Sabtu, 07 Februari 2009

SEKATEN, MASIHKAH PERLU DISELENGGARAKAN SEBAGAI PESTA RAKYAT?





Sekaten adalah salah satu perayaan tradisional bernuansa Islam yang diselenggarakan setiap tahun di alun-alun Kraton Jogja dan Solo. Keramaian yang berupa pasar malam ini selalu diadakan pada bulan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Biasanya orang akan berbondong-bondong pergi ke Sekaten untuk mencari hiburan di stan-stan permainan dan tontonan atau untuk berbelanja, karena ada bermacam-macam barang yang ditawarkan dengan harga murah. Sekaten adalah suatu pesta rakyat yang diselenggarakan selama satu bulan penuh setiap tahun di Alun-Alun Utara, Masjid Agung, serta Komplek Karaton Surakarta Hadiningrat dalam menyambut datangnya Maulud Nabi Muhammad SAW.
Banyak sekali kegiatan yang disajikan dalam perayaan Sekaten, mulai dari pasar murah, pasar malam, pameran sampai dengan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Ada beberapa benda yang khas atau erat banget hubungannya dengan sekaten, yaitu mainan kodok-kodokan, gasing, kapal-kapalan, brondong nasi, cambuk serta celengan gerabah.
Beberapa kalangan (terutama generasi muda) sepertinya sudah kehilangan ketertarikan pada perayaan Sekaten. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh semakin banyaknya pilihan hiburan yang dapat dijumpai di Kota Solo saat ini sebagai dampak modernisasi. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Kraton maupun Pemda Surakarta untuk dapat mengemas kegiatan Sekaten ini semenarik mungkin (tanpa kehilangan makna dan nuansa tradisi) agar dapat menemukan kembali daya magnetnya untuk menarik semua kalangan untuk kembali datang mengunjunginya. Tapi bagi penggemar fotografi, Sekaten adalah salah satu surga untuk mendapatkan object foto yang menarik.
Perayaan Sekaten mencapai puncak saat ditabuhnya Gamelan Kyai Guntur Sari dan Gamelan Kyai Guntur Madu di Masjid Agung sebagai tanda Sekaten resmi dibuka. Kedua gamelan ini ditabuh selama seminggu pada tanggal 5 s/d 12 Rabiulawal dari jam 10.00 sampai jam 22.00, dengan jeda pada saat adzan. Penabuhnya adalah abdi dalem keraton yang disebt abdi dalem 'Niyogo'. Ada beberapa ritual yang khusus dan istimewa dari perayaan Sekaten, yaitu: ritual makan sirih dan telur asin (Endog Kamal) saat ke-dua gamelan ditabuh. Gendhing pertama yang ditabuh pada perayaan sekaten adalah gendhing Rambu yang dimainkan oleh gamelan Kyahi Guntur Madu, yang ditabuh setelah Ashar. Gendhing kedua yang dimainkan oleh gamelan Kyahi Guntur Sari disebut gendhing Rangu.
Pada hari ketujuh (tanggal 12 Rabiulawal) pagi, kedua gamelan dibawa kembali masuk ke Keraton. Hal ini menandakan bahwa prosesi Gunungan akan segera dimulai. Prosesi ini dikenal dengan nama Hajat Dalem Pareden Gunungan garebeg Mulud. Gunungan yang dibawa dari dalam keraton menuju masjid agung untuk diperebutkan masyarakat terdiri dari gunungan kakung, gunungan putri dan gunungan anak. Dalam perjalanan menuju masjid agung, gunungan dikawal oleh prajurit Wirengan dengan diiringi gendhing yang dimainkan dari gamelan
Kata Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung 2 makna kalimat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena “kepintaran” lidah orang Jawa akhirnya kata itu menjadi Sekaten. Ada pula yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata 'Sekati' yang berarti meng-estimasi dan meng-evaluasi untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu.
Perayaan Sekaten ini sudah berumur ratusan tahun. Bila diperhitungkan menurut kalender Masehi, perayaan Sekaten jatuh pada tanggal dan bulan yang berbeda dari tahun ke tahun. Misalnya, Sekaten tahun 2004 jatuh pada bulan Maret, sementara pada tahun 2005 bisa saja jatuh pada bulan April, demikian seterusnya.
Pada tahun 1979 , di sepanjang jalan masuk menuju arena Sekaten ada banyak penjual mainan tradisional, suvenir sederhana, makanan tradisional dan lain-lain. Situasinya terkesan apa adanya, tidak tertata rapi seperti perayaan Sekaten akhir-akhir ini. Arena Sekaten pada saat itu belum sepadat dan seramai saat ini. Jalan-jalan menuju arena masih teduh karena banyaknya pohon-pohon besar yang rindang dan belum banyaknya bangunan pertokoan.
Beberapa tahun kemudian atau sekitar tahun 80-an, perayaan Sekaten menjadi sangat populer karena adanya tobong musik dangdut yang menghebohkan. Banyak orang membicarakan pertunjukan dangdut itu. Biasanya mayoritas penonton pertunjukan dangdut itu kaum laki-laki. Semakin malam jumlah penonton semakin berjubel. Mereka ingin menyaksikan penyanyi dangdut yang aduhai. Menurut kaum laki-laki yang sudah menontonnya, penyanyi dangdut di Sekaten sangat berani, baik dari cara berpakaiannya yang menggoda maupun goyangannya yang cenderung erotis. Namun, menjelang tahun 1990, hiburan itu tampaknya mulai dilarang hadir di Sekaten oleh Pemkot. Ada kabar pertunjukan dangdut tidak diperbolehkan lagi karena dipandang sangat vulgar dan menyimpang dari makna Sekaten yang sebenarnya agamis.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1999, terlihat ada perubahan dalam perayaan Sekaten baik dari segi penataan, pengelolaan, barang yang diperjualbelikan, maupun jasa yang ditawarkan. Hal-hal yang baru pada waktu itu adalah adanya stan-stan yang menawarkan rumah-rumah hasil karya para developer, paket-paket liburan ke luar kota, barang-barang elektronik yang bervariasi, sarana-sarana komunikasi, sampai bermacam-macamnya sarana permainan anak, tenda -tenda fast food dan lain sebagainya. Orang-orang yang berdatangan pun banyak yang bermotor maupun bermobil. Arena Sekaten tampak berdebu dan kotor, meskipun sudah ada penataan dari pihak penyelenggara.
Sejak tahun 2000, terlihat ada perubahan yang fantastis baik dari segi pengelolaan, barang dan jasa yang ditawarkan. Ada ruang-ruang stan ber-AC. Berbagai macam kendaraan dari motor hingga mobil dan rumah ditawarkan di sana. Meskipun sudah membayar ongkos tiket masuk yang cukup mahal, masih ada lagi tiket-tiket susulan yang harus dibeli agar bisa masuk di stan-stan tertentu. Ada lagi tukang-tukang parkir liar yang menarik tarif parkir semaunya.
Sekalipun sekarang orang harus mengeluarkan uang lebih banyak di Sekaten, tetap saja pasar malam ini tidak pernah sepi pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Sekaten punya daya tarik tersendiri baik bagi wisatawan dari luar Solo, maupun bagi penduduk Solo sendiri. Bila ditanyakan kepada orang Solo “Tahukah Anda perayaan Sekaten?”, bisa dipastikan hampir semua menjawab , “Ya”. Tetapi, apakah itu berarti bahwa semua orang Solo memahami makna Sekaten yang sebenarnya? Jawabnya, “ Belum tentu!”
Sebagai orang Solo, saya sangat merasakan perubahan Sekaten. Mengapa Sekaten berubah?
Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain :
• Perubahan jaman
Hidup di jaman modern seperti saat ini, orang cenderung berpikir ke arah materialistik dan kapitalistik daripada esensi budaya maupun religi. Kemajuan jaman tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. Hal ini bisa terlihat dari canggihnya barang-barang yang diperjualbelikan. Ini juga mendongkrak harga tiket, retribusi, dan harga-harga produk lainnya. Akibatnya, tidak semua orang bisa menikmati hiburan dari perayaaan yang dulu lebih dikenal sebagai pesta rakyat itu. Khususnya bagi rakyat kecil ( rakyat yang kurang mampu ) hal ini memberatkan sekali. Dari sini, kita juga bisa melihat adanya pergeseran nilai kehidupan dari masa ke masa.
• Majemuknya pandangan hidup masyarakat serta pola pikir modern
Ini merupakan penyebab utama berkurangnya kuantitas nilai kesakralan Sekaten. Bisa kita lihat bahwa tidak semua orang yang berkunjung ke Sekaten beragama Islam, tidak semua orang Islam adalah orang Jawa dan tidak semua orang Jawa percaya atau menganggap pergi ke tempat itu sebagai tempat untuk mendapat berkah. Hal-hal seperti ini yang membuat kesakralan Sekaten berkurang.
• Faktor ekonomi
Faktor ini demikian kuatnya sehingga mengalahkan aspek budaya-sosial-tradisi dan religi. Orang berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya baik dari pemilik modal, penyelenggara, maupun penjual jasa. Misalnya, harga tiket masuk pameran Rp 4.000, tiket masuk ke pameran kraton Rp 3.000, tiket pameran lain berkisar antara Rp 2000, tarif parkir motor Rp 2.000 ( normal Rp 500 ), belum lagi tiket-tiket titipan lainnya.

Bagaimana Sekaten itu awalnya dilakukan ? Seperti yang telah disebutkan di wal pembahasan, istilah Sekaten sendiri, sebenarnya berasal dari kata Syahadatain atau mengucapkan kalimat Syahadat, yang kemudian berubah pengucapan menjadi sekaten. Pada abad 15 awal mula agama Islam berkembang di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, memikat masyarakat luas dengan menggunakan gamelan dan menggelar karawitan. Untuk tujuan syiar ini, beliau menggunakan dua perangkat gamelan, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Sunan Kalijaga mengumpulkan masyarakat dengan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman mesjid Besar. Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam. Biasanya, di sela-sela pagelaran juga akan dibacakan ayat-ayat suci alquran dan khotbah.
Ditinjau secara rasional, cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dapat diterima oleh akal. Bahkan bisa disebut sebagai sebuah cara yang kreatif. Mungkin jika Beliau mengundang masyarakat secara lisan untuk datang mendengarkan dakwah, belum tentu masyarakat akan berbondong-bondong datang. Pada masa itu, masyarakat sangat menyukai kesenian, dan hal ini dengan jeli dapat ditangkap oleh Sunan Kalijaga sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam.
Tabuhan gamelan sekaten ini adalah kreasi Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh Sunan Kalijaga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh. Maleman Sekaten sendiri oleh Sunan Kalijaga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam.
Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali akan memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Cara ini terbukti dan dapat diterima oleh akal merupakan cara yang sangat efektif. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.
Sejarah awal Sekaten yang digagas oleh Sunan Kalijaga dalam rangka dakwah di Pulau Jawa, pada mulanya adalah media untuk melakukan doa tolak bala. Ketika itu, masyarakat dilanda banyak bencana, mulai dari kemarau panjang, gagal panen, wabah penyakit menular, hingga kematian ternak yang cukup banyak. Dari berbagai bencana tersebut, Sunan Kalijaga sangat prihatin dan dilakukanlah berbagai usaha dalam rangka memberi ketenangan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Dengan gagasan yang cerdas dan kreatif, Sunan Kalijaga memadukan budaya masyarakat dengan nilai agama dalam rangka menyampaikan tugas dakwah. Sunan Kalijaga mengumpulkan masyarakat di lapangan luas dan diajak melakukan doa tolak bala agar terhindar dari berbagai bencana yang melanda.
Di balik musibah yang beruntun itu tentu ada hikmah, entah itu sebagai ujian, cobaan, atau peringatan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Selain ishtigfar, kekuatan doa juga begitu penting untuk keluar dari bencana. Sunan Kalijaga misalnya, biasa melakukan doa tolak bala ketika masyarakat mendapat bencana. Dakwah Sunan Kalijaga yang mampu memadukan nilai agama dengan budaya masyarakat menjadi sangat komunikatif dan dihormati oleh masyarakat waktu itu.
Sunan Kalijaga juga tercatat dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa sebagai tokoh yang menggagas acara Sekaten yang hingga kini tetap dilestarikan di Yogyakarta. Momentum Sekaten pada awalnya digunakan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah dengan memadukan budaya masyarakat Jawa. Dalam acara Sekaten waktu itu, Sunan Kalijaga mengumpulkan tokoh- tokoh Islam dari berbagai lapisan, bergabung dengan masyarakat luas untuk mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bagi penduduk.
Salah satu karya besar Sunan Kalijaga dalam memadukan dakwah dengan budaya Jawa adalah Sekaten yang hingga kini masih terus dilestarikan. Sekaten sesungguhnya bukan hanya arena dangdut, hiburan, dan pasar malam, tetapi esensi Sekaten itu sendiri adalah media dakwah yang dikemas dengan acara budaya.
Di sinilah kreativitas Sunan Kalijaga dalam membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat, mereka bisa memadukan dakwah dengan budaya sehingga masyarakat merasa tersentuh. Mereka tidak pernah berdakwah dengan kekerasan dan mereka tidak pernah menanamkan kebencian di tengah masyarakat. Dakwah mereka dibutuhkan masyarakat dan mereka pun memahami betul budaya masyarakat sehingga mereka dicintai masyarakat dan mereka pun sangat mencintai masyarakat.
Sunan Kalijaga menggagas acara Sekaten yang memadukan peringatan Maulid Nabi dengan budaya Jawa. Sekaten adalah merupakan media dakwah yang dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat yang datang ke acara Sekaten bisa melihat budaya rakyat sekaligus mendapatkan syiar dakwah, termasuk doa tolak bala.
Dalam peringatan Maulid Nabi, sesungguhnya banyak hikmah yang bisa diperoleh. Lewat peringatan tersebut akan diulas kembali berbagai keteladanan yang dilakukan oleh nabi. Dari sekian banyak teladan yang diberikan oleh nabi, bisa diambil satu contoh ucapan nabi, bahwa tugas utama yang diemban beliau adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Setelah berlangsung selama ratusan tahun, Sekaten mulai mengalami pergeseran nilai. Tatkala moralitas umat saat ini dilanda kritis yang memprihatinkan dan tatkala kegersangan spiritual semakin suram, perayaan Sekaten yang mengandung esensi dakwah perlu diaktualisasikan. Sekaten tidak hanya sekadar arena dangdut, hiburan, dan pasar malam, namun harus dikembalikan pada esensinya sebagai media dakwah.Pada jaman serba teknologi, serba cangging, serba maju, seperti sekarang ini, masyarakat mulai menggunakan akal pikirnya dalam menyingkapi semua ritual yang ada dalam perayaan Sekaten. Mereka mulai tidak percaya akan mitos-mitos yang sering mereka dengar dalam ritual Sekaten. Secara rasional, ritual – ritual itu cenderung tidak masuk akal. Bahkan ada yang beranggapan ritual dalam Sekaten cenderung mendekatkan pada kesyirikan. Bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga dulu. Sehingga perayaan sekaten sekarang ini hanya mereka nikmati sebagai sebuah pesta rakyat, sebuah hiburan yang murah meriah, tanpa memikirkan apa sebenarnya makna yang terkandung dalam perayaan Sekaten.

Pembukaan Garebek Sekaten di Masjid Besar Surakarta yang diikuti dengan ditabuhnya gamelan Sekaten, diwarnai adegan unik pejabat setempat yang nginang (makan sirih) seperti tradisi yang dilakukan masyarakat tempo dulu. Tradisi nginang saat Sekaten ini merupakan kepercayaan masyarakat setempat, dengan harapan mereka akan mendapat berkah, awet muda dan panjang umur. Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung.
Seperangkat kinang yang dijual dengan harga Rp 500 itu terdiri dari daun sirih, tembakau, gambir, jambe, serta sedikit kapur atau biasa disebut injet. Kinang ini biasanya digunakan orang-orang tua zaman dahulu untuk menguatkan gigi dengan cara dikunyah. Tetapi kinang sekaten ditambah dengan satu bunga kanthil di dalamnya. Menurut cerita, orang yang akan membeli seperangkat kinang sekaten tidak boleh sembarang memilih. Sebab, harus dipisahkan antara mereka yang belum menikah dengan yang sudah menikah. Kalau yang belum menikah, bunga kanthil-nya harus yang baru kuncup, sementara yang sudah menikah harus yang sudah mekar. Dengan harapan mereka yang belum menikah bisa segera mendapatkan jodoh, sedangkan yang sudah menikah bisa mendapatkan berkah dan enteng rezeki. Bagi mereka yang percaya, bunga kanthil yang ada dalam seperangkat kinang sekaten itu bisa dimasukkan ke dalam dompet.
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. Sementara untuk telur asin atau endhog amal lebih bermakna sebagai lambang kehidupan manusia bahwa setiap makhluk hidup pasti berasal dari telur, dan agar bermakna di dunia ini, manusia harus selalu beramal terhadap sesama manusia.
Adapun Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
• Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
• Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi. Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
• Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton. Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung.
• Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung Solo kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).

Seperti yang telah disebutkan di atas, tradisi Garebek Sekaten di Solo berlangsung selama sepekan, dan akan ditutup dengan ritual gunungan yang diperebutkan oleh masyarakat di halaman Masjid Besar. Ada mitos yang mengatakan bahwa ketika mendapatkan gunungan tersebut keberkahan akan datang ke diri kita. Makanya orang-orang yang percaya akan melalap berkah sampai rela mengais-ngais sisa dari gunungan yang tidak terambil.
Menurut petugas Keraton Surakarta, isi Gunungan itu adalah macam-macam hasil bumi, seperti kacang panjang, wortel, mentimun, serta makanan tradisional seperti rengginang, makanan yang terbuat dari nasi kering. Semua contoh hasil pertanian itu dimasukkan dalam Gunungan untuk melambangkan betapa masyarakat Muslim pengikut Nabi Muhammad di Solo selama setahun terakhir diberi kemudahan-kemudahan oleh Allah dalam bercocok tanam sehingga masyarakat petani bisa lancar memanen hasil pertanian mereka. Hasil pertanian itu pun sebagian besar sempat dipasarkan dan penghasilkan jumlah rupiah yang cukup untuk dijadikan tabungan atau sekadar menutupi beragam kebutuhan sehari-hari.
Prosesi keluarnya Gunungan dimulai dari Kori Brojonolo di Keraton Surakarta dengan ditandai dengan dibunyikannya terompet dan tambur dan diberangkatkan Raja Surakarta PB XIII Hangabehi. Selanjutnya Gunungan dibawa ke halaman Mesjid Agung untuk didoakan. Tetapi sebelum doa selesai, ribuan masyarakat yangsudah menunggu sejak pagi di halaman Mesjid Agung tidak sabar untuk segera memperebutkan isi Gunungan tersebut. Siapa pun masyarakat yang ikut berebut dan berhasil mendapatkan banyak macam barang, dinilai sebagai orang yang punya potensi jadi sukses dalam hidupnya. Sebaliknya, jika mendapatkan hasil rebutan sedikit, orang itu digambarkan sebagai warga yang lemah, tidak punya semangat juang tinggi untuk meningkatkan derajat hidupnya. Biasanya hanya dalam waktu sekejap, sejumlah 16 gunungan yang ditampilkan habis diperebutkan. Masyarakat masih mempercayai berkah dari ritual tersebut.
Penyelenggaraannya dimulai sejak tahun 1478, pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. Dalam ritual Gunungan Sekaten tersebut dilakukan pengucapan dua kalimat syahadat (syahadatain), yang dulunya dilakukan untuk mengajak orang Jawa masuk Islam. Sementara untuk Gunungan sendiri bermakna sedekah raja kepada rakyat. Jika dulu dilakukan dengan membagi-bagikan langsung kepada masyarakat luas, maka sekarang dilakukan dengan cara diperebutkan.
Selain itu, penyelenggaraan Sekaten selalu dimeriahkan dengan perayaan yang digelar di Alun-alun Utara serta Pagelaran Keraton Surakarta. Perayaan Sekaten, merupakan wahana bagi rakyat kebanyakan yang mengekspresikan budaya Jawa yang agraris. Di sini bisa ditemukan beberapa mata dagangan tradisional seperti celengan, cambuk, nasi liwet, cabuk rambak, gangsingan, dan kodok-kodokan. Tercatat 400 pedagang menggelar dagangan di Alun-alun Utara dan 125 pedagang di pendapa Pagelaran.
Secara empiris, masyarakat Solo sangat percaya terhadap kegiatan-kegiatan ritual seperti yang telah disebutkan di atas berdasarkan pengalaman yang mereka lihat. Mereka mengetahui bahwa kebiasaan tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun oleh orang tua mereka sejak dulu. Telah menjadi adat istiadat bagi orang Jawa untuk hormat dan mematuhi orang tua termasuk semua hal yang dilakukannya. Karenanya, kegiatan ritual dalam Sekaten sudah menjadi kepercayaan bagi masyarakat Solo. Para ustad selalu menjelaskan bahwa ritual Sekaten terutama gunungan hanyalah upacara budaya, bukan kegiatan agama. Kebetulan saja acara tersebut punya nilai jual untuk menjaring wisatawan sehingga tak aneh jika pemerintah menjadikan ritual Gunungan Sekaten sebagai bagian dari usaha memajukan industri kepariwisataan Solo.

Bag6-Saat-Saat yang Terindah ( Chap. Lagu Untuk Viola )

Hari ini untuk kedua kalinya aku ikut Viola ke Jogja setelah minggu kemarin aku juga menemaninya sehabis latihan di Yellowbeat. Aku kasihan padanya kalau sendirian ke sana. Sebenarnya aku masih merasa nggak enak meninggalkan pekerjaanku di StarMusikindo. Aku nggak enak sama Bu Ratna dan teman-teman karyawan yang lain. Masa karyawan baru udah sering bolos. Tapi karena Mas Deny meyakinkanku bahwa dia nanti yang bakal ngomong sama Bu Ratna, aku agak merasa lega walau sebenarnya masih ada yang mengganjal. Aku pun teringat kembali kejadian di StarMusikindo seminggu yang lalu di hari pertama aku masuk kerja.

Seminggu yang lalu...

Hari ini merupakan hari pertama aku masuk kerja. Harusnya aku masuk kerja kemarin tapi karena pada hari itu aku pergi menemani Viola, maka terpaksa aku bolos kerja pada hari pertama. Saat ini aku akan menghadap Bu Ratna. Mungkin karena sikapku kemarin, Bu Ratna hendak bertemu denganku. Segera kuketuk pintu ruangannya dan tak berapa lama terdengar suara beliau menyuruhku masuk. Kulihat hari ini Bu Ratna memakai blazer warna kuning pastel sehingga beliau tampak jauh lebih muda. Raut muka tampak serius tak seperti biasanya. Jangan-jangan beliau sedang kesal padaku ? Wah, aku pasti dimarahi habis-habisan nih.
”Assalamu’ alaikum, Bu.” Aku menyapanya dengan ramah.
”Wa’ alaikum salam. Duduk, Is!”
”Makasih, Bu.” Segera kutarik kursi di depan meja kerjanya.
”Kemarin saya sudah dihubungi sama Mas Deny, kakaknya Viola. Katanya kamu nggak bisa masuk kerja di hari pertama karena harus menemani adiknya ke Jogja. Benar begitu, Is?”
”Benar, Bu. Kemarin siang saya menemani Viola ke Jogja sampai malam. Jadi saya mohon maaf kalau kemarin saya belum bisa masuk kerja.”
”Gimana perjalanan ke Jogja kemarin?”
”Alhamdulillah lancar, Bu.”
”Saya sih nggak papa. Tapi usahakan jangan terlalu sering bolos kerja ya. Nggak enak sama karyawan yang lain. Kamu mengerti maksud saya, Is?”
”Saya mengerti, Bu. Sebagai permohonan maaf, saya bersedia kerja full time hari ini untuk mengganti jam kerja saya kemarin.”
”Kamu yakin, Is? Apa kamu nggak kuliah pagi ini?”
”Kebetulan hari ini kuliah sedang kosong, Bu. Minggu kemarin tugas akhir mata kuliah sudah dikumpulkan jadi minggu ini nggak ada kuliah.”
”Baiklah, kalau begitu sekarang kamu boleh langsung kerja.”
”Makasih, Bu.”
Aku pun segera beranjak dan meninggalkan Bu Ratna di ruangannya. Tapi begitu aku hendak tiba di pintu keluar, tiba-tiba Bu Ratna memanggilku.
”O ya, Is. Saya hampir lupa sesuatu. Selamat bergabung di StarMusikindo, semoga kamu betah di sini.”
”Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha semampu saya.”
”Ok, sekarang kamu bisa pergi.”
”Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”

Aku pun berlalu. Hatiku terasa lega . Aku nggak menyangka kalau Bu Ratna tidak marah padaku. Padahal tadinya aku sudah deg-degan ketika hendak masuk ke ruang kerjanya. Memang beliau orangnya sangat baik hati. Aku pun menjadi sangat menghormatinya.
”Hey, Is. Gimana? Dimarahin ya sama Bu Ratna.” Tiba-tiba dari arah belakang, Mas Seno menyapaku.
”Eh, Mas Seno. Bikin kaget aja. Enggak kok. Bu Ratna nggak marah.”
”Memang Bu Ratna orangnya baik hati. Orangnya jarang bahkan mungkin nggak pernah marah. Kita semua di sini sangat menghormatinya. Beliau kami anggap seperti Ibu kami sendiri. Tapi jangan tanya kalau kita sampai mengecewakan pelanggan toko ini, beliau mungkin nggak kenal kompromi.”
“O ya, kenapa bisa begitu Mas?
”Jelas bisa! Kamu tahu, Is. Toko ini menjadi besar karena pelanggan. Dan kamu boleh percaya apa nggak. 90% pembeli di sini adalah pelanggan toko ini selama satu dekade. Sisanya adalah pelanggan baru. Jadi wajar kalau Bu Ratna sangat memperhatikan kepuasan dari pelanggan.”
Mas Seno mulai menjelaskan dengan mimik muka yang serius.
”Menurutku mengenai persoalanmu kemarin, Bu Ratna menganggap Viola sebagai pelanggan lama karena memang keluarga Viola sudah menjadi pelanggan di toko ini sejak Viola masih kecil dan kamu dianggap beliau telah memuaskan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan, dalam hal ini kamu mengantar Viola ke Jogja.”
”O. Begitu ya, Mas.”
”Makanya sekarang kamu kerja yang betul supaya Bu Ratna betul-betul bangga padamu.”
”OK, Mas. Aku siap.”
”Nah, semangat gitu donk. Yuk, kita turun. Pelanggan tampaknya udah mulai berdatangan.”
Kami berdua pun segera menuju ruang display untuk melayani pelanggan-pelanggan kami.

”Hey, kamu kenapa Is?” Tiba-tiba suara Mas Deny membuyarkanku dari lamunan.
”Nggak papa, Mas.”
”Nggak baik kalau melamun terus. Nanti kesambet baru tahu rasa kamu.”
”Ah, masa sih siang bolong gini bisa kesambet.”
”Nih anak kalau dibilangin orang tua nggak percaya.”
Memang Mas Deny sering nasihatin kami berlima selayaknya kakak kepada adiknya. Dan kami pun menganggap Mas Deny seperti kakak kami sendiri.
”O ya, Is. Mas hampir lupa. Ada yang ingin Mas omongin sama kamu.”
”Tentang apa Mas?”
”Begini, Is. Kan udah seminggu nih kalian gabung sama Yellowbeat. Menurut Mas selama itu, kalian sudah banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Mas salut sama semangat kalian. Kalau bisa hal itu bisa terus kalian pertahankan.”
”Ok, itu udah pasti, Mas.”
”Satu lagi, Is. Apa kalian sudah punya materi lagu bikinan sendiri? Kalau ada coba besok kalian bawa ke sini.”
”Kalau materi secara utuh sih kita belum sempat bikin aransemen, tapi kalau mengenai lirik, aku punya banyak, Mas. Sejak dari SMU dulu, aku sudah sering bikin lirik lagu, sekalian menyalurkan hobiku menulis. Ada beberapa yang sudah kuaransemen sendiri, tapi belum bareng-bareng sama Coffeemilk. Kalau Mas mau lihat besok bisa ku copykan.”
”OK, Mas tunggu ya. Sekarang cepetan ke sana. Viola udah nunggu tuh.”
Aku nggak tahu kenapa Mas Deny begitu ngotot supaya aku bisa nemenin Viola ke Jogja. Apa dia sudah mengetahui hubunganku dengan Viola? Apa Mas Deny setuju kalau aku jadian sama Viola? Duh, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di otakku. Hingga akhirnya semuanya buyar ketika Viola datang menyapaku.
“Yuk, Is. Buruan kita berangkat. Tuh, udah mulai mendung.”
Tangan Viola menunjuk ke atas, memperlihatkan langit yang tampak mulai menghitam sehingga sinar matahari sudah tidak seterik tadi siang ketika aku dan teman-teman berangkat ke Yellowbeat.
“O ya, nanti kamu yang nyetir ya, Is!”
“What? Aku yang nyetir, Vi? Yang benar aja! Aku kan baru kemarin belajar nyetirnya. Aku nggak berani, Vi! Apalagi sekarang nyetirnya sampai Jogja.”
“Ayolah, Is. It’s OK. Minggu kemarin aku kan yang nyetir. Sekarang giliran kamu. Santai aja. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa kok. Lagipula kalau nggak langsung test drive, kamu nggak bakalan cepat bisa nyetir. Percaya deh ama aku.”
“Beneran nggak papa nih?”
“Iya, ayo donk, Is. Masa cowok nggak bisa nyetir mobil. Malu kan?”
“Tapi jalannya pelan-pelan aja ya , Vi.”
“Terserah kamu aja, yang penting nggak terlambat ke tempat dosenku dan tentunya selamat, sehat wal afiat.”
“Amiiin. Sekarang berangkatnya?”
“Nanti, tahun depan, ya sekarang lah.”
“Baik, Non.”
“Ih, nggak lucu ah!” Viola memukulkan kepalan tangannya ke lenganku sambil tersenyum.

Dari kejauhan tampak Mas Deny dan anak-anak Coffeemilk sedang berjalan ke arah kami berdua. Anak-anak kelihatan lelah. Mereka berjalan dengan lunglai. Hari ini kami memang latihan dengan keras. Hampir tiga jam kami habiskan waktu di studio. Tenaga kami pun terkuras. Tapi kami merasa puas dengan hasil latihan kami hari ini.
Setelah dihadapanku, Mas Deny pun berkata, ”O ya, Is. Tadi Mas udah menghubungi Mbak Ratna. Kamu diijinkan nggak masuk hari ini.”
“Makasih ya, Mas. Jadi ngrepotin Mas Deny terus nih.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting sekarang kamu temenin adikku ke Jogja. Aku titip Viola sama kamu, Is. Hati-hati di jalan ya.”
“O ya, Is.” Topan menyahut. “Jangan lupa oleh-olehnya ya. Bakpia kek atau geplak kek, yang penting khas Jogja. Jangan kaya minggu kemarin. Masa dari Jogja bawa oleh-olehnya bakwan. Nggak nyambung!”
“Jangan khawatir, Pan. Entar gue bawain. Dasar loe, makanan aja yang loe pikir.”
“Udah buruan sana berangkat, tuh mendungnya kelihatannya mulai pekat, mungkin sebentar lagi mau hujan”, kata Danny.
“OK, kami berdua pergi dulu ya. O ya, Dan. Titip anak-anak ya. Anterin sampai kost-kostan masing-masing. Terutama tuh si Topan. Hari ini kan jatah dia nguras bak mandi.”
Tawa kami pun bergema.
Mentari telah bersembunyi, menghilang dan tenggelam dibalik bongkahan awan hitam yang semakin pekat. Tak ketinggalan sambaran kilat dan pekaknya guntur mulai saling bersahutan, mengiringi perjalanan kami ke Jogja. Tak sampai dalam hitungan menit, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Semakin lama semakin deras dan kemudian hujan lebat pun telah menghadang. Segera kulajukan mobil tidak terlalu kencang mengingat kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Hujan lebat telah mengaburkan pandanganku hingga aku hanya bisa melihat cahaya-cahaya lampu dari mobil yang berada di depan maupun dari mobil yang berpapasan.
“ Is, hati-hati ya jalannya.”
“Tenang, Vi. Aku pasti berhati-hati. Pertama kali test drive langsung dapat tantangan kaya gini.”
“Nggak papa, santai aja lagi. Entar kamu malah cepet mahir nyetirnya.”
“Yang benar, Vi.”
“Percaya deh ama aku.”
“OK, Non.”
“O ya. Is, makasih ya kamu udah mau nemenin aku ke Jogja. Nggak kebayang deh seumpama aku sendirian pergi ke Jogja seperti minggu kemarin, apalagi pas hujan lebat kaya gini. Sekali lagi, makasih ya, Is.”
“Sama-sama, Vi. Aku nggak keberatan kok. Aku juga senang kok bisa nemenin kamu.”
“Benar, Is ? Kamu nggak nyesel?”
“Masa aku harus menyesal sih? Apalagi aku bisa berduaan dengan cewek secantik dan sebaik kamu, Vi.”
Gila! Sungguh aku nggak menyangka bisa ngomong seperti itu. Viola tampak tersipu mendengarnya.
“Bisa aja kamu, Is. Jangan bikin aku malu donk.”
“Kenapa mesti malu? Kamu memang cantik kok. Sungguh buta kalau ada orang yang menganggap kamu tidak cantik.”
“Makasih ya, Is.”
Ya Allah! Aku nggak nyangka akan berkata seperti itu kepada Viola. Aku jadi salah tingkah. Tanpa kusadari, aku nggak sengaja menginjak pedal rem secara mendadak hingga kami berdua pun tersentak.
“Eh, ups…, sorry! Aku nggak sengaja! Sorry ya…”
Viola hanya tersenyum melihat tingkahku.
“Kenapa kamu, Is? Nggak usah salah tingkah kaya gitu. Masa sama aku kamu masih malu-malu sih. Terus terang aja padaku. Apapun yang akan kamu katakan, aku nggak akan marah kok.”
Dengan mata yang sesekali menatap ke jalan, kuperhatikan wajahnya dengan lembut. Viola menggeliat manja di kursi. Wajahnya yang tadi berseri, seketika menjadi sayu. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dan tak lama kemudian air matanya mulai berjatuhan setitik demi setitik.
“Is, bisa berhenti sebentar?”
“Berhenti di sini, Vi? OK, aku pinggirkan mobilnya dulu.”
Mobil segera kuhentikan dipinggiran jalan. Kulihat disekelilingku, hamparan sawah yang luas menghijau dengan tanaman padi yang kuning menari-nari tertiup kencangnya angin yang berhembus mengiringi lebatnya hujan.
“Kenapa, Vi? Kok berhenti disini? Kenapa kamu meneteskan air mata, Vi. Apa ada perkataanku yang menyakiti hatimu?”
“Aku menangis karena saat ini aku sungguh bahagia sekali. Kamu tahu, Is? Walaupun kita belum lama berteman, tapi aku nggak tahu kenapa setiap aku melihatmu, aku merasakan kedamaian, keteduhan dan kebahagiaan yang telah lama aku tidak merasakannya. Perasaan itu sudah hilang saat kedua orang tuaku meninggal. Tapi saat bersamamu, perasaan itu muncul kembali dan aku tidak ingin semuanya akan pergi meninggalkanku kembali. Isma, jujurlah padaku! Apakah kamu senang bersamaku?”
“Vi, dengan ketulusan hatiku yang paling dalam, aku senang menemanimu.”
“Sungguh, Is? Kamu tidak menyesal berteman denganku?”
“Kenapa aku harus menyesal. Aku malah sangat beruntung mempunyai sahabat yang cantik sepertimu.”
“Isma, makasih ya.” Viola berbinar bahagia.
Perasaan kami pun bertambah erat, memunculkan ketentraman dan kedamaian dalam jiwa kami berdua. Hujan semakin lebat dan kami pun larut dalam bunyi tetesan air yang berjatuhan, yang menyejukkan hati kami berdua yang telah terpadu dalam kehangatan.
Bersambung...