Kamis, 22 Januari 2009

Bag1-Pagi yang Melelahkan 01 ( Chap. Lagu Untuk Viola )

“Excuse me, bos! You’ve a text message!!!”
Tersentak aku mendengar handphoneku berbunyi. Rupanya ada SMS yang masuk. Setelah kulihat di layar LCDnya, ternyata hanya SMS dari operator selular yang menawarkan program layanan unggulan terbarunya. Segera kutengok jam di dinding kamarku yang sudah menunjukkan jam setengah delapan pagi. Komputer di kamarku terlihat masih menyala. Ternyata aku ketiduran sehabis sholat shubuh. Mungkin aku kecapekan karena semalaman bergadang mengerjakan makalah sebagai tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosenku. Kebetulan hari ini ada pengumpulan tugas akhir mata kuliah Filsafat Ilmu. Nanti jam dua belas siang tepat harus segera dikumpulkan, nggak boleh telat sama sekali. Katanya kalau sampai telat, bisa-bisa nanti aku nggak lulus. Sebenarnya aku nggak begitu suka dengan mata kuliah Filsafat Ilmu. Abis susah banget! Dan dosennya galak lagi! Namanya Pak Edy. Orangnya sebenarnya nggak terlalu banyak ngomong, rada cool gitu, tapi kalau pas marah, nggak kebayang deh seremnya.

Aku mahasiswa semester lima Jurusan Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Solo. Namaku Isma. Lengkapnya Muhammad Ismail Ruzain. Aku berasal dari Wonosobo. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang terletak di dataran tinggi dengan udaranya yang dingin serta pemandangan alamnya yang menakjubkan. Aku hidup di keluarga yang bahagia meskipun secara ekonomi kami tergolong biasa-biasa saja. Bapakku hanya bekerja sebagai pegawai kecamatan sedangkan Ibuku adalah seorang guru TK. Aku mempunyai dua saudara perempuan yang masih duduk di bangku SMU dan SMP. Namanya Arfi dan Nadya. Aku kangen sekali dengan mereka semua. Terutama aku kangen sekali dengan masakan Ibu. Maklum, di Solo aki makan apa adanya seperti anak-anak kost yang lain. Sudah lama aku tidak pulang ke Wonosobo karena kesibukanku akhir-akhir ini. Seingatku terakhir aku pulang ketika hari lebaran tahun lalu.

Aku segera beranjak dari tempat tidurku yang acak-acakkan. Kamarku pun tak kalah berantakan. Banyak tumpukan buku-buku literatur serta kertas coret-coretan berserakan di sana-sini. Kuambil sekeping biskuit sambil beranjak dari tempat tidur menuju ke arah komputerku. Terlihat komputerku masih aktif dengan mode standby. Seketika kugerakkan mouse untuk mengaktifkannya kembali sehingga di monitor tampaklah sebuah dokumen yang kukerjakan semalam masih terpampang rapi. Setelah beberapa saat membaca lagi apa yang sudah kukerjakan, segera kuraih keyboard yang tertutup oleh kertas coret-coretan konsep. Jari-jariku mulai menari diatas tutsnya untuk meneruskan mengetik. Makalahku ternyata masih kurang beberapa bagian di bab kesimpulan.
Setelah sekian lama mengetik, Alhamdulillah, akhirnya makalahku kelar juga. Kulirik jam menunjukkan angka delapan. Setelah ku edit, kuambil setumpuk kertas HVS A4 lalu kumasukkan ke tempat printerku yang terletak agak di samping kanan CPU komputer. Setelah kertas terpasang, segera kuaktifkan perintah untuk mencetak dokumen yang jumlahnya 75 lembar.
“Ternyata cukup banyak juga aku membuatnya,” gumamku.
Sambil menunggu hasil cetakan, kuaktifkan program pemutar mp3 untuk menghilangkan rasa jemu. Dan tak lama kemudian segera melantun lagu favoritku dari band Padi, bergema ke seluruh penjuru kamarku.

Merekahnya fajar hatiku
Menghayatkan luruhku
Dan resapkan keharuman
Engkau yang mencintaiku
Dan ternyata cinta
Yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta
Tulus mendekap jiwaku … ( petikan dari lagu Ternyata Cinta oleh Padi, dari album Self Tittled )

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kamarku. Aku pun bergegas membuka pintu kamarku sambil meregangkan otot-otot tubuhku yang masih kaku. Kulangkahkan kaki keluar menuju balkon. Kuhirup segarnya udara pagi dalam-dalam mengisi rongga paru-paruku.
Tak lama kemudian, kulihat Fajar teman kostku berjalan ke arahku sambil mengangkat sebuah ember yang terisi penuh dengan pakaian kotor.
“Mau nyuci nih,” sapaku.
“Udah bangun loe,” balasnya. “Biasanya kan loe nggak pernah kesiangan, lembur tugas?” Aku mengangguk mengiyakannya. Fajar berasal dari Jakarta. Dia seangkatan denganku tapi beda jurusan. Dia ambil jurusan Ilmu Komunikasi. Kamarnya persis bersebelahan dengan kamarku. Kami sama-sama menempati kost-kostan yang bernama “Wisma Mentari Buana“, yang terletak di sebelah barat kampus UNS. Kost-kostan yang kutempati ini mempunyai 18 kamar. Bangunannya sendiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan bangunan induk yang berbentuk rumah Jawa kuno yang letaknya tepat di tengah-tengah kost-kostan, sedangkan bagian satunya merupakan bangunan baru yang terletak di sayap kiri dan sayap kanan dari bangunan induk. Masing-masing sayap terdiri dari 6 kamar yang terbagi menjadi dua lantai, 3 kamar di lantai bawah dan 3 kamar di lantai atas. Sedangkan sisanya berada di belakang bangunan induk. Aku menempati sayap kiri di lantai atas bersama Fajar dan satu lagi teman kuliahku yang namanya Topan. Dia anak Jakarta juga, bahkan satu SMU sama Fajar. Bedanya Topan anak Fisika sedangkan Fajar anak Sosial.

Fajar segera berlalu dari hadapanku menuruni tangga yang terletak di ujung balkon. Tubuhnya yang kurus hitam itu segera menghilang dari pandanganku. Tak lama kemudian kudengar suara pintu yang terbuka. Sebuah wajah yang kukenal segera menyeruak keluar.
“Pagi, Pan. Kesiangan juga loe,” sapaku.
Tampak wajah kusut Topan yang masih terkantuk-kantuk dengan rambut keritingnya yang awut-awutan nongol di balik pintu. Tak lama kemudian tubuhnya yang gempal keluar dari kamar.
“Iya nih, semalam gue begadang ngerjain tugas dari Pak Edy sampai jam dua malam”, balasnya sambil mengucek matanya yang masih lengket. “Emang punya loe udah kelar?”
”Tuh, barusan di print, lama banget nunggunya, sampai 75 lembar sih bikinnya.”
“Gila loe, banyak amat! Emang apa aja yang loe tulis sampai bisa 75 lembar gitu? Gue aja cuma 24 lembar udah pusing tujuh keliling, itupun juga udah termasuk cover serta kata pengantar.”
Aku pun terbengong-bengong, kok bisanya tugas sesulit itu bikin makalahnya cuma 24 lembar. Aku saja sampai begadang bikinnya. Ah, peduli amat! Yang penting aku sudah mengerjakan semaksimal mungkin.
“Udah sarapan belum loe?” tanya Topan tiba-tiba.
“Belum tuh, tadi gue cuma sempet ngemil biskuit di kamar.”
“Turun yuk ke warung.”
Sejenak aku terdiam. Tak lama kemudian aku pun mengiyakan, soalnya perutku juga sudah mulai keroncongan. Topan balik lagi ke kamarnya untuk mengambil dompet yang diletakkan di atas monitor komputernya.
“Gue ditraktir ya,” kataku.
“Enak aja loe! Duit gue udah abis nih. Bulan ini gue juga belum bayar kost, mana sempat traktir-traktir. Kiriman dari ortu juga telat.” Topan membalas dengan ketus sambil memperlihatkan dompet bututnya yang cuma terdapat beberapa uang kertas seribuan didalamnya.
Sempat kuintip kamar Topan yang pintunya sudah dibukanya lebar-lebar. Wah, ternyata sama-sama hancur, nggak kalah berantakan sama kamarku. Maklum, kamar cowok! Abis begadang bikin tugas pula! Biasalah kalau berantakan. Setelah Topan keluar kamar, kuikuti dia dari belakang menuruni tangga. Kupalingkan wajahku sejenak menengok ke dalam kamarku untuk melihat hasil cetakan tugasku. Ternyata baru beberapa puluh lembar yang telah tercetak. Maklum, printer lama. Mungkin nanti sehabis sarapan baru kelar. Aku pun kembali mengikuti Topan.

Tak lama setelah tiba di ujung tangga, terdengar suara cewek menyapa kami berdua.
“Pagi Mas Isma, pagi Mas Topan, belum cuci muka ya, tuh mukanya masih pada kusut”.
Tampak seorang gadis berpakaian seragam SMU lengkap dengan tas ransel di punggungnya berdiri di depan kami berdua. Wajahnya lumayan manis, perawakannya sedang, nggak pendek-pendek amat, juga nggak terlalu tinggi. Rambutnya ikal dan terikat rapi. Namanya Dik Ira. Dia anak dari Mas Dody, pemilik kost-kostan ini. Mas Dody tinggal di rumah induk bersama keluarganya. Mas Dody mempunyai seorang istri dan 3 orang anak. Istrinya sering kami panggil dengan sebutan Mamah Rini. Sedangkan anak sulungnya cowok bernama Willy. Dia masih kuliah tingkat pertama di perguruan tinggi swasta di kota Solo. Kemudian anak keduanya ya Dik Ira ini. Dan anaknya yang paling bontot, namanya Dik Harry. Dia masih duduk di kelas dua SLTP.
“Kok Dik Ira belum berangkat sekolah, ini kan udah jam delapan lewat”, balasku.
Dik Ira dengan wajahnya yang manis menjawab dengan senyum mengembang. “Hari ini masuknya agak siangan, Mas. Soalnya hari ini kan hari pertama setelah ujian tengah semester minggu lalu, nah biasanya di sekolah diadakan lomba antar kelas. Istilah kerennya class meeting. Jadi datang kesiangan nggak papa. Mas berdua mau ke warung kan? Nanti bilangin ama Papah ya kalau Ira udah nungguin”.
Dik Ira memang masih sering diantar sama Mas Dody kalau berangkat sekolah. Katanya sekolah Dik Ira agak jauh dari sini. Kira-kira hampir 6 kilometer.
”OK, nanti Mas sampein, kami tinggal dulu ya”, balas Topan yang dari tadi masih mengucek matanya. Kemudian Dik Ira pun berlalu menuju ke serambi rumah sambil mengambil buku dari balik tas ranselnya. Dia tampak serius membaca. Ternyata buku komik yang dibacanya. Kita berdua pun segera bergegas menuju warung. Soalnya perut kami sudah tidak mau kompromi.

Warung yang kita tuju letaknya nggak terlalu jauh. Cuma lima belas meter di sebelah barat kost-kostan. Warung itu juga milik Mas Dody. Katanya sih dulu usaha turun temurun dari ortunya Mas Dody. Ukurannya tidak terlalu besar. Kurang lebih sekitar 6 x 8 meter. Dinding batanya cuma setinggi satu meteran kemudian diteruskan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Orang Jawa sering menyebutnya dengan istilah “gedheg”. Warung Mas Dody memang yang paling ramai di lingkungan ini. Meskipun banyak warung makan yang bertebaran di sekitar tempat kostku, warung Mas Dody lah yang paling sering di kunjungi. Selain harganya murah, masakannya pun enak. Harga mahasiswa rasa restoran bintang lima, begitu kata Mas Dody setengah berpromosi.

Aku dan Topan segera bergegas, takut nggak kebagian. Pagi begini, biasanya nasi pecel lah menu yang paling laris. Dengan lauk tempe goreng plus teh hangat, mmmh, nggak kebayang deh nikmatnya. Kalau duitnya berlebih, bolehlah ditambah telur ceplok biar lebih mantap. Dan seperti yang telah kuduga, tampaknya warung Mas Dody sudah mulai ramai. Segera kuambil piring yang berisi menu nasi pecel yang telah tersedia di meja saji. Di warung Mas Dody, yang membeli mengambil makanannya sendiri. Istilahnya pokwe alias “njipuk dhewe”. Kecuali minum, yang satu itu memang harus pesan dulu sama Mamah Rini.

Setelah menuang sambal pecel ke dalam nasi serta mengambil dua buah tempe goreng, aku segera mencari tempat duduk yang letaknya berada di samping meja saji karena tempat duduk yang lainnya sudah penuh terisi. Tak lama kemudian Topan mengambil tempat duduk di samping kiriku. Terlihat anak-anak “Mentari Buana” yang lain telah menyantap sarapannya dengan lahap. Terlihat Kang Deden, anak Garut yang berbadan gemuk sedang menyantap mie rebus. Wajahnya terlihat berkeringat karena menyantap mie yang panas. Kang Deden menempati kamar yang terletak di sayap kanan lantai atas. Dia kakak tingkatku di jurusan arsitektur. Orangnya ramah dan suka bercanda. Sangat enak sebagai teman ngobrol. Disampingnya ada Uda Kamal, anak Padang yang kuliah di teknik sipil, sedang sibuk mengaduk-aduk es tehnya. Uda, begitu kami memanggilnya, seangkatan dengan Kang Deden. Kamarnya terletak di sayap kanan lantai bawah. Berbeda dengan Kang Deden, Uda agak pendiam orangnya. Tapi menurutku, Uda paling pintar se-kost-kostan. Dia sering menjadi asisten dosen sejak duduk di semester dua. Lalu diseberang mereka berdua ada Mas Unang dari Surabaya dan si Hasan dari Makassar. Kamar Mas Unang dan Hasan berada di belakang rumah induk. Mereka berempat tampak sedang asyik ngobrol sambil menyantap sarapannya masing-masing.

Seketika Mamah Rini datang menghampiri sambil membawa teh hangat pesananku. Umurnya sekitar empat puluhan. Rambutnya ikal agak beruban. Beliau sifatnya sangat keibuan, care banget sama anak-anak kost. Kadang beliau nggak segan-segan “ngerokin” anak kost yang sedang masuk angin. Kami dianggap seperti anaknya sendiri. Itu sebabnya kami memanggil beliau dengan panggilan Mamah Rini.
“Makasih, Mah. O ya, tadi Dik Ira udah nungguin Mas Dody di serambi rumah, sudah siap berangkat sekolah.”
“Jam berapa sih sekarang?”
“Udah jam delapan lewat lima belas, Mah.
“Begitu, ya, makasih deh Is, nanti Mamah sampaikan sama Mas Dody.”
Mamah Rini pun berlalu, kembali sibuk melayani pesanan minum dari pelanggan warung yang lain.

Tiba-tiba Kang Deden menyapaku. “Hey Is, komputer kamu nanti malam dipakai nggak? Aku mau pinjam buat nerusin Football Manager-nya, tangguh nih, udah hampir selesai musimnya.”
“Kelihatannya nanti malam sampai jam sembilan nganggur tuh. Semua tugas kuliah udah kelar. Sok kalau Kang Deden mau pakai. Emang kurang berapa pertandingan lagi, Kang?”
“Masih sisa tiga pertandingan lagi, mungkin masih ada peluang Liverpool juara kalau menang terus.”
“Emang sekarang peringkat berapa, Kang?”
“Peringkat dua, selisihnya cuma empat poin di bawah Arsenal.”
Di kost-kostanku memang lagi demam main game PC Football Manager, sebuah permainan simulasi sepakbola yang mengharuskan kita menjadi seorang manajer atau pelatih sebuah tim. Malah sekali-kali kita main secara multiplayer, hingga kadang-kadang sampai shubuh baru kelar. Mas Dody pernah marah-marah sama anak-anak kost, soalnya tagihan listriknya jadi membengkak dua kali lipat. Akhirnya anak-anak pun patungan buat bayar rekening listriknya, termasuk aku.

Ketika aku hampir selesai menyantap sarapanku, seorang bule berkacamata bulat dengan rambut gondrong keriting sebatas bahu berwarna coklat, dan membawa sepiring nasi penuh lauk duduk di samping kananku. Dia anak Institut Seni Indonesia Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan ISI Solo tingkat tujuh yang ambil Jurusan Musik Pertunjukan. Kampus ISI bersebelahan dengan kampusku. Bule ini namanya David. Aslinya dari Manchester, Inggris. Wajahnya mirip dengan John Lennon dari band The Beatles, itu sih kalau dilihat dari Monas. Sorry, David. Just kidding.
“Morning, Isma.” David menyapaku ramah.
“Morning, David. How are you?” Aku pun balas menyapanya dengan bahasa Inggrisku yang kurang begitu lancar.
“Not very good, I’ve a little cold.”
“O ya, Why?”
“Last night, I am sopping with rain.”
“Have you drink a medicine?”
“Yes, I have, but it’s not help me much.”
“You must try to drink this.” Kataku sambil menunjuk menu kopi jahe hangat yang ada di depanku.
David pun akhirnya mengikuti saranku. Dia segera memesan segelas kopi jahe hangat pada Mamah Rini. Setelah pesanannya datang, dia pun segera meminumnya hampir separuh gelas. Sampai akhirnya dia bersendawa cukup keras sehingga semua orang yang ada di warung terkejut dan menengok kepadanya.
“Sorry, I’m sorry.” David pun segera minta maaf, sadar akan kekurang sopanannya. Dasar bule!
“Feeling better ?” tanyaku kemudian.
“Yes, I feel warm. Thanks, Isma.”
“You’re welcome, David.”
Wajah David pun terlihat sedikit lebih segar sekarang. Nggak pucat kaya tadi. Dia pun segera melahap sarapannya yang dari tadi dicuekin.
“Do you still play music with your band, Isma?” tanyanya tiba-tiba sambil mulutnya menggigit tempe goreng.
“Sure. ”
“How’s your guitar’s skill now?”
“Better than last mont. It’s cause of you, David. You teach me very well.”
“With my pleasure. I’m glad to hear that. “
“David, I have a one request.”
“What’s that?”
“Can you show me one more time about advanced guitar’s technique like tipping technique?”
“Sure. Give me your guitar but i finish my breakfeast first.”
“OK, wait a minute.”

Aku pun segera bergegas kembali ke kost untuk mengambil gitar kesayanganku yang ada di kamar. Gitar akustik Yamaha Klasik warna kayu itu kubeli sendiri waktu aku masih SMU. Waktu itu aku membelinya dengan uang sakuku sendiri yang kusisihkan sedikit demi sedikit.
Karena terlalu bersemangat ketika aku masuk kamar untuk mengambil gitar, aku sampai nggak tahu kalau hasil cetakan makalahku udah kelar. Aku terburu-buru segera balik ke warung di mana David sudah menungguku untuk memberikan les gitar gratis. Sampai di warung, aku segera memberikan gitarku ke David yang sudah selesai melahap sarapannya. Setelah diraihnya gitarku dalam dekapannya, David pun mulai memainkan jemarinya di atas dawai gitarku. Jari-jarinya meliuk-liuk sangat cepat sehingga aku pun agak kesulitan untuk melihatnya. David pun menyadari dan dia agak melambatkan tempo supaya aku bisa melihat jari-jarinya yang panjang menari. Aku sangat serius mengikutinya.
Hampir tiga jam lamanya aku belajar gitar sama David. Hingga waktu Topan mengingatkanku kalau sebentar lagi sudah hampir jam sebelas siang, aku kurang menghiraukannya. Aku masih terlalu asyik memperhatikan David bermain gitar. Setelah beberapa menit, saat aku nggak sengaja melihat jam tangan yang di pakai sama David, sontak aku sangat terperanjat.
Astaghfirullah! Deadline pengumpulan makalah !!!
Karena panik, aku segera berlari meninggalkan David yang terbengong-bengong melihatku.
“Hey, Isma. What’s going on?”
“I’m sorry, David. I must go to campus. Please take care my guitar. See you later,“ teriakku sambil berlari-lari seperti orang kesurupan dan parahnya lagi aku sampai lupa membayar sarapannya.

0 comments:

Posting Komentar