Senin, 26 Januari 2009

Bag2-Kebersamaan yang Terjalin 02 ( Chap. Lagu Untuk Viola )

Hari ini tumben kantin Bu Suminah agak sepi, mungkin karena hari ini hari Sabtu. Banyak dosen yang nggak ngasih kuliah di hari Sabtu so kampus juga sepi. Kebanyakan anak-anak sedang weekend atau pergi ke perpustakaan buat nyari bahan makalah. Bahkan kadang-kadang banyak juga yang pulang kampung. Aku dan Topan telah menunggu dari jam sembilan kurang seperempat tadi. Sudah hampir jam setengah sepuluh tapi belum kulihat batang hidung mereka. Karena bosan menunggu, Topan sudah sempat menghabiskan lima buah mendoan plus es teh dua gelas. Emang tuh anak makannya kuat banget. Padahal di warung Mas Dody tadi, dia udah sarapan nasi pecel plus mie goreng. Dia memang nggak pernah kenyang. Katanya sih biar lebih kuat dan lebih bertenaga kalau jadi vokalis. Emang apa hubungannya nyanyi dengan makan yang banyak? Ngaco nih anak.

Setelah menunggu hampir dua puluh menitan, dari kejauhan terlihat tiga sosok yang sedang berjalan menuju kantin. Topan pun melambaikan tangannya ke arah mereka dan mereka pun membalasnya.
“Akhirnya datang juga mereka, kenapa sih bisa molor gini?” umpat Topan.
“Nggak papa. Mungkin mereka ada acara dulu jadi datangnya agak terlambat.” Aku pun menenangkan Topan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga segera menghampiri dan duduk semeja dengan kami berdua. Danny berteriak kepada Bu Suminah, pemilik kantin untuk pesan minuman.
“Udah lama nunggu ya. Sorry deh kita telat, gue tadi ke perpustakaan dulu balikin buku. Kebetulan ketemu sama Arif dan Manto. Sekalian aja gue ajak bareng ke sini.” Danny memulai obrolan.
“O ya, Is. Katanya kamu ingin bikin band, bener nggak sih?” Si Arif ikutan ngobrol.
“Itu sih emang rencanaku, Rif. Aku memang udah lama sekali pengin bikin band. Awalnya sih cuma buat nyalurin hobi aja, tapi setelah kupikir-pikir, kenapa nggak sekalian aku bikin band secara profesional aja. Itung-itung bisa nambah uang saku. Nah, gimana menurut kalian?”
“Emang main band bisa dapet duit, Is?”
“Bisa aja. Gini caranya, Rif. Kita kan bisa ikutan festival-festival band yang akhir-akhir ini sering diadain. Kalau bisa menang, hadiahnya lumayan gede. Sampai jutaan rupiah. Belum lagi kalau kita nanti bisa main ke café-café, kita bisa dapat honor.”
“Bagus juga gagasan loe, tapi jangan lupa, Is! Hal itu bisa beresiko ama kuliah kita. Kita semua tahu kalau kuliah di arsitektur kan sering lembur bikin tugas.”
“Yah, Itu memang sudah resikonya, Dan. Tapi kalau kita pinter-pinter bagi waktu, mungkin nggak ada masalah kok. Kalau belum dicoba mana kita tahu? Gimana, kalian mau gabung nggak?”
“Gue ikut.” Tanpa disuruh, Topan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Danny, Arif dan Manto masih terdiam. Mereka saling memandang. Mungkin mereka berpikir dulu sebelum mengambil keputusan. Memang ini sebuah pilihan yang sulit antara kuliah dengan band. Aku pun menyadari hal itu dan aku nggak akan memaksa teman-temanku untuk mengikuti jalan yang telah kupilih. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka bertiga pun bicara.
“OK, gue ikutan.” Danny mengangkat tangannya
“Aku juga.” Arif juga mengangkat tangannya.
“Aku yo melu.” Manto yang dari tadi diam akhirnya bicara juga.
“Apa sudah kalian pikirkan masak-masak? Aku mau kita serius dalam band ini.”
“Beres, Boss.” Mereka pun menjawab dengan serempak.
Aku pun tersenyum gembira. Akhirnya aku bisa memulai mewujudkan apa yang telah kuimpikan selama ini bersama teman-temanku. Sebagai ucapan terima kasihku, makanan yang mereka pesan semua aku yang bayarin. Dan tentunya mereka senang bukan main. Terutama si Topan yang tadi paling banyak makan mendoannya.
“Ok, kapan kita mulai latihan, Is?” Topan membuka obrolan setelah kita lama tertawa-tawa dan bercanda merayakan terbentuknya band ini.
“Aku sih maunya secepatnya. Tapi kita harus cari dulu tempat latihan yang bagus serta menyusun schedule latihan rutin per minggu. Gimana, ada pendapat?”
“Gini, Is. Gue ada teman yang punya studio. Lokasinya di daerah Solo Baru. Tempatnya bagus. Alat-alatnya juga baru-baru. Kalau loe mau, nanti siang kita ke sana. Gimana?” Danny ngasih pendapat.
“Kalau siang ini, gue nggak bisa. Nanti siang gue ada acara. Gimana kalau besok pagi saja? Ngomong-ngomong jauh juga studionya. Gimana transportnya, Dan?”
“Itu sih kecil. Urusan transport, biar gue yang handle. Kita bisa pakai mobil gue dulu buat transportasi. Gampang deh bensinnya. Kan kita bisa patungan. Gini aja, gimana kalau kita sekalian ngadain iuran misalnya per minggu atau per bulan supaya kita punya kas buat band.”
“Wah, aku setuju banget tuh. Kita memang harus punya kas band. Nanti duitnya kan bisa kita pake buat keperluan band seperti transport, makan, beli alat atau apa kek.” Arif ikutan ngasih pendapat.
“Aku juga setuju banget ama usulan si Danny. Tapi urusan latihan belum kelar nih. Dan, gimana kalau sekalian aja loe handle masalah jadwal latihan. Bisa?”
“Beres, Is. No problem.”
”Nah, urusan latihan udah kelar. Sekarang urusan kas band. Gimana kalau kita iuran per minggu masing-masing sepuluh ribu rupiah. Kan nggak terlalu berat buat kantong. Nanti kas band, kita serahin sama si Manto. Kalian semua setuju nggak?”
“OK, setuju.” Mereka menjawab serempak.
“Piye, To? Sanggup nggak pegang kas band? Aku percaya ama kamu soalnya kamu orangnya kan agak teliti kalau urusan duit.”
“Thanks, Is. Aku sanggup. Lumayan nanti bisa aku pakai dulu buat modal bikin rental.”
“Yee, maunya.” Kami pun serempak melempar cabai rawit yang ada di piring tempat mendoan ke tubuh Manto.
“Sorry, Dab. Bercanda.”
“Ok, udah cukup acara ngelemparin cabainya. Nanti Bu Suminah bisa marah cabenya habis. Sekarang tinggal nama bandnya yang belum kita pikirin,” Topan pun berkata sambil mengambil mendoan lagi untuk dimakannya.
“O ya, sampai kelupaan. Ada usulan tentang nama band kita?” Aku mulai membuka musyawarah untuk menentukan nama band.
Mereka terdiam sejenak. Wajah mereka tampak serius mikirin nama apa yang cocok buat band baru kami.
“Gimana kalau The Crew.” Tiba-tiba Arif ngasih usulan.
“Kurang bagus, tuh. Mirip-mirip sama Motley Crue. Gimana kalau Kalkir.” Topan juga nggak mau kalah.
“Ah, norak loe. Masak nama band kok Kalkir. Entar keriting kalau kena air.” Danny mengejek.
“Udah, jangan ribut. Aku ada usul nih. Gimana kalau namanya Canopy Arc.” Manto pun ikut memberi usul.
“Lumayan juga. Ada unsur-unsur arsitekturnya. Tapi aku penginnya nama band kita bersifat universal. Jadi semua orang bisa tahu arti dan maksudnya.”
“Kalau begitu, gimana kalau namanya AREA51. Maksudnya AREA51 itu kan nama daerah di Amerika yang digunakan buat mempelajari aliens seperti di film Independent Day yang dibintangi Will Smith. Band kita itu diibaratkan seperti aliens, semua orang di dunia membicarakannya, semua orang mengenalnya dan semua orang ingin mengetahui seperti apa aliens itu. Jadi kita pengin band kita ini menjadi sebuah fenomena baru seperti halnya aliens. Gimana?”
Kami semua terdiam dan terpaku setelah mendengar pendapat Manto yang panjang lebar tentang arti dan maksud dari nama band kita.
“Menurutku, nama AREA51 sebenarnya nggak jelek banget sih, tapi sorry deh, To! Kedengarannya masih terlalu serem, apalagi dikaitkan dengan aliens, kok kesannya serem banget.” Aku mencoba ngasih tanggapan.
“So, apa donk nama yang cocok ama band kita?” Topan kelihatannya sudah mulai suntuk mikiran nama band.
Kami kembali terdiam.
Aku mencoba berpikir. Mencoba mencari sebuah nama. Sebuah nama yang nantinya akan menjadi biduk yang aku tunggangi untuk mengarungi lautan yang luas. Yang menjadi sarana serta tempatku bersandar dalam menempuh sebuah perjalanan hidupku yang panjang kelak.
Sesaat mataku berhenti berkedip. Pandanganku terpaku kepada Bu Suminah yang sedang mengantar segelas minuman berwarna coklat keputih-putihan kepada pelanggannya yang duduk di sebelah meja kasir. Minuman itu merupakan menu favorit di kantin ini. Sebuah minuman yang rasanya sangat enak dan gurih apalagi kalau dinikmati selagi panas dengan asap yang mengepul. Cocok diminum di udara dingin. Minuman yang menjadi kesukaan anak-anak arsitek di sini.
“Gimana kalau Coffeemilk.” Sebuah kata terlontar dari mulutku seketika.
Mereka bertiga sontak tertegun. Mereka saling memandang tanpa mengucap satu patah kata pun. Setelah lama terlarut dalam kesunyian, akhirnya…
“Sepakat.” Kami berlima serempak berteriak sambil memukul telapak tangan kita satu sama lain dengan penuh kegembiraan tanpa menghiraukan banyak orang yang memperhatikan kami. Topan, Danny, Manto dan Arif nggak menyangka kalau aku punya ide yang begitu tepat tentang nama band. Memang minuman kopi susu merupakan minuman kegemaran kita semua, apalagi kalau kita pas lembur bikin tugas kuliah sampai malam. Minuman itu selalu menemani kami menghabiskan malam yang dingin di depan meja gambar atau komputer. Akhirnya detik ini resmi terbentuklah sebuah band dengan nama: COFFEEMILK.
Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar