Selasa, 26 April 2011

"MAAFKAN AKU “ - short fiction film script

“ MAAFKAN AKU “
-short fiction film script-
oleh Febri Fahmi
ide cerita ismailruzain

TITLES SEQUENCE
[fade out]
[black video]

EXT. TROTOAR. SIANG

Trotoar itu lumayan berdebu. Pada scene terlihat sepasang kaki yang melangkah sedikit tergesa-gesa. Kaki itu kekar, hitam dan bersandal jepit.

[Cut to] Pedagang kaset bajakan di trotoar sedang menawarkan barang dagangannya pada orang-orang lewat.

[Cut to] Seorang tukang cukur asyik mencukur rambut salah seorang customer-nya sambil bersiul.

[Cut to] Kaki yang sedang melangkah bergegas.

[Cut to] Angle kamera seakan mata dari orang yang sedang melangkah tadi, sehingga di layar terlihat trotoar di depan yang penuh dengan PKL berjajar. Orang itu terus berjalan sambil sesekali menengok ke kanan atau kiri ke arah para PKL yang menggelar dagangannya. Dan para PKL tetap asyik dengan dagangannya masing-masing.

[Cut to] Kaki yang sedang melangkah bergegas.

Tiba-tiba langkah kaki itu terhenti.

[Cut to]
INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG TELLER. SIANG

Terlihat pintu kaca itu terbuka dan sepasang kaki yang tadi melangkah masuk ruangan. Kaki itu berhenti sejenak. Lalu…

[Cut to] Kamera keamanan di sudut ruang menangkap semua aktifitas yang terjadi di dalam ruangan dalam black and white. Saat itu suasana pegadaian tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa nasabah saja yang sedang duduk menunggu giliran diproses permohonannya. Dua Nenek-nenek, seorang lelaki gemuk berkacamata setengah baya, dan seorang anak kecil yang sepertinya anak orang itu. Lelaki yang baru masuk itu terlihat masih berdiri di dekat pintu masuk. Di sebelahnya ada dua satpam berjaga.

Tak lama kemudian terdengar suara “Braaak!!” disertai mentalnya dua orang satpam rumah pegadaian sekaligus setelah mendapat tendangan telak di muka dan dadanya. Dua satpam ini terkapar di lantai. Masih dalam keadaan sempoyongan seorang satpam berusaha mengambil pistol yang terselip di pinggangnya.

Tapi belum sempat mengarahkan pistol ke muka penendang tadi, satpam itu telah kembali roboh terkena pukulan pembuat keributan itu. Pistol yang berada di genggamannya terlepas, dan si pembuat keributan segera mengambilnya.

Lalu orang itu segera berlari ke arah teller, meringkus tubuh salah seorang teller wanita, menariknya dan menjadikannya semacam tameng hidup, dan akhirnya menodongkan pistolnya ke kepala wanita itu.

PERAMPOK
“Jangan ada yang bergerak! Jika ada yang sok mau jadi pahlawan, wanita cantik ini akan mati!MATI!Kalian mengerti?!”

TELLER WANITA
(sambil menahan isak tangis dan menggigil ketakutan)
“…Ammmpuuun….!Ampuni saya…jangan bunuh saya….!Tolong…anak saya masih kecil-kecil…., Cuma saya satu-satunya yang mereka miliki, suami saya sudah mati…tolong jangan bunuh saya…please….”

Wanita itu memohon-mohon pada sang pembuat keributan agar ia diampuni dan tidak dibunuh.

PERAMPOK
(sambil tetap memegangi wanita itu, mengeluarkan kantong kertas dari sakunya)
“Oke! Sekarang cepat isi kantong ini dengan uang!CEPAT!Waktuku tak banyak!CEPAT!Jangan macam-macam ya!..”

TELLER WANITA
(sambil menggigil ketakutan, menangis,wanita itu segera menguras isi laci uangnya dan memasukkan isinya ke kantong kertas itu)
“Bbbbaaik….baik….”

Lelaki pembuat onar itu tak pernah sadar kalo dirinya tertangkap oleh kamera keamanan yang berada di sudut ruangan.

[Cut to] Petugas pengawas CCTV melaporkan kejadian itu ke polisi.

INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG CCTV. SIANG

Petugas pengawas CCTV itu sedang menikmati kacang kulit-nya ketika ia lalu sadar bahwa di ruang bawah sedang terjadi usaha perampokan.

Bungkus plastik kacangnya segera saja ia lemparkan ke meja ketika ia menengok dan melihat layar monitor. Dengan gugup ia segera meraih headsetnya yang ia biarkan tergeletak di mejanya begitu saja. Ia menghubungi kepolisian.

PETUGAS CCTV
(ekspresinya gugup,ia menekan-nekan tombol semacam pesawat radio komunikasi)
“Ayooo!….ayolah!…..cepaaat….”

Tiba-tiba terdengar dari headsetnya yang terhubung ke radio komunikasi itu seperti suara nada tersambung dengan frekuensi radio kepolisian.

PETUGAS CCTV
(gugup)
“Ee…Kepolisian?!…Lllapor pak!Sedang terjadi perampokan di kantor pegadaian kami di jalan Juanda!Ttttolong segera kirimkan anggota bapak!…”

PETUGAS POLISI
(suara dalam radio komunikasi)
“Berapa orang?”

PETUGAS CCTV
(suaranya masih terdengar gugup)
“Dia sendirian…”

PETUGAS POLISI
“Baik!Anggota kami akan segera meluncur kesana…”

Lalu terdengar nada komunikasi terputus.

[Cut to]
INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG TELLER. SIANG

Lelaki pembuat onar itu masih menodongkan pistolnya pada kepala teller wanita itu. Sesekali dia menodongkan pistol pada kerumunan nasabah yang juga ketakutan.

Wanita itu masih sibuk mengisi kantong kertas itu dengan ratusan lembar uang kertas. Dia masih ketakutan.

[Cut to] Kamera CCTV menangkap semua insiden itu dalam black and white.

[Cut to] Raut wajah perampok itu terlihat kacau. Matanya merah. Ia jelalatan, was-was kalau perbuatannya itu ketahuan oleh massa dan dirinya tak lagi sempat melarikan diri dari keroyokan massa. Ia berkali-kali menengok ke arah pintu masuk, berharap tak ada orang yang masuk. Lalu ia kembali mengalihkan perhatian kepada teller wanita itu yang belum juga selesai memasukkan uang ke kantong kertas itu.

PERAMPOK
(sambil menggunakan tangan kirinya untuk membantu teller wanita itu memasukkan uang rampokan itu ke kantong kertasnya, ia membentak)
“AYOO!!CEPAT!!Dasar wanita lelet!”

TELLER WANITA
(ekspresinya kacau dan benar-benar ketakutan)
“IYAAA!IYAAA!…TOOOLOONG…!!”

Seketika pegangan tangan kiri perampok itu lepas dari tubuhnya, teller wanita itu segera berteriak, meskipun ia masih saja ketakutan. Sang perampok yang panik segera saja membenturkan gagang pistolnya ke tengkuk wanita itu karena takut teriakannya bisa memancing kedatangan massa. Namun si wanita bukannya pingsan akan tetapi malah semakin keras meraung.

Sang perampok menjadi semakin panik.

Teller wanita itu berhasil melepaskan diri dari sang perampok, sehingga dia berlari ke arah kerumunan nasabah yang juga ketakutan di sudut ruang. Lalu ia menangis sesenggukan.

Sang perampok segera mengarahkan moncong pistolnya ke karyawan lain di balik meja teller.

PERAMPOK
(semakin beringas)
“CEPAAAT!AYO CEPAAT! Segera penuhi tas itu dengan uang!”

Karyawan yang ditodong mati kutu. Ia segera saja menuruti kemauan perampok itu.

Dalam sepersekian detik itu sang perampok tak sadar kalau tim buru sergap dari kepolisian telah mencapai lokasi dan dua orang petugas telah masuk ke ruangan.

[Cut to] Kamera keamanan menangkap citra dua orang petugas polisi yang masuk mengendap ke ruangan lewat pintu depan tanpa sepengetahuan sang perampok.

Petugas yang masuk itu berpakaian seperti pakaian tim SWAT. Hitam-hitam, dengan glove, dan senapan riffle semi otomatis di tangan.

[Cut to]
EXT. RUMAH PEGADAIAN. SIANG

Terlihat di luar pintu pegadaian menunggu dua petugas polisi lagi dengan posisi siap siaga.

