Setelah terengah-engah berlarian, akhirnya aku sampai juga di depan kanopi gedung Jurusan Arsitektur. Kuberhenti langkahku sejenak untuk mengatur nafas yang masih ngos-ngosan tak beraturan. Kulihat jam tanganku menunjukkan jam sebelas lebih lima puluh lima. Celaka, tinggal lima menit lagi dari deadline pengumpulan tugas. Aku harus segera bergegas, takut nggak keburu. Tak menunggu lama, segera kuberlari menuju tangga yang terletak di ujung lobby gedung jurusan. Letak ruang dosen berada di lantai dua. Lumayan capek juga naik tangga.
“Kenapa kampusku nggak pakai lift aja sih,” umpatku.
Setibanya di lantai satu, kulihat Topan menuruni tangga berlawanan arah denganku. Dia melihat ke arahku dengan senyum yang mengejek. Sialan juga nih anak, kenapa tadi pas di warung aku nggak dikasih tau kalau udah mau deadline.
“Pan, tega loe sama teman. Kenapa tadi loe nggak ngasih tahu kalau udah hampir deadline,” umpatku.
“Yee, salah loe sendiri, gue tadi udah ngasih tau ke loe kalau udah jam sebelas, e…loe malah cuek aja, asyik main gitar sama si bule,” Topan membalas nggak kalah sengitnya.
Bener juga sih yang dia omongin. Memang aku tadi terlalu keasyikan bersama David sampai lupa waktu. David memang jago banget main gitarnya dan aku pun nggak bosan-bosan melihatnya.
“Lho, kok malah bengong, buruan! Sebentar lagi tugasnya mau di bawa pulang ama Pak Edy lho.”
“Ah, yang bener loe,” Sontak kusegera berlari menuju ruang dosen. Sampai di lantai dua, nafasku mulai kembang kembis. Dadaku terasa sesak sekali. Aku nggak peduli. Aku terus berlari, menuju ruangan Pak Edy. Kulihat teman-temanku terpaku melihatku seperti orang dikejar hantu. Mereka meledekku, mentertawai aku, bahkan ada juga ada yang nyukurin aku. Jahat bener tuh anak, temen susah malah disukurin. Sekali lagi aku nggak peduli, nggak peduli!
Sesampainya di ruang dosen, terlihat sebuah bayangan beranjak keluar dari ruang tempat pengumpulan makalah. Mati aku! Pak Edy sudah mau pulang. Tanpa pikir panjang, segera kuhadang langkahnya. Dan akibatnya, tentu Pak Edy jadi kesal dan marah sekali.
“Isma, apa-apaan kamu! Kenapa kamu menghalangi jalan Bapak, hah?”
“Maaf, Pak. Saya cuma mau ngumpulin tugas.” Kujulurkan tanganku yang memegang makalah kearah Pak Edy. Reaksi Pak Edy sungguh membuatku sangat deg-degan. Beliau hanya diam saja terpaku sambil memandangiku dengan tatapan mata yang tajam tanpa menghiraukan makalah yang kujulurkan padanya. Lama beliau seperti itu, mungkin sampai dua menitan. Aku nggak berani menatap matanya yang terus melotot kepadaku. Sereem banget! Akhirnya setelah sekian lama menatapku beliau hanya bisa geleng–geleng kepala.
“Isma, kamu tahu kan aturannya, ini sudah jam dua belas lewat satu menit dan kamu terlambat seperti biasanya! Jadi Bapak nggak bisa kasih toleransi lagi,” kata Pak Edy sambil menunjuk ke arah jam tangannya.
“Aduh, maaf Pak, kan cuma lewat satu menit, nggak papa kan Pak? Nih, jam saya aja masih jam dua belas tepat, jam Bapak tuh yang lebih cepat semenit.”
“Memangnya Bapak peduli.”
“Tolonglah, Pak.”
“ Pokoknya tetap nggak bisa. Titik!”
“ Please, Pak, please! Saya udah capek-capek ngerjain Pak, sampai nggak tidur semaleman, masa Bapak tega sih sama saya.”
“Itu bukan urusan Bapak.”
Aku terus mengiba kepada Pak Edy sampai tanganku seperti seorang abdi dalem keraton yang sedang menyembah pada rajanya. Tentu saja aku jadi tontonan gratis di ruangan dosen tersebut. Banyak teman-temanku yang tertawa melihat tingkahku. Dosen-dosen yang lain juga ikut-ikutan tersenyum melihatku. Duh, malunya! Apalagi adik-adik tingkat satu juga ada disitu. Mau ditaruh dimana mukaku nih. Tapi aku nggak ambil pusing, yang penting aku bisa lulus dari mata kuliah yang memusingkan plus membosankan ini. Tak lama kemudian, Pak Edy pun luluh dan mau menerima makalahku.
“Kali ini Bapak kasih kamu toleransi, tapi hanya sekali ini saja. Lain kali tidak ada ampun lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak.” Alhamdulillah, lega rasanya.
“Kalau Bapak tidak memandang otak kamu yang lumayan encer, mungkin Bapak tidak bisa kasih kamu keringanan. Is, sebenarnya apa sih masalahmu kok sering kali terlambat kalau ada tugas?” tanya Pak Edy.
“Eee… anu, Pak. Sebentar lagi akan diadakan festival band yang akan saya ikuti. Dan saya bersama dengan teman-teman sibuk mempersiapkan diri supaya nanti dalam festival bisa tampil dengan maksimal.”
“Kegiatan seperti itu sih boleh-boleh aja, itu kan kegiatan yang positif daripada kamu malah terjerumus ke dalam kegiatan-kegiatan yang negatif semisal pergaulan bebas hingga memakai drugs. Itu sangat dilarang!”
“Memang seharusnya begitu, Pak. Ngomong-ngomong, Bapak suka musik?”
“Asal kamu tahu, Is. Bapak dari dulu juga suka sekali mendengarkan musik. Band favorit Bapak dari jaman Bapak muda dulu adalah Koes Plus. Bapak setiap hari selalu mendengarkan lagu-lagunya di mobil Bapak. Khususnya lagu yang berjudul Hatiku Beku, itu lagu favorit Bapak. Tapi ingat, Isma! Kamu harus pintar-pintar bagi waktu. Jangan sampai kuliahmu terbengkalai karena terlalu asyik dengan kegiatan musik yang kau geluti.” Pak Edy pun mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya layaknya seorang bapak untuk menasehati anaknya. Aku pun hanya bisa manggut-manggut kaya kebo dicocok hidungnya.
“Iya, Pak, terima kasih buat nasehatnya.”
“Baiklah, sekarang Bapak pergi dulu, Isma. Tapi ingat! Jangan sampai kamu terlambat lagi.”
“Insya Allah, Pak. Akan saya usahakan.”
Pak Edy pun segera berlalu dari hadapanku. Tanpa malu-malu, kerebahkan pantatku di lantai sambil bersandar di dinding ruang dosen yang terbuat dari partisi kayu. Rasa capek yang kualami sungguh menyiksaku. Ditambah lagi pegal-pegal karena berlarian dari kost sampai ke kampus yang membuat betisku serasa ditusuk-tusuk. Kuhela nafas perlahan. Kuseka keringat yang mengucur di dahi dengan tanganku. Tiba-tiba selembar kain putih terpampang di depan wajahku.
“Nih, buat mengusap keringatmu.” Ada suara menyapaku. Kudongakkan wajahku. Rupanya temanku, Dewi mengulurkan selembar tissue padaku. Dewi berasal dari Klaten. Dia memakai kerudung warna putih tulang untuk menutupi rambutnya. Wajahnya oval dengan alis tebal dan senyum yang manis. Kulitnya agak kecoklatan dengan perawakan agak tinggi. Mungkin untuk kategori cewek dia termasuk jangkung. Hampir sama tingginya denganku.
“Thanks, kamu udah ngumpulin makalahnya, Wi?”
“Dari jam sebelas tadi. Emang kamu dari mana aja sampai terlambat begitu?”
Aku segera berdiri sambil membersihkan celana jeansku yang kotor oleh debu.
“Akhir-akhir ini aku sibuk sekali.”
“Kaya mau Pilkada aja, emangnya sibuk ngapain sih?”
“Pokoknya sibuk banget, biasalah, urusan band. Kamu ini mau tahu aja!”
“Yee kok malah sewot! Aku cuma pengin tahu aja, emang nggak boleh? Kalau nggak mau ngasih tau, nggak papa kok. Jo nesu tha.”
“Sorry deh, Wi. Aku masih capek nih, aku nggak marah kok sama kamu.”
“I understand, yo wis ra papa.” Ih, bahasanya Dewi emang sering nyampur-nyampur kaya gado-gado.
Sambil berjalan keluar dari ruang dosen, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Di layar LCD-nya terpampang nama Topan.
“Dari siapa, Is?” Dewi ikutan nimbrung.
“Dari Topan.”
Segera kuangkat,”Assalamu’alaikum. Ya, ada apa, Pan?”
Dari seberang sana terdengar suara Topan menjawab.
”Wa’alaikum salam, udah kelar belum urusan loe sama Pak Edy? Anak-anak udah nungguin nih di kantin Bu Suminah.”
“Emang ada apaan?”
“Yee, nih anak, udah pikun loe? Hari ini kan jadwal kita latihan band. Buruan! Kita tunggu nih.”
“Sorry, gue lupa. OK, gue segera turun, tungguin ya.”
“See you. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Telpon pun tertutup.
“Ada apaan, Is?” Dewi penasaran.
“Anak-anak udah nungguin di kantin Bu Suminah. Hari ini kita ada jadwal latihan band, kamu mau ikut turun ke kantin?”
“Boleh, lagi pula aku juga nggak ada urusan lagi disini, yuk.”
Aku dan Dewi pun segera meninggalkan ruang dosen.
Sebelum kami sampai di ujung tangga lantai satu, terdengar suara yang memanggilku dari belakang.
“Isma, tunggu aku!”
Aku segera menengok ke belakang. Dari balik dinding muncul sosok yang sangat kukenal berlari ke arahku. Rupanya si Arif, anak Temanggung, dengan rambutnya yang gondrong dikucir. Tubuhnya atletis dengan kulit yang putih bersih seperti anak cewek. Dia sedang berlari menghampiriku.
“Kamu di calling juga ama si Topan, Rif? Katanya anak-anak sudah pada ngumpul di kantin.”
“Iya, setelah ngumpulin makalah, tadi aku disuruh menghadap sama dosen Pembimbing Akademisku dulu, katanya sih mau dimintain tolong bikin gambar perspektif untuk pembuatan proposal proyek Pusat Perbelanjaan yang lokasinya di Salatiga.”
“Wah, lumayan dong, bisa dapat tambahan uang jajan nih, kita-kita ditraktir ya,” Dewi yang dari tadi diam ikutan ngobrol.
“Kamu ini, Wi! Belum apa-apa kok udah ngomongin duit. Nanti kalau udah pasti proyeknya, beres lah.”
“Janji ya!”
“Beres.”
“Kalau urusan makan-makan ditunda dulu. Anak-anak udah nunggu tuh di kantin, yuk cepetan dikit,” sahutku memotong obrolan.
Kami bertiga pun segera bergegas menuruni tangga menuju kantin Bu Suminah. Kantin Bu Suminah tidak jauh letaknya dari gedung jurusan. Paling-paling cuma dua puluh meter si sebelah utara gedung. Tempatnya sangat nyaman sebab bangunannya sengaja dibuat terbuka. Cuma pakai pembatas dinding dari gedheg setinggi satu meter aja mengelilingi kantin sehingga semilir angin masih bisa masuk ke dalam.. Belum lagi disekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang sehingga terasa teduh. Jadi enak kalau buat tempat ngobrol sambil ngemil mendoan, yaitu makanan yang terbuat dari tempe goreng yang dilapisi tepung berbumbu. Dari kejauhan, tampak Topan melambaikan tangannya. Kami bertiga pun segera menghampirinya. Disitu rupanya telah ada Danny, Manto, Agus, Liana dan Yanti. Mereka semuanya teman seangkatanku di jurusan arsitektur. Mereka menempati satu meja besar yang berada di ujung kantin. Terlihat masih ada beberapa kursi yang kosong sehingga kita bertiga pun segera bergabung dengan mereka.
“Kemana aja loe, Is? Kita udah nungguin dari tadi nih, dimarahin lagi ya ama Pak Edy? Syukurin loe, makanya jangan dipelihara kebiasaan telat loe, bikin repot aja. “ Danny membuka obrolan.
Danny berasal dari Jakarta sama seperti si Topan.. Tubuhnya tinggi besar dengan perawakan kekar serta potongan rambut cepak ala TNI. Dia sangat hobi dengan fotografi, sehingga kamera lengkap dengan aksesorisnya kemana-mana selalu tersedia di dalam tas ranselnya. Kadang-kadang dia sering pula menggelantungkan kamera tersebut dipundaknya. Nggak jauh beda sama tukang foto keliling.
“Sorry, Dan! Emangnya gue seneng telat terus kaya gini? Loe tahu sendiri kan, kegiatan kita padat sekali. Kalau tadi sih memang salah gue. Gue terlalu asyik ngejam ama temen gue, so jadi nggak ingat waktu, “ jawabku.
“Makanya kalau ada teman ngingetin, didengerin, jangan dicuekin.“ Topan ikutan nimpalin.
“Sorry, Sorry.” Aku serasa jadi terdakwa nih digugat rame-rame.
“OK, kita jangan obrolin masalah itu lagi, sekarang jadi nggak nih latihannya? Tuh udah hampir jam satu, kalau telat, bisa-bisa dimarahin sama Mas Deny!“ Tiba-tiba Manto memotong obrolan.
Manto berasal dari Jogja. Sebenarnya orangnya agak pendiam. Tubuhnya kurus dengan model rambut yang mirip dengan si Arif. Cuma dia memakai kacamata dan lebih pendek serta lebih hitam dari si Arif.
“Gus, kamu ikutan kita nggak?” Aku bertanya kepada Agus yang dari tadi sibuk baca buku komik.
“Ah, males, hari ini aku ada acara sama anak-anak himpunan, mau bahas laporan pertanggung jawaban tahunan, lain kali aja deh aku ikut,“ jawab Agus.
Agus berasal dari Semarang. Anaknya agak kutu buku dan dia juga berkacamata seperti si Manto. Dia juga termasuk salah satu pengurus himpunan mahasiswa arsitektur. Jabatannya wakil ketua himpunan. Anaknya memang sangat menyukai kegiatan berorganisasi. Tubuhnya paling kecil di antara kami tapi jangan ditanya dandanannya, selalu fashionable abis. Setiap hari tampilannya selalu modis. Mungkin suatu hari dia pengin jadi model.
“Aku juga nggak ikutan, aku mau balik ke kost aja, capek nih mau istirahat, semalam kan aku kurang tidur sehabis ngerjain makalah.” Dewi menyahut.
“Kalau kalian gimana?” tanyaku kepada Liana dan Yanti.
Kedua cewek yang kutanya ini masing-masing berasal dari Boyolali dan Salatiga. Wajah mereka sama-manis. Mereka juga agak tomboy. Bedanya, Liana berkerudung sedangkan Yanti membiarkan rambutnya yang kemerahan tergerai panjang nggak teratur. Kemeja panjang kotak-kotak yang dibiarkan tidak dikancing dan digulung lengannya sebatas sikut dipadu kaos hitam di dalamnya selalu melekat ditubuhnya yang seksi sebagai baju kebesarannya. Hobinya mendaki gunung dan panjat dinding! Pokoknya beda jauh deh ama si Dewi yang feminim. Kalo Liana tampak memakai blus warna hitam dengan dipadu kerudung dan celana putih sehingga terlihat anggun.
“Lain kali saja, aku ada janjian sama anak-anak Ajusta Brata siang ini,” jawab Yanti. Ajusta Brata adalah nama klub pecinta alam Fakultas Teknik UNS.
“Maaf, aku juga tidak bisa. Aku ada urusan mendadak di rektorat. O ya, kalian jadi ikutan festival minggu depan?” sahut Liana.
“Jadi dong, makanya kita akhir-akhir ini sibuk latihan buat persiapan festival, siapa tahu kita bisa menang, ya nggak Is?” Topan menimpali.
“Insya Allah, soalnya ini festival besar yang pertama kali kita ikuti. Mudah-mudahan bisa juara satu.”
“Amin,” Teman-temanku menjawab serempak.
“Hadiahnya juga lumayan gedhe. Juara satu bisa dapat uang sepuluh jutaan, belum lagi masih ada pemilihan player terbaik. O ya, katanya gitaris terbaik hadiahnya dapat gitar Gibson Lespaul yang loe penginin, Is,” kata Danny.
“Yang bener loe, Dan? Gue memang pengin banget punya gitar model itu. Soundnya menurut gue paling yahud dibandingkan gitar-gitar yang lain. Sekarang ada kesempatan mendapatkan secara gratis, nggak akan gue sia-siain deh,” Aku sangat bersemangat sekali. Aku pun berkhayal seandainya aku bisa mendapatkan gitar yang lama kuinginkan itu, mungkin impianku selama ini dapat cepat terwujud.
“Kalau gitu, yuk, cabut! Mobil gue tuh udah gue parkir di sana,” kata Danny sambil menunjukkan mobil jenis SUV warna hitam miliknya yang diparkir di sebelah kantin. Danny memang anak orang berduit. Dia yang paling tajir di antara kami. Di Solo saja dia mengontrak rumah di tengah kota yang dia pakai sebagai tempat tinggal.
Setelah membayar makanan dan minuman ke kasir, kami berlima segera beranjak meninggalkan kantin menuju ke arah mobilnya Danny. Kami pun berpisah dengan Agus, Dewi, Liana dan Yanti.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke handphoneku. Pengirimnya dari orang yang kukenal dan selama ini aku memang dekat dengannya.
“Dari siapa, Is?” Topan bertanya kepadaku.
“Dari Viola.”
“Duh, yang udah kangen, nggak sabaran banget sih si Viola.”
“Ngacau loe, siapa yang kangen? Nih, pesannya kita disuruh cepetan. Mas Deny udah marah-marah nungguin kita tuh, yuk buruan.”
Setelah semuanya masuk ke mobil, kami pun segera meluncur menuju studio tempat latihan yang letaknya lumayan jauh juga dari kampus, tepatnya sih di daerah Solo Baru. Selama perjalanan menuju ke studio, aku coba untuk memejamkan mataku sejenak, mengosongkan pikiranku, menerawang ke masa-masa dulu, ke masa di mana aku memulai perjalanan ini dan bertemu dengannya pertama kali. Bertemu dengan Viola …
Bersambung...
skip to main |
skip to sidebar
Kamis, 22 Januari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



1 comments:
ini cerita bersambung pertamaku judulnya the journey......rencananya ada 3 chapter. Lagu untuk Viola, Nada yang Hilang dan Akhir Perjalanan.
Posting Komentar