Hari kelihatannya mulai mendung. Awan gelap tampak menyelimuti kota Solo di siang ini. Mungkin sebentar lagi hujan pun akan segera turun. Aku tidak tahu kemana Viola akan membawaku pergi. Kalau kutanya pasti dia menjawab ”Ada aja!” sambil memperlihatkan senyumannya yang manis. Aku pun hanya bisa pasrah mengikuti kehendaknya. Seperti biasa, sepanjang perjalanan kami saling ngobrol dengan alunan lagu dari perangkat audio mobilnya yang selalu menyertai kami berdua.
”Is, kamu lapar lagi nggak?”
”Ya belum, tadi aku kan barusan makan banyak di rumahmu.”
”Kalau gitu temenin aku makan ya.”
”Mau makan dimana?”
”Aku pengin makan pizza nih.”
”Ya udah, aku minum aja.”
Viola pun mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah restoran pizza yang cukup terkenal di kota Solo. Restoran itu tampak sepi, mungkin karena sudah melewati jam makan siang. Setelah mobil Viola parkir di depan bangunan restoran, kami berdua turun dari mobil dan segera masuk ke dalam restoran, menuju ke arah meja yang terletak di barisan paling pinggir. Kami berdua duduk di kursi berbentuk sofa, dan tak lama kemudian seorang cewek pelayan restoran datang menghampiri kami.
”Selamat siang Mas, Mbak. Mau pesan apa?”
Viola pun segera memesan pizza kesukaannya.
”Saya pesan pizza isi daging dicampur sama keju ukuran sedang, minumnya orange juice aja. Kamu minum apa, Is?”
”Aku minum milkshake aja.”
”Jadi pesannya pizza ukuran sedang satu, orange juice satu, milkshake satu.” Pelayan restoran itu mengulangi pesanan kami. ”Mau tambah yang lain?”
”Sudah, itu saja, Mbak.”
”Baik, mohon ditunggu sebentar."
Pelayan restoran itu pun segera berlalu dari hadapan kami.
”Kamu sering makan di sini, Vi?”
”Lumayan sering juga. Habis aku sangat suka sama pizza.”
”Nggak takut gemuk?”
”Biarin, yang penting aku kan tetap cantik.” Jawab Viola centil.
”Memang, Vi. Kamu tetap cantik.” Tanpa kusadari aku berani mengatakan hal itu kepada seorang cewek yang ada di depanku sekarang ini. Akibatnya wajah Viola tampak tersipu-sipu. Aku pun jadi salah tingkah sendiri.
”Apa benar, Is? Yang barusan kamu katakan?”
”Mmmh, bener kok, aku nggak bohong, Vi. Kamu memang cantik.”
”Makasih ya, Is.”
Kami saling memandang. Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang cantik, menatap kedua bola matanya yang indah serta menatap senyumannya yang menawan. Viola pun tertunduk malu, menghindar dari tatapanku. Kami pun terdiam. Hingga akhirnya pelayan restoran datang membawakan pesanan kami.
”Ini pesanannya. Silahkan.”
”Makasih, Mbak.”
Pelayan restoran itu kembali berlalu.
”Udah, jangan melihatku seperti itu, Is. Aku kan jadi malu.”
”Ups, sorry, Vi.”
”Ayo, cobain nih pizzanya, enak lho.”
”Aku udah kenyang, Vi.”
”Ayolah, satu potong aja.”
”OK, aku coba.”
”Nah, gitu donk.”
Kami pun tengah asyik menyantap pizza serta minuman yang tersedia di depan kami.
”Gimana, Is? Enak nggak?”
”Enak juga, aku jarang sekali makan pizza.”
”Makanya sekali-kali kamu kemari. Biar bisa nyobain rasa yang lainnya.”
”Wah, bisa bangkrut kalau aku terus-terusan makan di sini. Kecuali kalau kamu yang traktir sih, aku pasti nggak keberatan.”
”Yee, maunya yang gratis terus.”
”Bercanda kok, Vi. O ya, bagaimana acaramu ke dokter kemarin? Kamu sebenarnya sakit apa sih?”
”Aku baik-baik aja kok. Jangan khawatir, kemarin aku cuma pusing-pusing dikit.”
”Manja kamu. Pusing aja sampai ke dokter segala.”
”Biarin.”
Viola pun kembali tersenyum manja. Kelihatannya dia gembira sekali hari ini.
”Vi, kamu berdua aja sama Mas Deny di rumah? Tadi aku nggak melihat Ayah dan Ibumu. Memangnya mereka baru pergi kemana?”
Tiba-tiba Viola terdiam sejenak.
”Orang tuaku sudah lama meninggal karena kecelakaan, Is. Kejadiannya waktu aku masih SMU.” Raut muka Viola seketika terlihat sedih dan matanya mulai berkaca-kaca.