Di sisi dekat kamera, terlihat seorang polisi di belakang moncong mobil patrolinya; dia jongkok dan mengarahkan pistolnya ke arah pintu pegadaian.

[Cut to]
INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG TELLER. SIANG

Dua petugas polisi yang sudah berada dalam ruang segera memperingatkan sang perampok.

POLISI 1
(sambil mengarahkan moncong riffle ke perampok)
“POLISI! ANGKAT TANGAN! KAMU SUDAH DIKEPUNG!”

Sang perampok yang mendengar seruan tersebut kaget. Ia segera berbalik dan berusaha menembakkan pistolnya ke arah datangnya suara seruan tadi, tapi dia kalah cepat dengan gerakan tim buru sergap yang terlatih.

[Cut to] [Slowmotion] Jari salah seorang polisi menarik pelatuk senapan riffle-nya.

[Cut to] [Slowmotion] Ujung senapan riffle mengeluarkan percikan api dan sedikit asap.

Terdengar suara rentetan muntahan peluru.

[Cut to] [Slowmotion] Kaki kiri sang perampok tertembak dan mengucurkan darah segar.

PERAMPOK
(ekspresinya menunjukkan kesakitan, ia lalu menatap pada luka di kakinya)
“AARRGHHHHH….!!!”

[Slowmotion] Lalu dua butir peluru menembus dada dan perut perampok itu. Darah segar mengucur deras dari lubang peluru itu.

[Cut to] [Slowmotion] (View Kamera dari mata perampok) perampok terhuyung-huyung (kamera mengikuti) dan kemudian pandangannya semakin kabur (blur). Terlihat sosok polisi tadi menghampiri perampok yang sudah tak berdaya itu. Semakin lama pandangannya menjadi semakin kabur, dan akhirnya hitam
[fade to black]
(samar-samar terdengar suara siulan teko pertanda air mendidih)

[Cut to]
INT. KAMAR TIDUR PARDJO. PAGI

[black video]
Terdengar suara tanpa rupa. Suara Sutini berusaha membangunkan Pardjo yang sedang tertidur pulas. (Sutini adalah istri Pardjo, perawakannya kurus, kulit sawo matang, rambut panjang sebahu, tidak cantik, biasa saja, cerewet.)

SUTINI
“Pak!BANGUN Pak! AYO BANGUN…!Sudah siang!”

(View kamera dari mata Pardjo) Pardjo kaget mendengar suara bentakan itu. Pardjo berusaha membuka mata, pelan. Lamat-lamat mulai terlihat sosok istrinya itu tengah berdiri berkacak pinggang di depannya.

SUTINI
(masih berkacak pinggang, marah)
“Lihat Pak!Sudah jam sembilan!Kalau Bapak tidur terus, dan nggak mau narik, nanti kita mau makan apa, Pak?!Ingat ya, Pak, kebutuhan hidup kita masih banyak, tadi anak-anak berangkat sekolah ndak aku kasih uang jajan! Uang kita sudah mepet Pak! Belum lagi, besok kita harus bayar uang kontrakan rumah kita yang cuma secuil ini!Kemaren sore waktu Bapak belum pulang narik, Cak Midin datang ke sini dan nagih uang kontrakannya.
Persediaan makanan di dapur juga semakin menipis.Kalau begini terus, lantas nanti kita makan apa, Pak?! Apa kamu tega, anak-anak kita dikasih makan batu?!
Belum lagi harga minyak naik terus, bensin juga!Pusing aku Pak, PUSING!
Si Ucup tadi juga minta bayaran uang sekolah yang udah nunggak tiga bulan…, mana susu si Ucok juga sudah habis!Anak itu rewel terus kalo ndak dikasih susu!Lekas bangun Pak! Sana narik!Pokoknya cari DUIT!DUIIIT!”

Pardjo merasa pusing dan linglung. Belum sempurna ia bangun dari tidur pulasnya, ia sudah dihujani omelan istrinya yang memang hobi ngomel itu.

Dalam hati Pardjo berharap Tuhan mau menolongnya.

[Cut to] Wajah Pardjo dan ekspresi kusutnya.

PARDJO
(dalam hati)
“Oh Ya Allah…apa yang harus kulakukan…?? Sekalipun aku narik dari pagi sampai malam, pasti hasilnya tetap tak mampu mencukupi keperluan istri dan anak-anakku. Ya Allah, tolonglah aku. Berikanlah aku jalan keluar…”

[fade to black]
[black video]

[Cut to]
INT. RUMAH PARDJO-RUANG KELUARGA. PAGI

Pintu kamar mandi terbuka, terlihat Pardjo keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosokkan handuk kumalnya ke rambutnya yang masih basah dan acak-acakan.

Pardjo melangkah ke meja makan yang juga jadi satu dengan ruang keluarga. Rumah itu memang kecil, sehingga mulai dari ruang keluarga, ruang TV dan ruang makan campur jadi satu.

[Cut to] Di atas meja makan telah tersedia Sebakul nasi hangat dan sayur lodeh kesukaan Pardjo. Ditambah lagi beberapa potong tempe goreng yang agak gosong.

Segera saja Pardjo mengambil nasi dan sayur, lalu mulai makan dengan lahap.

[backsound] Terdengar suara radio; berita RRI tentang seputar berita kriminal yang terjadi pekan ini. Ada berita perampokan, pencurian, pencopetan bahkan sampai pembunuhan.

[Cut to]
EXT. SUMUR BELAKANG RUMAH. SIANG

Sutini sedang bekerja keras mencuci baju-baju. Beberapa kali ia mengusap peluh di wajahnya dengan punggung tangan.

[Cut to]
INT. RUMAH PARDJO-RUANG KELUARGA. SIANG

Pardjo sudah selesai sarapan. Lalu minum segelas air putih dari kendi.

Piring dan sendok ia tinggalkan begitu saja di meja makan. Lalu ia berdiri.

[Cut to]
EXT. SUMUR BELAKANG RUMAH. SIANG

Sutini masih bekerja keras mencuci baju.

Pardjo muncul dari balik pintu yang ada di belakang Sutini. Sutini tak melihat kalau Pardjo berdiri di pintu.

Pardjo hanya menatap istrinya dengan pandangan sayang, meskipun istrinya itu adalah wanita yang amat cerewet. Lalu tanpa mengucap sepatah kata pun kepada istrinya yang terus saja mencuci itu, ia berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah.

[black video]

INT. RUMAH PARDJO-RUANG KELUARGA

Pardjo berhenti sejenak di depan foto-foto keluarga (hitam putih) yang terpampang di dinding. Dia pandangi foto-foto itu dengan seksama.

[Cut to] Mata Pardjo berkaca-kaca.

Lalu Pardjo meraih topi kesayangannya yang tergantung di gantungan baju dekat pintu kamarnya.

Ia pakai topi itu. Sekali lagi menatap foto-foto di dinding. Lantas beranjak pergi.

EXT. RUMAH PARDJO. SIANG

Terlihat sebuah bajaj terparkir di depan rumah. Bajaj itu terlihat masih lumayan bagus.

Pardjo keluar dari pintu depan. Ia segera menuju bajajnya. Ia membuka pintu bajaj, dan ia segera menghidupkan dan memanasi mesin bajaj itu.

[black video]

EXT. PANGKALAN BAJAJ. SIANG

Wajah Pardjo menunjukkan ekspresi gelisah. Sedari tadi ia belum memperoleh satu penumpang pun. Seorang temannya bertanya padanya.

SUPIR BAJAJ 1
“Belum dapat penumpang, Djo?”

Pardjo hanya menggeleng lemah.

Pardjo duduk di sebuah bangku panjang. Di sampingnya beberapa temannya sedang asyik bermain catur.

Tatapan mata Pardjo menerawang jauh. Seakan harapannya untuk memperoleh rejeki hari ini begitu tipis.

Pardjo hanya sesekali saja menoleh ke teman-temannya yang asyik bermain catur dan tampaknya tak pernah mendapat masalah seperti dirinya.

[black video]

[fade in]
EXT. JALAN RAYA. SIANG

[fokus wajah Pardjo] Pardjo mengemudikan bajajnya menyusuri jalan raya itu. Tatapan matanya masih menerawang jauh. Ia masih belum dapat penumpang, dan kini ia jalankan saja bajajnya ke arah yang tak tentu, berharap ada penumpang yang membutuhkan jasanya.
[Cut to] (kamera view dari arah samping)

[Cut to]
EXT. DEKAT SEBUAH WARUNG MAKAN. SIANG

Pardjo menghentikan bajajnya di dekat sebuah warung makan di pinggir jalan.

Ia lalu keluar dari bajaj. Ia melangkah ragu-ragu ke arah warung itu. Sebelum masuk, ia berhenti sejenak. Ia masukkan tangannya ke saku celana.

Uang yang ada tinggal sedikit. Hanya tinggal 2 ribu rupiah. Sisanya untuk beli BBM bajaj yang sekarang sudah sangat mahal bagi orang-orang semacam Pardjo.

Ia bingung. Uangnya terlalu sedikit. Ia hanya bisa diam dan tengak-tengok saja.

Lalu tak sengaja matanya tertuju pada sebuah papan nama bertuliskan:”PEGADAIAN, MENGATASI MASALAH TANPA MASALAH”

Tiba-tiba seperti terbersit sesuatu di pikirannya. Wajahnya menunjukkan hal itu.

Pardjo segera berbalik dan melangkah menuju bajajnya. Ia masuk lantas menghidupkan mesin.

[Cut to]
EXT. DEPAN RUMAH PEGADAIAN. SIANG

Roda bajaj berhenti dengan pasti. Kaki kekar bersandal jepit itu keluar dari bajaj.

Kaki itu melangkah bergegas. Menuju trotoar. Berjalan bergegas diantara PKL-PKL. Persis seperti mimpi yang tadi pagi dialaminya.

Kaki itu terus melangkah.

Trotoar itu lumayan berdebu. Pada scene terlihat sepasang kaki yang melangkah sedikit tergesa-gesa. Kaki itu kekar, hitam dan bersandal jepit.

[Cut to] Pedagang kaset bajakan di trotoar sedang menawarkan barang dagangannya pada orang-orang lewat.

[Cut to] Seorang tukang cukur asyik mencukur rambut salah seorang customer-nya sambil bersiul.

[Cut to] Kaki yang sedang melangkah bergegas.

[Cut to] Angle kamera seakan mata dari orang yang sedang melangkah tadi, sehingga di layar terlihat trotoar di depan yang penuh dengan PKL berjajar. Orang itu terus berjalan sambil sesekali menengok ke kanan atau kiri ke arah para PKL yang menggelar dagangannya. Dan para PKL tetap asyik dengan dagangannya masing-masing.

[Cut to] Kaki yang sedang melangkah bergegas.

Tiba-tiba langkah kaki itu terhenti.

[Cut to] Wajah Pardjo terlihat ragu. Keringat mengucur dari wajahnya yang hitam berdebu itu.

{Cut to] Tangan kiri Pardjo mengepal, seakan sedang mengumpulkan keberanian untuk memutuskan sesuatu.

Tatapan mata Pardjo menjadi tegas, tanda ia telah membulatkan tekad. Ia lalu melangkah.

[Cut to]
INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG TELLER. SIANG

Terlihat pintu kaca itu terbuka dan sepasang kaki yang tadi melangkah masuk ruangan. Kaki itu berhenti sejenak. Lalu…

[Cut to] Kamera keamanan di sudut ruang menangkap semua aktifitas yang terjadi di dalam ruangan dalam black and white. Saat itu suasana pegadaian tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa nasabah saja yang sedang duduk menunggu giliran diproses permohonannya. Dua Nenek-nenek, seorang lelaki gemuk berkacamata setengah baya, dan seorang anak kecil yang sepertinya anak orang itu. Lelaki yang baru masuk itu terlihat masih berdiri di dekat pintu masuk. Di sebelahnya ada dua satpam berjaga.

[black video]

-END TITLE SEQUENCE

[Cut to]
INT. RUMAH PEGADAIAN-RUANG TELLER. SIANG

[Cut to] Meja teller. Sebuah tangan kekar terlihat muncul di atas meja itu. Tangan kiri.

TELLER WANITA
(seperti sedang melihat sesuatu yang agak aneh)
“Ada yang bisa kami bantu Pak?”

Wajah Pardjo terlihat ragu. Tapi sebentar kemudian tekadnya telah bulat. Itu terlihat dari raut wajahnya.

[Cut to] Meja teller. Selembar BPKB dan surat-surat kepemilikan bajaj disodorkan oleh tangan itu.

[Zoom in] Surat-surat bajaj itu.

[black video]

PARDJO
“Mbak…kira-kira berapa harga gadai yang pantas untuk bajaj saya?”

-END TITLE SEQUENCE-contnd.

Maafkan Aku (Based Story)

Braak. Kedua satpam bank itu pun jatuh tersungkur terkena tendangan serta pukulan yang kuhujamkan bertubi-tubi ke tubuh mereka. Aku memang menguasai seni bela diri karate yang kupelajari waktu masih remaja sehingga aku pun tidak mengalami masalah harus berhadapan dengan kedua satpam itu. Setelah mereka roboh dengan muka berlumuran darah, aku segera berlari menuju ke arah teller. Dengan sigap segera kutarik tangan seorang karyawati yang ada didekatku dan segera kutodongkan pisau yang kurebut dari satpam tadi di lehernya. Tubuhnya kutarik kedepanku sehingga aku pun bisa berlindung di baliknya.

Jangan ada yang bergerak. Bila ada yang sok mau jadi pahlawan, wanita cantik ini akan mati. MATI! Kalian mengerti? Sekarang cepat isi tas itu dengan uang. Aku hanya mau uang. Cepat! Waktuku tidak banyak. Jangan macam-macam ya. Aku serius!

Wanita yang kudekap itu terus menjerit minta tolong. Dia terlihat histeris. Dari kedua bola matanya yang indah tak henti-hentinya mengucurkan air mata. Dia terus memohon ampun kepadaku agar dia dibiarkan hidup. Dia bekerja keras sebagai karyawan bank hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup kedua anaknya yang masih balita. Suaminya telah meninggal akibat kecelakaan tahun lalu. Jeritnya pun makin menjadi-jadi. Karena tak tahan dengan teriakannya, tanpa sengaja kupukul kepalanya dengan gagang pisau. Segera darah mengucur dari balik rambutnya yang hitam tergerai. Dia mengerang kesakitan. Tangisnya makin meledak memecahkan telinga. Aku pun mulai panik. Oh, Tuhan, apa yang telah kulakukan? Aku sungguh tak bermaksud menyakiti wanita ini. Aku hanya menginginkan uang itu. Hanya uang itu!

Cepat, ayo cepat! Segera penuhi tas itu dengan uang! Aku terus berteriak kepada karyawan yang lain untuk segera memenuhi permintaanku. Kulihat mereka dengan wajah ketakutan mulai membuka laci-laci berisi uang yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas yang kumaksud.

Aku makin tidak terkendali. Aku tak tahu lagi apa yang telah aku perbuat. Aku sungguh telah dikuasai oleh setan laknat. Pikiranku sudah dibutakan oleh hasutan-hasutan yang terkutuk. Hingga akhirnya kurasakan sebuah benda panas melesat menembus kakiku. Kulihat darah mulai mengalir dari lubang yang ditinggalkan benda tadi. Aku pun goyah. Keseimbanganku hilang. Tubuhku terasa lemas tak bertenaga sampai dekapanku pun mulai mengendur. Tanpa terasa kulonggarkan dekapanku hingga wanita yang kusekap itu pun dapat meronta, memberontak dan akhirnya setelah menggigit lenganku, dia terlepas dari cengkeramanku.

Tak berlangsung lama, dua buah benda panas yang sama berhasil menusuk dada dan perutku. Aku pun terpental hingga menabrak meja kerja di belakangku hingga jatuh berantakan. Aku pun tersungkur bersimbah darah. Tubuhku terhempas keras ke lantai marmer yang mengkilat. Lama-kelamaan warna lantainya pun berubah menjadi merah. Darah yang menggenang mulai membasahi lantai. Kepalaku berkunang-kunang. Tubuhku mati rasa. Pandanganku mulai kabur. Yang bisa kulihat hanya samar-samar sebuah bayangan seorang polisi menghampiriku sambil menodongkan pistolnya. Akhirnya rasa dingin menyelimutiku. Sungguh dingin sekali rasanya. Dan yang kulihat akhirnya hanya warna hitam yang gelap, hitam yang pekat, hitam yang diam serta hitam yang tak berujung…………

Pak! Bangun! Hari sudah siang!

Aku kaget setengah mati. Aku pun tersentak terbangun dari tidur panjangku. Kubuka kedua bola mataku yang masih terasa lelah. Kulihat seorang wanita berdiri di hadapanku sambil berkacak pinggang. Oh, rupanya istriku yang sedang marah telah membangunkanku.

