk menerima tamu.”
“Sekarang Viola di mana?”
“Viola masih berada di kamar ICU.”
“Masih ada barang yang tertinggal, Pan?”
“Sudah tidak ada yang tersisa. Semuanya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Baju untuk akad nikah lo juga sudah kusiapkan. Ngomong-ngomong lo udah mandi belum. Kalau aku tadi sempat mandi di kamar mandi rumah sakit. Sekarang sudah jam enam pagi. Cepetan lo harus siap-siap.”
“Benar Is. Kamu harus siap-siap sekarang.”
“Baklah, aku mau menjenguk Viola dulu. Setelah itu baru aku mandi.”
Aku segera berlari menuju ke kamar Viola. Kulihat Viola sudah terbangun.
“Assalamu’ alaikum, cantik.”
Viola agak terkejut melihat kedatanganku.”Wa’ alaikum salam. Oh, kamu Isma. Pagi, sayang.”
“Bagaimana keadaanmu, Vi.?”
“Sudah lebih baik dari kemarin. Keluargamu di mana? Mereka sudah datang kan?”
“Mereka masih di hotel bersama Danny. Sebentar lagi kamu akan bertemu mereka.”
“Lho kamu kok belum siap-siap, Is?”
“Aku ingin menjenguk kamu dulu. Setelah itu aku mau ganti baju sekalian mandi di sini.”
“Kalau begitu cepetan, gih. Biar segar badanmu.”
“Kutinggal sebentar ya, sayang?”
“Jangan lama-lama.”
“Beres.”
Aku segera meninggalkan Viola.
Kata Topan baju yang akan kukenakan nanti sudah disiapkan ke kamar rawat inap.
Aku segera menuju ke sana.
Setelah mengambil baju koko yang tersimpan di dalam cordenza yang tersedia di kamar itu, aku segera membersihkan tubuhku. Badanku terasa segar kembali. Capek dan penatku perlahan sirna. Berganti dengan semangat membara untuk menyambut hari bahagia. Kupakai baju koko warna putih dengan hiasan bordir di depannya yang dibelikan Danny kemarin di Kauman. Baju ini serasa pas dengan tubuhku. Serasi dengan celana hitam yang kupakai saat ini. Kemudian kurapikan rambut yang sudah mulai memanjang. Setelah tergerai dengan teratur, kupakaikan sebuah peci untuk menutupinya.
Aku pun menemui Viola kembali. Kelihatannya Viola juga sudah bersiap diri. Mungkin para perawat di sini yang telah membantunya. Wajahnya yang cantik telah dirias sedemikian rupa sehingga menambah kecantikannya. Rambutnya yang panjang sudah tergerai indah. Alat bantu pernapasannya juga sudah dilepas. Tinggal selang infus saja yang masih melekat di pergelangan tangannya.
“Wah, kamu tampan sekali memakai pakaian itu, sayang.”
“Benarkah, Vi. Kamu suka?”
“Aku suka sekali. Kamu akan kelihatan gagah di acara akad nikah kita nanti.”
“Kamu juga kelihatan cantik, bidadariku.”
“Makasih, sayang.”
Tiba-tiba Dokter Lukman masuk ke kamar Viola.
“Assalamu’ alaikum. Selamat pagi.”
“Wa’ alaikum salam. Oh, Om Lukman.”
“Iya, Viola. Pagi, Isma. Kamu sudah ada di sini rupanya. Maaf kalau Om mengganggu kalian.”
“Nggak papa, Dok.”
“Kelihatannya kalian sudah siap untuk acara akad nanti. Kalian sudah tampak rapi. Isma kelihatan tampan dan Viola juga terlihat cantik. Kalian memang pasangan yang serasi. Kalau begitu sekarang Om akan memindahkan Viola ke ruang rawat. Suster, tolong bantu.”
Setelah berkata begitu, dua orang suster segera masuk ke kamar Viola. Mereka membereskan semua perlengkapan medis yang ada. Setelah mereka selesai dengan pekerjaannya, Viola didorong oleh mereka secara perlahan menuju ke kamar yang baru dengan posisi tetap berbaring di ranjang.
Aku dan Dokter Lukman mengikuti dari belakang.
“Bagaimana perasaanmu, Is?” Dokter Lukman tiba-tiba bertanya kepadaku.
“Memang saya agak deg-degan menanti acara akad nanti. Tapi Insya Allah, saya sudah siap, Dok.”
“Semoga kamu bisa menjaga Viola untuk selamanya.”
“Dengan segenap hati saya, Dok.”
Akhirnya kami sampai di depan kamar Viola yang baru. Mas Deny dan Topan telah menanti di sana. Kedua suster yang mendorong ranjang Viola segera bersiap untuk membopong Viola untuk dipindahkan ke ranjang yang baru. Dengan sigap aku dan Mas Deny segera membantu. Aku dan Mas Deny segera membopong tubuh Viola yang masih lemah. Kutopang kepala serta bahunya dengan kedua tanganku. Kedua tangan Viola bergelayut manja di leherku. Mas Deny menopang punggungnya. Sedangkan salah satu suster menopang kaki Viola. Suster yang satunya tampak sedang merapikan ranjang yang akan di tempati. Topan turut membantu membawakan tiang infus. Kami segera meletakkan Viola dengan hati-hati di ranjangnya yang baru. Setelah Viola berbaring, kedua suster segera memasangkan peralatan medis kembali ke tubuh Viola. Viola tersenyum kepadaku. Aku berbisik kepadanya.
“Sebentar lagi, sayang. Kita akan bersama selamanya.”
Viola mengangguk mengiyakan perkataanku.
Dokter Lukman memeriksa keadaan Viola kembali. Kami semua diminta untuk keluar kamar sebentar. Ketika aku hendak duduk di kursi teras, kulihat Danny datang bersama keluargaku. Mereka berjalan kearahku. Aku segera beranjak untuk menyambutnya.
“Assalamu’ alaikum. Pagi semuanya.”
“Wa’ alaikum salam.”
“Tadi kami sempat ke ICU, katanya Viola sudah dipindahkan ke kamar rawat inap VIP. Jadi kuantar keluargamu kemari.”
“Thanks, Dan.”
“Isma, apa yang terjadi Nak? Mengapa kamu meninggalkan kami di hotel shubuh-shubuh?”
“Maafkan Isma, Bu. Isma tidak pamit kepada Bapak dan Ibu. Takut mengganggu. Shubuh tadi Isma buru-buru kemari karena ada salah seorang teman kami yang kondisinya sedang kritis. Isma ingin menjenguknya. Saat ini dia masih koma di ruang Operasi.”
“Kalau Neng Viola baik-baik saja, kan?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja, Pak. Dokter sedang memeriksa kesehatannya di dalam. O ya, Isma hampir lupa. Bapak dan Ibu, perkenalkan ini yang namanya Mas Deny, kakaknya Viola.”
Mas Deny segera mengulurkan tangannya menyambut keluargaku.
“Bapak, Ibu, selamat datang di Solo. Saya Deny Suhendra, kakaknya Viola. Senang sekali Bapak Ibu sekalian bisa hadir kemari.”
“Sama-sama, Nak Deny. Kami yang justru berterima kasih atas semua pelayanan yang Nak berikan kepada keluarga kami. Kami sangat senang dan menikmatinya. Sekali lagi terima kasih banyak.”
“Bapak Ibu tidak perlu sungkan pada saya. Itu sudah menjadi kewajiban saya. Sebentar lagi kita akan menjadi satu keluarga.”
“Kenalkan Nak Deny, ini adik-adiknya Isma.”
“Salam kenal Mas. Nama saya Arfi.”
“Kalau saya namanya Nadia, Mas.”
“Salam kenal juga, Dik. Nama saya Deny. Wah tidak Mas sangka kalau adik-adiknya Isma cantik-cantik juga. Sudah kelas berapa sekolahnya?”
“Saya sudah kelas 3 SMU, Mas. Kalau Nadia masih kelas 1 SLTP.”
Sambil menunggu Dokter Lukman yang masih memeriksa kondisi Viola, kami membicarakan tentang persiapan akad nikah nanti.
“Bagaimana persiapannya, Mas? Ustadz Muchtar bisa hadir pagi ini?”
“Sebelum Viola di pindah kemari, tadi Ustadz Muchtar sudah menghubungi Mas. Beliau sekarang sedang dalam perjalanan kemari. Rumahnya memang agak jauh dari sini. Tepatnya di Perumahan Mojosongo, perumahan yang terletak di batas utara kota Solo. Insya Allah tiga puluh menit sudah sampai kemari.”
“Bagaimana dengan maharnya, Is. Apakah kamu sudah menyiapkannya?”
“Sudah, Bu. Semuanya sudah lengkap. Kemarin saya sudah membeli Kitab Al-Quran dan seperangkat alat sholat yang terbaik untuk mas kawinnya.”
“Cincinnya bagaimana?”
“Sudah disiapkan oleh Mas Deny, Pak. Sebenarnya Isma masih nggak enak karena semuanya Mas Deny yang ngurusin.”
“Kamu ini gimana tho, Is. Masa yang mau menikah kamu tapi yang ngurusin semuanya Mas Deny. Dimana tanggung jawabmu?”
“Sebenarnya Isma juga malu, Bu. Tapi karena semuanya terjadi begitu mendadak, jadi Isma tidak bisa mempersiapkan semuanya dengan baik. Maafkan Isma, Bu.”
“Sudahlah, Bu. Jangan memarahi Isma terus. Kasihan Isma. Nanti dia tidak bisa konsentrasi.”
“Benar apa kata Bapak, Bu. Sebenarnya ini semua adalah tanggung jawab saya sebagai kakaknya Viola. Viola meminta Isma untuk menikahinya dengan mendadak. Tentulah Isma belum mempersiapkan segala. Jadi saya dengan ikhlas membantunya. Asalkan Isma mau memenuhi keinginan adik saya satu-satunya, saya akan rela melakukan apapun, Bu.”
“Kami jadi berhutang budi kepada Nak Deny. Sebagai orang tua kami merasa harus bertanggung jawab dengan semua ini. Seperti yang Nak Deny bilang, kejadiannya begitu cepat sehingga kami belum siap apa-apa. Bahkan kami pun belum sempat melamar Neng Viola untuk anak kami.”
“Anggap saja saat ini Bapak dan Ibu telah melamar Viola untuk dijadikan istrinya Isma. Dan saya sebagai walinya menyatakan kalau saya menerima lamaran Bapak Ibu sekalian. ”
“Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas budi baik Nak Deny sekeluarga.” Ibu pun tak kuasa menahan tangis. Air matanya meleleh membasahi kerudungnya.
Suasana seketika berubah menjadi keharuan dan kebahagian. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Bapak dan Mas Deny terlihat saling berpelukan. Aku pun memeluk Ibu dengan penuh kasih sayang. Kulihat Arfi dan Nadia juga menitikkan air mata. Topan yang biasanya celelekan juga tak bisa membendung air matanya. Dia sesenggukan melihat pemandangan ini.
Namun suasananya menjadi tenang kembali setelah pintu kamar Viola terbuka. Dokter Lukman terlihat keluar dari dalam kamar. Beliau telah selesai dengan pekerjaannya. Kami pun segera menghampirinya.
“Om, bagaimana kondisi Viola saat ini? Apa dia baik-baik saja?”
“Tenang, Den. Kondisi Viola sekarang sudah stabil. Tapi dia tidak boleh terlalu lelah. Sebenarnya dia masih harus banyak istrirahat. Tapi karena pagi ini ada cara penting yang harus dilaksanakan, Om rasa Viola masih mampu menjalaninya.”
“Kami boleh menjenguknya sekarang, Dok?” tanyaku.
“Silahkan, tapi jangan terlalu banyak orang. Sekarang Om tinggal dulu. Nanti Om kemari lagi pas acaranya dimulai.”
“Om, saya ada sebuah permintaan buat Om. Saya berharap Om bersedia menjadi saksi dalam akad nikah nanti. Saya mohon dengan sangat Om tidak menolaknya. Bagaimana, Om?”
“Insya Allah, Den. Om sanggup menjadi saksi untuk pernikahan Viola. ”
“Terima kasih, Om.”
Dokter Lukman berlalu meninggalkan kami diiringi kedua suster yang tadi turut memindahkan Viola. Dari kejauhan Dokter Lukman tampak berpapasan dengan seorang nenek yang menggandeng cucu perempuannya. Itu pastilah Eyang Lastri dan Putri. Aku segera menyambut mereka. Putri terlihat senang melihatku. Aku pun segera menggendongnya. Eyang Lastri aku perkenalkan satu-persatu dengan keluargaku. Kami menjadi akrab satu sama lain. Bahkan Nadia tampak sedang bermain dengan Putri. Mereka terlihat gembira.
Sesaat kemudian, aku segera mempertemukan keluargaku dengan Viola.
“Bapak, Ibu, maafkan saya tidak bisa menyambut.”
Viola sepertinya hendak beranjak dari ranjang. Namun Bapak dan Ibu mencegahnya.
“Kamu berbaring saja, Nak.”
Viola segera mencium tangan kedua orang tuaku dengan penuh perasaan.
Ibu membelai rambut Viola dengan penuh kasih sayang.
“Kamu cantik sekali, Nak. Isma sangat beruntung bisa mempersuntingmu.”
“Terima kasih, Bu.” Air mata Viola tiba-tiba menetes dengan sendirinya. Viola terus bergelayut di telapak tangan Ibu. Kurasa dia telah menemukan sesuatu yang dirindukannya selama ini. Dia merindukan belaian penuh kasih sayang dari seorang Ibu yang telah meninggalkannya sejak lama. Sekarang dia telah menemukannya pada diri Ibuku.
“Vi, kenalkan ini adik-adikku. Arfi dan Nadia.”
“Hai, adik-adik manis. Kemarilah. Mbak ingin mendekap kalian.”
Arfi dan Nadia menuruti perkataan Viola. Mereka berdua memeluk Viola dengan penuh kehangatan.
“Kalian cantik-cantik sekali. Mbak senang akan mempunyai adik-adik seperti kalian.”
“Mbak Viola juga cantik. Mbak wajahnya tak kalah cantik dengan bintang sinetron,” kata Nadia polos.
“Kamu bisa aja, Nad. Mbak mau tahu, apakah kalian senang memiliki kakak seperti Mbak?”
“Tentu kami senang, Mbak. Mas Isma sangat beruntung bisa mempunyai istri secantik Mbak,” jawab Arfi.
“Walaupun kondisi Mbak seperti ini?”
“Jangan khawatir, Mbak. Mas Isma akan mencintai Mbak dengan sepenuh hatinya apapun kondisi Mbak Viola. Arfi sangat mengenal Mas Isma. Mas Isma akan mencintai seseorang dengan sepenuh hatinya., seperti yang Mas berikan kepada kami berdua. Cinta Mas Isma begitu tulus. Cintanya seputih awan di langit biru. Mbak akan berbahagia bersamanya. Kalau Mas Isma saja bisa menerima Mbak, kenapa kami tidak bisa?”
Kata-kata Arfi sungguh mengagetkan diriku. Aku tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut adikku yang seingatku dulu sering bermanja-manjaan kepadaku. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu indah. Bagaikan setetes embun pagi yang menyirami hatiku. Kata-katanya begitu sejuk menusuk kalbu.
Viola kembali menitikkan air mata. Dipeluknya kembali Arfi dan Nadia dengan erat. “Meski Mbak baru pertama kali bertemu kalian, Mbak sangat sayang kepada kalian.”
“Kami juga sayang sama Mbak.”
Aku menjadi terharu melihat mereka bertiga.
Begitu pula dengan Ibu. Air mata kebahagiaan tak henti-hentinya mengalir dari kedua bola matanya. Bapak hanya berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca. Kami semua larut dalam kebahagiaan tiada terhingga.
Acara yang kunantikan telah tiba. Ustadz Muchtar telah hadir untuk menikahkan kami. Pak Edy juga telah datang bersama Agus, Yanti, Liana dan Dewi. Terlihat pula keluarga Mas Dody di sana. Dan ternyata Bu Ratna juga turut hadir. Mungkin Mas Deny yang menghubunginya. Kami semua berkumpul di kamar Viola. Sebagai saksi di acara akad nikah ini, ditunjuklah Dokter Lukman dan Bu Ratna dari pihak Viola. Mas Dody dan Pak Edy menjadi saksi dari pihakku.
Sebelum acara dimulai, Pak Abdul tiba –tiba muncul. Bu Surti tidak bersamanya. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. Dia memohon maaf karena telah menyela acara akad nikah yang akan berlangsung. Beliau memintaku untuk bisa menemuinya sejenak di luar.
Setelah minta persetujuan dari semua hadirin, aku menemui Pak Abdul.
“Pak, mana Ibu? Beliau tidak bersama Bapak? Bagaimana keadaan Fatimah?”
Pak Abdul diam sejenak. Beliau terlihat sedang menahan kesedihan dari hatinya yang terdalam.
“Maafkan Bapak, Nak Isma. Bapak dan Ibu tidak bisa menghadiri acara akah nikah Nak Isma.”
“Apa yang telah terjadi,Pak?”
“Nak Isma, …. Fatimah, …. Fatimah telah meninggal dunia.”
Innalillahi wa’ innalillahi roji’un.
Air mataku hampir tumpah mendengar kabar yang di sampaikan Pak Abdul.
Pak Abdul seketika menepuk pundakku.
“Nak Isma, ada sesuatu yang hendak Bapak sampaikan.”
“Apakah itu, Pak?”
“Sebelum Fatimah mengalami kesakitan shubuh tadi, ia sempat menulis sebuah surat. Dia berpesan kepada Bapak untuk menyerahkan surat itu kepada Nak Isma. Kemudian dia kembali berpesan kalau surat itu harus dibuka setelah acara akad nikah Nak Isma selesai dan Nak Isma sendiri yang harus membukanya. Ini surat dari Fatimah, Nak.”
Pak Abdul menyerahkan sepucuk surat beramplop warna kuning kepadaku. Tak ada tulisan apapun dalam amplopnya. Aku pun segera menerimanya dengan hati yang masih berduka. Kumasukkan surat itu ke dalam sakuku.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mohon pamit. Bapak akan mengurusi jenazah Fatimah dulu.”
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa membantu. Tapi Insya Allah setelah acara ini, saya akan menjenguk Fatimah untuk terakhir kali. Saya ingin mensholatkannya dan mendoakannya.”
“Terima kasih, Nak Isma. Bapak pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.”
Pak Abdul pergi dengan langkah gontai.
Aku pun kembali ke dalam kamar dengan perasaan sedih yang kusembunyikan. Aku tidak ingin semuanya mengetahui kalau aku telah kehilangan seorang adik, seorang teman, seorang penggemar setia yang periang. Fatimah telah berpulang kepada penciptanya. Dan aku sangat kehilangan dirinya.
Setelah semuanya siap, acara pun dimulai. Ustadz Muchtar mulai memberikan ceramah singkatnya sebelum memasuki acara inti.
