Senin, 26 Januari 2009

Bag2-Kebersamaan yang Terjalin 01 ( Chap. Lagu Untuk Viola )

Empat bulan sebelumnya …

“Isma, kamu ada di dalam?” Tiba-tiba ada suara memanggilku dari luar. Tak berapa lama, terdengar suara pintu kamarku diketuk berkali-kali.
“Sebentar!“ Aku segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Di depanku terpampang seraut wajah yang kukenal, dengan tubuh yang gempal berdiri di depan pintu.
“Eh, loe, Pan. Ada apaan malam-malam begini teriak-teriak? Gangguin orang tidur aja loe.“
“Sorry, cuma mau ngasih tau, gue ada kabar bagus nih buat loe.“
“Kabar apaan?”
“Ngobrolnya di dalam aja, biar enak. Loe punya cemilan nggak?”
“Dasar, gendut. Makanan melulu yang loe pikirin. ”
Belum kusuruh masuk, Topan main selonong aja masuk ke kamarku. Dia tampak celingukan mencari-cari makanan sambil mengacak-ngacak meja belajarku yang penuh dengan tumpukan buku.
“Mana makanannya, Is? Kok nggak ketemu?”
“Lapar loe? Tuh di kolong meja komputer.”
“Cuma segini?”
“Dasar, udah untung gue kasih.”
“O ya, loe tadi jadi nggak masukin lamaran kerja ke StarMusikindo?”
“Jadi donk! Tadi sore gue udah pergi ke sana, ketemu sama karyawannya. Terus lamaran gue dititipkan dulu di customer service. Katanya nanti akan diserahin ke manajernya. Kalau sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan, akan ada panggilan menyusul. Nah, sekarang cepetan ngomong, ada kabar apaan?”
“Gini Is, tadi sore gue ketemu Danny, Arif ama Manto. Kemarin loe katanya mau nyari player buat ngisi posisi gitarist, basist ama drummer. Nah, kebetulan mereka bertiga pernah ngeband sewaktu di SMU. Danny pernah pegang bass waktu ngeband di SMUnya, Arif pernah jadi drummer terbaik se Temanggung terus si Manto juga jago main gitar kaya loe. Mereka dikasih tahu sama Liana kalau loe sedang nyari pemain buat bikin band. Mereka mau gabung ama kita. Gimana menurut loe?”
“Good, kapan kita bisa ketemu mereka?”
“Besok pagi jam sembilan di Kantin Bu Suminah.”
“OK, kalau gitu besok kita ketemu di sana. Good job, my friend.”



Pagi ini sungguh indah sekali. Semilir udara pagi menerpa wajahku. Kunikmati keindahan pagi sambil memegang secangkir teh hangat dan duduk-duduk dipagar balkon. Langit pun masih terlihat berwarna kemerah-merahan dan matahari mulai beranjak dari ufuk timur. Cukup lama aku tenggelam dalam dekapan pagi yang akhir-akhir ini jarang kunikmati. Seketika…
“Isma, ada telepon buat kamu,” teriak Mas Dody memecah keheningan pagi.
“Iya Mas.” Setelah menaruh gelas di pagar balkon, aku pun segera bergegas turun menuju tempat pesawat telepon yang diletakkan di salah satu sudut serambi rumah induk. Tampak Mas Dody masih memegangi gagang telepon menungguku. Mas Dody berumur sekitar hampir lima puluhan. Tampak uban sudah mulai tumbuh di sela-sela rambutnya yang, maaf, agak botak. Kulitnya putih bersih dengan perawakan yang tinggi besar. Orangnya sangat ramah. Hari ini beliau sudah rapi dengan kemeja warna biru dan celana coklat. Mungkin mau pergi ngantar Dik Ira ke sekolah.
“Makasih Mas, dari mana?”
“Katanya dari StarMusikindo.”
Pagi-pagi begini! Aku pun terperanjat setengah nggak percaya. Apa lamaranku diterima? Aku pun mulai deg-degan. Tanpa menunggu lama segera kuraih gagang telepon tersebut dari genggaman Mas Dody. Mas Dody pun berlalu menuju motor Vespanya warna biru siap-siap mau berangkat.
“Halo, Assalamu’ alaikum,” sapaku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, selamat pagi. Bisa bicara dengan Saudara Isma?” Terdengar suara perempuan di seberang telepon.
“Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, Mbak?”
“Begini, Saudara Isma. Saya dari StarMusikindo. Kebetulan kemarin manajer saya sudah terima surat lamaran kerja dari Saudara, dan beliau juga sudah mempelajarinya. Mungkin kualifikasi Saudara Isma cocok dengan lowongan ini dan manajer saya mengundang Saudara untuk interview siang ini di kantor.”
“Benarkah, kira-kira jam berapa, Mbak?”
“Sehabis makan siang, kira-kira jam satu. Saudara bisa?”
“Tentu saya akan datang. Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama, jangan lupa ya. Assalamu’ alaikum.”
“Beres, Mbak, Wa’alaikum salam.”
Telepon pun ditutup.

Aku masih terpaku. Aku nggak percaya dengan apa yang barusan aku dengar tadi. Mungkinkah aku diterima kerja! Yess!!! Tanpa tersadar aku berteriak dengan lantangnya sehingga anak-anak kost yang lain terkejut.
“Hey, Is. Ada apaan sih pagi-pagi gini teriak-teriak, kaya orang gila loe.” Fajar yang sedang duduk sambil membaca koran bertanya keheranan kepadaku.
“Sorry guys, hari ini gue seneng banget. Lamaran kerja gue diterima, percaya nggak?”
“Yang bener loe? Wah, makan-makan nih?” Topan yang berada di dekat Fajar ikutan nimbrung.
“Bisa diatur. Entar aja kalau gue udah terima gaji pertama.”
“Beneran ya.”
“Beres.”
“Ngomong-ngomong, kapan interviewnya?”
“Nanti siang jam satu.”
“O ya, Is. Kita jadi ketemu kan ama anak-anak di kantin Bu Suminah kan?”
“Jadi, donk. Jam sembilan, kan?”
“ Iya, makanya cepetan loe siap-siap. Ini udah hampir jam setengah sembilan lho. Takutnya anak-anak udah nungguin di kantin. Gue nanti jadi nggak enak sama mereka karena gue yang ngajakin ketemuan. Ngomong-ngomong loe belum mandi, kan? Buruan loe mandi, entar keburu ngantri.”
“OK, gue mandi dulu. Lho, loe nggak ke kampus, Jar?”
“Males ah, Sabtu-sabtu gini mendingan gue tiduran di kamar.”
“Dasar males loe.”
Aku meninggalkan Fajar yang masih sibuk membaca koran.
Topan pun beranjak dari duduknya untuk bersiap-siap ke kampus.

Setelah hampir lima belas menit bersiap-siap, kami berdua pun segera bergegas. Karena aku nggak punya motor, biasanya aku selalu membonceng Topan yang mengendarai “BMW” kesayangannya alias motor bebek butut merah warnanya. Aku terkadang heran dengan Topan. Seingatku dulu, waktu kita masih di awal-awal kuliah, Topan pernah ditawarin ortunya sebuah motor baru model racing. Tapi Topan menolaknya. Topan lebih memilih sebuah motor tua keluaran tahun 80-an untuk menemani hari-harinya ke kampus. Alasan sih katanya biar nggak terlalu membebani orang tua karena harganya lebih murah karena memang motor bekas. Saat itu, aku sempat kagum dengan pemikirannya tersebut karena menurutku ortunya termasuk orang yang berduit. Mereka mungkin bisa saja membeli sebuah mobil kalau Topan mau. Tapi temanku yang satu itu malah memilih sebuah motor tua. Tapi setelah waktu berjalan, baru kutahu ternyata dia seorang penggemar motor-motor tua. Bahkan dia telah bergabung dengan sebuah komunitas penggemar motor tua yang anggotanya kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Aku dulu pernah diajaknya mengikuti sebuah acara touring ke daerah Tawang Mangu dengan komunitas motor tuanya.

Ketika kami hendak berangkat, kulihat Fajar masih dengan setia membaca koran di serambi rumah yang kadang biasa difungsikan sebagai ruang tamu.
“Masih betah loe baca korannya?” tanya Topan.
“Soalnya ini ada artikel yang menarik, Pan. Tentang apresiasi masyarakat terhadap peningkatan produksi film nasional akhir-akhir ini,” jawab Fajar.
“Paling-paling film yang diproduksi itu kebanyakan film horror atau komedi. Karena bagi produser film yang penting biayanya bisa lebih murah dan laku di pasaran. Menurut mereka film yang bagus dari segi tema maupun kualitas belum tentu laris manis di pasaran. Itu dikarenakan sebagian masyarakat penikmat film di negara kita ini masih suka dibuat tertawa atau ditakut-takuti.”
“Jangan terlalu sentimen gitu. Memang film-film yang banyak diputar akhir-akhir ini berkisar seputar film horror maupun komedi. Tapi ada beberapa film yang secara kualitas sangat bagus, baik dari isi cerita, tema dan ilustrasi musiknya. Dan film itu juga laku di pasaran. Salah satu contohnya film Naga Bonar Jilid Dua yang dibintangi Deddy Mizwar dan Tora Sudiro. Sutradaranya oleh Deddy Mizwar sendiri. Film ini bertemakan tentang nasionalisme yang dikemas dengan apik dan tidak menjemukan. Bahkan justru sangat menghibur dengan guyonan-guyonan dan kritik-kritiknya yang tepat sasaran.”
“Udah, diskusinya dilanjutin nanti. Sekarang udah mau jam sembilan nih, Pan. Anak-anak mungkin sudah menunggu di kantin,” potongku.
“ OK, Jar. Nanti kita terusin ngobrol tentang film nasional. Sekarang kami ke kampus dulu ya. Assalamu’ alaikum.”
“ Baik, gue tunggu. Wa’alaikumsalam,” balas Fajar.

0 comments:

Posting Komentar