Lihat! Sudah jam sembilan, Pak!. Kok masih tidur? Jangan males-malesan! Apa Bapak nggak narik hari ini? Ingat ya, Pak! Kebutuhan hidup kita masih banyak. Besok pagi kita harus sudah bayar kontrakan rumah. Soalnya kemaren sore waktu Bapak belum pulang narik, yang punya rumah datang mau nagih uang kontrakan. Persediaan makanan di dapur juga sudah mulai menipis. Mau makan apa kita nanti, Pak? Harga barang-barang di pasar semuanya sudah naik karena ikut-ikutan sama harga BBM yang telah melonjak tinggi. Si Ucup juga tadi minta bayaran uang sekolah yang udah nunggak tiga bulan. Kalo nggak dibayar, dia bisa dikeluarkan dari sekolahnya. Kalo nggak sekolah, mau jadi apa anak kita, Pak? Belum lagi adiknya si Ucok, susunya juga sudah habis. Dia terus-terusan nangis nggak berhenti-berhenti. Pusing aku dengerinnya, Pak! Ayo, buruan bangun! Bapak harus cari duit yang banyak. Cari duit. Duit. DUIIIITTT!

PUSIIIIING!!! Sungguh pusing pikiranku. Belum juga mataku terbuka dengan sempurna, aku sudah diomeli istriku habis-habisan. Kepalaku sungguh sangat berat. Oh, ya Allah. Apa yang harus kulakukan.? Sekalipun aku narik dari pagi sampai malam, belum tentu aku bisa memenuhi semua keluhan istriku itu. Ya Allah, tolonglah aku. Berilah aku jalan keluar.

Aku pun segera mandi, sarapan dan segera kupanasi mesin bajaj yang umurnya sudah melebihi umurku sendiri. Bajaj ini merupakan peninggalan kakekku yang dulu juga seorang sopir bajaj. Karena Bapakku tidak bisa mengendarai bajaj ini karena tangannya lumpuh yang disebabkan oleh suatu penyakit, akhirnya bajaj ini diserahkan kepadaku. Dihitung-hitung, aku sudah bersama bajaj ini kurang lebih hampir dua belas tahun. Banyak kenangan yang kualami bersama bajaj ini. Baik yang manis maupun yang pahit. Aku sudah cukup makan asam garam kehidupan di kota Jakarta ini. Setelah mesin bajaj menyala, segera aku melaju menyusuri jalan-jalan ibukota yang panas, gersang, penuh dengan polusi, kemacetan dan banyak lagi masalah yang kuhadapi. Aku sudah terbiasa akan hal itu.

Pikiranku mulai menerawang. Omelan-omelan istriku tadi pagi mulai menari-nari di atas kepalaku. Saling sahut-menyahut. Saling berteriak memaki diriku. Membikin suara bising yang cukup mengganggu telingaku. Hari ini sungguh sepi. Aku belum memperoleh satu orang penumpang pun sampai siang ini. Mungkin orang-orang sudah mulai enggan naik bajaj. Selain bising, jalannya pun penuh goyangan. Kalo yang nggak tahan bisa pusing bahkan muntah-muntah. Atau mereka pikir ongkosnya yang terlalu mahal? Apa uang sepuluh ribu perak terlalu mahal untuk ongkos naik bajaj? Mau gimana lagi. Harga BBM untuk bajaj sudah melambung sangat tinggi. Tidak ada jalan lagi selain menaikkan tarif. Aku pun bingung. Sungguh bingung. Apa yang harus kulakukan? Lama aku berpikir. Kuputar seluruh otakku. Kekerahkan semua kekuatan yang ada di tubuhku. Untuk mencari sebuah jawaban yang sangat kunanti. Aku sangat membutuhkannya hari ini. Bisikan-bisikan setan mulai menyerangku. Aku tidak kuasa untuk melawannya karena bisikan itu terlalu kuat untuk imanku. Apa hanya jalan ini yang harus kutempuh? Apa takdir ini yang harus kujalani? Sungguh aku tidak tahu. Aku hanya bisa menuruti bisikan itu tanpa daya. Oh, istriku. Oh, anakku. Maafkan aku. Maafkan diriku...