Hari sudah mulai gelap. Kira-kira sudah hampir maghrib. Mungkin kurasa cukup perkenalanku hari ini. Aku pun memutuskan untuk segera pulang, takut nanti kemaleman dan nggak dapat angkutan umum. Maklum, aku ke sini siang tadi naik bus kota dan biasanya kalau mendekati saat maghrib, bus kota yang lewat sudah jarang. Yang lewat cuma taksi. Di sini tidak ada ojek selain di daerah Terminal Tirtonadi. Dan yang pasti kalau naik taksi untuk pulang ke kost, aku harus bayar sampai puluhan ribu.
Ketika aku hendak berganti seragam, kulihat seorang cewek tampak kebingungan di sebelah rak compact disk. Dia kelihatannya sebaya denganku. Wajahnya sangat cantik. Perawakannya tinggi dengan rambut hitam pendek lurus sebahu. Tubuhnya sangat ideal untuk ukuran model, dibalut dengan kaus biru dan celana jeans model sebetis. Karena toko dalam keadaaan ramai, semua karyawan toko sedang sibuk dengan pengunjung yang lain sehingga tidak ada yang menghiraukan cewek itu. Bahkan Mas Bram pun tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin baru di lantai atas atau ke ruang administrasi. Karena merasa kasihan, aku pun segera menghampirinya.
“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapanya dengan ramah.
“Sore juga, Mas. Maaf, saya mau tanya, apa album barunya Padi udah keluar?”
“Oh, sudah Mbak. Ada di rak sebelah sana. Mari saya antar.”
Aku pun segera mengantarnya menuju ke rak compact disk yang terletak bersebelahan dengan eskalator.
“Ini Mbak, album barunya Padi. Judulnya Tak Hanya Diam, kan?”
“Nah, ini yang kucari-cari. Makasih ya Mas.”
“Sama-sama. Kalau boleh tahu, Mbak suka sama Padi ya?”
“Sebenarnya aku nggak begitu ngefans banget sih sama Padi, tapi aku suka banget sama musik dan liriknya. Terutama liriknya itu lho. Kata-katanya begitu menyentuh dan sangat romantis. Pokoknya dalem banget maknanya.”
“Oh begitu ya. Kalau saya sangat ngefans berat sama Padi. Saya sangat menyukai lagu-lagunya Padi. Memang liriknya sangat puitis dan bermakna.”
”Wah, kok selera kita bisa sama ya?”
”Ya mungkin memang liriknya itu yang bisa membikin para penggemarnya suka.”
“Eh, ngomong-ngomong, saya belum pernah lihat Mas sebelumnya di sini. Biasanya saya sering dilayani sama Mas Didik atau si Devi. Mas baru ya?”
“Iya saya baru diterima kerja di sini. Sekarang aja masih trainee. Besok Senin baru masuk pertama kerja.”
“Wah, selamat ya. O ya, kenalin. Saya Viola. Saya pelanggan lama di sini. Sejak saya kecil, saya sering diajak oleh Ayah ke sini. ”
“Saya Ismail. Panggil aja Isma”
Kami pun mulai akrab. Viola ternyata orangnya sangat ramah dan enak kalau diajak ngobrol. Wawasannya cukup luas sehingga kami pun merasa cocok satu sama lain. Dia kuliah di Universitas Gadjah Mada Jogja, ambil Jurusan Psikologi. Dia seangkatan denganku. Kebetulan hari ini dia pulang ke Solo. Mumpung liburan akhir pekan katanya. Dia rutin pulang seminggu sekali naik kereta Prameks yang memang mempunyai trayek Solo-Jogja.
Obrolan kami pun terus berlanjut hingga tak sadar waktu sudah larut.
“Wah kelihatannya udah malem nih, Is. Aku harus pergi.”
“Sama, aku juga mau pulang, takut nggak kebagian bus kota.”
“Lho, emang kamu tinggal dimana, Is?”
“Aku kost di daerah dekat kampus. Tepatnya di Kentingan.”
Ngomong-ngomong aku merasa sering mengucapkan kalimat ini. Hari ini sudah tiga orang yang bertanya di mana aku tinggal. Pertama Eyang Lastri, kemudian Bu Ratna dan yang terakhir Viola.
“Wah, lumayan jauh juga ya dari sini. Eh, kalau kamu nggak keberatan, mau nggak kamu sekalian ikut denganku?”
“Emang kamu mau ke arah kampus juga?”
“Kebetulan hari ini aku ada jadwal ke dokter di daerah dekat kampus.”
“Ke dokter? Emang kamu sakit apa?”
“Ah, nggak ada apa-apa kok, cuma check up rutin aja.”
“Yakin kamu nggak papa?”
“Udah, jangan khawatir, I’m fine.”
“O ya, dalam perjalanan nanti ada masjid nggak? Aku mau sholat maghrib dulu. Takut nggak keburu.”
“Di dekat Hotel Novotel ada masjid kok. Kamu bisa sholat di sana. Entar tak tungguin.”
“Nggak papa kamu nungguin?”
“Nggak papa.”
“Kamu nggak sholat?”
“Aku lagi berhalangan. Tahu kan maksudku.”
“Kalau begitu, aku ganti baju dulu ya.”
“Aku juga mau ke Mbak Ivonne dulu. Ku tunggu di depan ya. Mobilku kuparkirkan di pinggir jalan.”
“OK, thanks.”
Tak berapa lama, kami pun meluncur dengan menggunakan mobil sedan warna biru metalik milik Viola menyusuri jalanan kota Solo dalam keremangan lampu jalan yang berpendar menuju ke arah kampus. Para pedagang kaki lima sudah mulai menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Kebanyakan mereka menjual aneka jenis makanan khas kota Solo. Memang kota Solo terkenal akan makanannya yang beraneka ragam terutama wedhangan hik yang menjadi tempat favoritku. Aku sering menghabiskan malam nongkrong bersama anak-anak “Mentari Buana” di tempat itu sambil minum wedhang jahe serta menyantap aneka jajanan yang tersedia di gerobak hik.
Setelah aku sholat Maghrib di masjid yang dimaksud Viola tadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesekali ku mencuri pandang memperhatikan Viola saat sedang menyetir. Dia terlihat sangat gembira. Senyumnya yang manis selalu terlukis di wajahnya yang cantik. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya dibalik keriangan dirinya. Dibalik keramahannya. Dibalik senyum manisnya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Sambil memutar compact disk yang baru dibelinya tadi sore, sepanjang perjalanan kami terus-terusan ngobrol.
“Eh, Is. Ngomong-ngomong kamu udah lapar belum? Kita makan dulu yuk!”
“Mau makan di mana?”
“Di daerah Gladag. Tepatnya di depan Patung Slamet Riyadi yang baru diresmikan bulan kemarin. Aku sering ke warung lesehan langgananku. Masakannya sangat enak. Ada ayam goreng, bebek goreng dan berbagai macam sea food. Harganya pun relatif lebih murah. Penjualnya juga ramah. Gimana, mau mencoba?”
“Boleh, tapi aku yang traktir ya.”
“Nggak usah repot-repot. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ngajakin.”
“Ah, aku nggak enak, Vi. Aku pulang kan udah numpang mobil kamu. Masak makan juga dibayarin.”
“Santai aja lagi, Is.”
“Aku tetap merasa nggak enak. Biar aku yang bayarin ya. Mau kan kamu kutraktir?”
“Kalau kamu memaksa, apa boleh buat.”
Mobil Viola pun terus meluncur membelah malam. Jalan sudah mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum, malam minggu. Banyak anak muda yang ingin menghabiskan malam bersama dengan pasangannya masing-masing.
