Kejadiannya terjadi kira-kira pukul 09.00 pagi. Kami semua sedang sibuk-sibuknya meeting ama Bos mengenai proyek pasar di daerah Jawa Timur. Nggak ada angin, nggak ada geledek, tiba-tiba dari arah luar rumah terdengar teriakan yang sangat keras disertai suara pintu gerbang yang digedor-gedor dengan kasar. Seketika, aku beranjak mendekati jendela untuk melihat sumber suara yang menghebohkan tersebut. Aris terlihat menyusul.
Dari atas sini jelas terlihat, seorang pria yang sudah berumur dengan uban dirambutnya. Perawakannya kurus dan tinggi dengan warna kulit yang hitam legam seperti sering tersengat teriknya matahari. Pakaiannya sangat lusuh dan acak-acakan. Tersirat sebuah tattoo memanjang di salah satu tangannya. Orang tersebut bisa dikatakan tak berbeda jauh dengan preman pasar. Dan dia terus berteriak-teriak memanggil-manggil seseorang.
“HEY, ACHMAD. AYO, BUKAKAN PINTUNYA. JANGAN SEMBUNYI KAU. AKU KE SINI MO MENAGIH JANJI. HEY, CEPETAN BUKA PINTUNYA!”
Lho, kelihatannya orang itu menyebut-nyebut nama si Bos? Ada hubungan apa ya mereka berdua? Karena penasaran, aku segera kembali ke ruang meeting dan bertanya langsung pada si Bos yang terlihat cuek-cuek aja.
“Maaf, Pak. Kelihatannya di depan ada orang yang ingin bertemu dengan Bapak. Dari tadi dia berteriak terus-menerus memanggil Bapak. Kalo boleh tahu, Bapak kenal dengan orang itu?”
“Apa tampangnya seperti seorang preman pasar? Wajahnya sangar dan kulitnya hitam?”
“Betul, Pak. Ya seperti itu orangnya. Bapak kenal?”
“O, ya. Tentu. Aku kenal dengannya. Dia itu adik bungsunya almarhum Bapak saya. Jadi dia itu Om saya. Namanya Om Sungkowo. Tapi ya begitu orangnya. Kasar dan kerjaannya pengangguran. Cuma bisa minta duit ke sana-kemari. Paling-paling dia kemari juga mau minta duit.”
“Tinggalnya sekarang dimana, Pak?” tanya Prast.
“Nggak jelas. Dia seringnya numpang ke rumah teman-temannya. Tapi paling sering ya tidur di tempat Bapak di daerah Klaten.”
“Apa Om Bapak itu punya keluarga? Istri dan anak, maksudnya?” imbuh Zaini.
“Mereka udah lama bercerai dan belum dikarunia anak.”
Tiba-tiba Aris datang menghampiri kami.
“Pak, Mbah Hamid sudah membukakan pintu dan menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu.”
“Malas aku bertemu dengan Om saya itu. Bikin emosi. Kamu aja yang menemuinya, Ris. Bilang aku sedang keluar kota.”
“Lho, kan mobil Bapak ada di carport. Pasti dia tahu kalo Bapak di rumah. Kalo dia tanya saya harus jawab apa?”
“Bilang aja, baru pergi ke Tuban. Pergi tadi pagi jam tujuh naik pesawat jurusan Surabaya. Ada urusan proyek di sana. Beres kan.”
“Tapi, Pak …. “
“Udah, cepetan sana.”
“Sama Mas Isma aja ya Pak. Kan lebih senior.”
Sialan nih Aris, melempar tanggung jawab. Males benar aku harus menemui preman pasar itu.
“Memang kenapa kalo sendirian? Nggak berani? Takut? Badan gedhe segitu kok nggak berani menghadapi orang. Ya, udah. Kalian berdua saja yang menemuinya. Yang lainnya tunggu di sini, meeting tadi belum selesai, kan. Ayo, kalian cepetan turun sana.”
Kena getah juga nih. Dasar, Aris. Terlihat anak-anak yang lain tersenyum mengejek kepada kami. Aku dan Aris segera turun dan menuju ke ruang tamu.
“Sialan tuh si Bos, ngejekin gue penakut. Padahal dianya sendiri juga nggak berani menemui Om nya sendiri. Dasar!” gerutu Aris.
“Yee, kamu sendiri sebetulnya takut juga kan, Ris. Ngajak-ngajak pula.”
“Sori deh, Mas. Habisnya aku males banget menemuinya sendiri.”
Begitu, sampe di ruang tamu, Om Sungkowo langsung menghardik kami berdua dengan suara yang lantang.
“HEY, SIAPA KALIAN BERDUA? MANA SI ACHMAD. AYO, SURUH KELUAR. AKU MO MENAGIH HUTANG PADANYA.”
“Begini, Om. Eh … Bapak tidak bisa menemui Om sekarang. Beliau sedang ada urusan di Tuban,” jawab Aris.
“HALAH, NGGAK USAH BOHONG KAMU YA. KAMU BELUM TAHU BERHADAPAN DENGAN SIAPA. TADI AKU LIHAT MOBILNYA ADA DI LUAR.” Om Sungkowo tampak sedang menyincingkan lengan bajunya. Makin terlihat jelas tattoo naga di tangan kirinya.
Glek, waduh bisa gawat nih urusan.
“Tapi beneran, Om. Bos tadi berangkat pagi-pagi sekali naik pesawat jurusan Surabaya. Saya nggak bohong.”
“MASIH BOHONG KAMU YA. MBAH HAMID TADI BILANG ADA, KOK SEKARANG NGGAK ADA. KAMU TIDAK BISA MENIPU SAYA YA. ANAK KECIL UDAH BERANI BOHONG SAMA ORANG TUA.”
Wah, suasananya makin panas aja. Bisa–bisa terjadi adegan Kungfu Panda disini.
Tiba-tiba, Bu Lis muncul di ruang tamu.
“Oh, Om Sungkowo, maaf, kapan datang? Yang sabar ya, Om. Kita ngomongnya baik-baik ya.”
“NGGAK BISA AKU SABAR LAGI. MANA SUAMIMU SI ACHMAD BRENGSEK ITU. CEPETAN KAMU SURUH KEMARI. DASAR PENGECUT. ”
“Maaf, Om. Sebenarnya ada urusan apa sih sama suami saya?” tanya Bu Lis lembut untuk meredakan suasana.
“AH, KAMU PEREMPUAN NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN LAKI-LAKI. KAMU PANGGIL AJA SUAMIMU. PANGGIL ACHMAD BRENGSEK ITU KEMARI. KALO DIA NGGAK MAU KELUAR, BIAR TAK BAKAR SAJA RUMAH INI. AYO CEPETAN SANA. ATAU KAMU MAU AKU GAMPAR SEKALIAN, HAH?”
Tidak disangka Om Sungkowo bisa berkata kasar di hadapan Bu Lis yang lembut. Bu Lis tampak mulai meneteskan air mata dan tak lama kemudian segera beranjak meninggalkan kami dengan isak tangisnya.
Melihat kejadian itu, tampaknya Aris mulai naik pitam. Dia langsung berdiri dan menunjuk-nunjuk muka Om Sungkowo.
“BERANI SEKALI YA OM BICARA SEPERTI ITU SAMA IBU. JANGAN BERANINYA SAMA PEREMPUAN. DASAR BANCI! KALO BERANI, LAWAN SAYA!”
Om Sungkowo memerah wajahnya mendengar kata-kata Aris. Dia pun segera berdiri berhadapan dengan Aris.
“EH, ANAK INGUSAN. MULAI BERANI YA SAMA SAYA. KAMU BELUM TAHU SIAPA SAYA. UDAH BOSAN HIDUP KAMU, HAH?”
Tampaknya perang akan dimulai, dan sebelum keadaaan bertambah runyam. Aku segera menengahinya. Kutahan tubuh mereka berdua yang hendak saling menghantam.
“HEY, KALIAN BERDUA. JANGAN MAIN KASAR DI SINI. KITA INI ORANG SOLO YANG MASIH PUNYA TATA KARMA. KALO BISA, MARI KITA BICARAKAN BAIK-BAIK. ARIS, KAMU JANGAN EMOSI BEGITU. INGAT, PAKE KEPALA DINGIN. DAN ANDA, OM. SAYA MOHON, BICARA BAIK-BAIK. MUNGKIN MASALAHNYA BISA KITA SELESAIKAN BERSAMA TANPA EMOSI. OK!”
“NGGAK BISA, MAS. ORANG INI HARUS DIAJARKAN TATA KRAMA.”
“APA KAU BILANG?”
Om Sungkowo segera melayangkan tinjunya ke wajah Aris. Untungnya dalam sekian detik, Aris bisa berkelit.
“HEY, OM. JANGAN MAIN KASAR DISINI! SEBAIKNYA OM SEGERA PERGI DARI SINI,” hardikku.
“BA***%@**, KAU MENGUSIRKU, ANAK SETAN?”
Anak-anak yang tadinya berada di ruang meeting tiba-tiba semuanya turun berbondong-bondong menyerbu turun.
“Ada apa nih ribut-ribut?” tanya Alung.
“Nih, orang tak tahu diri. Mo main kasar di sini. Tadi Bu Lis aja mo digamparnya,” jawab Aris.
“HEY, ENAK AJA LO MAIN GAMPAR-GAMPAR DI SINI. MO CARI PERKARA DISINI, HAH?” Prast pun mulai emosi.
“UDAH, KITA USIR SAJA”, imbuh Dika.
“SANA, GIH. PULANG! MO GUE HAJAR LO?” Alung ikut-ikutan mendesak Om sungkowo supaya angkat kaki.
“KALIAN BERANINYA MAIN KEROYOKAN YA. AWAS, KAPAN-KAPAN SAYA AKAN KEMBALI LAGI. DAN KALIAN …. , HUH, MAMPUS SEMUA!!! HEY, ACHMAD, BANCI KAU! BERANINYA CUMA NYURUH KROCO-KROCO INI. AYO HADAPI AKU KALO BERANI, DASAR PENGECUT! AWAS KAU NANTI, KUBAKAR RUMAH PENINGGALAN BAPAKMU INI. KAU DENGAR AKU, HAH?”
Om Sungkowo terus memaki-maki sambil beranjak pergi.
Setelah dia benar-benar pergi dari rumah ini, Mbah Hamid tampak terburu-buru untuk menutup pintu gerbang kembali.
Pyuuh, mimpi apa aku tadi malam. Pagi-pagi udah spot jantung nih. Untung urusannya udah kelar. Kami semua pun kembali menuju ruang meeting. Si Bos terlihat malah tampak asyik minum teh sambil dengerin musik. Sialan, kita hampir aja babak belur, dia malah enak-enakan.
“Om saya udah pulang? Bagus lah kalo begitu,” seloroh Bos dengan cueknya.
“Kok Bapak diam aja sih tadi, padahal tadi Bu Lis juga hampir aja kena gampar,” protesku.
“Lho, apa gunanya aku menggaji kalian? Saya kan nggak perlu repot-repot menghadapi orang edan seperti tadi. Tinggal minum-minum di sini, beres kan urusan.”
Busyeet dah. Kita semua cuma dijadikan tameng. Bos Emang udah keterlaluan.
Aris terlihat menahan emosi mendengar perkataan Bos yang sudah sangat keterlaluan. Untungnya Prast dan Alung menahannya sebelum kejadian dengan Om Sungkowo terulang kembali. Dalam hatiku berkata, kalo Om Sungkowo kemari lagi mo bakar rumah ini, biarin aja. Biar tahu rasa di Bos.
Kabar terakhir yang kudengar, Om Sungkowo sempat masuk bui karena kasus perdata. Dia menggelapkan beberapa uang penjualan tanah untuk kepentingan pribadinya. Sampai akhirnya, beliau meninggal dunia karena menderita kanker pada otaknya. Semoga Allah mengampuni semua dosanya, Amin.
skip to main |
skip to sidebar
Jumat, 12 November 2010
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar