Senin, 27 April 2009

Tips for Traveling Abroad - Go to U.S.

For detailed information about steps you can take to ensure a safe trip, see How to Have a Safe Trip. Meanwhile, here are some quick tips to make your travel easier and safer:

* Register so the State Department can better assist you in an emergency:
Register your travel plans with the State Department through a free online service at https://travelregistration.state.gov. This will help us contact you if there is a family emergency in the U.S., or if there is a crisis where you are traveling. In accordance with the Privacy Act, information on your welfare and whereabouts will not be released to others without your express authorization.

* Sign passport, and fill in the emergency information:
Make sure you have a signed, valid passport, and a visa, if required, and fill in the emergency information page of your passport.

* Leave copies of itinerary and passport data page:
Leave copies of your itinerary, passport data page and visas with family or friends, so you can be contacted in case of an emergency.

* Check your overseas medical insurance coverage:
Ask your medical insurance company if your policy applies overseas, and if it covers emergency expenses such as medical evacuation. If it does not, consider supplemental insurance.

* Familiarize yourself with local conditions and laws: While in a foreign country, you are subject to its laws. The State Department web site at http://travel.state.gov/travel/cis_pa_tw/cis/cis_1765.html has useful safety and other information about the countries you will visit.

* Take precautions to avoid being a target of crime:
To avoid being a target of crime, do not wear conspicuous clothing or jewelry and do not carry excessive amounts of money. Also, do not leave unattended luggage in public areas and do not accept packages from strangers.

* Contact us in an emergency:
Consular personnel at U.S. Embassies and Consulates abroad and in the U.S. are available 24 hours a day, 7 days a week, to provide emergency assistance to U.S. citizens. Contact information for U.S. Embassies and Consulates appears on the Bureau of Consular Affairs website at http://travel.state.gov. Also note that the Office of Overseas Citizen Services in the State Department’s Bureau of Consular Affairs may be reached for assistance with emergencies at 1-888-407-4747, if calling from the U.S. or Canada, or 202-501-4444, if calling from overseas.

Balada Rumah Biru, Schedule 07 - Rally Paris Dakkar ala Bos

Suasana pagi hari ini begitu cerah. Matahari bersinar terang dengan langit bersih membiru tanpa noda awan sedikitpun. Tampak di kiri-kananku hamparan hutan jati yang mengering, menandakan air hujan sudah lama tidak menyirami hutan ini. Udara terasa panas membuatku berkeringat dengan derasnya.

Mendadak di sebuah tikungan yang tajam, .... ciiiiiiiiiiiiiiit! Duk! Kelapaku terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Aduh, pusingnya minta ampun. Gila nih, Bos! Nyetir mobilnya kaya Sebastian Loeb di kejuaraan rally Paris Dakkar. Banting stir ke kiri, banting ke kanan, tancap gas, tancap teruuus dah, tanpa rem, gila kan! Padahal di tikungan tajam lho. So pasti aku duduk dengan terbanting-banting.

Ceritanya nih, hari ini, aku, Bos dan Mardi sedang dalam perjalanan menuju ke kota Lamongan, Jawa Timur. Kami dapat proyek di sana. Karena lokasi kota Lamongan cuma bisa dicapai dengan efektif lewat jalan darat, so Pak Achmad mengajakku dan Mardi untuk ikut serta dalam acara presentasi proyek di sana, naik mobil sedan Mazda keluaran tahun 95 miliknya.

Schedule-nya jam 11 pagi ini kita ada meeting sebelum presentasi dengan para pejabat kota Lamongan. Karena menunggu si Mardi yang datang ke kantornya telat, katanya sakit perut pas bangun tidur karena semalem dinner pake semur jengkol, so kita berangkatnya agak terlambat, pukul 7 lewat 30 pagi, yang seharusnya pukul 6 pagi, karena Solo – Lamongan jaraknya bisa ditempuh kurang lebih dalam waktu 5 jam. Untuk mengejar schedule, si Bos nyetirnya jadi gila-gilaan.

Kecepatan mobil sepanjang perjalanan rata-rata di atas 100 km/jam. Salip sana, salip sini. Semua mobil yang menghalangi diklaksonin dengan penuh ketidaksabaran. Dan tentu saja para pengemudi yang kena getahnya bakalan nyumpah-nyumpahin si Bos sambil mengacungkan jari tengahnya ke udara di sela-sela kaca jendela mobilnya, F**@&# U, Man! Gila kan! Untung nggak ketemu ama polisi lalu lintas. Bisa-bisa adegan film fast and furious terealisasi di sini. Aku yang duduk di depan, sepanjang jalan hanya bisa pasrah sambil komat-kamit berdoa, supaya mobilnya nggak nyasar aja masuk ke kolong truk peti kemas atau jatuh masuk jurang di kiri kanan jalan.

Kupikir, Bos sengaja nih nyetir gila-gilaan kaya gini buat revenge sama aku. Dulu, aku pernah sekali goncengin si Bos pas mo ke lokasi proyek rumah tinggal di bilangan Solo Baru. Ceritanya nih, biasa, dengan alasan mobilnya sedang turun mesin, padahal supaya ngirit bensin, dia minta aku untuk mengantarnya pake motor. Padahal aku udah alasan kalo bannya sedang kempes, sok beker –nya keras, eh ... bukannya batalin, malah si Bos makin semangat buat nebeng. Padahal males banget aku mesti goncengin si Bos, panas-panas pula sampe Solo Baru. Bukannya aku nggak loyal sama perusahaan sih, cuma berat badannya itu loh, bikin motorku bisa masuk bengkel esok harinya karena kelebihan beban. Mending diongkosin biaya servisnya. Pasti aku yang mesti tombok alias bayar sendiri.

Makanya buat melampiaskan kekesalanku, aku nyetirnya gila-gilaan. Motor kupacu hingga 100 km/jam. Padahal baru rush hour, so salip sana, salip sini, belok kiri – belok kanan, kaya Valentino Rossi di motoGP. Si Bos yang duduk di jok belakang ketakutan setengah mati. Sepanjang jalan teriak-teriak kaya orang gila. Bahkan si Bos memelukku kenceng banget. Ih ... jijay banget deh pokoknya. Aku sampe sesak napas dibikinnya. Sampe di lokasi proyek, Bos turun dari motor dengan wajah kusut, rambut yang klimis ... itu sih kalo boleh di bilang rambut hehehe... sampe berantakan, wajahnya bengong kaya orang bego. Pulangnya dia nggak mau lagi naik motorku. Mendingan naik taksi aja deh daripada kena sakit jantung, katanya. Aku pun tersenyum puas. Rasain lo ...

Dalam perjalanan menuju ke Lamongan, jalur yang kami melalui Sragen, Ngawi, Bojonegoro, baru kemudian Lamongan. Karena ini adalah kali pertamanya ke kota Lamongan, maka sepanjang perjalanan, kami mengandalkan peta sebagai penunjuk jalan. Nggak ada alat macam GPS di mobil. Dan aku yang duduk di sebelah Bos pun didaulat sebagai navigator. Enak aja si Bos main tunjuk, mending kalo ditambah gajinya. Dalam rute Ngawi – Bojonegoro, kami melewati rute yang paling membahayakan. Tepatnya di sekitar daerah Padhangan, jalan mulai berkelok-kelok, menikung tajam dan membelah sebuah hutan jati yang mengalami kekeringan berkepanjangan. Selain jalannya agak sempit, jalur ini juga cukup padat, dilalui berbagai kendaraan-kendaraan berat seperti truk pasir, truk peti kemas serta bus-bus antar kota.

Berkali-kali klakson mobil Bos berbunyi dengan nyaringnya ketika hendak menyalip kendaraan di depannya. Karena jengkel, pengendara kendaraan-kendaraan besar itu pun tak mau kalah, iku-ikut membunyikan klakson dengan nada yang berat. Tentu saja lebih keras dari bunyi klakson mobil sedan milik Bos. Tapi yang punya mobil sedan, tetep cuek bebek.

“Sialan, nih. Truk di depan jalannya lambat banget. Gimana mo nyampai kalo jalannya begini? Is, kiri kosong, nggak?”

Busyeet dah, gelagatnya Bos mo nyalip nih truk.
“Nggak bisa, Pak. Terlalu sempit. Pinggir sebelah kiri jalan ada jurang yang dalem. Lewat kanan aja.”

“Kamu ini gimana sih jadi navigator, saya tanya yang kiri, kok malah nyuruh yang kanan. Kalo tahu yang kanan kosong, udah dari tadi saya salip truk yang di depan ini. Lha jalur kanan padat banget begini, dari tadi ada aja mobil dari arah depan. Gimana mo nyalip?”

“Ya, sabar aja, Pak. Daripada nyalip dari kiri malah masuk jurang.” Mardi yang duduk di jok belakang ikut-ikutan komentar.

“Nggak bisa begini terus nih. Bisa terlambat nanti sampe Lamongan. Memang berapa dalem sih jurangnya, kok takut banget? Jadi laki-laki jangan pengecut, harus berani, nggak boleh takut pada apapun, Is.”

Yee, dibilangin masih ngeyel aja nih orang!
“Ya, nggak dalem sih, Pak. Paling cuma 20 meteran. Kalo jatuh, pasti almarhum, ya kalo beruntung, paling-paling cuma gegar otak doang. Masih mau nyoba nyalip dari kiri, Pak?”

Bos pun terdiam.
Makanya jangan belagu lo, takut juga kan?

Namun setelah beberapa saat tak bersuara, mendadak Bos membanting setirnya ke kanan dengan cepat, lalu tancap gas kuat-kuat. Aku dan Mardi sampe terbanting-banting dibuatnya. Bos nekat mo nyalip truk dari arah kanan ketika jalur sudah agak sepi. Namun ketika Bos baru bisa menyalip sampe setengah badan truk, dari arah berlawanan tampak sebuah bus antar kota melaju ke arah kami.

Aku spontan berteriak.
“Pak, AWAS!!! Ada bus di depan. Nggak cukup, Pak. Injak rem, Pak. REEEM!”

Yee, bukannya rem yang diinjak, Bos malah mengoper gigi lalu tancap gas lebih kuat. Gila! Bakalan tabrakan nih.

Bus di depan segera membunyikan klakson dengan nyaringnya di sertai kedipan lampu depan yang menyilaukan. Bukannya mengalah, karena merasa tertantang, Bos malah ikutan-ikutan membunyikan klakson serta mengedipkan lampu. Yee, malah jadi kedip-kedipan, ganjen banget.

Aku dan Mardi tanpa dikomando seketika berteriak sekencang-kencangnya sambil memejamkan mata dengan mulut komat-kamit. Mobil sedan terus melaju kencang dengan kecepatan 130 km/jam hingga sampe ke kepala truk. Tinggal kira-kira sepuluh meter lagi jarak antara mobil Bos ama bus di depan.

Jantungku seketika berhenti berdetak. Pemandangan yang sangat mengerikan terpampang jelas di depan mataku. Bus tersebut seakan hendak menabrak mobil sedan dengan diriku di dalamnya hingga hancur berkeping-keping. Aku tak bisa membayangkannya. Dan ketika jarak mobil dengan bus mulai menipis, dalam hitungan seper sekian detik, Bos membanting mobil ke arah kiri menyalip truk yang sarat muatan. Mobil sedan lolos dengan tipis dari tabrakan dengan bus yang penuh dengan penumpang. Bus tersebut sampe berjalan keluar dari jalan aspal menghindari tabrakan. Gila, bener bener gila nih si Bos! Hampir aja nyawa kami yang berharga melayang gara-gara nurutin egonya Bos.

Bukannya merasa kasihan melihat wajah kami yang tampak seperti habis melihat setan, si Bos malah senyum-senyum cengegesan tanda kemenangan. Mungkin dalam batinnya, si Bos puas banget ngerjain aku dan Mardi sampe hampir kena sakit jantung.

Mendadak Bos melambatkan kecepatan mobil. Truk yang disalipnya barusan kembali melewati kami. Sang sopir pun teriak-teriak nyumpahin si Bos pake kata-kata jorok. Kebun binatang ada semua di situ. Si Bos masih tuetep cuek bebek. Terus ngapain tadi mati-amatian nyalip tuh truk. Emang dasar si Bos, pasti emang niatnya cuma ngerjain kita berdua.

Karena shock, Mardi minta si Bos untuk menepi. Begitu sampe di jalur yang agak lebar, Bos pun menghentikan mobilnya. Dan begitu Mardi keluar dari mobil, sontak ... hueeeeeeeeekkkkk!!!! Keluar deh semua semur jengkol semalem yang dilahap Mardi.

“Nggak papa, lo?” tanyaku setelah Mardi selesai menumpahkan isi perutnya

“Busyeet, Bos gila! Hampir mati kita dibuatnya.”
Dengan wajah kesal, Mardi melirik ke arah Bos, yang lagi-lagi dengan wajah tanpa dosa ... malah mendengar musik di dalam mobil, sambil siul-siul lebay pula.

Mardi pun berbisik padaku.
“Awas ya, lain kali pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!”

Yee nggak nyambung kalee, Di.