Sungguh panas sekali siang ini. Bulan ini memang musim kemarau sedang panas-panasnya. Matahari bersinar sangat terik dan menyilaukan. Apalagi saat ini, aku berada di tengah-tengah penumpang yang berdiri bergelantungan di sebuah bus kota. Bau keringat yang membasahi baju mereka berbaur menjadi satu menusuk hidungku. Kucuran keringat mengalir deras di dahiku. Rasa haus mulai menerpaku. Bus kota ini memang penuh sesak dengan penumpang. Tidak ada tempat duduk yang tersisa untukku. Semua kursi telah penuh terisi. Kalau tidak mengingat siang ini aku ada janji untuk interview di StarMusikindo jam satu, mungkin aku sudah enak-enakan tiduran dengan diiringi lantunan lagu dan semilirnya angin yang berhembus masuk melalui jendela kamarku. Semoga pengorbananku siang ini tidak sia- sia. Semoga aku bisa diterima bekerja di sana. Aku memang sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk menambah uang saku karena kebutuhan kuliahku yang mulai memakan banyak biaya. Sedangkan kiriman dari ortu per bulan kurasa tidak mencukupi. Belum lagi sekarang aku sudah membentuk sebuah band yang baru. Tentu dengan adanya band ini pasti butuh biaya yang ekstra. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak akan kulewatkan.
Ketika bus kota hampir sampai di daerah Pasar Gedhe, sebuah bangunan pasar yang merupakan bangunan peninggalan jaman penjajahan kolonial dulu, seorang pria separuh baya yang duduk di sampingku sepertinya hendak bersiap untuk turun.
Tak lama kemudian kondektur pun berteriak, “ Pasar Gedhe, Pasar Gedhe!”
Pria itu segera berdiri dan maju mendekati pintu keluar.
Melihat kursi disampingku kosong, aku pun segera beranjak untuk duduk.
Bersamaan dengan turunnya pria tadi, seorang nenek dengan menggandeng cucu perempuannya naik ke dalam bus. Nenek tersebut tampak celingukan mencari tempat duduk yang kosong.
Keperhatikan semua penumpang yang duduk tampak tidak menghiraukan sang nenek. Bahkan mungkin ada yang sengaja tidak memperhatikan. Aku pun jadi merasa jengkel melihat ulah para penumpang tersebut. Mungkin sudah hilang rasa empati mereka terhadap sesamanya. Dan aku pun hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan ulah mereka.
Kulihat nenek tersebut membawa tas belanjaan yang lumayan besar. Mungkin beliau habis berbelanja membeli barang-barang kebutuhan pokok di Pasar Gedhe. Beliau tampaknya agak kerepotan juga. Selain membawa belanjaannya, nenek tersebut juga menggandeng cucunya. Sehingga ketika bus mulai berjalan, nenek itu agak terhuyung berdirinya.
Ketika kondektur menyuruh nenek tersebut agar berdiri lebih ke tengah, nenek tersebut berjalan mendekatiku. Seketika itu aku berdiri. Aku segera memanggil nenek tersebut.
“ Nek, silahkan duduk di kursi saya saja. Mari belanjaannya saya bawakan.”
Tanganku pun segera meraih tas belanjaan nenek itu. Memang berat juga belanjaannya. Mungkin hampir sekitar sepuluh kilo.
“Matur nuwun, Nak Mas.”
“Sama-sama, Nek.”
Nenek itu pun segera duduk ditempatku tadi. Cucu perempuannya dia posisikan duduk di pangkuannya. Sedangkan tas belanjaannya kutaruh di bawah tempat duduk.
“Nak Mas baik sekali mau menolong kami,” kata nenek itu tiba-tiba.
“Itu sudah kewajiban saya, Nek.”
“Nama Nak Mas siapa?”
“Nama saya Isma, Nek.”
“O, Nak Isma. Nak Isma bisa panggil saya Eyang Lastri. Kenalkan ini cucu Eyang. Namanya Putri. Ayo, salaman sama Om Isma.”
Cucu perempuannya pun segera menjulurkan tangannya.
Aku pun segera meraih tangan yang mungil itu.
“Halo, Put. Putri udah sekolah belum?”
“Udah, Om. Tapi masih di playgroup.”
“Udah bisa nyanyi, donk?”
“Iya, Om. Putri udah bisa nyanyi Balonku, Burung Kakak Tua dan Pelangi.”
“Wah, anak pintar.”
“Nak Isma mau kemana?” tanya Eyang Lastri.
“Saya mau melamar kerja, Eyang.”
“Melamar kerja di mana?”
“Alamatnya di Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya depan Solo Grand Mall , Eyang. Saya mau melamar kerja sebagai karyawan toko musik.”
“Sekarang Nak Isma kerja di mana?”
“Saya masih kuliah di UNS, Eyang. Saya kerja buat mencari tambahan uang saku.”
“Nak Isma tinggal di mana?”
“Asli saya dari Wonosobo, Eyang. Saya di sini kost di daerah Kentingan.”
“Wah, saya kagum dengan Nak Isma. Nak Mas mau bekerja untuk mencari uang, padahal Nak Mas sendiri masih kuliah. Nak Mas memang anak yang baik, mau meringankan beban orang tua.”
“Eyang jangan terlalu memuji saya.”
“Kalau sempat, Nak Isma bisa mampir ke rumah Eyang?”
“Eyang tinggal dimana?”
“Eyang tinggal di daerah Mangkuyudan. Eyang di sana tinggal dengan Putri dan dua orang pembantu. Anak Eyang cuma seorang, ya Ibunya si Putri ini. Namanya Larasati. Tapi dia sudah tinggal di Jakarta bersama suaminya. Sengaja Putri dititipkan sama Eyang dan sekolah di sini. Memang itu permintaan Eyang sendiri supaya Eyang tidak kesepian. Suami Eyang sudah lama meninggal dunia. Jadi sehari-hari, Putri ini lah yang selalu menemani dan menghibur Eyang. Kalau Nak Isma sudi berkunjung ke rumah Eyang, tentu Eyang akan sangat senang.”
“Terima kasih atas tawarannya, Eyang. Insya Allah kalau ada waktu, saya akan bersilahturahmi ke rumah Eyang.”
“Nanti kalau mau ke rumah, Nak Isma bisa telepon dulu. Ini nomer teleponnya. Nak Mas bisa mencatatnya.”
Segera kumasukkan nomer yang diberikan Eyang Lastri ke dalam memory card di handphoneku.
Karena aku terhanyut dalam obrolan dengan Eyang Lastri, tanpa terasa bus kota yang kutumpangi sampai di perempatan Gendengan di sebelah barat Solo Grand Mall. Kondektur pun kembali berteriak,” SGM, SGM!”
Aku pun segera berpamitan dengan Eyang Lastri.
“Eyang, saya turun disini dulu. Mohon doa restunya supaya saya bisa diterima. Dah, Putri. Om turun dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, semoga diterima yang Nak Mas. Dan jangan lupa ya Nak Isma mampir ke rumah.”
“Insya Allah, Eyang.”
Aku pun segera bergegas turun.
Kusempatkan diriku untuk melambaikan tangan ke arah Eyang Lastri dan Putri. Mereka pun membalas dengan lambaian tangan yang tulus dan senyum yang mengembang.
Bus kota tersebut kemudian berlalu dari hadapanku. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke arah StarMusikindo.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku berdiri di depan sebuah bangunan yang megah dengan gaya arsitektur minimalis modern. StarMusikindo merupakan toko musik terbesar dan teramai di kota Solo. Letaknya juga di pinggiran jalan protokol sehingga lokasinya sangat strategis. Tiap hari toko ini selalu ramai oleh pengunjung seperti yang sedang kulihat sekarang. Aku pun segera memasuki pintu utamanya yang bergaya hi-tech . Aku segera menuju ke customer service. Terlihat seorang cewek dengan wajah yang lumayan cantik, dengan rambut hitam yang panjang tergerai rapi dan mengenakan seragam sedang sibuk mengangkat telepon. Melihatku berjalan ke arahnya, cewek customer service itu segera meletakkan kembali teleponnya dan menyambutku dengan senyumnya yang ramah.
“Selamat siang, Mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan manajer di sini. Tadi saya udah janjian dengan beliau. Siang ini saya mau ada interview.”
“O, jadi Mas yang sudah masukin lowongan kerja kemarin? Langsung aja naik ke lantai atas, Mas. Bu Ratna sudah menunggu.”
“Maaf, siapa Bu Ratna?”
“Oh, maaf. Saya lupa kalau Mas belum tahu. Bu Ratna adalah manajer di StarMusikindo sini.”
“Begitu ya.”
“Silahkan. Mas langsung naik aja. Tangganya ada di sebelah sana.” Kata cewek customer service sambil menunjuk ke arah tangga yang terletak agak di belakang toko.
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun segera berlalu meninggalkannya menuju tangga yang dimaksud oleh cewek tadi. Toko ini memang sangat besar. Mungkin luasnya sekitar empat ratusan meter persegi. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai atas memiliki sebuah void yang cukup luas yang dilengkapi dengan dua buah eskalator untuk akses naik turun. Sedangkan tangga yang kunaiki ternyata hanya dikhususkan untuk para karyawan toko saja karena langsung menuju ke ruangan administrasi dari toko musik ini.
Sesampainya aku di lantai atas, aku segera menuju ke ruangan manajer yang papan namanya cukup terlihat jelas dari sini sehingga aku tidak perlu lagi bertanya untuk mencari-cari. Segera kuketuk pintu yang bertuliskan “MANAGER” sebanyak dua kali dan tak lama kemudian terdengar suara dari balik pintu yang berlapis panil kayu tersebut.
“Masuk. Nggak dikunci kok.”
Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Bu.”
“Selamat siang.” Terlihat seorang wanita separuh baya mengenakan setelan blazer warna merah marun sedang duduk di sebuah kursi besar dengan meja kerja yang terlihat rapi, menyambut diriku.
“Mari, silahkan duduk.”
Aku pun mengikuti perintahnya, duduk di depan meja kerjanya dan segera menyapa beliau.
“Kenalkan, saya Ismail,“ sapaku sambil menyodorkan tangan. Beliau pun membalasnya dengan ramah.
“Saya Ratna, manajer di sini. Panggil saja Bu Ratna. Saudara yang mau kerja di sini?”
“Betul, Bu. Saya yang mengajukan lamaran kerja di sini. Kata karyawan Ibu di telepon pagi tadi, hari ini akan ada interview.”
“Betul. Saya sendiri yang akan mewancarai Saudara. Saudara tinggal di mana?”
“Saya di Solo masih kuliah, Bu. Saya di sini kost di daerah dekat kampus UNS. Tepatnya di Kentingan. Asli saya dari Wonosobo.”
“O, begitu.”
Kulihat Bu Ratna sedang membaca curriculum vitae yang kumasukkan bersama surat lamaran kerjaku kemarin.
“Bagaimana, bisa kita mulai ? Saudara nggak usah tegang, rileks aja.”
“Baik, Bu. Insya Allah, saya siap.”
Hampir dua jam lamanya acara interview tersebut berlangsung. Bu Ratna ternyata orangnya sangat ramah. Beliau sering mengajakku bercanda di sela-sela interview sehingga hal itu agak mengurangi sedikit ketegangan yang menyelimuti diriku. Dan aku pun jadi lebih rileks dalam menjawab semua pertanyaaan yang diajukan oleh Bu Ratna kepadaku. Bu Ratna tampak manggut-manggut, mendengarkan semua jawaban yang kusampaikan kepadanya.
Waktu menunjukkan jam setengah tiga. Interview pun selesai.
“Bagaimana? Saudara cocok dengan tawaran yang tadi saya ajukan?” Bu Ratna berkata kepadaku sambil merapikan meja kerjanya.
“Saya bersedia, Bu.”
“OK, kalau begitu Saudara bisa mulai kerja besok hari Senin sebagai karyawan toko. Nanti seragamnya bisa diambil di customer service. Seperti yang telah kita sepakati. Waktu kerja Saudara setengah hari kerja mengingat Saudara masih kuliah. Hari Senin sampai Jum’at, Saudara dapat giliran masuk sore dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam dan untuk hari Sabtu Minggu, Saudara masuk pagi dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Ada yang keberatan?”
“Ada satu hal, Bu.”
“Apa itu?”
“Ibu boleh panggil saya cukup dengan Isma saja.”
“Baik, akan Ibu turuti. Sejujurnya Ibu sangat menyukai kepribadianmu, Isma. Semoga nanti kamu bisa menjadi karyawan yang baik di sini.”
“Insya Allah, Bu.”
“O ya, Is. Hari ini kamu ada acara nggak?”
“Kelihatannya nggak ada. Memang ada apa, Bu?”
“Ah, nggak ada apa-apa. Cuma Ibu ingin siang ini kamu bisa mulai mengenal toko ini lebih dekat supaya pas hari pertama kerja kamu nanti nggak kaku.”
“Wah, dengan senang hati, Bu.”
“Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu boleh pergi. Jangan lupa sekalian ambil seragamnya ya sama Mbak Shinta di customer service.”
“Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
“Monggo. Wa’alaikum salam.”
Setelah keluar dari ruangan Bu Ratna, aku lewati ruang administrasi kembali lalu kuturuni tangga menuju ke lantai dasar. Aku segera bergegas menuju ke customer service untuk mengambil seragamku. Ternyata cewek tadi itu namanya Mbak Shinta. Setelah melihatku, Mbak Shinta menyapa dengan ramah. Senyum yang manis terhampar di wajahnya yang cantik.
“Gimana, diterima nggak?”
“Alhamdulillah, Mbak. Saya diterima kerja di sini.”
“Syukurlah, saya ikut senang. O ya, kenalkan. Saya Shinta.”
“Saya Ismail. Mbak bisa panggil dengan Isma aja.”
“Terus kapan donk kamu bisa mulai kerja?”
“Sebenarnya sih baru besok hari Senin, tapi kata Bu Ratna, sore ini aku disuruh mengenal toko ini terlebih dahulu, mungkin semacam trainee kali ya, Mbak?”
“Memang disini biasanya kalau ada karyawan baru disuruh trainee dulu. Biar nggak kaku. O ya, kamu mau ambil seragam, kan? Sebentar kuambilkan.”
Mbak Shinta pun mengambil seragam yang sudah disiapkannya di rak meja dan segera menyerahkannya padaku.
”Tuh, ruang gantinya di sana.”
“Makasih, Mbak. Saya tinggal dulu ya.”
Sekarang aku telah mengganti pakaianku dengan seragam karyawan StarMusikindo yang berwarna kuning menyala dengan strip biru dilengannya, aku segera berjalan mengelilingi toko, mengitari rak-rak display tempat kaset dan compact disc diatur sedemikian rupa. Di toko ini juga menjual berbagai alat musik. Bahkan buku-buku tentang musik pun ada di sini. Kulihat beberapa karyawan toko yang tersebar di seluruh sudut ruangan terlihat sibuk melayani para pengunjung. Kira-kira jumlahnya ada enam orang. Semuanya memakai seragam sepertiku. Ketika aku sibuk mengamati, tiba-tiba ada dua orang cowok karyawan toko menghampiriku. Yang satu bertubuh tinggi besar berkepala gundul sedangkan yang satunya lagi berbadan gendut dengan rambut ikal. Karena merasa sebagai karyawan baru, aku pun menyapa mereka terlebih dahulu.
“Assalamu’ alaikum, Mas. Salam kenal. Saya Isma, karyawan baru di sini.”
“Wa’alaikum salam. Kelihatannya Bu Ratna udah terima karyawan lagi ya buat membantu kita di sini.” Balas karyawan toko yang bertubuh gendut. “Salam kenal juga, namaku Didik.”
“Kalau aku dipanggil Bram.” Yang bertubuh tinggi besar ikutan berkenalan.
“Jadi bisa kupanggil Mas Bram ama Mas Didik ya?”
“Boleh.”
Dalam hitungan menit, kami bertiga pun jadi akrab satu sama lain. Rasanya aku seperti mengenal mereka sebagai sahabat lama. Mereka berdua memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mas Bram orangnya agak kalem. Nggak banyak omong. Cocok banget kalau jadi security. Beda banget sama Mas Didik yang ngocol abis. Orangnya selalu ceria. Kalau ngobrol selalu di selingi dengan humor-humor segar sehingga suasananya menjadi menyenangkan. Oleh Mas Bram dan Mas Didik, aku dikenalkan dengan karyawan yang lain. Tanpa waktu yang lama, aku sudah mengenal semua karyawan di sini. Selain ada Mbak Shinta, Mas Didik dan Mas Bram, aku sudah berkenalan dengan Mbak Ivonne penjaga kasir, serta karyawan toko yang lain seperti Mas Seno, Rio, Devi dan Nisa. Ketiga karyawan terakhir ini sebaya denganku. Mereka semuanya sangat ramah padaku dan kelihatannya aku akan kerasan kerja di sini. Tanpa sengaja, aku melihat Bu Ratna sedang memperhatikanku dari balik jendela ruang kerjanya yang langsung menghadap ke arah toko. Aku segera tersenyum kepadanya dan beliau pun membalasnya. Merasa agak risih, aku pun kembali melanjutkan pekerjaaanku. Sore ini memang toko sangat ramai. Mungkin karena pas malam Minggu, kulihat pengunjung toko kebanyakan para anak ABG atau orang kuliahan sepertiku.
skip to main |
skip to sidebar
Rabu, 28 Januari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar