Setelah beberapa minggu aku kerja di Rumah Biru, akhirnya sebuah proyek besar pun datang. Pak Achmad pagi itu tiba-tiba memberikan sebundel dokumen tentang perencanaan pasar wisata kepadaku. Aku buka isi dokumennya dan kupelajari dengan seksama. Lokasi yang dipilih letaknya di daerah Tawang Mangu. Tawang Mangu merupakan sebuah kawasan wisata di sekitar kota Solo yang terletak di kaki gunung Lawu. Posisi tepatnya berada di wilayah Kabupaten Karanganyar. Rencananya, pasar tradisional yang lama akan direnovasi menjadi sebuah pasar wisata terpadu dengan anggaran dari APBD Kabupaten setempat.
“Is, kamu kerjakan secepatnya. Batas waktunya cuma tiga hari. Kamu harus buat draft layout denah, rencananya ada tiga lantai. Jangan lupa kamu bikin tampak, potongan serta gambar perspektifnya sekalian.”
“Cuma tiga hari, Pak?”
“Ya, memang kenapa?”
“Mana cukup waktunya buat gambar sebanyak itu dalam tiga hari. Kalo seminggu gimana, Pak?”
“Kamu ini malah nawar, memangnya di sini Pasar Klewer? Pokoknya saya nggak mau tahu. Dalam tiga hari harus kelar. O ya, jangan lupa kamu bikin juga RAB nya.”
“Hah, ditambah lagi kerjaannya. Yang benar aja, Pak”
“Udah, jangan banyak bacot kamu. Segera kamu kerjakan. Nanti sore, draft denah harus sudah jadi dan kamu taruh di atas meja saya. Jangan sampai lupa!”
“(Aaaargh, kesel banget) Baik, Pak.”
“Sekarang saya tinggal dulu. Ibu dan Ria mau pergi ke Singosaren. Saya harus mengantar mereka.”
“Bapak mo ternak teri ya.”
“Apa maksudnya ternak teri?”
“Nganter anak nganter istri, Pak.”
“Nggak lucu!!!” Pak Achmad pun pergi meninggalkanku.
Dasar anggota ISTI, Ikatan Suami Takut Istri!
Aku pun hanya bisa bengong dengan dokumen yang menumpuk di tanganku. Aaaargh, gimana nih caranya bisa menyelesaikan pekerjaan ini tepat waktu? Kepalaku mulai pusing. Pikiranku kusut. Bakalan lembur, nih. Dasar si Bos nggak punya peri kemanusiaan.
Dengan perasaan kesal pun, aku mulai mempelajari konsep desain proyek pasar wisata itu. Aku pun mulai coret sana-sini namun hasilnya bukan gambar denah seperti yang diminta oleh Pak Achmad. Melainkan wajah si Bos dengan kepala bertanduk, pantat berekor panah dengan membawa trisula sedang menyeringai kepadaku.
Belum juga aku menemukan cara supaya kerjaan cepat kelar. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Berarti waktuku tinggal 7 jam lagi sebelum pulang. Dipotong istrirahat siang tinggal 6 jam. Denah harus selesai dalam kurun waktu tersebut. Gila, mission imposible IV bakal beredar nih.
Kuputar otakku hingga seperti komidi putar saking cepetnya. Bukannya ide yang nyangkut, malah pusing yang kudapat. Soalnya bukan otak yang diputar tapi kepala. Terang aja pusing. Akhirnya kucoba menyalakan radio butut kesayanganku. Kucari channel favorit. Segera mengalun lagu berirama kencang dari band Foo Fighter. Judulnya aku sudah lupa.
Irama yang menghentak mulai menyegarkan pikiranku. Aku bangkit dari kursi. Kerentangkan tangan dan kakiku kuat-kuat. Kuhirup udara dari kipas angin yang sejuk. Awas, malah masuk angin lho.
Karena saking kuatnya aku merentangkan tangan, tanpa sengaja tanganku aku menyentuh tumpukan dokumen yang berada di rak belakangku. Tumpukan dokumen itupun berhamburan, jatuh berserakan di lantai. Pokoknya berantakan banget. Terpaksa aku harus memungutinya satu persatu. Sial bener sih aku hari ini.
Saat memunguti dokumen yang berserakan itu, tiba-tiba pandanganku tertuju pada selembar brosur lama yang telah usang. Debu pun menempel di kertasnya yang mengkilap. Segera kuraih brosur itu. Dan ketika kubuka, simsalabim, ternyata di dalamnya terpampang gambar denah, tampak dan potongan sebuah bangunan tempat perbelanjaan yang akan dibangun di daerah Boyolali lengkap dengan gambar perspektifnya. Kuperhatikan ukuran serta luasan persil tanahnya. Kok rasanya mirip dengan konsep Pasar Wisata yang akan kubuat ya. Pikiranku seketika menjadi cerah secerah pagi dengan matahari terbitnya. Sebuah ide konyol pun terbesit. Memang Allah selalu menolong umat-Nya yang teraniaya. Coba tebak apa yang akan kulakukan … hehehe ( pasang muka licik ).
skip to main |
skip to sidebar
Selasa, 31 Maret 2009
Balada Rumah Biru, Schedule 04 - Antara Aku, Meja Gambar dan Radio Butut
Huaah, huaah, huaah! Ngantuk sekali pagi itu. Soalnya semalam aku terlalu larut menonton acara televisi. Maklum, ada pertandingan bola malam tadi antara tim favoritku, Chelsea melawan Barcelona dalam kualifikasi Liga Champion. Sayang sekali untuk aku lewatkan, meskipun akhirnya timku kalah 2-1. Resikonya, aku jadi kesiangan berangkat kerja sampai-sampai Pak Achmad menegurku.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Pak Achmad sedang keluar untuk menemui relasinya di sebuah hotel berbintang di Solo. Jadi aku seorang diri di kantor. Hanya ditemani meja gambar dan sebuah radio butut. Ya, hanya itu saja isi kantorku selain rak-rak buku kuno dan juga sebuah kipas angin.
Sehari-harinya, aku bekerja menggunakan meja gambar ini. Meskipun sudah berumur lama, meja gambar ini dilengkapi mesin gambar buatan merk yang terkenal dengan jaminan kualitasnya. Mutoh namanya. Layaknya Sony untuk barang elektronik, Adidas atau Nike untuk produk olahraga, atau Cocacola untuk soft drink. Meja gambar ini juga menggunakan board magnetic sehingga untuk menempelkan kertas tinggal menjepitnya dengan lempengan logam tipis yang sudah tersedia. Praktis dan nggak ribet. Bukan seperti yang kupakai dulu pas kuliah. Mau nempelin kertas aja harus selotif di sana-sini, karena board-nya tidak bermagnet. Aku memakai seperangkat meja gambar ini dari mulai membuat konsep, rancangan anggaran biaya sampai ke detail rancangan. Aku belum menguasai program gambar di komputer. Maklum, dulu komputer masih mahal harganya dan perlu belajar lagi untuk menguasai program gambar seperti AutoCAD.
Schedule-nya aku harus menyelesaikan sebuah konsep perencanaan desain bangunan rumah tinggal di bilangan Solo Baru. Pemiliknya adalah teman lama Pak Achmad. Dia meminta Pak Achmad untuk mendesainkan sebuah rumah tinggal untuk keluarganya. Konsepnya sih bergaya arsitektur yang sedang in saat itu yaitu mediteran.
Sambil menahan kantuk, aku mulai menggoreskan ideku di atas lembar sebuah kertas yang terpasang di meja gambar. Pergelangan tanganku tampak menari-menari meliuk ke segala penjuru mata angin. Coret sana, coret sini. Hapus sana, hapus sini. Coret lagi. Hapus Lagi. Begitu seterusnya. Lalu, breeeett. Tiba-tiba aku terlelap seper sekian detik sehingga ujung pensilku menekan kertas terlalu keras. Kertas pun sobek dengan suksesnya. Busyeet, kusut banget nih otakku.
Belum ada gagasan desain bagus yang nyangkut di kepalaku pagi itu. Mungkin suasananya kurang mendukung untuk menimbulkan mood. Soalnya dalam memperoleh ide desain, mood sangat berpengaruh padaku. Ibarat makan nasi harus ada lauk, kalo minum harus es teh, kalo olahraga harus main bola, nah…kalo mau gambar harus ada mood. Kalo lagi good mood, desain seperti Waterfall House-nya Frank Lloyd Wright bisa cepat kudapatkan. Cieeeh…. Tapi kalo sedang bad mood, paling banter desain nisan kuburan yang bisa kuhasilkan, hehehe …
Makanya, untuk membangkitkan mood … bukannya yang lain lho, jangan ngeres dulu …, biasanya suasana kerja harus mendukung. Dulu waktu kuliah, kalo pas lembur tugas, aku selalu menyalakan tape recorder-ku kencang-kencang. Suara musik yang menggelegar makin menambah mood. Musik rock ala Guns N’ Roses yang paling kugemari. Favoritku lagu November Rain. Tapi kalo nggak ada, slow rock Malaysia ala Gerimis Mengundang-nya Slam pun jadi. Jauh banget beda musiknya!!!
Makanya, di kantorku waktu itu, sebuah radio butut menjadi hiburanku satu-satunya. Sebuah radio merk Sony keluaran tahun 80-an menemani hari-hariku di kantor. Sebelum memulai pekerjaan, aku biasanya membunyikan radio ini terlebih dahulu. Maka biasanya pagi-pagi, suasana ruangan studio ini sudah gaduh. Dan Pak Achmad yang paling keberatan. Pasti dia akan menyuruhku segera mematikan radionya atau memindah channel-nya ke stasiun RRI untuk mendengarkan berita. Makanya hal paling membosankan saat kerja adalah ketika Pak Achmad stand by di kantor, nggak pergi kemana-mana. Aku nggak bisa mendengarkan musik-musik kesukaanku di radio butut ini. Pagi-pagi aku harus dijejali berita pagi yang isinya kriminalitas melulu dengan suara penyiarnya yang garing abis. Aku bisa kehilangan mood sama sekali.
Mumpung si Bos baru pergi, segera saja kenyalakan radio butut itu. Kucari channel favoritku. Setelah geser sana-sini, akhirnya kutemukan siaran favoritku sedang mengudara. Acaranya berisi lagu-lagu top 40 yang sedang in kala itu. Irama dan alunan lagu segera membahana memenuhi ruangan studio. Kupejamkan mataku menikmati syair-syair yang berkumandang.
Dan setelah beberapa puluh menit, terlihat di atas meja gambar, konsep desain rumah tinggal kolega Pak Achmad sudah terpampang rapi. Ajaib, kan! Beneran nggak nih ceritanya …..?
Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Pak Achmad sedang keluar untuk menemui relasinya di sebuah hotel berbintang di Solo. Jadi aku seorang diri di kantor. Hanya ditemani meja gambar dan sebuah radio butut. Ya, hanya itu saja isi kantorku selain rak-rak buku kuno dan juga sebuah kipas angin.
Sehari-harinya, aku bekerja menggunakan meja gambar ini. Meskipun sudah berumur lama, meja gambar ini dilengkapi mesin gambar buatan merk yang terkenal dengan jaminan kualitasnya. Mutoh namanya. Layaknya Sony untuk barang elektronik, Adidas atau Nike untuk produk olahraga, atau Cocacola untuk soft drink. Meja gambar ini juga menggunakan board magnetic sehingga untuk menempelkan kertas tinggal menjepitnya dengan lempengan logam tipis yang sudah tersedia. Praktis dan nggak ribet. Bukan seperti yang kupakai dulu pas kuliah. Mau nempelin kertas aja harus selotif di sana-sini, karena board-nya tidak bermagnet. Aku memakai seperangkat meja gambar ini dari mulai membuat konsep, rancangan anggaran biaya sampai ke detail rancangan. Aku belum menguasai program gambar di komputer. Maklum, dulu komputer masih mahal harganya dan perlu belajar lagi untuk menguasai program gambar seperti AutoCAD.
Schedule-nya aku harus menyelesaikan sebuah konsep perencanaan desain bangunan rumah tinggal di bilangan Solo Baru. Pemiliknya adalah teman lama Pak Achmad. Dia meminta Pak Achmad untuk mendesainkan sebuah rumah tinggal untuk keluarganya. Konsepnya sih bergaya arsitektur yang sedang in saat itu yaitu mediteran.
Sambil menahan kantuk, aku mulai menggoreskan ideku di atas lembar sebuah kertas yang terpasang di meja gambar. Pergelangan tanganku tampak menari-menari meliuk ke segala penjuru mata angin. Coret sana, coret sini. Hapus sana, hapus sini. Coret lagi. Hapus Lagi. Begitu seterusnya. Lalu, breeeett. Tiba-tiba aku terlelap seper sekian detik sehingga ujung pensilku menekan kertas terlalu keras. Kertas pun sobek dengan suksesnya. Busyeet, kusut banget nih otakku.
Belum ada gagasan desain bagus yang nyangkut di kepalaku pagi itu. Mungkin suasananya kurang mendukung untuk menimbulkan mood. Soalnya dalam memperoleh ide desain, mood sangat berpengaruh padaku. Ibarat makan nasi harus ada lauk, kalo minum harus es teh, kalo olahraga harus main bola, nah…kalo mau gambar harus ada mood. Kalo lagi good mood, desain seperti Waterfall House-nya Frank Lloyd Wright bisa cepat kudapatkan. Cieeeh…. Tapi kalo sedang bad mood, paling banter desain nisan kuburan yang bisa kuhasilkan, hehehe …
Makanya, untuk membangkitkan mood … bukannya yang lain lho, jangan ngeres dulu …, biasanya suasana kerja harus mendukung. Dulu waktu kuliah, kalo pas lembur tugas, aku selalu menyalakan tape recorder-ku kencang-kencang. Suara musik yang menggelegar makin menambah mood. Musik rock ala Guns N’ Roses yang paling kugemari. Favoritku lagu November Rain. Tapi kalo nggak ada, slow rock Malaysia ala Gerimis Mengundang-nya Slam pun jadi. Jauh banget beda musiknya!!!
Makanya, di kantorku waktu itu, sebuah radio butut menjadi hiburanku satu-satunya. Sebuah radio merk Sony keluaran tahun 80-an menemani hari-hariku di kantor. Sebelum memulai pekerjaan, aku biasanya membunyikan radio ini terlebih dahulu. Maka biasanya pagi-pagi, suasana ruangan studio ini sudah gaduh. Dan Pak Achmad yang paling keberatan. Pasti dia akan menyuruhku segera mematikan radionya atau memindah channel-nya ke stasiun RRI untuk mendengarkan berita. Makanya hal paling membosankan saat kerja adalah ketika Pak Achmad stand by di kantor, nggak pergi kemana-mana. Aku nggak bisa mendengarkan musik-musik kesukaanku di radio butut ini. Pagi-pagi aku harus dijejali berita pagi yang isinya kriminalitas melulu dengan suara penyiarnya yang garing abis. Aku bisa kehilangan mood sama sekali.
Mumpung si Bos baru pergi, segera saja kenyalakan radio butut itu. Kucari channel favoritku. Setelah geser sana-sini, akhirnya kutemukan siaran favoritku sedang mengudara. Acaranya berisi lagu-lagu top 40 yang sedang in kala itu. Irama dan alunan lagu segera membahana memenuhi ruangan studio. Kupejamkan mataku menikmati syair-syair yang berkumandang.
Dan setelah beberapa puluh menit, terlihat di atas meja gambar, konsep desain rumah tinggal kolega Pak Achmad sudah terpampang rapi. Ajaib, kan! Beneran nggak nih ceritanya …..?
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.