Kami pun telah sampai di tempat yang dimaksud Viola tadi. Viola segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di depan sebuah warung tenda berwarna orange yang berdiri di sepanjang trotoar. Cahaya remang -remang dari lampu minyak menambah suasana warung tersebut menjadi lebih hangat. Terlihat sudah banyak pengunjung yang duduk lesehan di sepanjang trotoar menunggu pesanan sambil melihat panorama kawasan Gladhag yang eksostis di malam hari. Tampak patung Slamet Riyadi berdiri dengan gagahnya, menutupi pesona gapura Gladhag yang telah dilupakan kenangannya. Sebenarnya patung itu kurang cocok di tempatkan di sini karena daerah ini merupakan kawasan konservasi. Banyak bangunan bersejarah berdiri di kawasan Gladhag yang merupakan jantung kota Solo. Disini terdapat bangunan Kantor Pos Pusat, Bank Indonesia, serta Beteng Vastenberg yang semuanya merupakan peninggalan dari jaman kolonial. Dikarenakan kebijakan Pemerintah Kota setempat yang kurang bijaksana, maka kawasan ini telah “tercemar” dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang secara kontekstual sangat kontras dengan bangunan-bangunan bersejarah yang ada seperti Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Belum lagi keberadaan Beteng Vastenberg yang kondisinya sangat memprihatinkan karena tidak terurus.
Ketika kami hendak memasuki warung tersebut, tiba-tiba dari arah belakangku suara seorang anak perempuan menyapaku.
“Halo, Om Isma. Ketemu lagi.”
Suaranya terasa tidak asing bagiku. Spontan kupalingkan wajahku.
“Hah, Putri. Sedang apa kau di sini?” tanyaku sambil seketika kegendong Putri.
“Putri bantuin Eyang jualan disini.”
“Eyang jualan di sini?”
Putri menggangguk.
“Lho, Is. Kamu kenal dengan Putri?”
“Iya. Tadi aku ketemu Putri sama Eyangnya di bus kota sewaktu aku berangkat ke StarMusikindo untuk wawancara.”
“Wah, kebetulan sekali. Aku udah kenal mereka lama. Ibunya Putri adalah adik kelas Ibuku dulu sewaktu SMU.”
“Halo, Kak Viola. Lho kok bisa bareng dengan Om Isma?”
“Sekarang jangan panggil Om donk. Sekarang panggilnya Kak Isma, ya. Biar sama dengan Kak Viola.”
“Ya, … Om Is, eh .. Kak Isma. Eh, … Kakak pacarnya Kak Viola ya?”
Aku dan Viola terkejut dengan pertanyaan Putri yang masih polos itu. Kulihat Viola menjadi salah tingkah. Aku pun juga merasakan perasaan yang mendesir secara tiba-tiba. Setelah dapat menguasai perasaanku, aku menjawab pertanyaan Putri tadi.
“Nggak, Putri. Kakak sama Kak Viola cuma teman. Kamu ini masih kecil udah tahu pacaran. Nggak boleh ya?”
“Baik, Kak. O ya, yuk masuk dulu. Eyang Putri ada di dalam. Eyang pasti seneng deh ketemu Kak Isma lagi. ”
Aku dan Viola segera masuk ke warung tenda. Terlihat Eyang Lastri sibuk melayani pelanggannya yang hendak membayar. Eyang Lastri sibuk mencarikan kembalian. Viola segera berjalan didepanku ketika hendak menyapa Eyang Lastri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam, eh Neng Viola. Apa kabar?”
“Baik-baik, Eyang.”
“Sendirian ke sini?”
“Nggak. Sama teman, Eyang. Nih orangnya.”
Aku pun segera menyapa Eyang Lastri sambil masih menggendong Putri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam. Lho, Nak Isma?”
“Atas kehendak Allah, kita dipertemukan lagi, Eyang.”
“Kok bisa bareng dengan Neng Viola?”