”Ups, sorry, Vi. Aku nggak tahu. Sorry, kalau kata-kataku tadi membuatmu sedih.”
”Nggak papa, Is. Aku sudah terbiasa kok. Pada awalnya sih aku nggak bisa menerima kenyataan itu tapi aku mencoba untuk tetap tegar setelah kepergian mereka berdua. Aku nggak ingin larut terlalu lama dalam kesedihan. Life must go on, Is.”
“Aku kagum sama kamu, Vi. Aku mungkin nggak bisa ngebayangin kalau aku di posisi kamu. Aku sangat menyayangi kedua ortuku. Sekali lagi, maafin aku ya.”
”Sudahlah, kita ganti topik yang lain aja. Biar nggak tambah sedih.”
”Baiklah kalau begitu, sebenarnya kita mau kemana sih?”
”Dari tadi tanyanya itu melulu sih, penasaran ya?”
”Ngapain sih pake rahasia-rahasia segala?”
”Biar surprise.”
“Kalau mau kamu begitu, aku sih nurut aja.”
“Kamu udah selesai makannya, Is? Yuk kita pergi, nanti keburu hujan.”
Setelah membayar ke kasir, kami berdua pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke tempat dimana Viola ingin mengajakku kesana.
“O ya, Is! Kamu bisa setir mobil nggak?”
“Kalau bisa, dari kemarin aku pasti sudah setir mobil kamu.”
”Kapan-kapan aku ajarin mau?”
”Boleh, gratis kan?”
”Yee, bayar donk.”
”Berapa?”
”Bayarnya nggak pake duit.”
“Terus pake apaan?”
“Kamu.”
“Aku? Emangnya ada apa denganku?”
”Kamu harus mau menemaniku kalau aku mengajakmu pergi! Gimana, sanggup?”
”Mmmh, gimana ya? Tapi kurasa itu cukup adil.”
“Deal or No Deal?”
“OK, deal.” Kami pun saling mengaitkan jari kelingking masing-masing.
Mobil Viola kembali meluncur menyusuri jalan protokol yang membelah Kota Solo. Terlihat jalanan cukup ramai. Banyak masyarakat Solo yang sedang pergi keluar siang ini. Mungkin karena hari ini hari libur, kebanyakan mereka habiskan waktunya pergi ke tempat-tempat hiburan atau pusat-pusat perbelanjaan yang banyak bertebaran di seluruh Kota Solo. Alunan musik kembali melantun, mengiringi perjalanan kami berdua.
“Ngomong-ngomong aku boleh nanya sesuatu nggak ke kamu?”
“Boleh, emang mau nanya apaan?”
“Aku mau nanya, seberapa penting sih arti grup band kamu hingga kalian berlima sampai bela-belain mau bergabung sama kakakku?”
“Kalau ditanya seberapa pentingnya, band ini mempunyai arti yang sangat penting dalam hidupku. Kamu tahu, Vi? Dari kecil aku sangat menyukai musik. Aku pertama kali mengenal musik ketika bapakku sering mengajakku untuk mendengarkan atau menyanyikan lagu-lagu kesayangan koleksinya yang kebanyakan dari grup Koes Plus. Mulai saat itu, musik sangat berperan penting dalam hidupku. Dalam musik, kadang-kadang aku bisa menemukan siapa diriku yang sesungguhnya. Dan mungkin suatu saat nanti, aku ingin bisa seperti Koes Plus yang menjadi legenda hingga semua orang nanti akan terus mengenangku walaupun aku sudah tidak bisa bermain musik lagi. Bisa dibilang inilah impianku sejak dulu, Vi. Kalau aku kuliah di arsitektur, bukannya di sekolah musik, kuanggap itu sebagai baktiku kepada orang tua yang menginginkanku untuk menjalani pendidikan formal dan lulus sebagai sarjana. Yang penting selama masih ada unsur seninya, nggak menjadi kendala bagiku menjalaninya karena aku nggak terlalu jauh menyimpang dari siapa sesungguhnya aku.”
”Wow, ternyata kamu sangat serius ya dalam bermusik.”
”Tekadku sudah bulat, Vi. Aku nggak mau menjalaninya setengah hati.”
”Wah, Is. Rupanya kita udah sampe nih.”
”Lho, ini kan taman kota yang namanya Taman Sriwedari? Ngapain kita di sini?”
”Sebentar lagi kamu juga akan tahu.”
Kami pun segera memasuki sebuah gerbang yang berdiri megah terbuat batu. Taman ini terletak tepat di tengah-tengah kota Solo. Selain berfungsi sebagai unsur keindahan, taman ini juga berfungsi sebagai paru-paru kota yang dimana sudah jarang sekali ditemui di kota-kota besar. Selain katanya sebagai tempat pacaran juga. Viola mengarahkan mobilnya menyusuri jalan-jalan setapak dari bebatuan yang membelah taman kota ini menjadi dua bagian. Di sebelah kiri kami terlihat sebuah telaga buatan yang cukup besar dengan air yang jernih serta ditumbuhi oleh bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Sebuah pulau kecil yang terletak di tengah-tengah telaga dengan dilengkapi sebuah gazebo yang terbuat dari kayu terlihat dari pinggiran telaga. Sungguh indah pemandangan di sini. Kami mulai merasa nyaman di sini setelah berjam-jam yang lalu larut dan tenggelam dalam kesumpekan kota. Viola akhirnya memarkirkan mobilnya di pinggiran telaga.
”Yuk turun, Is. Ada yang ingin kulihatkan padamu.”
”Aku nggak nyangka kalau taman kota ini cukup indah juga pemandangannya. Padahal aku sudah lama kuliah di sini, tapi sekalipun aku belum pernah masuk ke taman ini.”
”Makanya sekarang aku ajak kamu ke sini, yuk.”
Ternyata Viola mengajakku menyusuri sebuah jembatan kayu yang menghubungkannya dengan pulau yang berada di tengah telaga. Tanpa kami sadari, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Rupanya hujan akan segera turun. Kami pun mempercepat langkah menuju ke arah gazebo kayu yang berada di tengah pulau. Setibanya di dalam gazebo, hujan pun turun dengan lebatnya. Angin dingin mulai berhembus dengan kencangnya menerpa kami berdua. Kami berdua pun duduk menikmati pemandangan telaga yang telah diguyur oleh derasnya air hujan. Riak air hujan yang jatuh ke telaga terasa indah dipandang. Suara gemericiknya menentramkan jiwa. Viola kelihatannya mulai menggigil kedinginan. Segera kulepaskan kemeja flannel yang kukenakan sehingga aku hanya menyisakan kaos hitam membalut tubuhku. Kupakaikan kemejaku ke tubuh Viola untuk memberi kehangatan padanya. Viola memandangku dengan senyuman khasnya.
”Makasih, Is. Kamu baik banget.”
”Aku nggak ingin kamu kedinginan, nanti kalau sakit aku bisa dimarahin sama Mas Deny.”
”Sekali lagi, makasih ya, Is.”
”O ya, katanya ada sesuatu yang ingin kamu tunjukin kepadaku. Apa itu?”
”Is, kamu lihat pohon mangga yang tumbuh di pinggir pulau itu?”
”Yang nggak begitu tinggi itu?”
”That’s right.”
”Emang kenapa dengan pohon itu?”
”Itulah kenanganku yang terakhir bersama kedua orang tuaku, Is. Beberapa hari sebelum mereka pergi, aku, Mas Deny dan kedua orang tuaku pergi ke taman ini. Mas Deny dan Ayah sangat hobi memancing ikan di telaga ini. Ketika kami berempat mengunjungi pulau ini, aku dan Ibu sengaja menanam bibit pohon mangga yang kami beli di dekat gerbang masuk tadi. Kami menanamnya di situ dan sekarang seperti yang kau lihat, pohon itu sudah tumbuh dengan baik. Kami sering duduk di dekat pohon mangga itu memandangi telaga yang jernih sambil bercanda dan menyantap makanan yang kami bawa dari rumah.”
”Apa hal itu nggak membuatmu menjadi sedih, Vi?”
”Aku hanya sesekali kemari kalau aku kangen sekali dengan mereka. Kadang-kadang aku merasa kalau mereka masih bersamaku. Aku sangat merindukan mereka, Is.”
Air mata mulai membasahi wajah cantik Viola. Dia tak kuasa untuk membendung emosinya sehingga Viola seketika menangis terisak-isak dengan tangan menutupi mulutnya. Aku jadi terharu melihatnya. Pemandangan ini sungguh membuat ngilu hatiku. Sesungguhnya dibalik ketegaranku, aku ini seorang yang rapuh. Aku nggak tahan melihat air mata yang mengalir. Itulah salah satunya mengapa aku sangat menyukai musik. Aku ingin membahagiakan semua orang dengan musik sehingga tak akan ada lagi air mata yang mengalir kecuali hanya air mata kebahagiaan. Karena merasa iba, aku pun segera meraih saputangan yang ada di saku celanaku dan kuberikan kepada Viola. Viola memandangku dengan senyumannya. Matanya masih berkaca-kaca. Air matanya masih berlinang di pipinya. Seiring air hujan yang makin lama makin deras, suara tangis Viola pun larut di dalamnya. Tenggelam di antara titik-titik air hujan yang berjatuhan, tenggelam di antara rindangnya pohon-pohon hijau yang terbentang...
Bersambung...
skip to main |
skip to sidebar
Kamis, 29 Januari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar