Delapan tahun yang lalu, aku jadi teringat saat pertama kali masuk kerja di Rumah Biru. Saat itu sehari setelah kelulusanku, aku bertekad untuk ikut teman kuliahku yang bernamaTopan untuk pergi ke Jakarta mencari peluang kerja di sana. Rencananya Topan akan pulang ke Jakarta untuk menjenguk Ibunya yang sedang sakit flu. Memang dia tuh anak mami banget, Ibu nya kena flu aja bela-belain pulang ke Jakarta untuk menjenguk. Memang dia anak yang berbakti, pikirku. Tapi ternyata Topan pulang karena uangnya untuk bekal hidup di Solo sudah habis dan orang tuanya terlambat mentransfer karena sibuk. Dasar!!!
Di Jakarta nanti aku akan numpang di rumahnya Topan. Rencananya di sana aku akan mencari lowongan-lowongan kerja tentunya minta diantar sama Topan keliling Jakarta dan sekitarnya. Biar ngirit pikirku. Sambil cari kerja itung-itung refreshing setelah mati-matian mengerjakan tugas akhir yang cukup melelahkan. Aku bisa mampir ke Monas, Ragunan, Ancol, Pantai Anyer, Puncak, Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Cibodas, Taman Safari Cisarua, lho ... cari kerja apa piknik?
Padahal ijazahku saja belum jadi. Aku kan belum di wisuda. Wisuda di UNS diadakan empat kali dalam setahun. Bulan Maret, Juni, September dan Desember. Aku lulus di awal bulan Juni. Deadline pengumpulan syarat-syarat wisuda berada di awal bulan. Jadinya aku belum bisa ikut wisuda di bulan Juni karena syaratku belum komplit. Makanya aku diikutkan di wisuda bulan September.
Malam sebelum hari keberangkatku, aku mendapat kabar dari dosen pembimbingku kalo temannya, yang akhirnya kutahu bernama Pak Achmad, membutuhkan seorang arsitek untuk bekerja di kantornya. Setelah kupikir matang-matang, daripada jauh-jauh ke Jakarta, mendingan kuterima saja tawaran itu. Itung-itung cari pengalaman dulu.
Paginya, aku bersiap hendak bertolak menuju ke alamat rumah Pak Achmad yang kudapatkan dari dosen pembimbingku. Kupersiapkan diriku sebaik-baiknya. Kumis dan jenggotku kucukur bersih. Kupakai kemejaku yang paling bagus dengan dipadu celana jeans model terbaru saat itu. Kupakai dasi pinjaman ayahku dengan warna yang menyolok. Rambut kuminyaki hingga licin. Mirip tokoh mafia di film-film Hollywood. Dijamin kutu rambut meluncur dengan sukses kalo melangkah di rambutku. Kupakai sepatu yang sudah kusemir sehingga tampak mengkilat. Padahal kuliah biasanya aku pakai sandal jepit karena nggak tahan kegerahan. Sekilas penampilanku mirip salesman daripada seorang arsitek.
“Wah, tumben kamu rapi sekali pagi ini. Biasanya kamu pakai baju kedombrangan. Rambut nggak pernah disisir.” Ibu tiba-tiba menegurku melihat penampilanku.
“Ya iyalah, Bu. Masak mau pertama masuk kerja dandannya tidak rapi. Nanti bisa tidak diterima kan”
“Iya, Ibu doakan semoga kau diterima.”
“Makasih, Bu. Isma pergi dulu ya.”
“TTDJ, nak.”
“Apaan artinya, Bu?”
“Hati-hati di jalan, kamu nih nggak gaul amat sih.”
“Hehehe, Ibu bisa saja.”
Maka dengan langkah kaki yang mantap, aku meluncurkan motorku ke arah Penumping tempat rumah tinggal Pak Achmad. Kupacu motorku dengan kecepatan sedang takut bau minyak wangi punya Bapak yang kusemprotkan di baju menguap tertelan angin.
Hari itu kota Solo suasananya mendung. Matahari tidak bersinar terik seperti biasanya. Angin bertipu kencang membawa daun-daun yang berguguran meliuk-liuk di udara. Kututup kaca helmku supaya mataku tidak kemasukan debu. “Wah, bakalan turun hujan lebat, nih,” pikirku.
Akhirnya kusampai juga ke daerah Penumping. Daerah ini terletak di pusat kota Solo. Tepatnya disebelah stadion Sriwedari. Daerah ini merupakan daerah perumahan elit. Banyak rumah bagus dan besar bertebaran di sini. Jalannya pun telah di hot mix sehingga lingkungannya terlihat rapi dan bersih. Kupelankan laju motorku sambil kukeluarkan catatan alamat rumah Pak Achmad dari saku kemejaku. Aku pun mulai celingukan ke kiri dan ke kanan.
Setelah berputar ke sana kemari, belum kutemukan juga alamat rumah Pak Achmad. Hampir setengah jam aku mengililingi kompleks perumahan ini. Kulihat langit pun semakin mendung. Angin pun bertiup lebih kencang. “Mau kerja saja sudah susah kaya gini, ya,” keluhku.
Karena usahaku tidak juga membuahkan hasil,akhirnya aku putuskan untuk bertanya ke penduduk setempat. Aku mulai mencari orang yang sekiranya bisa kutanyai dimana rumahnya Pak Achmad. Tak berapa lama, kutemukan seorang pria separuh baya sedang duduk-duduk di depan pos ronda. Dia tampak sedang menikmati sebatang rokok yang “nokrong” di mulutnya.
Aku segera memarkirkan motorku tak jauh dari tempat Bapak tadi duduk. Setelah kulepaskan helm, aku pun menghampirinya.
“Permisi, Pak. Mau numpang tanya?”
“O ya, dik. Monggo. Mau tanya apa?”
“Saya mau tanya alamat rumahnya Pak Achmad, Pak. Jalan Rambutan No. 173. Bapak tahu tempatnya?”
“Ehm, .... Pak Achmad ya? Sebentar, ...... nama jalannya tadi apa?”
“Jalan Rambutan No. 173, Pak!
“Setahu saya di sini nggak ada nama jalan rambutan. Adanya cuma jalan Pepaya, Jambu, Kedondong, Ketimun, Bengkoang, Nanas, Mangga. Nggak ada nama Rambutan.”
“Kok semuanya nama buah-buahan buat bikin rujak?”
“Makanya disini nggak ada jalan Rambutan.”
Lucu banget sih nama jalannya. Jangan-jangan penduduk kompleks perumahan sisni penggemar rujak semua. Sampai nama jalannya pun nama buah untuk rujakan. Ada-ada saja.
Waduh, tapi gimana nih sekarang? Ternyata alamat yang diberi dosenku salah.
Tiba-tiba Bapak yang kutanyai itu ingat sesuatu.
“Sebentar, Dik. Tadi nomer rumahnya berapa?”
“No.173, Pak.”
“Kalo nomer rumah di kompleks di sini nggak ada yang sampai seratusan begitu. Paling besar No. 50. Biasanya nomer di atas seratus untuk rumah-rumah yang letaknya di pinggir jalan besar sebelah utara kompleks sini.”
“Maksud Bapak di jalan besar sebelah sana.” Tanganku menunjuk ke arah utara.
“Betul, dik.”
“Di jalan Radjiman, Pak?”
“Mungkin adik salah tulis alamat. Bukan Rambutan 173 tapi Radjiman 173.”
“Mungkin juga ya, Pak. Kalo begitu coba saya cari dulu kesana. Terima kasih, Pak! Pareng rumiyin.”
“Monggo.”
Aku pun memutar motorku menuju ke arah jalan Radjiman. Jalan ini termasuk jalan yang ramai di kota Solo setelah jalan Slamet Riyadi. Kususuri jalan dengan kecepatan pelan sambil celingukan mencari-cari rumah Pak Achmad.
Setelah seperempat jam, akhirnya kutemukan juga alamat yang kucari. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Padahal kemarin aku sudah buat janji untuk ketemu Pak Achmad jam sembilan. Aku pun segera bergegas menuju rumah yang bergaya kolonial jaman belanda itu.
Sesampainya tiba di depan pintu gerbangnya yang terbuat dari besi tempa menjulang setinggi kira-kira 3 meteran, kutekan bel yang terdapat di salah satu sisinya. Suaranya terdengar dari dalam rumah. Seorang kakek segera datang menuju ke pintu gerbang. Umurnya berkisar 70 tahunan. Tapi jalannya masih tegak layaknya anak muda. Badannya pun tidak kurus amat. Mungkin dulu ketika mudanya, kakek ini seorang tentara atau pejuang kemerdekaan. Sebelum membukakan pintu gerbang, kakek itu menyapaku lebih dulu.
“Ya, cari siapa?”
“Permisi, Mbah. Ini benar rumahnya Pak Achmad?”
“Benar. Ada perlu apa ya?”
“Saya mau ketemu dengan Pak Achmad. Kemarin sudah janjian jam sembilan.”
“O, kalo begitu. Monggo. Silahkan masuk. Motornya dibawa masuk ke dalam saja.” Kakek itu segera membukakan pintu gerbang yang besar itu.
Aku pun menuruti perkataannya. Segera kutuntun motorku memasuki halaman rumah Pak Achmad yang cukup lapang. Kusapu pandanganku melihat sekeliling rumah. Terlihat rumah induk dengan gaya arsitektur kolonial yang cukup megah. Umurnya mungkin sudah ratusan tahun dan tentunya juga berkesan menyeramkan seperti suasana rumah kuno kebanyakan. Demit dan konco-konconya demen banget tinggal di rumah model beginian.
“Mari silahkan duduk di sini. Tunggu sebentar. Mbah panggil Bapak dulu.”
“Ya, Mbah. Terima kasih.”
Aku pun menjatuhkan pantatku dikursi rotan yang berada di teras rumah. Nampaknya teras ini difungsikan sebagai ruang penerima tamu. Terlihat barisan kursi rotan kuno tersusun rapi dengan dilengkapi meja bulat terbuat dari kayu jati. Serasa kembali ke tempo dulu waktu jamannya si Pitung.
Setelah menunggu hampir seperempat jam, kudengar langkah kaki dengan iringan suara batuk dari dalam rumah. Pintu utama yang cukup besar terbuka. Sesosok makluk bertubuh pendek dan agak gemuk pun muncul. Angin pun berdesir dengan kencang ditambah bau menyam dan anyir darah menusuk hidung …. Eiiit stop! Ini cerita humor apa cerita horor sih! Sory, jadi terbawa suasana.
Akhirnya Pak Achmad muncul. Aku pun segera berdiri sambil menjulurkan tanganku.
“Selamat pagi, Pak.”
“Pagi. Kamu yang bernama Isma?”
“Betul, Pak. Saya Isma.”
“Mari silahkan duduk.” Pak Achmad pun duduk dihadapanku sambil menyalakan sebatang rokok. “Kata Pak Dwi (dosen pembimbingku – red ) kamu sudah lulus dari arsitek UNS cuma belum wisuda. Betul begitu?”
“Betul, Pak. Wisuda saya masih di bulan September. Saya mau cari pengalaman kerja dulu sambil menunggu ijazah saya keluar. Kata Pak Dwi, Bapak butuh bantuan seorang arsitek yang sudah lulus, meskipun ijazahnya belum ada. Maka saya langsung menerima tawaran dosen saya itu. Kalo boleh saya ingin membantu di sini.”
“Begini ceritanya. Dulu saya pernah punya usaha developer. Sudah bepuluh-puluh perumahan sudah saya buat. Namun sejak krisis moneter melanda negeri ini, usaha saya mengalami masalah. Ya, dibilang bangkrut sih belum. Cuma banyak ruginya dan tidak bisa berkembang. Nah, untuk itu saya sekarang mau beralih usaha menjadi konsultan perencana saja. Resikonya tidak sebesar developer. Tapi ya keuntungannya juga tidak seberapa. Makanya saya membutuhkan tenaga arsitek yang fresh graduate seperti kamu. Kalo jadi, kamu menjadi pegawai pertama saya.”
“Memang Bapak tidak membuka lowongan lagi.”
“Sementara cukup satu dulu. Kita lihat perkembangannya. Nanti kalo dirasa butuh tenaga lagi, baru saya buka lowongan. Gimana? Kamu bersedia?”
“Saya bersedia, Pak.”
“O, ya satu lagi. Untuk masalah gaji, jangan dilihat dari nilai nominalnya. Ya mungkin bagi kamu tidak seberapa. Karena memang saat ini saya baru merintis usaha ini. Nanti kalo di tengah jalan, saya akan memberikan kamu bonus-bonus sesuai dengan nilai proyek-proyek yang akan kita kerjakan. Gimana?”
“Nggak papa, Pak. Yang penting saya bisa dapat pengalaman dulu. Kalo boleh tahu, jobs deskripsi saya apa saja?”
“Nanti yang kamu kerjakan mulai dari membuat sebuah konsep rancangan, bikin rencana anggaran biaya, rancangan desain, dan presentasi. Bolehlah nanti kamu sesekali mengetik dokumen, bersih-bersih, bikin minum, atau jaga kantor sekalian kalo pas saya pergi. Gimana, masih sanggup?”
Busyeet, banyak banget kerjaannya. Kaya pembokat merangkap satpam saja.
“Baiklah, Pak. Saya sanggup. Buat cari pengalaman.”
“OK, hari ini kamu boleh langsung kerja.”
“Hari ini, Pak? Sekarang? Baiklah. Proyek apa yang harus saya siapkan?”
“Nggak kok. Bukan proyek. Kita bersih-bersih kantor dulu. Maklum sudah lama tidak dipakai jadi agak berdebu dan berantakan. Kamu rapi-rapikan dulu, ya. Nanti biar dibantu sama Mbah Hamid dan Mbak Inah.”
HAH???!!! Gubrak
skip to main |
skip to sidebar
Senin, 16 Maret 2009
Balada Rumah Biru, Schedule 02 - Selamat Datang di Rumah Biru
Itulah nama tempat kerjaku pertama kali sampai sekarang. Aku bekerja di sana sejak lulus kuliah. Lokasinya strategis terletak di pusat kota Solo. Tepatnya di daerah Penumping. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai bawah difungsikan sebagai rumah tinggal sedangkan lantai atas digunakan untuk kantor plus studio gambar. Bentuk bangunannya adalah bangunan tua jaman belanda atau istilahnya loji. Meskipun sudah berumur, bangunannya masih berdiri dengan kokoh dan layak dilestarikan.
Pemilik Rumah Biru bernama Pak Achmad. Beliau tinggal di lantai bawah bersama seorang istri, dua orang anak, seorang tukang kebun dan seorang pembantu rumah tangga. Pak Achmad berperawakan pendek dan sedikit tambun. Orangnya humoris tapi juga galak minta ampun, melebihi demit yang sedang beranak ditimpuk batu. Pokoknya bisa berubah 360 derajat, ...kok bukan 180 derajat? Bosen ah 180 derajat melulu! Seperti memiliki kepribadian ganda atau istilah kerennya alter ego, kadang baik, kadang jahat. Kadang berperilaku bak malaikat,... pas bagiin amplop gaji tentunya, kadang kaya setan, kalo deadline tidak tercapai!
Istrinya bernama Bu Lis. Berkerudung dan berwajah lumayan cantik ... kok mau ya sama Pak Achmad yang pendek dan gendut, ups sory pak! Beliau Ibu rumah tangga biasa. Tugasnya selain mengurusi suami dan anak-anak, juga berperan sebagai supervisor. Mengawasi tindakan anak buah suaminya yang sering tidak becus kalo kerja. Mirip cctv di sebuah mall, ... apa satpam ya? Dia selalu mengawasi kami saat Pak Achmad tidak ada di kantor. Tapi orangnya sebenarnya baik. Sedikit modis memang. Maklum, istri bos gitu loh.
Pak Achmad mempunyai dua orang anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Yang laki-laki namnya Wawan. Anaknya gendut dan berkulit hitam, karena sering main nggak pulang-pulang. Bandel deh pokoknya. Dia sekolah di SMU swasta di kota Solo tingkat dua.
Adiknya cewek bernama Ria. Dia masih SMP kelas satu. Orangnya centil banget dan mulutnya kalo ngomong udah kaya MC. Nyerocos terus nggak berhenti-henti. Bawaannya pengin nyumpelin mulutnya pake kertas kalkir kalo dia sedang ngomong. Abis berisik baget. Kecil-kecil cabe rawit. Omas lewat deh!
Keluarga Pak Achmad mempunyai seorang tukang kebun bernama Mbah Hamid dan seorang pembantu bernama Mbak Inah. Mbah Hamid berumur kira-kira 60 tahunan. Beliau tidak bermalam di rumah Pak Achmad. Tinggalnya di sebuah gubug kecil dekat kantor. Selisih beberapa rumah saja ke arah Barat. Beliau tidak mempunyai sanak saudara di Solo. Kasihan juga. Orangnya sabar dan sering bercanda. Hobinya mendongeng kisah-kisah perjuangan jaman 45 saat beliau masih membela tanah air dengan bambu runcing sambil matanya merem. Makanya kalo Mbah Hamid sudah ngomong, “ Dulu......ketika Mbah masih berjuang, ..” teman-teman kantor keburu nyacir melarikan diri meninggalkan Mbah Hamid yang mulutnya masih komat kamit, melanjutkan ceritanya, padahal lawan bicaranya sudah tidak ada. Kasihan banget, Mbah ..... Habis bikin ngantuk dengerin cerita perjuangan versi Mbah Hamid. Mendingan nonton Band of Brothers yang sama-sama cerita perjuangan. Yee, film kok dibandingin sama dongeng!
Sedangkan Mbak Inah kira-kira berumur 30 tahunan. Dia janda beranak satu. Asli dari Wonogiri. Dia tinggal bersama keluarga Pak Achmad, menempati kamar di dekat dapur. Anak satu-satunya dititipkan di tempat Ibunya di desa. Bodinya lumayan padet berisi meskipun seorang janda. Dia selalu tersenyum genit menggoda. Makanya Bu Lis selalu mengawasi Pak Achmad yang selalu nggak tahan melihat senyuman Mbak Inah. Beliau langsung luluh dan tanpa sungkan mengasih tambahan uang jajan untuk Mbak Inah. Makanya Bu Lis sering uring-uringan. Mirip peran Pak RT di sinetron Suami-suami Takut Istri yang disiarkan salah satu televisi swasta.
Ada kebiasaan Mbak Inah yang paling disukai oleh teman-teman kantor. Setiap sore saat hari kerja, Mbak Inah sering mengirimi gorengan ke studio saat kita semua masih sibuk kerja. Tentunya kalo pas Pak Achmad nggak ada di tempat . Seringnya pisang goreng, karena rumah Pak Achmad mempunyai kebun pisang yang lumayan luas. Tiap hari Mbah Hamid selalu memanennya dan diberikan kepada Mbak Inah. Tapi kadang-kadang singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng, juga sandal goreng, ... lho kok sandal sih! Alot banget tuh. Maksudnya sambal goreng. Yee, hari gini plesetan!
Kembali ke laptop! Maksudnya, kembali ke cerita kantor CV. Rumah Biru. Kantor tempat kerjaku menempati lantai atas di atas rumah tinggal Pak Achmad. Kedua lantai dihubungkan oleh sebuah tangga yang terletak di tengah ruang makan langsung tembus di depan studio gambar. Di bawah studio inilah terletak dapur tempat kerja keseharian dari Mbak Inah.
Kantor terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang Pimpinan atau tentunya Ruang Pak Achmad, terus ruang meeting dan terakhir ruang studio. Aku dan teman-teman mangkal, … kaya tukang ojek istilahnya! di ruang studio. Tepatnya studio gambar. Di situ, komputer bertebaran sebagai alat kerja kami bersama penunjangnya. Karena jamannya sudah digital, tentu mendesain bangunan sekarang tidak lagi memakai mesin dan meja gambar. Program komputer autoCAD dan 3D Max sudah mengambil alih. Hanya sebuah meja gambar lama yang tampak berdebu menempati pojok studio. Itulah kenanganku dulu saat pertama kerja disini. Ceritanya akan kupaparkan di lain schedule. Tunggu ya, orang sabar disayang pacar!
Di kantor ini, aku memiliki teman kantor yang gokil-gokil. Saat ini jumlah semuanya total ada tujuh orang. Tiga orang arsitek termasuk aku. Seorang orang anak sipil. Dan dua orang orang anak studi pembangunan. Dan seorang anak akuntan. Anak-anak arsitek dan sipil menempati ruang studio sedangkan anak-anak ekonomi mangkal di ruang meeting karena merangkap sebagai sekretaris. Semuanya cowok-cowok. Pak Achmad tidak mau menerima pegawai perempuan. Usut punya usut, hal itu dikarenakan Bu Lis keberatan dengan adanya pegawai perempuan. Takut nanti suaminya main mata dan selingkuh diam-diam. Cemburuan banget soalnya. Makanya, kantorku suasananya garing karena nggak ada yang buat cuci mata. Cowok semua gitu lho!!! Paling-paling hiburannya kalo Mbak Inah pas ngirim gorengan ke atas. Lumayan, meskipun janda, bodinya masih yahud kok buat nyegerin pikiran. Dasar mesum, hehehe...
Dulu kantor sering mengalami gonta-ganti pegawai. Mirip band yang sering gonta-ganti pemain. Banyak pegawai keluar masuk di sini. Penyebabnya kebanyakan gajinya yang kecil. Bos ku orangnya juga pelit soal gaji. Biasanya pas calon pegawai mengajukan protes tentang gajinya, Pak Achmad selalu berdalih gaji disini memang kecil tapi bonusnya gedhe melebihi sepuluh kali gaji. Tapi sampai sekarang hal ini tidak pernah terealisasi. Janji tinggal janji. Bonus tahunan hanya mimpi …
Pemilik Rumah Biru bernama Pak Achmad. Beliau tinggal di lantai bawah bersama seorang istri, dua orang anak, seorang tukang kebun dan seorang pembantu rumah tangga. Pak Achmad berperawakan pendek dan sedikit tambun. Orangnya humoris tapi juga galak minta ampun, melebihi demit yang sedang beranak ditimpuk batu. Pokoknya bisa berubah 360 derajat, ...kok bukan 180 derajat? Bosen ah 180 derajat melulu! Seperti memiliki kepribadian ganda atau istilah kerennya alter ego, kadang baik, kadang jahat. Kadang berperilaku bak malaikat,... pas bagiin amplop gaji tentunya, kadang kaya setan, kalo deadline tidak tercapai!
Istrinya bernama Bu Lis. Berkerudung dan berwajah lumayan cantik ... kok mau ya sama Pak Achmad yang pendek dan gendut, ups sory pak! Beliau Ibu rumah tangga biasa. Tugasnya selain mengurusi suami dan anak-anak, juga berperan sebagai supervisor. Mengawasi tindakan anak buah suaminya yang sering tidak becus kalo kerja. Mirip cctv di sebuah mall, ... apa satpam ya? Dia selalu mengawasi kami saat Pak Achmad tidak ada di kantor. Tapi orangnya sebenarnya baik. Sedikit modis memang. Maklum, istri bos gitu loh.
Pak Achmad mempunyai dua orang anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Yang laki-laki namnya Wawan. Anaknya gendut dan berkulit hitam, karena sering main nggak pulang-pulang. Bandel deh pokoknya. Dia sekolah di SMU swasta di kota Solo tingkat dua.
Adiknya cewek bernama Ria. Dia masih SMP kelas satu. Orangnya centil banget dan mulutnya kalo ngomong udah kaya MC. Nyerocos terus nggak berhenti-henti. Bawaannya pengin nyumpelin mulutnya pake kertas kalkir kalo dia sedang ngomong. Abis berisik baget. Kecil-kecil cabe rawit. Omas lewat deh!
Keluarga Pak Achmad mempunyai seorang tukang kebun bernama Mbah Hamid dan seorang pembantu bernama Mbak Inah. Mbah Hamid berumur kira-kira 60 tahunan. Beliau tidak bermalam di rumah Pak Achmad. Tinggalnya di sebuah gubug kecil dekat kantor. Selisih beberapa rumah saja ke arah Barat. Beliau tidak mempunyai sanak saudara di Solo. Kasihan juga. Orangnya sabar dan sering bercanda. Hobinya mendongeng kisah-kisah perjuangan jaman 45 saat beliau masih membela tanah air dengan bambu runcing sambil matanya merem. Makanya kalo Mbah Hamid sudah ngomong, “ Dulu......ketika Mbah masih berjuang, ..” teman-teman kantor keburu nyacir melarikan diri meninggalkan Mbah Hamid yang mulutnya masih komat kamit, melanjutkan ceritanya, padahal lawan bicaranya sudah tidak ada. Kasihan banget, Mbah ..... Habis bikin ngantuk dengerin cerita perjuangan versi Mbah Hamid. Mendingan nonton Band of Brothers yang sama-sama cerita perjuangan. Yee, film kok dibandingin sama dongeng!
Sedangkan Mbak Inah kira-kira berumur 30 tahunan. Dia janda beranak satu. Asli dari Wonogiri. Dia tinggal bersama keluarga Pak Achmad, menempati kamar di dekat dapur. Anak satu-satunya dititipkan di tempat Ibunya di desa. Bodinya lumayan padet berisi meskipun seorang janda. Dia selalu tersenyum genit menggoda. Makanya Bu Lis selalu mengawasi Pak Achmad yang selalu nggak tahan melihat senyuman Mbak Inah. Beliau langsung luluh dan tanpa sungkan mengasih tambahan uang jajan untuk Mbak Inah. Makanya Bu Lis sering uring-uringan. Mirip peran Pak RT di sinetron Suami-suami Takut Istri yang disiarkan salah satu televisi swasta.
Ada kebiasaan Mbak Inah yang paling disukai oleh teman-teman kantor. Setiap sore saat hari kerja, Mbak Inah sering mengirimi gorengan ke studio saat kita semua masih sibuk kerja. Tentunya kalo pas Pak Achmad nggak ada di tempat . Seringnya pisang goreng, karena rumah Pak Achmad mempunyai kebun pisang yang lumayan luas. Tiap hari Mbah Hamid selalu memanennya dan diberikan kepada Mbak Inah. Tapi kadang-kadang singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng, juga sandal goreng, ... lho kok sandal sih! Alot banget tuh. Maksudnya sambal goreng. Yee, hari gini plesetan!
Kembali ke laptop! Maksudnya, kembali ke cerita kantor CV. Rumah Biru. Kantor tempat kerjaku menempati lantai atas di atas rumah tinggal Pak Achmad. Kedua lantai dihubungkan oleh sebuah tangga yang terletak di tengah ruang makan langsung tembus di depan studio gambar. Di bawah studio inilah terletak dapur tempat kerja keseharian dari Mbak Inah.
Kantor terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang Pimpinan atau tentunya Ruang Pak Achmad, terus ruang meeting dan terakhir ruang studio. Aku dan teman-teman mangkal, … kaya tukang ojek istilahnya! di ruang studio. Tepatnya studio gambar. Di situ, komputer bertebaran sebagai alat kerja kami bersama penunjangnya. Karena jamannya sudah digital, tentu mendesain bangunan sekarang tidak lagi memakai mesin dan meja gambar. Program komputer autoCAD dan 3D Max sudah mengambil alih. Hanya sebuah meja gambar lama yang tampak berdebu menempati pojok studio. Itulah kenanganku dulu saat pertama kerja disini. Ceritanya akan kupaparkan di lain schedule. Tunggu ya, orang sabar disayang pacar!
Di kantor ini, aku memiliki teman kantor yang gokil-gokil. Saat ini jumlah semuanya total ada tujuh orang. Tiga orang arsitek termasuk aku. Seorang orang anak sipil. Dan dua orang orang anak studi pembangunan. Dan seorang anak akuntan. Anak-anak arsitek dan sipil menempati ruang studio sedangkan anak-anak ekonomi mangkal di ruang meeting karena merangkap sebagai sekretaris. Semuanya cowok-cowok. Pak Achmad tidak mau menerima pegawai perempuan. Usut punya usut, hal itu dikarenakan Bu Lis keberatan dengan adanya pegawai perempuan. Takut nanti suaminya main mata dan selingkuh diam-diam. Cemburuan banget soalnya. Makanya, kantorku suasananya garing karena nggak ada yang buat cuci mata. Cowok semua gitu lho!!! Paling-paling hiburannya kalo Mbak Inah pas ngirim gorengan ke atas. Lumayan, meskipun janda, bodinya masih yahud kok buat nyegerin pikiran. Dasar mesum, hehehe...
Dulu kantor sering mengalami gonta-ganti pegawai. Mirip band yang sering gonta-ganti pemain. Banyak pegawai keluar masuk di sini. Penyebabnya kebanyakan gajinya yang kecil. Bos ku orangnya juga pelit soal gaji. Biasanya pas calon pegawai mengajukan protes tentang gajinya, Pak Achmad selalu berdalih gaji disini memang kecil tapi bonusnya gedhe melebihi sepuluh kali gaji. Tapi sampai sekarang hal ini tidak pernah terealisasi. Janji tinggal janji. Bonus tahunan hanya mimpi …
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.