Selang beberapa menit, tibalah saat yang paling mendebarkan bagi diriku. Viola melihat semua proses yang berlangsung dari atas ranjangnya. Dia terlihat pasrah dan menyerahkan semuanya kepadaku. Sebagai walinya, Mas Deny segera menjabat tanganku dengan erat. Mengikuti semua perkataan Ustadz Muchtar, Mas Deny berkata kepadaku.
“Aku nikahkan dan kawinkan, Viola binti Suhendra dengan mas kawin sepasang cincin emas bermata berlian beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Aku pun segera menjawab dengan mantap dan lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya, Viola binti Suhendra dengan mas kawin sepasang cincin emas bermata berlian beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Ustadz Muchtar segera bertanya kepada para saksi.” Bagaimana para saksi? Apakah sah?”
Para saksi pun menjawab serempak. ”Sah!!!”
Aku pun segera sujud syukur. Ya Allah, terima kasih atas semua kebahagian yang telah Kau limpahkan padaku. Detik itu juga Viola telah menjadi istriku. Kupeluk Mas Deny erat-erat. Sekarang dia telah resmi menjadi kakak iparku. Aku segera beranjak mendekati Viola. Wajahnya yang cantik telah basah oleh linangan air mata. Mulutnya terkunci. Semuanya begitu indah untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata. Segera kupeluk istriku dengan penuh kasih sayang. Kukecup keningnya dengan lembut. Semua yang menyaksikan tidak bisa menahan linangan air mata. Semua menangis dalam kebahagiaan. Kesedihan yang kualami karena kehilangan Fatimah sesaat terlupakan.
Kembali kudekap tubuh istriku dengan erat. Kini kami telah bersatu selamanya. Cinta kami yang suci telah bersanding abadi dengan indahnya. Dunia seakan tersenyum melihat kami berdua terhanyut dalam anugerah tiada terhingga. Semua tangis bahagia tertumpah ruah menyambutnya.
Namun tak seberapa lama, tangis kebahagian terhenti ketika kudengar suara yang mengejutkan dari alat monitor detak jantung yang berada di sebelah ranjang Viola. Layar monitor itu menunjukkan sebuah garis lurus bewarna hijau yang berjalan tiada hentinya. Kami semua tersentak. Segera kulihat wajah Viola. Wajahnya tampak teduh bercahaya. Senyumnya mengembang dimulutnya. Namun kedua matanya terpejam tak bergerak. Seketika tangannya yang bergelayut di pundakku jatuh tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya diam tak bergerak. Viola tergolek lemah tak berdaya di atas ranjangnya. Semuanya terpaku. Semuanya terdiam. Suasana bahagia seketika terhenti. Sunyi, sepi dan kehampaaan mulai menyelimuti. Begitu tersadar, Dokter Lukman segera bergegas dan menyuruhku untuk menyingkir. Dia segera memeriksa keadaan Viola. Para suster perawat segera datang memberi pertolongan. Alat pacu jantung segera dipersiapkan. Kami semua masih terpaku. Kami tidak mempercayai apa yang kami lihat saat ini. Tubuh Viola terguncang hebat. Sebuah sengatan listrik menyambar tubuhnya. Begitu berulang-ulang tindakan itu dilakukan oleh Dokter Lukman. Namun Viola tetap tidak bergerak. Layar monitor masih menunjukkan garis lurus yang panjang. Pandanganku menjadi kabur. Aku tidak bisa berpikir lagi. Semuanya menjadi gelap. Air mataku tumpah tak terbendung. Seketika aku berteriak memanggil istriku dengan sekuat tenaga. Aku berteriak seperti orang gila. Aku tidak peduli. Aku terus berteriak, berteriak dan berteriak tanpa henti. Aku terus memanggil-manggil namanya. Namun Viola tetap tidak mendengarkanku. Tubuhku tetap diam tak bergerak sedikitpun dengan senyum mengembang di wajahnya ….
SEKIAN
Dan perjalananku pun masih terus berlanjut…
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.