“Kebetulan tadi Viola ke toko tempat saya kerja, Eyang. Pulangnya saya numpang mobil Viola karena kami searah. Di tengah jalan kami ingin makam malam dulu. Terus Viola ngajak saya ke sini. Eh … ternyata ini warungnya Eyang.”
“Bagaimana lamaran kerjanya, Nak Isma? Nak Mas dierima kerja di sana?”
“Alhamdulillah, berkat doa Eyang, saya diterima.”
“Wah, selamat ya Nak Isma. Ya sudah, kalian berdua mau makan apa? Biar Eyang buatkan yang spesial. Anggap saja ini sebagai ucapan syukur atas diterimanya Nak Isma kerja. Dan kali ini nggak usah bayar.”
“Lho, kok nggak usah bayar, Eyang?”
“Nggak apa-apa. Ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih Eyang atas pertolongan Nak Mas tadi siang.”
“Saya ikhlas kok, Eyang. Eyang nggak perlu repot-repot.”
“Eyang juga ikhlas, Nak Isma. Jadi mohon Nak Isma tidak menolak, seperti Eyang tadi siang juga tidak menolak atas pertolongan Nak Isma.”
“Kalau begitu makasih, Eyang.”
“Wah, saya kecipratan berkah nih.”
“Iya, Neng Viola. Kalau berteman dengan orang baik, Insya Allah akan terkena berkahnya juga. Nak Isma ini anak yang baik .”
“Ah, Eyang. Jangan memuji saya terus. Saya jadi malu.”
“Kalau boleh tahu, emangnya tadi Isma menolong Eyang apa?”
“Nak Isma tadi menolong Eyang dengan ikhlas memberikan tempat duduknya kepada Eyang sewaktu Eyang bergelantungan dengan Putri di bus kota. Padahal semua orang di dalam bus itu tidak ada yang menghiraukan Eyang. Nak Isma juga membawakan belanjaan Eyang yang lumayan berat karena Eyang habis kulakan di Pasar Gedhe.”
“Wah, aku jadi salut sama kamu, Is. Kamu ternyata orangnya baik banget.”
“Sudah, Vi. Nggak usah dibesar-besarkan. Yuk, kita cari tempat duduk.”
“Kalian mau makan apa? Terus minumannya apa?”
“Saya ayam goreng saja, Eyang. Minumnya teh manis. Kamu, Vi?”
“Saya juga ayam goreng, Eyang. Minumnya seperti biasa. Wedhang Jeruk.”
“Baik, nanti biar karyawan Eyang yang antar. Kalian pilih sendiri tempat duduknya. Jangan sungkan-sungkan di warungnya Eyang.”
“Makasih, Eyang. Kalau Putri mau makan apa?” tanyaku sambil kuturunkan Putri dari gendongan.
“Putri udah kenyang, Kak. Tadi udah makan udang goreng disuapin Eyang.”
“Lho, udah gedhe kok masih disuapin. Lain kali Putri makan sendiri ya. Udah diajarin makan yang benar di sekolah kan?”
“Udah, Kak Isma. Nanti lain kali Putri akan makan sendiri.”
“Anak pintar.”
Aku dan Viola segera mencari tempat duduk. Kami duduk lesehan di trotoar yang masih kosong. Trotoar itu diberi alas tikar dan dilengkapi sebuah meja kecil berkaki pendek tempat menaruh makanan. Terdapat sebuah lampu dengan kap terbuat dari rotan menggantung tepat di atas meja. Kami duduk bersandar pada tembok pagar bangunan yang terletak di belakang warung.Kami duduk menghadap jalan Slamet Riyadi tampak ramai dengan arus kendaraan baik mobil maupun sepeda motor. Bila malam Minggu, kawasan Gladhag sangatlah ramai. Karena selain sebagai jantung kota Solo, di kawasan ini juga ada sebuah pusat wisata kuliner yang terbentang sepanjang jalan yang berada di sebelah timur Gapura Gladhag, namanya Galabo, kepanjangannya Gladhag Langen Bogan. Hampir semua makanan khas Solo dijajakan di sana. Ada nasi liwet ( mirip dengan nasi uduk Betawi ), nasi gudheg ( daging buah nangka yang belum matang yang dimasak manis ), sambal goreng ceker (kaki ayam), tengkleng (gulai tulang kambing), hingga sate kere/gembus (ampas tahu), inthip ( kerak nasi ), srabi (kue dari tepung beras) dan kripik paru terdapat di sana. Para pendatang dari luar kota Solo pasti menyempatkan untuk singgah di sana sambail menikmati suasana malam kota Solo yang menawan. Belum lagi diringi lantunan tembang kenangan atau musik keroncong menambah suasana menjadi eksotis.
Warung Eyang Lastri tidak terdapat di kawasan Galabo. Warung Eyang terletak berseberang dengan Galabo atau di sebelah barat gapura Gladhag. Karena warung Eyang sudah berdiri lama sebelum Galabo ada. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Seorang pelayan menata pesanan kami di atas meja dan setelah selesai dia mempersilahkan kami untuk menyantap makanan yang telah tersaji. Kami menyantap makanan sambil mengobrol. Obrolan kami berkisar tentang kuliah dan kegiatan-kegiatan kami. Nggak ada perbicaraan yang spesial. Kami cuma sedang mengakrabkan diri dan mencoba lebih mengenal diri kami masing-masing.
Hampir satu jam kami mampir di warung Eyang Lastri. Dan karena dirasakan hari sudah semakin malam kami pun berpamitan ke pada Eyang Lastri.
“Eyang, kami pamit dulu. Terima kasih atas ayam gorengnya.”
“Iya, Eyang. Masakan Eyang benar-benar enak seperti yang dibilang Viola.”
“Kalian jangan kapok ya kemari. Sekali-kali kunjungi Eyang disini.”
“Insya Allah, Eyang. Kalau ada waktu, kami sempatkan kemari. Kami pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Permisi, Eyang. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
“Baik, Eyang. Dah, Putri. Kak Isma dan Kak Viola pulang dulu ya.”
“Dah, Kak. Nanti main lagi kemari ya.”
Kami pun meninggalkan Eyang Lastri dan Putri menuju ke tempat parkir mobil. Setelah memasuki mobil, Viola kembali menghidupkan audio player di mobilnya. Alunan musik yang terdengar dari perangkat audio di mobil Viola menghangatkan suasana. Mengiringi perjalanan kami dalam membelah dinginnya malam menuju ke daerah kampus. Setelah kami terlarut dalam lantunan syair-syair serta nada-nada yang menghanyutkan jiwa, tanpa terasa kami telah sampai ke tempat kostku.
“Nah, disini tempat tinggalku. Nggak terasa ya udah sampai.”
“O, ini ya kost-kostan kamu, Is? Enak juga tempatnya. Halamannya cukup luas dan rindang.”
“Yuk, mampir dulu.” Aku pun turun dari mobilnya.
“Lain kali aja, Is. Udah telat nih ke dokternya. Nanti ditungguin. Lagian ini udah malam. Aku nggak enak sama dokternya soalnya beliau teman lama Ayahku dan sudah lama menjadi dokter langganan keluargaku. Namanya Dokter Lukman. Beliau sudah kuanggap seperti Pamanku sendiri.”
“Tapi janji ya lain kali mampir ke sini.”
“OK, aku janji. Nanti kuhubungi kalau aku mau mampir. Udah dulu ya.”
“Makasih, Vi. Atas tumpangannya.”
“You’re welcome. Nice to meet you, Isma. Daah.”
Mobil Viola pun meluncur meninggalkan aku dalam kegelapan malam yang dingin…..
Bersambung...
skip to main |
skip to sidebar
Rabu, 28 Januari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar