Minggu, 22 Februari 2009

Solo City Walk

P emandangan di sisi jalan protokol kota Solo sekarang tampak berbeda. Di sepanjang salah satu sisi dari jalan Slamet Riyadi, tepatnya di mulai dari perempatan Purwosari hingga perempatan Nonongan, terbentang pedestrian yang asri yang orang Solo sering menyebutnya "City Walk". Pedestrian ini juga dilengkapi oleh berbagai macam street furniture seperti bangku taman, lampu taman, tempat sampah serta shelter-shelter guna memanjakan para pejalan kaki yang melintas. Rencananya, fasilitas hotspot juga akan dipasang di area ini.





Solo Gladhag Langen Bogan ( Galabo )

Pengin mencari makanan khas Solo? Coba kunjungi Gladhag Langen Bogan ( Galabo ), pusat wisata kuliner di sepanjang jalan Mayor Sunaryo Solo. Semuanya tersedia lengkap di sana.





Senin, 16 Februari 2009

Bag10 - Penantian ( Chap. Lagu untuk Viola )

”Apa lo bilang? Lo mau menikah dengan Viola sekarang juga? Gue nggak salah denger nih?” tanya Topan.
”Benar, Pan. Aku mau menikahi Viola.”
”Kamu benar-benar yakin akan keputusanmu, Is?” Manto ikutan bertanya.
”Aku sangat yakin, To. Lagi pula ini permintaan Viola. Demi kesembuhannya, aku rela melakukan apa saja untuknya. Aku sangat mencintainya. Kalian tahu itu. Bagaimana menurut Mas Deny? Apakah Mas merestui kami?”
”Kalau memang itu yang terbaik untuk kalian berdua, apalagi ini adalah permintaan Viola, adik kandungku satu-satunya. Tentu Mas sangat merestuinya. Mas akan urus semua secepatnya. Mas punya kenalan seorang ustadz yang bisa menikahkan kalian berdua. Namanya Ustadz Muchtar. Mas akan segera menghubungi beliau supaya pernikahan ini dapat cepat terlaksana. Kalau bisa acara akad nikah kalian kita laksanakan besok sekitar jam delapan pagi.”
”Mengenai cincin kawin, gimana Mas? Mas tahu sendiri kalau aku belum mampu membelinya. Kalau untuk mas kawin aku masih ada sedikit sisa tabungan yang bisa kugunakan untuk membeli Kitab Suci Al-Quran beserta seperangkat alat sholat.”
”Jangan khawatir, semuanya Mas yang akan urus. Kamu tenang saja, Is.”
”Tapi, Mas. Aku merasa nggak enak kalau semuanya Mas yang membelikan. Bagaimana kalau mas kawinnya aku yang membeli sendiri dengan hasil jerih payahku selama ini. Itu membuat diriku merasa lebih bertanggungjawab.”
”Kalau itu maumu, Mas nurut saja.”
”Terima kasih, Mas. Atas semuanya. Budi baik Mas, Allah SWT yang akan membalasnya.”
”Amin. Kamu nggak perlu sungkan padaku, Is. Kamu kan calon adik iparku. Sekarang Mas mau menghubungi Ustadz Muchtar dulu. O ya, bukankah kamu belum memberitahukan rencana pernikahan ini dengan orang tuamu? Apa mereka juga merestui?”
”Memang belum, Mas. Tapi setelah ini aku segera menghubungi beliau berdua di Wonosobo. Semoga mereka dapat mengerti dan merestui pernikahan kami. Aku juga berharap keluargaku semua bisa hadir di akad nikahku besok.”
”Baiklah, kamu yang atur. Sekarang Mas tinggal dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Baik, Mas. Wa’ alaikum salam. Sekali lagi terima kasih atas semuanya.”

Mas Deny berlalu dari hadapanku. Dia terlihat sedang menghubungi seseorang dengan handphonenya. Mas Deny mungkin sedang bicara dengan Ustadz Muchtar yang nantinya akan menjadi penghulu di pernikahan kami.
”Is, apa yang bisa kami bantu untukmu?” tanya Danny.
”Iya, Is. Apa yang harus kami lakukan untuk membantu acara pernikahanmu?” tanya Arif pula.
”Begini saja. Kalian berdua tolong belikan Kitab Al-Quran yang terbaik beserta seperangkat alat sholat yang paling bagus. Kalau nggak salah, di daerah Kauman banyak yang menjualnya. Kalian beli pakai uang kalian dulu. Soalnya aku nggak bawa uang cash yang banyak didompetku. Nanti aku ganti.”
”Kami berdua gimana, Is?” Manto bertanya padaku.
”To, tolong kabari teman-teman di kampus kalau besok aku akan menikah. Kalau bisa mereka datang kemari. Pak Edy kau undang juga. Aku ingin wakil dari dosen kita turut menjadi saksi atas pernikahanku. Kalau kamu, Pan. Tolong kabari Mas Dody serta Mamah Rini. Besok sekalian beliau berdua kau undang untuk menghadiri akad nikah besok pagi jam delapan.”
”Beres, Bos. Aku sekalian saja ikut mobilnya Danny pulang ke kost.”
”Aku juga ikut numpang ya ke rumah Pak Edy.”
”Kalau begitu, kami segera berangkat.”
”O ya, Dan. Jangan lupa belikan aku baju koko beserta pecinya sekalian. Akan kupakai nanti di acara akad nikah.”
”Baiklah, kami semua pergi dulu, Assalamu’ alaikum.”
” Wa’ alaikum salam, terima-kasih atas bantuannya, teman-teman.”
”Sama-sama. Itulah gunanya teman, Is.”
Mereka berempat segera pergi meninggalkan diriku.

Setelah mereka sudah tidak terlihat dari hadapanku, aku segera memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuaku. Mereka pasti akan sangat kaget mendengar berita ini. Kutarik nafsku dalam-dalam. Kemudian aku keluarkan dengan perlahan. Kumantapkan hatiku sebelum kumeraih handphone yang ada di saku celanaku. Segera kutekan nomer telepon rumahku yang berada di Wonosobo.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
Tidak ada yang mengangkat. Apakah beliau berdua belum pulang? Apakah Bapak dan Ibuku sedang bepergian? Dimana Arfi dan Nadia, kedua adik perempuanku. Kucoba menekan nomer telepon rumahku kembali.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
”Halo, Assalamu’ alaikum.” Terdengar suara di seberang sana. Kurasa itu suara Nadia, adik bungsuku.
”Wa’ alaikum salam. Ini Nadia, ya. Apa kabarmu sekarang, adikku?”
” Mas Isma ya? Wah, Mas lama nggak telpon kemari. Nadia sudah kangen nih sama Mas. Mas kapan pulang kemari?”
”Mas juga kangen dengan kalian semua. Tapi Mas belum bisa pulang karena Mas masih ada urusan yang harus Mas selesaikan disini. Nadia, Bapak dan Ibu kemana?”
”Kalau Bapak masih di kantor Kecamatan, Mas. Katanya masih ada rapat mengenai pengalokasian dana bantuan pemerintah untuk masyarakat kecil. Kalau Ibu ada di dapur.”
”Kakak kamu di mana?”
”Kalau Mbak Arfi sekarang ada di masjid dekat rumah, sedang mengajar di TPA sampai maghrib.”
”Boleh Mas bicara dengan Ibu?”
”Nadia panggilkan dulu ya Mas. Teleponnya Nadia tutup dulu ya, biar Mas bayarnya nggak mahal. Nanti Mas bisa telpon lagi.”
”Cepetan ya, Dik.”
Telepon pun tertutup. Seingatku, pesawat telepon rumahku berada di ruang tengah, sedangkan dapur terletak terpisah di belakang. Jaraknya memang agak jauh, sekitar 10 meter lebih.
Setelah kurasa Ibu sudah sampai di dekat telepon, segera kuhubungi beliau.
”Assalamu’ alaikum. Ibu?”
”Wa’ alaikum salam. Isma? Lama kamu tidak menelpon Ibumu atau Bapakmu disini. Apakah kamu sudah melupakan kami, Nak?”
”Maafkan Isma, Bu. Bukannya Isma melupakan Bapak dan Ibu. Isma selalu kangen dengan Bapak dan Ibu, juga dengan adik-adik. Tapi karena suatu hal, Isma belum bisa pulang.”
”Ada apa, anakku? Berita apa yang hendak kamu sampaikan kepada Ibumu?”
”Begini, Bu. Sebelumnya Isma mau minta maaf kepada Ibu dan Bapak. Karena Isma belum sempat menceritakan kegiatan Isma selama ini di Solo. Sebenarnya Isma ingin membuat kejutan untuk Bapak dan Ibu. Tapi karena suatu hal, Isma terpaksa bercerita lebih awal kepada Ibu. Mungkin Isma anak yang kurang berbakti.”
”Sebenarnya ada apa tho, Nak? Mengapa kamu sampai minta maaf segala kepada Ibu dan Bapakmu?”
”Bu, besok .... sekitar jam delapan pagi, Isma akan menikah, Bu.”
”Masya Allah, menikah? Apakah Ibu tidak salah dengar, Nak?”
”Tidak, Bu. Ibu tidak salah dengar. Insya Allah, besok pagi saya akan menikah.”
”Apakah kamu sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh agamamu sehingga kamu memutuskan untuk menikah sedini ini, anakku?”
”Tidak, Bu. Isma masih ingat dengan Allah SWT. Isma masih menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya seperti yang selalu Ibu pesankan padaku. Jangan Ibu su’uzan kepadaku. Justru Isma melakukan hal itu karena cinta Isma kepada Allah, Bu.”
”Apa maksud dari perkataanmu, Nak? Ibu masih belum mengerti.”
”Begini, Bu. Isma akan ceritakan semuanya.”
Aku segera bercerita kepada Ibu tentang Viola. Dari ketika aku pertama kali bertemu dengan Viola, hingga cerita tentang aku dan Coffeemilk, tentang pekerjaanku di StarMusikindo, tentang penyakit yang diderita Viola, dan yang terakhir tentang rencana pernikahanku dengan Viola. Semua kuceritakan sedetil-detilnya kepada Ibu tanpa ada yang terlupa.
Kudengar di seberang sana, Ibu agak terisak mendengar ceritaku. Kurasa Ibu mengerti akan alasanku melakukan semuanya. Dari dulu Ibu memang seorang yang bijaksana.
”Nak, Ibu sekarang mengerti alasanmu mengapa kamu ingin segera menikah.”
Kudengar Ibu mulai menangis sesenggukan. Suaranya terdengar bergetar di telingaku.
”Jadi Ibu merestuiku?”
”Kalau menurutmu itu yang terbaik buat kamu dan Neng Viola, Ibu merestui kalian.”
”Terima kasih, Bu. Lalu bagaimana dengan Bapak?”
”Nanti biar Ibu yang akan menjelaskannya kepada Bapakmu.”
”Apakah Bapak merestuiku juga, Bu?”
”Meskipun Bapakmu wataknya keras, sesungguhnya hatinya sangat lembut. Beliau akan luluh setelah mendengar ceritamu. Asalkan tidak bertentangan dengan agama dan norma-norma yang berlaku, Bapak juga akan merestuimu, anakku.”
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu serta adik-adik bisa kan besok sampai ke Solo untuk menghadiri akad nikahku?”
”Tadi jam berapa akad nikahnya?”
”Jam delapan pagi, Bu. Tempatnya di RS PKU Muhammadiyah Solo.”
”Insya Allah, Nak. Kami akan datang. Nanti Ibu segera bicara dengan Bapakmu begitu beliau datang dari kantor. Kalau masih sempat, malam ini juga kami akan berangkat ke Solo untuk mempersiapkan pernikahanmu.”
”Terima kasih, Bu. Isma sayang dengan Bapak dan Ibu, juga Dik Arfi serta Dik Nadia. Hati-hati di jalan ya, Bu. Isma tunggu di sini. Sekarang Isma pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Semoga Allah selalu bersamamu, anakku.”
Telepon pun tertutup.

O ya, ada seseorang lagi yang harus kumintakan restunya. Ya, beliau adalah Eyang Lastri. Beliau harus datang di akad nikahku besok.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, segera kutekan nomer telepon rumah Eyang Lastri.
Tuts ..., tuts ..., tuts ...
”Halo. Assalamu’ alaikum. Cari siapa ya?” Terdengar suara Putri dari seberang sana.
”Wa’ alaikum salam. Putri, ini dari Kak Isma.”
”Wah, Kak Isma. Putri udah kangen nih ama Kakak. Kakak kemana aja sih? Kok nggak pernah main lagi ke rumah Putri. Ke tempat warungnya Eyang juga jarang.”
”Maafin Kakak, Put. Insya Allah nanti Kakak akan main lagi ke rumah Putri.”
”Sekalian ajak Kak Viola ya.”
”Iya deh. Nanti Kakak sama Kak Viola barengan ke rumah Putri. O ya, Put. Eyang masih di rumah kan, belum pergi untuk buka warung?”
”Belum, Kak. Eyang masih di rumah. Nanti jam 5 baru pergi ke warung. Kakak mau bicara sama Eyang?”
”Iya, Put. Tolong ya.”
”Sebentar ya Kak. Putri panggilkan Eyang dulu. Eyang .. Eyang!!! Ada telpon dari Kak Isma nih.” Terdengar Putri berteriak memanggil Eyangnya.
Beberapa detik aku menunggu. Akhirnya Eyang Lastri mengangkat teleponnya.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’alaikum salam. Ini Isma, Eyang”
”Oh, Nak Isma. Kabarnya baik-baik saja? Tumben telpon ke rumah Eyang. Ada perlu sama Eyang?”
”Iya, Eyang. Saya baik-baik aja. Ada yang mau saya bicarakan dengan Eyang.”
”Sekarang Nak Isma ada di mana?”
”Eee,..sekarang saya berada di rumah sakit, Eyang.”
”Di rumah sakit? Nak Isma sakit apa? Apakah sakitnya parah sampai Nak Isma di bawa ke rumah sakit?”
”Bukan saya yang sakit, Eyang. Viola yang dirawat di sini.”
”Hah, Neng Viola. Dia sakit apa, Nak Isma?”
Aku pun bercerita kepada Eyang Lastri bagaimana Viola bisa sampai dirawat di sini, juga tentang penyakit yang telah lama diderita Viola. Kuceritakan secara perlahan kepada Eyang Lastri supaya beliau bisa memahami. Seperti Ibu sewaktu mendengar ceritaku, Eyang Lastri terdengar sesenggukan di sana. Suaranya mulai terdengar bergetar di handphoneku.
”Masya Allah. Kasihan sekali Neng Viola. Padahal dia orangnya baik, cantik, ramah, dan periang. Tidak disangka kalau nasibnya akan seperti itu.”
”Karena itulah, Eyang. Atas permintaan Viola, saya akan menikahinya.”
”Nak Isma mau menikah dengan Neng Viola?”
”Insya Allah, Eyang.”
”Alhamdulillah, mungkin itu memang yang terbaik untuk Neng Viola karena dia akan mendapatkan seorang suami yang baik dan sholeh seperti Nak Isma.”
”Eyang jangan terlalu memuji saya.”
”Eyang bukannya memuji, tapi memang menurut Eyang, Nak Isma orangnya seperti itu.”
”Jadi Eyang merestui kami?”
”Sudah pasti Eyang merestui kalian. Apa hak Eyang melarang kalian menikah?”
”Makasih, Eyang. Kalau begitu saya harap Eyang berkenan menghadiri akad nikah kami besok pagi jam delapan.”
”Di mana tempatnya, Nak Isma?”
”Di rumah sakit PKU Muhammadiyah, Eyang.”
”Baik, Eyang besok pagi akan datang. Eyang akan ajak Putri sekalian.”
”Terima kasih banyak, Eyang. Kalau begitu sekarang Isma pamit dulu. Sampaikan salam saya untuk Putri. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Telepon pun ditutup.
Akhirnya aku merasa lega. Ibu telah merestui pernikahanku. Aku belum tahu pendapat Bapak. Tapi mudah-mudahan, Ibu bisa menjelaskan semuanya dengan bijak kepada beliau dan Bapak akhirnya merestuiku juga. Eyang Lastri juga telah merestui. Semua orang yang kuhormati telah merestuiku untuk menikahi Viola besok. Siapa lagi kiranya yang harus kumintakan restunya?

Sinar mentari telah meredup di ufuk barat. Langit tampak berwarna kemerahan. Burung-burung tampak terbang bertebaran mencari jalan pulang ke sangkarnya masing-masing. Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba. Hembusan hawa dingin seketika menyapu wajahku. Menyibakkan rambutku yang tampak mulai kusut. Kemejaku yang sudah lusuh pun turut tersibak sehingga aku sedikit menggigil kedinginan.
Tiba-tiba handphoneku berdering.
Kubaca alamatnya yang terpampang di layar LCD. Kulihat telepon berasal dari rumahku di Wonosobo. Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkatnya.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Ini Bapak, Nak.”
”Oh, Bapak. Sudah pulang dari kantor, Pak?”
”Sudah. Bapak hari ini ada rapat di Kecamatan. Jadi pulangnya agak sorean. Ketika Bapak sampai ke rumah, Ibumu telah menanti dan berkata pada Bapak kalau kamu barusan telpon kemari. Terus Ibumu juga sudah berbicara kepada Bapak tentang rencana pernikahanmu. Terus terang Bapak sangat kaget tadinya. Bapak sedikit emosi dan menuduh kamu telah berbuat yang tidak-tidak. Untung Ibumu orangnya sabar dan bijak. Dia menjelaskan dengan perlahan kepada Bapak alasanmu melakukan itu semua secara detail. Dan terus terang, Bapak menjadi bangga sekaligus khawatir denganmu.”
”Apa yang Bapak khawatirkan?”
”Kamu kan sebagai anak sulung dan laki-laki di sini. Kamu nanti yang akan menggantikan posisi Bapak kelak. Kamu masih mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap adik-adik perempuanmu yang masih sekolah. Kalau kamu menikah nanti, tanggung jawab kamu akan bertambah. Kamu harus bisa menafkahi istrimu dan juga nanti anak-anakmu. Sebagai kepala keluarga, kamu harus bisa memberi mereka penghidupan yang layak. Apakah kamu sudah mempertimbangkannnya masak-masak, anakku?”
”Iya, Pak. Pertama kalinya Isma juga khawatir seperti Bapak. Isma takut kalau nantinya tidak bisa melaksanakan tanggung jawab yang besar itu. Tapi setelah Isma meminta petunjuk dari Allah dan demi cinta Isma yang tulus kepada calon istri Isma, akhirnya Isma memperoleh kekuatan untuk berani mengambil keputusan itu, Pak. Dan Insya Allah, Isma mampu.”
”Kalau kamu sudah mantap seperti itu, sebagai orang tua Bapak hanya bisa merestuimu.”
”Terima kasih, Pak. Isma sangat mengharapkan restu Bapak.”
”O ya, sekarang Bapak dan Ibumu serta adik-adikmu telah bersiap-siap berangkat ke Solo. Kami akan berangkat sekarang juga mumpung masih ada bus yang akan menuju ke Solo. Adik-adikmu tadi juga sempat terkejut mendengar beritamu. Terlebih si Arfi. Dia tadi disusul oleh Nadia ke TPA di masjid belakang rumah untuk segera pulang. Begitu sampai di rumah dan mendengar kalau kakaknya akan menikah, dia sempat terkejut sekali. Dia bingung dan terus-menerus nggak percaya apa yang Ibumu katakan padanya. Tapi setelah Bapak ikutan menjelaskan, dia kemudian terlihat menangis bercampur dengan bahagia dan dia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan kakaknya. Dia lah yang minta agar segera berangkat ke Solo saat ini juga.”
”Kalau begitu, Bapak dan Ibu serta adik-adik kemungkinan tiba di Solo kira-kira jam sepuluh malam jika berangkat saat ini juga.”
”Kira-kira begitulah, Nak.”
”Nanti Isma akan jemput di Terminal Tirtonadi, Pak. Bapak, Ibu dan adik-adik hati-hati di jalan.”
”Baiklah. Sekarang Bapak mau siap-siap dulu. Takut nanti terlambat sampai terminal. Sudah dulu ya, Is. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Bapak pun menutup telponnya.

Begitu handphone kumasukkan ke saku celanaku, Mas Deny datang menghampiriku.
”Is, kamu sudah menghubungi orang tuamu? Apakah mereka telah merestui pernikahanmu?”
”Sudah, Mas. Mereka merestui, bahkan mereka akan datang malam ini juga.”
”Jam berapa mereka datang.”
”Kira-kira jam sepuluh malam nanti di Terminal Tirtonadi, Mas.”
”Baik, nanti kita barengan jemput mereka.”
”Biar aku saja, Mas. Nanti Viola nggak ada yang menjaga. Lagi pula aku bisa jemput dengan Danny atau anak-anak yang lain.”
”Terus mereka mau menginap di mana?”
”Biasanya mereka menginap di tempat kostku.”
”Mas nggak setuju kalau mereka harus menginap di tempat kostmu. Kasihan mereka. Kost-kostanmu kan jauh dari sini. Menurut Mas, mendingan mereka menginap di hotel dekat sini. Bisa di Sahid atau di Novotel. Biar nanti Mas yang urus biayanya.”
”Aku jadi merepotkan Mas terus, nih.”
”Seperti yang tadi kubilang. Kamu jangan pernah sungkan lagi pada Mas. Keluargamu kan nantinya akan menjadi keluarga Mas juga. Orang tuamu juga nantinya akan menjadi orang tua Viola juga. Jadi sudah menjadi kewajiban Mas menghormati mereka.”
”Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas terhadap keluargaku.”
”Sekarang gimana menurutmu? Mereka mau menginap di Sahid atau Novotel?”
”Sama aja, Mas. Terserah. Jarak keduanya dari sini sama jauhnya.”
”Kalau begitu di Novotel saja. Soalnya Mas biasanya menginap di sana kalau pas ada acara atau ketemu teman-teman dari Jakarta. Di sana, Mas bisa mendapat potongan harga. Nanti Mas booking kan dulu kamarnya.”
”Begitu lebih baik, Mas.”
”O ya, tadi Mas sudah contact ke Ustadz Muchtar. Beliau telah bersedia untuk menikahkan kalian besok pagi. Beliau juga sudah mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk KUA nanti. Tadi Mas juga sudah mempersiapkan cincin kawin untuk kalian. Dan ini sepasang cincinnya. Kamu bisa memasangkan ke jari manismu dan jari Viola untuk melihat apakah ukurannya sudah pas apa belum?”
Mas Deny menyerahkan sebuah kotak berwarna merah yang berisikan sepasang cincin emas bermatakan berlian yang berkilau padaku.
Aku menerimanya dengan tangan yang bergetar.
”Kalau begitu, aku ke kamar Viola dulu Mas untuk mencobakan cincin ini padanya.”
Mas Deny mengangguk.
Aku segera berlari ke ruang ICU menuju kamar Viola. Sesampainya di sana, kulihat Dik Ira masih menemani Viola yang terbaring di ranjangnya.
Melihatku masuk, mereka berdua menoleh kepadaku.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam,” jawab mereka serempak.
”Dik Ira masih disini? Mas kira tadi ikut Topan pulang ke Mentari Buana.”
”Ira pengin nemenin Mbak Viola dulu. Nanti pulangnya sekalian dengan Mamah dan Papah. Mereka tadi SMS, bilang ke Ira kalau sehabis maghrib mereka akan menjenguk Mbak Viola kemari.”
”Mbak jadi merepotkan kalian semua.”
”Nggak papa, Mbak. Mbak nggak usah mikir yang macam-macam dulu.”
”O ya, Vi. Tadi Mas Deny sudah mempersiapkan cincin kawin untuk pernikahan kita besok.. Sekarang cincinnya kubawa kemari. Aku mau mencobakannya dijarimu apakah ukuran pas atau tidak. Semisal nanti tidak pas, dapat segera ditukar kembali mengingat waktunya yang mendesak.”
”Ya sudah. Mana cincinnya, Is?”
”Ini.” Segera kusodorkan cincin emas bermatakan berlian ke Viola. Viola memperhatikan cincin itu dengan seksama.
”Modelnya aku suka. Mas Deny memang seleranya sama denganku. Is, bisa kau pakaikan cincin itu di jariku?”
”Baiklah, Vi.”
Segera kuraih tangan Viola yang tergolek lemah dari atas tempat tidur. Cincin emas itu segera kupakaikan di jari manisnya. Ternyata ukurannya sangat pas sekali. Kembali Viola memandangi cincin itu.
”Ukurannya pas sekali di jariku, Is. Bagaimana denganmu?”
Aku pun mencoba cincin yang diperuntukan untuk mempelai pria. Setelah kucoba akhirnya cincin itu telah terpasang manis di jariku.
”Kurasa punyaku juga tidak ada masalah, jadi kita nggak perlu menukarnya.”
”Kamu simpan saja baik-baik untuk besok. Sekarang tolong lepaskan punyaku, Is.”
”Biar Ira saja Mbak yang melepas cincin itu. Sini tangannya Mbak.”
Dik Ira segera melepaskan cincin dari jari Viola dan kemudian menyerahkannya padaku.
”Nih cincinnya, Mas Isma.”
Kuraih cincin Viola dan kuletakkan kembali berdampingan dengan punyaku di kotak merah.
”Is, bagaimana orang tuamu? Sudah kamu hubungi mereka? Apakah mereka besok bisa datang?”
”Jangan khawatir, Vi. Insya Allah malam ini mereka datang. Mereka sudah nggak sabar ingin bertemu denganmu. Terutama adik-adikku.”
”Oh ya? Aku senang mendengarnya. Mengenai persiapan pernikahan kita bagaimana?”
”Kamu jangan mikirin hal itu, Vi. Mas Deny sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Insya Allah besok acara akad nikah bisa berjalan dengan lancar.”
”Amin.”
Dari arah menara masjid rumah sakit yang menjulang, terdengar adzan mahgrib melantun merdu menyapaku. Suaranya menentramkan hatiku.
”Vi, aku sholat dulu ya. Tuh, adzan maghrib sudah memanggil.”
”Hati-hati, sayang. Doain aku ya.”
”Pasti. Dik Ira nggak sholat?”
”Baru berhalangan, Mas.”
”Tolong jaga Mbak Viola sebentar ya.”
”Beres, Mas. Selama ada Ira, Mbak Viola aman.”
”Makasih, Dik. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”
Aku pun meninggalkan mereka untuk memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.

Ruangan masjid senja ini penuh sesak. Banyak orang yang beribadah disini. Hampir dua pertiga shaf terisi penuh. Mungkin sekarang banyak orang yang sedang berkunjung ke rumah sakit ini. Biasanya jam-jam segini memang waktunya untuk berkunjung. Setelah iqamat terdengar, kami pun menunaikan sholat maghrib berjamaah dengan khusyuk. Lantunan ayat-ayat suci terdengar indah menggetarkan kalbu. Mencoba menelusur ke dalam relung jiwaku yang telah menunggu saat yang terpenting dalam hidupku. Ayat-Ayat Allah serasa menentramkan jiwaku yang telah gundah dalam penantian. Hingga diakhir sholat, tak henti-hentinya aku bermunajat kepada Sang Pencipta.

Ya Allah, berilah aku kemudahan dalam menjalankan perintah-Mu. Berilah hambamu kekuatan untuk bisa selalu beribadah kepada-Mu. Semoga saat-saat yang terpenting dan terindah dalam hidupku besok dapat berjalan dengan lancar atas ridho-Mu. Serta tak lupa aku memohon kepada-Mu, Ya Allah. Berilah kesembuhan kepada calon istriku sehingga dia bisa mendampingi diriku untuk bersama-sama beribadah kepada-Mu. Bimbinglah kami selalu di jalan-Mu. Menjalani hidup yang sakinah, mawadah, warahmah, selalu dalam lindungan-Mu. Amin.

Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menepuk pundakku.
”Assalamu’ alaikum. Nak Isma?”
”Wa’ alaikum salam. Eh, Pak Abdul.”
”Tadi nggak sengaja Bapak melihat Nak Isma sembahyang di masjid ini juga. Ketika Bapak dekati, Nak Isma terlihat khusyuk sekali berdoanya kepada Sang Pencipta. Bapak nggak berani mengganggu. Makanya Bapak menunggu hingga Nak Isma selesai.”
”Iya, Pak. Saya berdoa dengan khusyuk kepadaNya untuk meminta bimbingan dan kekuatan serta kemudahan karena besok saya akan menjalani peristiwa yang terpenting dalam hidup saya, Pak.”
”Apakah peristiwa yang Nak Isma maksud, kalau boleh Bapak tahu?”
”O ya, saya mohon maaf saya lupa belum mengundang Bapak sekalian Bu Surti dan Fatimah. Saya besok akan menikahi Viola, Pak.”
”Nak Isma mau menikah?”
”Benar, Pak. Insya Allah akad nikahnya besok pagi jam delapan.”
”Alhamdulillah, Bapak senang mendengarnya. Ibu dan Fatimah pasti juga gembira mendengar berita ini. Kalau nggak berhalangan dan kondisi Fatimah sedang bagus, kami akan hadir.”
”Terima kasih, Pak. Saya sangat berharap Bapak beserta Ibu dan Fatimah bisa hadir.”
”Insya Allah, Nak. Kalau begitu Bapak duluan. Bapak akan memberitahukan kabar gembira ini kepada Ibu dan Fatimah dulu. Assalamu’ alaikum.”
”Silahkan, Pak. Wa’ alaikum salam.”
Pak Abdul segera berlalu meninggalkan masjid ini. Aku pun kembali terhanyut dalam doa-doaku kepada Allah. Kuputuskan saat ini aku ingin ber i’tikaf di masjid ini dulu hingga waktunya sholat Isya’. Aku ingin menentramkan jiwaku sebelum aku melaksanakan pernikahan besok.

Setelah selesai aku menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah dengan menjalankan sholat Isya’ berjamaah., aku segera kembali ke ruang ICU untuk menjenguk Viola. Kasihan Dik Ira sudah lama juga menemani Viola di kamar. Setelah sampai di depan pintu masuk, aku melihat Mas Dody sekeluarga telah berada di sana. Mas Deny juga terlihat bersama mereka. Dia sedang mengobrol dengan Mas Dody. Anak-anak Coffeemilk ternyata telah datang juga. Begitu melihatku, Topan, Danny, Manto dan Arif segera menghampiriku.
”Is, kami sudah menunggumu. Aku dan Arif sudah mendapat Kitab Al-Quran beserta seperangkat alat sholat lengkap yang terbagus. Juga tidak lupa kami bawakan baju koko yang bagus untukmu,” sapa Danny.
”Nyari sih agak susah, karena Kitab Al-Quran jenis ini masih jarang yang mencetak. Kata penjualnya kitab ini asli didatangkan dari Arab Saudi. Jadi agak mahalan dikit. Kami tadi sempat berkeliling Kauman untuk mencarinya. Alhamdulillah sebelum maghrib, kami sudah mendapatkannya,” imbuh Arif.
”Terima kasih banyak, teman. Bagaimana dengan kamu, To?”
”Semua teman-teman di kampus sudah kuhubungi. Namun kebanyakan mereka sedang pulang mudik ke kota asal masing-masing. Tapi Insya Allah besok si Agus, Dewi, dan Yanti bisa hadir. Begitu pula dengan Pak Edy. Beliau bersedia hadir besok begitu aku menghubunginya. Pada awalnya beliau seperti teman-teman yang lain. Pak Edy kaget begitu mendengar kamu akan menikah,” jelas Manto.
”Aku senang kalau Pak Edy dan teman-teman bisa datang.”
”Kalau gue begitu sampai di kost, segera kuberitahukan kepada Mas Dody dan Mamah Rini. Sebelumnya mereka sudah tahu dari Willy kalau Viola di rawat di sini, tapi mereka belum tahu tentang rencana pernihakanmu besok. Mereka juga kaget sekali sewaktu mendengar kabar itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk segera menjenguk Viola sehabis maghrib. Gue sekalian ikut kemari.”
”Kata Mas Deny, ortu lo datang malam ini, Is?”
”Iya, Dan. Nanti tolong ya jemput mereka di terminal bareng gue.”
”Beres.”
”Mereka menginap di kost seperti biasa?”
”Nggak, Pan. Mas Deny menyuruhku untuk menginapkan mereka di Novotel.”
”Begitu lebih baik. Kasihan kalau sampai mereka menginap di kost kita yang jauh dari sini.”
”Berarti semua sudah beres, kan? Tinggal menunggu hari H saja.”
”Iya, To. Maaf ya, aku sudah merepotkan kalian semua.”
”Nggak apa-apa, bro. Itulah gunanya teman. Susah senang kita pikul bersama.”
Sebagai wujud rasa terima kasihku atas semua bantuan teman-temanku, kupeluk mereka satu-persatu. Kami layaknya seperti saudara sendiri. Rasa keharuan seketika menyelimuti kami. Setelah bergabung di Coffeemilk, kami semua merasa menjadi saudara senasib sepenanggungan. Susah senang kita rasakan bersama. Senangnya seorang dari kami merupakan kesenangan bagi semua personil Coffeemilk.. Begitu pun sebaliknya. Ada permasalahan yang menimpa seseorang di antara kami, selalu kita selesaikan bersama-sama. Itulah keindahan sebuah persaudaraan yang sejati. Aku sangat senang semuanya kualami dalam perjalanan hidupku ini.

”Aku menemui Mas Dody dulu, ya.”
Segera kutinggalkan teman-temanku untuk menemui Mas Dody. Melihatku menghampirinya, Mas Dody menyapaku.
”Hey, Is. Bagaimana kabarmu? Maaf kalau Mas agak terlambat menjenguk Viola.”
”Nggak papa Mas. Mamah Rini di mana?”
”Ada di dalam kamar Viola bersama Dik Ira. Mas tadi sempat kaget mendengar kamu akan menikah. Begitu mendadak sekali. Tapi setelah mendengar penjelasan Topan, Mas memakluminya. Mas sangat setuju dan salut dengan keputusanmu.”
”Terima kasih, Mas. Sudah kenal kan dengan Mas Deny, kakaknya Viola?”
”Sudah, Is. Tadi setelah Mas datang kemari. Topan yang memperkenalkan kami.”
”Benar, Is. Ternyata Mas Dody ini dulu adalah kakak tingkat Mas Deny sewaktu SMU. Mas Dody ini dulu sekelas dengan Mbak Ratna, manajer kamu di StarMusikindo. Memang dulu kami tidak terlalu akrab sekali. Tapi Mas masih ingat wajahnya,” jelas Mas Deny panjang lebar.
”Wah, dunia memang sempit sekali.”
”Gimana persiapanmu, Is?” tanya Mas Dody.
”Insya Allah, saya sudah siap Mas.”
”O ya, Is. Tadi Mas sudah booking kan kamar di Novotel. Mas pesan dua kamar. Satu untuk orang tuamu dan satunya lagi untuk adik-adikmu. Nanti kalau mereka sudah tiba, kamu bisa langsung ajak mereka ke sana. Bilang ke receptionist, dengan atas nama Mas. Kamarnya nomer 401 dan 402.”
”Terima kasih, Mas.”
Saat aku masih terlibat obrolan bersama Mas Dody, Mas Deny dan teman-temanku, datang sepasang-suami istri yang mendorong putrinya di atas kursi roda menghampiri kami. Ternyata mereka adalah Pak Abdul, Bu Surti dan yang berada di kursi roda tentunya Fatimah. Segera kusambut mereka dengan ramah.
”Pak Abdul, Bu Surti, dan Fatimah. Senang sekali saya mendapat kunjungan ini. Sekira ada hal penting apa yang membuat Bapak Ibu menemui saya?”
”Maafkan kami, Nak Isma. Begitu kami mendengar kabar dari Bapak kalau Nak Isma mau menikah besok pagi, kami sangat suprise sekali. Kami hanya bisa termangu, seolah kami belum percaya apa yang barusan kami dengar. Setelah kami sadar, spontan kami ingin bertemu dengan Nak Isma. Fatimah bahkan memaksa kami karena dia ingin melihat dan berkenalan dengan calon istri Nak Isma yang bernama Neng Viola itu walau kondisinya masih lemah. Makanya kami kemari. Sekali lagi kami mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu Nak Isma,” terang Bu Surti.
”Oh, nggak, Bu. Justru saya sangat senang Bapak, Ibu dan Fatimah datang kemari.”
”Iya, Mas Isma. Maafkan Fatimah ya. Bolehkan Fatimah berkenalan dengan Mbak Viola, mumpung Fatimah masih ada waktu?”
Aku segera bersimpuh di hadapan Fatimah yang duduk di kursi roda sambil kupegang tangannya erat.
”Kamu jangan bicara seperti itu, adikku. Yakinlah bahwa Allah selalu mendengar doa-doa-Mu. Insya Allah, kamu akan sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala.”
”Amin, Mas.”
”O ya, mas ingin mengenalkan teman-teman Mas. Pasti kamu juga sudah tahu kan? Mereka juga personil Coffeemilk yang lain.”
”Yang benar, Mas?” Fatimah terlihat ceria kembali.
Topan dan yang lain segera memberi salam kepada Fatimah.
”Mas Isma nggak pernah bohong. Kami semua adalah personil Coffeemilk. Siapa nama kamu tadi, anak manis?” kata Topan.
”Fatimah, Mas. Oh, Bapak, Ibu, apakah Fatimah sedang bermimpi?”
”Tidak anakku. Kamu tidak bermimpi. Mereka semua sedang menyapamu,” jawab Bu Surti menahan haru.
Akhirnya Topan, Danny, Manto dan Arif menyalami Fatimah satu-persatu. Fatimah terlihat sangat gembira. Matanya berkaca-kaca. Kerudung putihnya mulai basah oleh linangan air matanya. Dia begitu ceria, tidak tampak sama sekali kalau dia sesungguhnya sedang menanti saat untuk bertemu kembali dengan penciptanya. Memang semua manusia telah digariskan hidupnya olehNya. Itu adalah sebuah rahasia Ilahi. Hanya Allah semata yang mengetahuinya.

”Sekarang mari kita temui Mbak Viola. Kamu ingin bertemu dengannya, kan?”
”Iya, Mas. Aku ingin berjumpa langsung dengannya.”
”Kalau begitu, yuk, Mas antar.”
Aku segera mendorong kursi roda yang dinaiki oleh Fatimah. Aku dorong dengan pelan menuju kamar Viola dirawat. Pak Abdul dan Ibu Surti yang tadi sempat berkenalan dengan Mas Deny serta Mas Dody mengikutiku dari belakang. Sesampainya di sana, aku melihat Mamah Rini dan Dik Ira sedang menemani Viola. Mereka spontan melihat ke arahku begitu pintu kamar kubuka.
”Vi, ada seseorang yang ingin berjumpa denganmu.”
Dari dalam kamar, Viola menyahut lemah. ” Siapa gerangan, Is?”
”Ini dia orangnya.” Kataku sambil memposisikan kursi roda Fatimah di samping ranjangnya Viola.
Kulihat Mamah Rini dan Dik Ira beranjak dari duduknya.
”Kalau begitu, Mamah dan Dik Ira keluar sebentar, Is. Mamah ucapkan selamat ya atas pernikahanmu besok. Jaga calon istrimu baik-baik.”
”Terima kasih, Mah.”
Mamah dan Dik Ira akhirnya keluar dari kamar Viola setelah sebelumnya berpamitan pula dengan Viola.
”Halo, adik manis. Siapa namamu?” Viola menyapa Fatimah terlebih dulu.
”Hai, Mbak Viola. Salam kenal. Namaku Fatimah. Aku penggemar berat Coffeemilk. Tadi tidak sengaja bertemu dengan Mas Isma. Mas Isma sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Mas Isma banyak cerita tentang Mbak. Ternyata benar apa yang dikatakannya.”
”Memang apa yang dikatakan Mas Isma padamu?”
”Katanya, Mbak Viola adalah wanita tercantik yang pernah dikenal oleh Mas Isma.”
Seketika tampak rona di kedua pipi Viola. Dia kemudian memandangiku dengan tatapan yang hangat. Senyumnya mengembang kepadaku.
”Benar kamu bilang seperti itu, sayang?”
”Benar, Vi. Kamulah wanita tercantik di dunia dan aku adalah manusia yang paling beruntung di dunia karena besok aku akan mempersuntingmu dan kamu akan menjadi pendamping hidupku selamanya.”
”Wah, romantisnya. Fatimah jadi iri, nih.”
”Kamu ini masih kecil. Belum boleh tahu urusan orang dewasa,” kataku sambil kuusap-usap kepalanya dengan gemas.
”Fatimah, kamu orangnya periang ya. Mbak sangat senang berkenalan denganmu.”
”Fatimah juga senang punya kakak yang cantik seperti Mbak.”
”Kamu sekolah dimana?”
”Di SMU 1, Mbak.”
”Berarti kenal donk dengan Azizah dan teman-temannya?”
”Bukan kenal lagi, Mbak. Kami sudah sohiban sejak SMP. Karena kondisi Fatimah sekarang, Fatimah tidak bisa bersama mereka lagi.”
”Jangan khawatir, Fatimah. Insya Allah kamu bisa berkumpul dengan mereka kembali.”
”Semoga, Mbak. O ya, sampai lupa. Perkenalkan, Mbak. Ini Bapak dan Ibuku.”
Viola segera menjabat tangan Pak Abdul dan Bu Surti.
”Maafkan kami, Neng. Kalau kedatangan kami mengganggu. Soalnya tadi Fatimah yang mendesak kami supaya bisa bertemu dengan Neng Viola,” kata Bu Surti.
”Maklumlah, Neng Viola. Dia anak kami satu-satunya. Sifatnya memang agak manja,” imbuh Pak Abdul.
”Nggak papa kok, Pak, Bu. Saya malahan senang kalau ada yang menjenguk. Hal itu bisa memberi semangat hidup kepada saya. Apalagi kalau yang menjenguk orangnya seperti Fatimah yang periang. Saya serasa seperti tidak pernah dirawat disini.”
”Ah, Neng Viola bisa aja.”
Kami mengobrol dengan hati yang riang. Segala kesedihan kami lupakan sejenak. Suasana di kamar Viola terasa hangat. Canda dan tawa mengiringi obrolan kami. Kami bagaikan sebuah keluarga yang penuh dengan keterbukaan dan keharmonisan.

Malam semakin larut. Malam penantian ini terasa sangatlah panjang. Pak Abdul dan Bu Surti beserta putrinya telah kembali ke kamar Fatimah setelah kami ngobrol cukup lama di kamar Viola. Begitu pula dengan keluarga Mas Dody. Mereka telah kembali ke Mentari Buana sebelum Fatimah kembali ke kamarnya. Viola pun akhirnya dapat beristirahat di kamarnya. Angin malam yang dingin menerpa tubuhku yang duduk di pinggir taman. Hanya Danny dan Topan yang masih menemaniku di sini. Mereka berdua sedang asyik menghisap rokok untuk membunuh sepi. Sedangkan Arif dan Manto sudah minta ijin pulang lebih dulu. Mereka ada keperluan mendadak yang harus segera diselesaikan. Besok pagi-pagi sekali mereka akan datang kemari. Mas Deny masih sibuk dengan SMS di handphonenya.

Suasana di ruangan ICU serasa lengang. Tidak banyak orang berada di sana. Hanya beberapa suster jaga yang masih bertugas menjaga Viola. Dia satu-satunya pasien di ruangan ICU ini. Menurut Dokter Lukman, Viola bisa dipindahkan ke kamar rawat inap mulai besok pagi. Tentunya jika kondisi Viola sudah membaik.
Tanpa kusadari, perutku mulai berbunyi minta diisi. Karena terlalu menghiraukan keadaan Viola serta sibuk dengan persiapan pernikahan besok, aku sampai lupa makan.
”Kalian sudah makan?” tanyaku memecah keheningan.
”Gue sih udah makan sebelum kemari. Emangnya lo belum makan, Is?”
Aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Danny.
”Gue juga belum. Tadi buru-buru kemari dengan Mas Dody,” timpal Topan.
”Kalian cari makan dulu sana. Biar Mas yang jaga di sini,” kata Mas Deny.
”Kalau begitu, yuk kita ke depan. Gue lihat di depan rumah sakit ini banyak berdiri warung-warung makanan.”
”Udah nanggung nih, Pan. Ini udah jam setengah sepuluh malam. Sebentar lagi, Insya Allah keluargaku akan tiba di Solo. Kalau lo udah lapar, sana duluan. Nanti aku cari makan sekalian sehabis menjemput Bapak, Ibu dan adik-adikku.”
”Kalau begitu, gue juga nanti saja. Nggak enak makan sendirian.”

Tak lama kemudian handphoneku berbunyi. Ada satu pesan yang masuk. Kulihat di layar LCD, pesan berasal dari adikku, Arfi. Setelah kubaca pesannya, dia mengatakan kalau mereka sudah tiba di daerah Pabelan. Sebentar lagi mereka akan tiba di terminal Tirtonadi.
Aku segera beranjak. Danny dan Topan pun mengikutiku.
”Mas, aku pamit dulu untuk menjemput keluargaku. Di SMS mereka mengatakan kalau sudah sampai di daerah Pabelan.”
”OK, nanti kamu langsung antar mereka ke hotel saja. Biar mereka istrirahat dulu di sana. Kasihan, mereka sehabis dalam perjalanan jauh. Nomer kamarnya belum lupa kan?”
”Aku masih ingat, Mas. Nomer 401 dan 402. Kalau begitu kami pamit dulu. Yuk, Dan, Pan. Kami berangkat dulu, Mas. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
Kami bertiga segera berlalu meninggalkan Mas Deny.

Setelah beberapa menit, kami telah berada di dalam mobilnya Danny yang sedang meluncur menuju ke arah terminal Tirtonadi. Arus kendaraan malam ini masih agak ramai. Suasana khas kota Solo di malam hari masih terasa. Beraneka warung makanan masih banyak bertebaran di pinggir jalan yang kami lalui. Masih banyak warga Solo yang menikmati makan malam di warung-warung itu. Orang Solo memang hobinya makan. Oleh karena itu, bisnis makanan di Solo selalu ramai oleh pengunjung. Di manapun tempatnya, walau di dalam gang sempit sekalipun, pasti akan dicari orang. Tapi dengan syarat, harganya harus terjangkau dan rasanya lezat menggoyang lidah.

Setelah melewati stasiun kereta api terbesar di kota Solo, yaitu Stasiun Balapan, selang beberapa menit kami telah memasuki kawasan terminal Tirtonadi. Berbeda ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku di kota Solo. Dulu kawasan ini masih terlihat sumpek dan kumuh oleh gubug-gubug liar serta para pedagang kaki lima yang banyak bertebaran tidak teratur di sekeliling terminal. Bantaran Kali Anyar yang terletak di depan terminal masih dipenuhi oleh bangunan-bangunan liar yang terkadang dijadikan tempat maksiat. Sekarang keadaannya jauh lebih baik. Di sekeliling terminal terdapat taman-taman yang asri. Ada taman dengan patung Bima berukuran raksasa berada di sebelah timur terminal. Bangunan-bangunan di bantaran Kali Anyar pun telah digusur, diganti dengan sebuah ruang terbuka yang asri bernama Taman Air Taman Kali Anyar.

Temaram lampu jalan menghiasi malam yang dingin. Kulihat masih banyak bus-bus yang berlalu lalang di sini. Kebanyakan bus dari jurusan luar kota seperti jurusan Solo-Jakarta, Solo-Joga, Solo-Semarang dan Solo-Surabaya. Seperti yang dibilang Arfi di SMSnya, mereka sekarang naik bus jurusan Solo-Semarang. Tadinya dari Wonosobo, mereka naik bus jurusan Wonosobo-Semarang. Setelah tiba di terminal Bawen, mereka berganti bus jurusan Solo-Semarang yang banyak dijumpai di sepanjang jalur Solo-Semarang.
Waktu pun sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang seperempat. Sebentar lagi keluargaku akan tiba. Kami akhirnya melewati pintu masuk utama terminal. Banyak petugas yang berjaga di sana. Penumpang pun masih terlihat ramai lalu lalang.
Ketika Danny hendak memarkirkan mobilnya masuk ke areal parkir terminal, segera kucegah dia. Aku segera menunjukkan tempat parkir yang berada di Taman Kali Anyar. Danny pun menurut. Dia memutar mobilnya melewati pembatas jalan dan akhir berhenti di areal parkir yang berada di depan terminal tersebut. Menurutku di sini lebih sepi, dan kami bisa menunggu sambil menikmati keindahan taman air ini.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bus yang ditumpangi keluargaku datang. Ku berdiri di pinggir jalan untuk dapat melihat lebih jelas. Segera kuintip melalui kaca jendelanya, mencari-cari wajah yang kukenal di dalam bus itu. Dan dari balik kaca jendela bus, kulihat Arfi dan Nadia melambaikan tangannya kepadaku. Segera kubalas lambaiannya sekaligus memberi petunjuk kalau aku menunggu di sini. Mereka tampaknya mengerti dengan isyaratku. Sesaat kemudian bus itu menghilang masuk ke dalam terminal. Aku segera berlari menuju ke arah pintu keluar penumpang yang lokasinya agak jauh dari tempatku berdiri. Kusuruh Danny dan Topan menunggu di taman. Ketika aku hampir mencapai pintu keluar, kulihat Arfi yang memakai kerudung berwarna biru dan Nadia tengah berlari kecil menuju ke arahku. Mereka memanggil-manggil namaku. Mereka terlihat gembira sekali. Aku segera mempercepat langkahku. Dan akhirnya kami pun bertemu. Seketika mereka berdua segera menubruk tubuhku hingga aku hampir terjengkang jatuh. Mereka memelukku dengan erat. Tangis keharuan pun memecah malam yang dingin.
”Mas, Nadia kangen sama Mas.”
”Arfi juga, Mas. Lama Mas tidak pulang ke Wonosobo.”
”Mas juga kangen dengan kalian, adik-adikku yang cantik.”
Kukecup kening mereka satu persatu.
Tak jauh dibelakang mereka, kulihat kedua orang yang kusayangi melangkah menuju diriku. Segera kulepaskan pelukan adik-adikku untuk menyambut mereka.
”Assalamu’ alaikum. Bapak, Ibu. Selamat datang di Solo.” Aku segera mencium tangan mereka masing-masing.
Ibu pun memelukku dengan penuh kehangatan. Air matanya meleleh membasahi pundakku.
”Oh, anakku. Ibu sangat merindukanmu. Kamu kelihatan kurus sekarang. Wajahmu tampak kusut sekali. Kamu baik-baik saja di sini, Is?”
”Isma baik-baik saja, Bu.”
Bapak menepuk pundakku. ”Kamu kelihatan lelah sekali, Is.”
”Hal itu sudah tidak Isma hiraukan lagi setelah Isma bertemu Bapak, Ibu dan adik-adik. Isma sudah tidak sabar untuk melepas rindu. Sekarang kita ke mobil saja. Teman-teman Isma sudah menunggu di sana. Biar tasnya Isma yang bawa, Bu.”

Kubimbing keluargaku menuju ke areal parkir di mana Danny dan Topan tengah menunggu. Tak seberapa lama, kami sudah tiba di sana. Danny dan Topan segera menyambut kami.
”Selamat datang di Solo, Om dan Tante,” sapa Danny.
”O ya perkenalkan, ini namanya Danny. Dia teman kuliah Isma juga yang punya mobil ini. Dan, kenalkan ini Bapak dan Ibuku. Dan itu adik-adikku, Arfi dan Nadia.”
Danny segera menyalami keluargaku.
”Nak Danny baik sekali mau menjemput kami.”
”Sudah menjadi kewajiban saya, Tante. Isma adalah teman baik saya. Dia sudah seperti saudara sendiri. Jadi keluarganya adalah keluarga saya juga.”
”Isma beruntung mempunyai saudara sepertimu, Nak Danny.”
”Om terlalu berlebihan.”
”Kalau yang ini, Isma nggak perlu memperkenalkannya kan?”
”Apa kabar, Om danTante? Sehat-sehat kan?”
”Alhamdulillah, Nak Topan. Kami baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu sendiri?”
”Saya juga baik-baik saja Om. Halo, apa kabar Arfi dan Nadia? Mas ingat kan dengan Mas Topan?”
”Kami juga baik-baik saja, Mas. Mas Topan sekarang agak gemukan ya?” sapa Arfi.
”Iya nih. Mas Isma pernah cerita kepada kami kalau Mas Topan hobinya tuh makan. Benar nggak, Mas?” Nadia ikutan menimpali.
Topan segera melotot ke arahku. Mukanya menjadi merah menahan malu.
”Sorry, Pan. Adik-adik hanya bercanda.”
Topan seketika mengayunkan pukulannya ke lenganku. Aku hanya bisa pasrah menerimanya. Melihat tingkah kami, Bapak dan Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Sudah, sudah, bercandanya lain kali aja.”
”Benar, sekarang kita masuk mobil dulu. Is, mana barang-barang bawaannya? Biar gue ama Topan yang masukin ke bagasi.”
”Thanks, Dan.”
Barang-barang yang dibawa Bapak dan Ibu tidak terlalu banyak. Hanya membawa dua tas travel ukuran sedang sehingga tak terlalu lama untuk memasukkannya ke dalam bagasi. Arfi dan Nadia memanggul ranselnya masing-masing.
”Is, sekarang kita langsung menuju ke hotel atau mau ke mana dulu?”
”Sekarang kita cari makan dulu, Dan. Terserah mau kemana, yang penting enak. Bapak dan Ibu belum makan kan?”
”Kami menurut saja, Is.”
”Mas, Nadia juga sudah lapar nih. Pengin makan nasi liwet khas Solo.”
”Baiklah. Arfi mau juga makan nasi liwet?”
”Boleh, Mas. Sudah lama Arfi nggak makan nasi liwet Solo.”
”Kalau begitu kita makan nasi liwet malam ini. Dan, kamu tahu kan harus kemana?”
”Tentu, bos. Ke daerah Keprabon apa sekalian ke Galabo?”
”Terserak kamu aja. Yuk kita berangkat sekarang.”
Mobil Danny pun meluncur membelah malam.
Bersambung ...

Jumat, 13 Februari 2009

Bag9 - Permintaan Terakhir ( Chap. Lagu untuk Viola )

Raungan suara sirine mobil ambulance memecah teriknya siang. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah padatnya arus kendaraan di jalan yang dilaluinya. Lampu merah diperempatan-perempatan diterobos dengan sigap supaya dapat segera sampai ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta yang berjarak cuma beberapa ratus meter dari lokasi festival. Di dalamnya, terbaring sesosok tubuh tak berdaya dengan masker oksigen terpasang di wajahnya. Dahinya terbalut perban yang ternoda oleh darah yang masih terus mengucur. Dengan setia, aku menemani tubuh yang masih tak bergerak sejak terjatuh dari atas panggung sewaktu kami mengikuti festival band terbesar se-Surakarta. Seingatku, setelah terjadi kecelakaan yang menimpa Viola, panitia segera memanggil tenaga medis yang telah dipersiapkan untuk memberikan pertolongan pertama kepadanya. Setelah itu, Viola segera dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobil ambulance. Aku dan Mas Deny ikut naik ke dalam mobil ambulance. Sedangkan teman-teman yang lain menyusul dibelakang kami dengan menggunakan mobilnya Danny serta mobilnya Viola.

Kami terus meluncur dengan cepatnya. Dalam hitungan menit, kami telah memasuki kawasan Monumen Pers. Segera mobil ambulance menikung tajam ke arah kanan mengitari sebuah taman yang berbentuk lingkaran yang berada di tengah-tengah perempatan jalan. Aku dan Mas Deny dengan sigap memegang apa yang bisa dijadikan pegangan untuk menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjerembab. Tak lama kemudian, mobil ambulance kembali berbelok ke kanan namun kali ini dengan kecepatan sedang karena arus lalu lintas terlihat agak macet. Dengan kembali mengeraskan bunyi sirine untuk membuka jalan, akhirnya mobil dapat melaju dengan mulus menuju ke rumah sakit yang jaraknya tinggal beberapa meter saja. Setelah melewati bangunan masjid rumah sakit yang bentuknya lain dari biasanya, mobil ambulance segera berbelok memasuki sebuah gedung berwarna putih dengan atap berbentuk kubah terlihat di berbagai sudutnya. Terdapat tulisan besar terpampang di depan kanopinya yang berbunyi “ UNIT GAWAT DARURAT, RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA ”.
Mobil ini terus melaju hingga akhirnya berhenti ketika berada tepat di bawah kanopi. Aku dan Mas Deny segera membuka pintu belakangnya lalu melompat keluar. Bersamaan dengan itu, dari arah dalam bangunan beberapa perawat berlarian menuju kea rah kami. Mereka segera menurunkan Viola dari atas mobil ambulance, kemudian segera membawanya menuju ke dalam gedung. Aku dan Mas Deny berlari mengikuti di belakangnya. Viola akhirnya dibawa memasuki Ruang Periksa. Kami berdua tidak diperbolehkan masuk oleh para perawat jaga. Kami akhirnya hanya bisa pasrah menunggu di Ruang Tunggu yang terletak tak jauh dari Ruang Periksa. Dengan langkah gontai, aku dan Mas Deny mencari tempat duduk. Mas Deny duduk dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menutupi mulutnya yang dari tadi masih diam seribu bahasa. Raut muka kesedihan tampak sekali diwajahnya. Rambutnya yang panjang tampak mulai acak-acakan. Mas Deny menatapku dengan pandangan kosong. Matanya berbinar menahan air mata yang mencoba untuk keluar dari kedua bola matanya.
“ Apakah keadaan Viola sering begini, Mas?”
Mas Deny hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun.
“Tolong jawab pertanyaanku, Mas! Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Viola?”
“Sorry, Is. Sekarang Mas takut sekali. Mas takut akan kehilangan Viola, adik Mas satu-satunya, Is.”
“Apa yang Mas katakan? Aku nggak ngerti. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Viola, Mas?”
“Sebenarnya Mas tahu hal ini pasti akan terjadi tapi Mas nggak menyangka kalau hal ini bakal terjadi secepat ini.”
“Sebenarnya apa yang sedang Mas sembunyikan dariku? Ayo, katakan, Mas! Aku berhak tahu!”
“Maaf, kalau selama ini aku nggak bilang sama kamu, Is. Ini juga atas permintaan Viola sendiri. Baiklah, Mas akan mengatakannya padamu. Kamu yang tabah ya, Is. Kenyataan memang selalu menyakitkan hati. Sebenarnya sejak kecil, Viola telah menderita suatu penyakit, Is.”
“Penyakit apa, Mas?”
“Dia menderita kanker yang menyebabkan kegagalan fungsi hati, Is.”
Bagaikan disambar petir di siang hari, aku pun langsung tersentak mendengar perkataan Mas Deny tersebut. Jantungku serasa berhenti berdetak. Pandanganku menjadi nanar. Hatiku sakit sekali bagai tertikam berjuta-juta pisau hingga hancur berkeping-keping. Dan akhirnya aku pun terduduk lunglai dengan tatapan mata yang kosong.

Ya, Allah. Cobaan apa yang telah Kau timpakan kepada hamba-Mu yang lemah ini. Berilah aku kekuatan untuk bisa menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan ini. Jangan kau biarkan Viola pergi dari sisiku. Ya, Allah. Akankah pelita hatiku yang selama ini menerangi perjalananku akan padam untuk selama-lamanya? Aku nggak bisa membayangkan seandainya memang itu yang akan terjadi. Berilah dia waktu lebih lama lagi supaya aku bisa selalu melihat senyumnya yang menyejukkan hatiku. Aku mohon pada-Mu, Ya Allah. Dengarlah permohonan hamba-Mu ini. Selamatkanlah dia. Selamatkanlah Viola untukku. Tapi kalau memang itu yang telah Kau gariskan padaku, aku akan ikhlas menerimanya, Ya Allah.
Tanpa kusadari, air mataku telah mengalir membasahi kedua pipiku. Aku tak mampu berpikir lagi. Semuanya terasa gelap. Gelap yang pekat telah menyelimuti jiwaku.
“Is, kamu baik-baik saja?” Mas Deny mencoba menenangkan diriku.
“Aku baik-baik aja, Mas.”

Setelah beberapa menit, Danny terlihat datang bersama Topan, Manto dan Arif. Mereka segera menghampiri kami.
“Gimana, Is? Sudah ada perkembangan dari Viola?” Danny menyapaku.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku belum tahu, Dan. Para tenaga medis masih di dalam ruangan memeriksa keadaan Viola. Dari tadi mereka belum keluar dari sana.”
“Is, sebenarnya Viola sakit apa sih?” Topan bertanya padaku.
Aku pun terdiam. Semua menatapku dengan penuh penasaran bercampur dengan kecemasan. Lidahku terasa ngilu. Tak ada sepatah katapun yang bisa keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaan itu. Melihat gelagatku, Mas Deny segera mewakiliku untuk menjawab.
“Viola hanya kecapekan saja, Pan. Dia sejak dulu menderita tekanan darah rendah. Karena terlalu memforsir tenaga buat festival, dia kehabisan tenaga, kemudian lemas dan akhirnya jatuh pingsan.”
“Semoga dia baik-baik saja, Mas.”
Kami semua akhirnya terdiam. Kami hanya bisa menunggu perkembangan Viola dari ruang tunggu ini.

Tiba-tiba seorang dokter setengah baya datang menghampiri Mas Deny.
“Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam, Om Lukman. Syukur Om bisa segera datang. Tolong adik saya, Om.”
“Setelah kamu telpon tadi, Om langsung cepat-cepat kemari. Gimana keadaan Viola, Den? Kenapa dia bisa kesini?”
“Sekarang dia masih di dalam, Om. Tadi Viola tiba-tiba jatuh pingsan saat mengikuti festival.”
“OK, kalau begitu Om masuk ke dalam untuk memeriksa keadaannya. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Dokter itu segera meninggalkan Mas Deny, lalu segera masuk ke ruang periksa.
“Siapa Dokter yang tadi, Mas?” tanyaku tiba-tiba kepada Mas Deny.
“Oo, itu Dokter Lukman. Beliau sudah lama menjadi dokter keluarga Mas Deny sejak Ayah dan Ibu masih bersama kami.”
“Semoga beliau bisa membuat Viola sembuh seperti sedia kala.”
“Mudah-mudahan, Is. Sekarang kita hanya bisa berdoa saja.”
Suasana di ruang tunggu ini kembali hening. Waktu terasa berjalan dengan sangat lambat. Detik-detik yang berlalu terus membuat jantung kami berdebar dengan kencang. Semuanya menanti dengan hati yang gelisah. Kami semua dirundung duka atas musibah yang menimpa Viola.

Dik Ira, Willy dan Dik Hary tiba-tiba memecahkan suasana hening yang mencekam. Mereka datang bersama dengan anak-anak “Mentari Buana”.
Willy segera menyalamiku.”Gimana keadaan Viola, Is?”
“Iya, Mas Isma. Gimana keadaan Mbak Viola?” Dik Ira ikut bertanya.
“Mas masih belum tahu, Dik. Dokternya masih di dalam. Dari tadi belum keluar. O ya Willy, Dik Ira, Dik Hary dan teman-teman dari Mentari Buana. Kenalin. Ini Mas Deny, kakaknya Viola.”
Willy dan saudara-saudaranya beserta anak-anak Mentari Buana segera bersalaman satu persatu dengan Mas Denny.
“Kami turut prihatin atas musibah yang menimpa Viola, Mas.” Ucap Kang Deden mewakili teman-teman kostku.
“Terima kasih atas perhatian kalian semua.”
Ruang tunggu terasa penuh sesak dengan kehadiran mereka. Tapi hal itu tidak merubah apapun. Suasana kembali mencekam karena kami semua diam dalam kesunyian yang seolah tanpa akhir. Penantian ini terasa sangat lama dan menyiksa kami. Bagaimana sebenarnya kondisi Viola di dalam? Kenapa sampai sekarang belum ada yang keluar dari ruang periksa tersebut untuk menjelaskan kepada kami keadaan Viola saat ini? Sudah hampir 1,5 jam lamanya, Viola masih tidak sadarkan diri dan tergelatak tak berdaya di dalam sana.
Kesunyian kembali menyelimuti kami. Penantian yang melelahkan dan menegangkan ini terus menerus mendebarkan jantung kami.

Hingga akhirnya pintu ruang periksa tempat Viola terbaring terbuka. Kami semua tersentak. Sosok berjubah putih pun muncul di balik pintu. Rupanya Dokter Lukman beserta para perawat telah selesai memeriksa keadaan Viola. Kami pun sudah tak sabar dan segera menghampiri mereka untuk menanyakan tentang keadaan Viola.
”Gimana, Om? Bagaimana dengan adik saya?” Mas Deny yang pertama bertanya pada Dokter Lukman tersebut.
“Ayo masuk dulu ke ruangan saya. Nanti akan saya jelaskan padamu kondisi Viola saat ini.”
“Dok, saya boleh ikut kan?” pintaku.
“OK, hanya kamu saja yang boleh. Yang lain mohon tunggu di luar.”
Aku dan Mas Deny segera mengikuti Dokter Lukman menuju ke ruangannya. Sesampainya di sana, kami berdua dipersilahkan duduk.
Dokter Lukman menghela nafas panjang setelah duduk dikursinya. Dia menatap sambil memegangi pundak Mas Deny.
“Yang tabah ya, Den. Om tak bisa berbuat banyak untuk membantu adikmu. Kanker yang menggerogoti organ hatinya sudah tidak bisa disembuhkan lagi dan Viola hanya bisa menunggu mukzijat dari Allah.”
Mas Deny pun langsung lemas mendengarnya. Begitu juga diriku. Jantungku seketika berhenti berdetak. Aku nggak mampu membayangkan apa yang akan terjadi dengan Viola.
Ya, Allah. Akankah kami semua akan kehilangan Viola?
“Kalian berdoa saja kepada Allah, semoga Viola bisa bersama kita lagi meskipun kemungkinan itu adalah sesuatu yang mustahil. Andaikan ada donor organ hati yang cocok dengan miliknya, kemungkinan Viola bisa diselamatkan. Tetapi mencari donor hati tidaklah semudah seperti mencari donor ginjal. Manusia masih bisa bertahan dengan hanya satu ginjal, sedangkan tanpa organ hati, mustahil manusia hidup lama. Sekarang ini hanya Allah yang bisa membantu Viola. Dan kalian jangan bersedih. Biarkanlah Viola melalui hari-hari terakhirnya dengan bahagia bersama orang-orang yang dikasihinya. O ya, kamu pasti yang bernama Isma, kan?”
“Benar, Dok.”
“Viola banyak bercerita pada Om. Dan dia sangat senang sekali sewaktu bercerita tentang dirimu. Mungkin hanya kamu yang bisa membuatnya bahagia menjalani sisa waktunya.”
“Insya Allah, Dok.”
“Sekali lagi, Den. Om hanya bisa mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa banyak membantu. O ya, sekarang Viola masih belum sadar, mohon jangan diganggu dulu. Sekarang Om pamit dulu. Setelah ini Viola akan Om pindahkan ke ruangan ICU untuk menjalani perawatan yang lebih intensif.”
“Silahkan, Om. Terima kasih banyak.”

Kami berdua segera keluar dari ruangan Dokter Lukman. Begitu melihat kami, teman-temanku segera menghambur ke arah kami. Dokter Lukman berlalu meninggalkan kami untuk memindahkan Viola ke ruang ICU.
“Bagaimana kondisi Viola, Mas? Apa dia baik-baik saja?” Topan segera bertanya kepada Mas Deny.
“Ehm,…gini, Pan. Rupanya Viola harus menjalani perawatan yang lebih intensif. Benturan di kepalanya menyebabkan Viola mengalami gegar otak ringan. Makanya sekarang Viola harus menginap beberapa hari di rumah sakit,” kilah Mas Deny.
Aku diam-diam sangat kagum dengan ketabahan Mas Deny. Meskipun kutahu dari dalam hatinya sesungguhnya Mas Deny sangat menderita seperti halnya diriku, dia masih bisa terus menerus menutupi kondisi Viola yang sebenarnya dari teman-temanku.
“O ya, Is. Pada saat kamu di dalam dengan Mas Deny, di luar gedung sudah banyak para wartawan dan beberapa penggemar Coffeemilk yang menanti kabar tentang Viola. Mereka terus-menerus ingin menerobos masuk kemari. Para satpam rumah sakit telah menahan mereka di luar gedung. Kita harus bagaimana nih?” tanya Arif.
“Bagaimana menurut Mas Deny sebaiknya?” tanya Manto.
“Menurut Mas, kalian bisa memberikan keterangan kepada para wartawan dan para penggemar tentang kondisi Viola seperti yang Mas bilang tadi. Itu saja keterangan yang bisa kita berikan saat ini kepada mereka. Kalau mereka tanya lebih lanjut, kalian bilang kita juga masih menunggu perkembangannya selanjutnya.”
“Baiklah, kami akan bilang kepada mereka seperti yang Mas katakan.”
Manto dan Arif dengan dibantu beberapa anak-anak Mentari Buana segera berlari keluar untuk memberikan penjelasan tentang keadaan Viola seperti intruksi dari Mas Deny.

Tanpa menunggu mereka, kami segera menyusul Dokter Lukman yang telah memindahkan Viola ke ruangan ICU. Viola menempati kamar paling ujung dari ruangan ICU. Kami semua tidak diperbolehkan masuk oleh para perawat jaga. Kami hanya bisa melihat kondisi Viola dari balik pintu kamar yang pada bagian pinggirnya terdapat sebuah kaca yang dipergunakan untuk bisa melihat ke dalam kamar.
Terlihat tubuh Viola tergolek lemas di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, dihiasi oleh selang oksigen yang ditempatkan di kedua lubang hidungnya. Sungguh sebuah pemandangan yang membuatku tak dapat menahan air mataku.
Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku segera beranjak keluar dari ruang ICU. Aku ingin menenangkan hatiku sebentar sambil menghirup udara segar. Kulihat ada sebuah taman yang asri di salah satu sudut rumah sakit yang dihiasi sebuah kolam ikan dengan air terjun yang mengalir dan menimbulkan suara gemericik air. Disana mungkin aku bisa menentramkan hatiku. Segera kuayunkan langkahku menuju ke taman itu. Kududukan tubuhku di sebuah bangku taman yang panjang mengelilingi taman. Sambil menikmati suara gemericik air, pandanganku menerawang menyapu taman. Anganku melayang menembus awan yang menggantung di langit biru, membayangkan saat-saat yang indah bersama Viola. Aku membayangkan saat-saat pertama kali bertemu dengannya, saat-saat yang mengharukan di taman Sriwedari, tak lupa saat-saat terindah di Jogja yang telah kulalui bersama Viola. Semuanya menyatu dalam lamunanku.

Di saat aku sedang terhanyut dalam lamunan-lamunan, suara isak tangis seorang ibu menyadarkanku. Aku segera mencari sumber suara yang terasa sungguh memilukan. Dan akhirnya kulihat seorang ibu sedang menangis di pelukan suaminya. Ibu itu terus menangis dipundak suaminya hingga matanya terlihat merah karena kelelahan terus menerus menitikkan air mata yang tiada habisnya. Karena merasa kasihan, aku segera menghampiri beliau berdua.
“Assalamu’ alaikum. Maaf, Bapak, Ibu, kalau saya mengganggu. Kalau boleh tahu, mengapa Ibu terus menangis sedari tadi? Derita apa yang telah membuat Ibu seperti itu?”
“Wa’alaikum salam. Maafkan kami, Nak Mas. Kami sangat berduka sekali saat ini. Putri kami satu-satunya telah dirawat selama seminggu di sini. Dan kami tidak bisa melakukan apa-apa demi kesembuhannya. Dokter pun sudah angkat tangan. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT,” jawab Sang Bapak.
“O ya, perkenalkan. Namanya saya Isma,” kataku sambil kujulurkan tanganku.
“Namanya saya Abdul, Nak Isma. Ini istri saya namanya Surti,” jawab Pak Abdul sambil menjabat tanganku erat.
Bu Surti segera menghentikan tangisnya untuk berjabat tangan denganku dengan sesekali masih sesenggukan menahan tangis.
“Memangnya putri Bapak sakit apa?”
“Dia sudah lama menderita kanker di kepalanya. Sakitnya sekarang sudah sangat parah. Kanker telah menjalar ke sekujur tubuhnya. Dokter sudah tidak mampu mengatasinya. Bahkan mereka telah memvonis umur putri kami sudah tidak lama lagi.”
Mendengar hal itu, Bu Surti tak mampu menahan tangisnya kembali. Pak Abdul segera menenangkan istrinya.
“Kalau Nak Isma mengapa bisa berada di rumah sakit ini?”
“Nasib saya hampir sama dengan Bapak dan Ibu sekalian. Teman dekat saya sekarang sedang sekarat di ruang ICU.”
Aku pun bercerita panjang lebar tentang Viola kepada mereka. Aku seakan menemukan tempat aku mencurahkan segala kegundahan hatiku saat ini. Mereka pun dengan sabar mendengar ceritaku sampai akhir.
“Kasihan sekali teman Nak Isma itu. Nasibnya sama dengan putri kami,” kata Bu Surti akhirnya.
“Ya begitulah, Bu. Saya hanya bisa berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memang sebagai hamba-Nya yang lemah, kita tidak bisa menentang apa yang telah digariskan oleh-Nya.”
“O ya, siapa nama putri Bapak dan Ibu?”
“Namanya Fatimah, Nak Isma. Dia berumur 17 tahun. Sekarang dia sudah kelas dua SMU.”
“Bolehkah saya menjenguknya, kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan.”
“Oh, tentu. Kami tidak keberatan. Kami sangat senang kalau Nak Isma sudi menjenguk putri kami. Mari, Nak.”
Pak Abdul dan Bu Surti segera mengantarkan diriku menuju ke tempat putri mereka dirawat.

Ternyata beliau berdua merupakan dari kalangan yang berduit. Fatimah dirawat di sebuah kamar mewah kelas VIP yang terletak tak jauh dari taman tempat kami mengobrol tadi. Kamar itu dilengkapi sebuah teras di depannya dengan dilengkapi oleh dua buah kursi dan meja kayu. Kulihat di dalamnya kamar VIP itu terdapat sebuah sofa panjang berwarna hijau tua. Sebuah televisi 21 inch dan kulkas ada juga di sana. Kamar itu dilengkapi kamar mandi di dalamnya. Udaranya terasa sejuk karena memiliki fasilitas AC. Di dalamnya terbaring sesosok gadis berkerudung yang tampak berwajah pucat sedang menonton televisi.
“Assalamu’alaikum, Fatimah.”
“Wa’alaikum salam. Eh, Bapak dan Ibu. Darimana aja sih, tadi Fatimah panggil-panggil kok nggak ada?”
“Tadi Bapak dan Ibu cari makan di luar. Ibu tadi kelaparan karena belum makan siang,” kilah Pak Abdul.
“O ya, Fatimah. Ini ada orang yang mau menjenguk kamu.”
“Siapa, Bu?”
“Mari, Nak Isma. Silahkan masuk.”
“Assalamu’alaikum, Fatimah,” sapaku.
“Wa’alaikum salam. Mas siapa ya? Kok Fatimah nggak kenal?”
“Mas teman dari Bapak dan Ibumu.”
“Iya, Fatimah. Ini namanya Mas Isma.”
“Mas Isma? Sebentar, ........ sepertinya Fatimah pernah dengar nama itu sebelumnya. Tapi dimana, ya?”
“Kamu ini mengada-ada saja.”
“Beneran, Pak. Fatimah pernah dengar nama itu. Tapi Fatimah agak lupa. Coba Fatimah ingat-ingat dulu ...”
“Sudahlah, nanti kamu malah kecapekan.”
Tiba-tiba Fatimah melonjak kegirangan.
“Nah, sekarang Fatimah ingat. Fatimah dulu pernah mendengarkan siaran di sebuah radio yang sedang mengadakan wawancara dengan salah satu grup band pendatang baru. Nama bandnya kalau nggak salah, .... sebentar eh,...Coffeemilk. Ya betul! Namanya Coffeemilk. Fatimah sangat suka dengan lagu-lagunya. Dan salah satu personilnya bernama Isma. Apakah Isma yang dimaksud adalah Mas Isma yang ini?”
“Kamu ini. Mungkin itu hanya kebetulan saja, Fatimah.”
“Nggak mungkin, Pak. Tadi waktu dengar suara Mas Isma, Fatimah rasa suaranya mirip dengan yang di radio waktu itu.”
“Wah, Fatimah ternyata memiliki daya ingat yang luar biasanya.”
“Jadi, Mas Isma ini betul Isma, personil Coffeemilk seperti yang Fatimah bilang tadi?”
“Kamu benar, Fatimah. Mas adalah Isma yang kau maksud.”
Seketika Fatimah meloncat kegirangan. Dia lupa kalau dirinya sedang sakit parah. Sepertinya dia hendak beranjak dari tempat tidurnya. Hal itu segera kucegah bersama dengan Pak Abdul.
“Bapak, Ibu. Fatimah mimpi apa semalam? Sekarang Fatimah dijenguk oleh idola Fatimah. Hari ini Fatimah seneeeeng banget. Bapak, punya kertas dan bulpen, kan? Mas Isma, Fatimah boleh minta tanda-tangannya?”
“Sabar sedikit, Fatimah. Kamu kan sedang sakit.”
“Udah nggak papa, kok.”
“Wah, ternyata Nak Isma ini seorang artis tho?”
“Ah, Ibu. Saya bukan siapa-siapa.”
“Mas Isma jangan merendah begitu. Asal Mas tahu. Di sekolah Fatimah, Coffeemilk sudah memiliki penggemar tersendiri yang tergabung dalam sebuah fans club. Jumlah anggotanya lumayan banyak. Termasuk Fatimah tentunya. Bahkan ketua fans club nya teman Fatimah sekelas.”
Jangan-jangan...
“Kalau boleh tahu, siapa nama teman Fatimah?”
“Namanya Azizah, Mas. Anaknya cantik dan ramah. Dia anak terpandai di sekolah Fatimah.”
“Jadi kamu sekelas dengan Azizah?”
“Lho, Mas Isma kenal juga dengan Azizah?”
“Iya, Mas kenal baik dengannya.”
“Wah, nggak nyangka. Dunia memang sempit ya Mas.”
“Begitulah.”

Kami terus mengobrol dengan serunya. Sedikit demi sedikit, kegelisahan hatiku yang menunggu kondisi Viola terhibur oleh keceriaan Fatimah. Fatimah orangnya sangat terbuka dan ceplas-ceplos. Dia anak yang sangat periang. Sifatnya sangat mirip dengan Nadia, adikku. Aku serasa sedang mengobrol dengan adikku sendiri.
“Fatimah mau tanya, nih.”
“Mau tanya apaan?”
“Seingat Fatimah, dulu sewaktu siaran di radio. Mas bilang Mas udah punya pacar, ya? Siapa, hayo?”
“Ah, ngawur kamu ini. Mas nggak bilang begitu. Lagian nggak ada siapa-siapa kok.”
“Ah, Mas Isma jangan bohongin Fatimah. Sebenarnya Fatimah udah tahu kok siapa orangnya.”
“Emangnya siapa?”
“Eee,... pacarnya Mas Isma, ... itu, tuh.”
“Siapa?” Aku jadi merasa gemas dengannya.
“Eee, ...pacarnya Mas, ... Mbak Viola kan? Hayo ngaku, Mas?”
“Lho, kok bisa?”
“Udah, nggak usah mengelak, Mas. Benar kan kata Fatimah?”
Dasar anak ini. Kali ini aku nggak bisa berkelit lagi.
“Kalau iya, memang kenapa?”
“Wah, Fatimah jadi patah hati nih.”
“Lho, jadi Neng Viola yang dirawat di ICU itu pacarnya Nak Isma?”
“Lho, kok Ibu tahu soal Mbak Viola? Terus tadi Ibu bilang apa? Mbak Viola di rawat di sini?”
“Tadi Mas Isma sudah cerita sama Bapak dan Ibu tentang Neng Viola.”
“Emangnya Mbak Viola sakit apa, Mas?”
Ketika Fatimah bertanya tentang Viola kepadaku, aku pun menjadi sedih kembali. Keriangan yang tadi kurasakan bersama Fatimah kembali berganti duka yang menyelimuti hati. Kembali kujelaskan kepada Fatimah seperti yang telah kubilang kepada orang tuanya tentang kondisi Viola saat ini.
Kulihat Fatimah mulai menitikkan air mata. Dia terlihat sedih sedang mendengar ceritaku.
“Sudah, Dik. Janganlah kau bersedih. Mas jadi nggak tega melihat kau seperti itu. Kembalilah seperti tadi. Kembalilah menjadi Fatimah yang periang,” hiburku.
“Aku kasihan dengan Mbak Viola, Mas. Mengapa nasibnya sama denganku.”
Mendengar ucapan putrinya, kulihat kembali Pak Abdul dan Bu Surti meneteskan air mata. Melihat suasana itu, aku segera bertindak untuk menenangkan suasana.
“Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Fatimah. Semuanya telah digaris oleh Allah SWT. Kita hanya bisa berdoa dan terus berusaha. Semua manusia telah diatur takdirnya masing-masing.”
“Apa takdir manusia tidak bisa dirubah, Mas?”
“Hanya Allah yang tahu, Dik.”

Tiba-tiba handphoneku berdering. Sebuah SMS masuk di dalamnya. Ternyata Mas Deny telah menghubungi. Segera kubaca pesannya.

Is, kamu ada dimana?
Viola sudah siuman.
Dia mencari kamu.
Segeralah kau kemari.

Hah, Viola telah sadar. Alhamdullillah. Aku segera akan menjenguknya. Terlebih dulu aku berpamitan kepada Pak Abdul dan keluarganya.
“Pak, Ibu, dan Fatimah. Mas mau pamit dulu. Ini ada SMS dari teman Mas yang bilang kalau Mbak Viola sudah siuman. Mas mau ke sana dulu menjenguknya.”
“Jadi Neng Viola sudah sadar, Nak Isma?”
“Benar, Bu. Dia sudah sadar.”
“Alhamdullillah, Ya Allah.”
“Mas, sampaikan salam Fatimah untuk Mbak Viola. Mas jangan lupa jenguk Fatimah lagi ya.”
“Insya Allah, Dik. Mas pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.” Jawab keluarga Pak Abdul serempak.
Aku pun segera berlari menuju ke ruang ICU di mana Viola sedang menungguku. Tunggu aku, bidadariku. Aku akan datang untukmu.

Kupercepat lariku supaya dapat segera sampai ke ruang ICU. Ketika kutiba di sana, teman-temanku sudah berdiri di depan pintu kamar tempat Viola dirawat. Tapi aku tidak melihat Willy, Dik Hary dan anak-anak Mentari Buana. Aku hanya melihat Dik Ira saja. Kemana mereka? Dan Topan segera menyapaku.
”Hey, Is. Darimana saja kamu? Kami tadi mencari kamu kemana-mana.”
”Sorry. Aku baru saja menjenguk teman yang sakit. Kebetulan dia juga di rawat di sini. Ngomong-ngomong, teman-teman Mentari Buana yang lain kemana?”
”Mereka sudah pulang dulu ke kostan bareng Willy dan Dik Hary. Sekalian mau ngabarin Mas Dody dan Mamah Rini kalau Viola sedang dirawat di sini.”
”Terus sejak kapan Viola sadar?”
”Baru sepuluh menit yang lalu. Begitu sadar, dia langsung nanyain kamu.”
”OK, kalau begitu. Aku masuk dulu.”
”Ya cepetan sana. Mas Deny udah nunggu di dalam.”

Segera kubuka pintu ruang ICU menuju ke tempat Viola terbaring. Mas Deny tampaknya mengetahui kehadiranku. Kulihat Viola masih terbaring lemah di ranjangnya. Matanya masih terpejam. Dia belum melihatku datang.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Akhirnya kamu datang juga. Kemana saja kamu, Is?” Mas Deny berkata padaku dengan suara yang pelan.
”Maafkan aku, Mas. Tadi aku menenangkan diri sejenak. Begitu mendengar kabar kalau Viola sudah sadar, aku sangat senang sekali dan segera berlari kemari,” jawabku setengah berbisik.
”Ya sudah, sekarang kamu temenin Viola. Mas keluar sebentar mencari Om Lukman.”
”Baik, Mas.”
Mas Deny segera beranjak keluar, meninggalkan diriku sendiri bersama Viola. Kupandangi Viola dengan penuh kelembutan. Wajahnya masih memakai alat bantu pernafasan. Nafasnya terhembus dengan lemah. Selang dari saluran infus juga masih melekat di pergelangan tangannya. Aku segera meraih sebuah kursi dan kuletakkan di samping tempat tidurnya. Setelah duduk, kuberanikan diri untuk membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tampaknya Viola merasakannya. Tubuhnya bergerak dengan perlahan. Wajahnya berpaling menghadap diriku. Matanya yang tadi terpejam kini perlahan-lahan mulai terbuka. Setelah melihatku, dia tersenyum.
”Isma? ... Kaukah itu, sayang?”
”Ya, kekasihku. Ini aku telah berada di sisimu.”
”Sayang, jangan pernah kau tinggalkan diriku.”
”Tidak akan, Vi.. Aku akan selalu menjagamu.”
”Sungguh, sayang?”
”Insya Allah, Vi.”
Kugenggam erat tangan Viola yang masih lemah tak berdaya. Viola pun berusaha membalasnya. Tanganku yang lain membelai pipinya yang halus dengan lembut. Viola menggeliat dengan manja. Senyumnya yang tadi menghilang, perlahan mulai muncul kembali.
”Is, bagaimana dengan festivalnya? Apa kita menang?”
”Aku nggak tahu, Vi. Sejak musibah yang menimpa dirimu, aku dan teman-teman tidak menghiraukan lagi apakah kita menang atau kalah di festival itu. Saat ini kami hanya peduli dengan keselamatan kamu. Kami semua lebih mementingkan kesembuhan kamu.”
”Aku jadi merasa nggak enak dengan kalian, Is. Kita sudah bersusah payah dan berlatih dengan keras setiap hari. Kita curahkan seluruh tenaga dan pikiran supaya bisa memenangi festival itu. Maafkan aku ya. Gara-gara aku...”
Kupotong segera perkataannya dengan menempelkan jari telunjukku di bibirnya yang mungil. ”Ssst, sudah cukup, Vi. Kamu sekarang jangan memikirkan apa-apa dulu, ya.”
Viola pun terdiam. Dia menatapku dengan penuh arti. Pandangan kami saling bertemu seakan hendak merasuki raga kami masing-masing. Mencari tempat yang paling teduh di relung hati.
”Sayang?”
”Ada apa?”
”Kamu sudah tahu bukan, penyakit apa yang telah kuderita selama ini.”
Aku sejenak terdiam. ”Ya, aku tahu.”
”Kamu juga tahu kan kalau umurku sudah tidak lama lagi.” Mata Viola mulai berkaca-kaca.
”Janganlah kau bicara seperti itu.. Sesungguhnya panjang pendeknya umur manusia hanya Allah-lah Yang Maha Tahu.”
”Tapi disebabkan oleh penyakit yang kuderita ini, bukankah dokter sudah dapat memberi keterangan berapa lama lagi sisa hidupku?”
”Sayang, itu hanya hitungan secara ilmiah saja. Selebihnya tergantung dari kehendak Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa terus berusaha dan berdoa kepada-Nya.”
”Apakah kamu tetap mencintaiku setelah mengetahui penyakitku ini, sayang?”
”Aku tetap dan selalu mencintaimu, Vi. Apapun yang terjadi pada dirimu. Kuserahkan hati dan cintaku yang tulus ini hanya padamu.”
”Benarkah yang kamu katakan?”
”Demi rasa cintaku kepada Allah SWT, demi cintaku kepada Bapak dan Ibu serta saudari-saudariku, begitulah rasa cintaku padamu.”
”Is, maukah melakukan sesuatu untukku?”
”Asal tidak bertentangan dengan keyakinanku, aku sanggup melakukan apapun permintaanmu dengan ikhlas, sayang.”
”Maukah kau selalu menemani disisiku dan mencintaiku sampai ajal menjemputku?”
”Vi, kamu jangan ...”
”Is, tolong jawab pertanyaanku.”
”Tentu, sayangku. Akan akan selalu menemanimu dan mencintaimu.”
”Maukah kamu menyanyikan lagu cinta untukku, Is?”
”Sekarang, sayang?”
Viola mengangguk dan tersenyum.
”Baiklah, aku akan menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini hanya untukmu, belahan hatiku. Dengarkanlah dengan hatimu dan kamu akan tahu, seberapa dalam cintaku untukmu.”
Aku segera melantunkan syair-syair cinta kepada Viola.

Bila telah tiba
Saatnya berbagi cinta
Yang lama terpendam
Di relung hati yang terdalam

Saat mentari terus bersinar
Kala bintang masih gemerlap
Biarkan aku selalu disini
Bersanding denganmu berbagi cinta

Bagaikan sebuah cerita
Semua yang kulalui
Dan akan terus begini
Temani hari-hariku yang indah


Hangat cinta yang terasa
Tak bisa sirna walau sesaat
Selamanya dalam hidupku
Oh….maukah dirimu jadi milikku
Selamanya ...
( kutipan puisi karya penulis sendiri )

Kulihat Viola meneteskan air mata setelah mendengar lagu yang kudendangkan untuknya.
”Oh .. , lagu itu sungguh indah, sayang.”
”Benarkah?”
”Sungguh, aku sangat suka lagu itu. Kapan kau membuatnya?”
”Baru saja. Lagu itu terlantun dengan sendirinya dari dalam jiwaku, mengalir melalui aliran darahku hingga berdendang merdu menuju ke hatimu, sayangku.”
”Oh, Isma ...”
”Adakah permintaanmu yang lain?”
”Iya, dan ini permintaanku yang terakhir. Seperti bait terakhir yang kau nyanyikan tadi. Dan sebelum ajal menjemputku, aku ingin jadi milikmu selamanya, sayang. Maukah kau menikahiku?”
Sejenak aku tersentak. Permintaan terakhir Viola tersebut sangat mengagetkan diriku. Jantungku terasa tak sanggup lagi berdetak. Lidahku menjadi kelu. Aku terdiam. Lalu kupandang wajah cantik Viola lekat-lekat.
Kugenggaman tangannya dengan lebih erat.
”Kenapa kamu diam, sayang? Maukah kamu menikahiku?”
”Apakah perlu saat ini juga kulakukan permintaanmu itu?”
”Ya, sayang. Sebelum semuanya terlambat dan aku nggak ingin semua itu terjadi.”
”Pernikahan adalah sesuatu ibadah yang sangat suci dan mulia. Kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Apakah kamu telah benar-benar yakin akan melakukannya secepat ini, Vi?”
”Aku yakin, sayang. Seperti keyakinanku akan cinta yang telah kauberikan untukku.”

Aku kembali terdiam. Memang permintaan Viola yang terakhir kurasakan bagaikan sebuah ujian dalam perjalanan hidupku. Perjalanan yang telah kurencanakan sejak dulu. Ujian ini bisa saja membuat perjalananku menjadi tersendat di tengah jalan. Membuyarkan semua impianku yang sejauh ini mulai kudaki dengan perlahan namun pasti. Ataukah justru akan memudahkanku mencapai tujuan hidup yang sebenarnya kucari-cari. Sesungguhnya sekarang Viola telah menjadi tujuan hidupku. Tapi apakah dia bersama diriku selamanya? Menemaniku setiap langkah hidupku? Ya Allah, apa yang harus kulakukan?
Aku masih bimbang. Pikiranku masih kalut. Berbagai pertanyaan-pertanyaan terus menggelantung di pikiranku. Bayangan kehidupan setelah pernikahan tiba-tiba menghantuiku. Melihat kondisiku sekarang ini, apakah nanti aku bisa menafkahi istriku, memberikan kehidupan yang layak untuknya? Apa aku mampu menjadi suami yang baik untuk Viola?
Lama aku terus berkutat dalam pertentangan batinku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk mengambil sebuah keputusan yang akan merubah seluruh hidupku.
”Demi Allah Sang Pencipta Alam Semesta, dan demi cinta suciku pada dirimu. Aku akan menikahimu, Viola. Bersediakan kau menjadi istriku? Bersama selamanya, baik dalam suka maupun duka?”
Viola mengangguk dengan linangan air mata yang mengucur deras membasahi pipi.
Akhirnya cinta pun bersanding dengan indahnya, diringi lantunan suara adzan yang bergema menggetarkan jiwa.
Bersambung ...

Rabu, 11 Februari 2009

Bag 8-Lagu Cinta untuk Viola ( Chap. Lagu untuk Viola )

Dan akhirnya hari H pun tiba. Festival ini merupakan event musik terbesar yang diadakan tahun ini di kota Solo. Festival yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan event organizer ini diadakan di sebuah lapangan parkir sebuah pusat olahraga terkenal yang terletak di sebelah Barat kota Solo. Luas lapangan parkir tersebut mencapai 2000 m2 sehingga dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Sebuah perusahaan rokok ternama pun turut menjadi sponsornya.
Suasana festival sangat meriah. Disekeliling lokasi festival terpasang berbagai macam spanduk dan umbul-umbul dari para sponsor. Banyak tenda-tenda didirikan sebagai tempat promosi dari produk-produk yang bertindak sebagai sponsor. Para pedagang kaki lima pun tidak mau kalah. Mereka sejak pagi hari sudah menggelar lapak-lapaknya. Beraneka macam dagangan mereka jajakan. Mulai dari makanan, minuman, pakaian dan yang terbanyak adalah atribut-atribut yang bernuansa musik seperti kaos, gelang, kalung, bandana, cincin, dan masih banyak lagi. Mereka menggelar dagangan di sepanjang lintasan jogging track yang mengelilingi pangan parkir. Harga yang mereka tawarkan sangat bervariatif. Bila berminat, harus pandai-pandai menawar supaya bisa dapat harga yang murah.

Terlihat di ujung tengah lapangan parkir, berdiri sebuah panggung megah dengan konstruksi baja space frame yang kokoh. Bentuk atap panggung berupa setengah lingkaran dengan kain terpal warna hitam sebagai penutupnya. Luas panggung tersebut kurang lebih 15m x 25m. Panggung terdiri dari 3 level. Level teratas diperuntukkan untuk seperangkat drums dan keyboards beserta aksesorisnya. Level dibawahnya terletak agak dipinggir panggung dengan posisi di sebelah kiri dan kanan. Biasanya level tersebut difungsikan untuk dua pemain gitar, baik lead guitar maupun rhythm guitar yang menempati masing-masing posisi, terserah di kiri maupun di kanan panggung. Dan yang terakhir level paling bawah difungsikan untuk menampung semua aksesoris dan perangkat sound system. Vokalis band serta pemain bass menempati level tersebut dengan posisi vokalis sedikit di depan atau bahkan sejajar dengan pemain bass. Tapi aturan itu tidak mutlak sepenuhnya. Hal itu tergantung dari teknik penguasaan panggung dari masing-masing grup band yang akan tampil. Biasanya tiap grup band mempunyai penguasaan panggung yang berbeda-beda satu sama lain. Sehingga sering terlihat antara pemain dari sebuah band saling bertukar tempat dan posisi untuk menampilkan gaya panggung masing-masing.

Sementara itu, di sebelah kiri dan kanan panggung, dengan posisi agak menjauh kira-kira 5m dari panggung, terpasang masing-masing seperangkat sound system berukuran besar, kekuatan suara yang dihasilkan mungkin hingga 100.000 watt. Disampingnya dilengkapi dengan wide screen berukuran 4m x 5m sehingga dari kejahuan para penonton bisa melihat aksi para grup band si atas panggung.
Rencananya festival akan dimulai tepat jam sepuluh pagi. Sebelumnya akan diadakan acara pembukaan yang dipimpin langsung oleh Bapak Walikota Solo sebagai tamu undangan kehormatan.
Untuk peserta festival jumlahnya cukup banyak. Hampir sekitar lima puluhan band turut berpartisipasi dalam acara besar ini. Kebanyakan merupakan band-band lokal dari kota Solo dan wilyah sekitarnya seperti Karanganyar, Sragen, Sukoharjo dan Boyolali. Tapi tak sedikit pula band yang berasal dari luar wilayah Solo seperti dari Klaten, Salatiga, Magelang bahkan dari Semarang dan Jogja pun ada. Beberapa band peserta sudah kami kenal cukup lama karena mereka se-kampus dengan kami. Seperti Es Campur dari Fakultas Sastra, ada juga Buldozer dari Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Alibi dari Fakultas Hukum, CT Scan dari Fakultas Kedokteran, Abstain dari Fakultas Sospol, Money Laundry dari Fakultas Ekonomi serta Balada Crew dari Fakultas Seni Rupa.

Sebagai toko musik terbesar, StarMusikindo ikut andil dalam festival ini. Meskipun demikian aku tidak diikutkan dalam kepanitiaan. Dikarenakan dalam hal ini aku sebagai peserta festival. Memang ada aturan yang melarang panitia ikut serta dalam festival. Dalam kepanitiaan, Mbak Ivonne bertugas untuk mendaftar ulang band-band yang akan tampil. Dan saat ini, hari sudah melewati pukul sembilan pagi, tapi anak-anak belum kelihatan sama sekali batang hidungnya. Sedangkan deadline daftar ulang adalah jam setengah sepuluh pagi. Sebagai karyawan StarMusikindo, tentu aku tidak boleh mendaftarkan bandku sendiri. Takut nantinya timbul fitnah kalau aku ini KKN. Harus ada perwakilan dari Coffeemilk selain aku yang harus mendaftar sehingga wajar kalau aku mulai khawatir. Hampir semua band telah daftar ulang, hanya tinggal delapan band lagi termasuk Coffeemilk yang belum daftar ulang.
“Is, mana temen-temen kamu? Kok jam segini belum pada datang? Bisa-bisa nanti band kamu didiskualifikasi kalau belum sempat daftar ulang!” Mbak Ivonne bertanya kepadaku sambil tangannya masih sibuk menulis laporan.
“Nggak tau nih, Mbak.” Aku pun makin gelisah. Kemana ya mereka? Apa mereka dapat halangan dalam perjalanan kemari?

Detik-detik waktu pun terus berjalan. Arena festival sudah dipadati oleh pengunjung maupun peserta festival. Waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Ketika perasaanku makin tidak karuan karena gelisah, tiba-tiba Mbak Ivonne berteriak.
”Is, tuh teman-temanmu datang.”
“Yang bener, Mbak! Mana ?”
“Tuh, yang baru keluar dari mobil.”
“Wah, bener Mbak, itu mereka!” Alhamdulillah, datang juga akhirnya mereka.
Saking girangnya, tanpa sadar aku berteriak memanggil mereka sambil melambaikan tanganku. “Hey, guys! Cepetan kesini! Keburu ditutup nanti pendaftarannya. Ayo, cepetan!”
Mereka rupanya juga melihatku dan segera bergegas menuju ke arahku sambil berlarian.
“Assalamu’alaikum. Wah sorry, Is! Kita telat nih.” Topan berkata kepadaku dengan nafasnya yang masih ngos-ngosan.
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
“Iya, Is! Sorry, tadi ban mobil gue kempes kena paku, jadi kita cari tambal ban dulu sebelum kemari,” imbuh Danny.
“Nggak papa. It’s OK. Yang penting sekarang cepetan kalian daftar dulu. Nih formulirnya! Cepetan diisi, nanti keburu terlambat. Bisa-bisa kita nggak jadi ikutan festival.”
“Sini biar aku yang ngisi formulirnya.” Manto mengambil inisiatif.
“Nih, bulpennya, To!” Aku menyodorkan bulpen kepada Manto.
Manto pun mulai sibuk mengisi formulir pendaftaran.
“Mas, kami mau daftar ulang.” Tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari belakang. Rupanya mereka adalah band terakhir yang ingin daftar ulang juga. Aku pun segera mengarahkan mereka ke Mbak Ivonne untuk daftar ulang.
“Sebentar ya, aku tinggal sebentar! To, nanti kalau udah selesai ngisi formulirnya, kasih ke Mbak Ivonne. Jangan lupa ditandatangani ya!”
“Ok, aku ngerti kok.”

Aku berlalu meninggalkan teman-temanku. Tak lama kemudian, peserta festival yang masih belum daftar ulang mulai berdatangan satu-persatu. Sampai akhirnya sebelum batas waktunya habis, semua peserta festival telah daftar ulang semuanya.
“Is, aku ke Mas Didik dulu, mau kasih formulir-formulir ini. Sebentar lagi kan acaranya mau dimulai. Band-band yang telah terdaftar nanti akan diundi oleh panitia untuk menentukan nomer urutan tampil. Setelah tersusun, nanti daftar urutan band akan dibacakan langsung oleh MC di atas panggung supaya para peserta dapat lebih mempersiapkan diri.” Mbak Ivonne berkata kepadaku sambil merapikan berkas-berkas formulir pendaftaran.
“Baik, Mbak. Aku juga mau gabung dulu sama teman-teman buat persiapan sebelum naik panggung.”
“Good luck ya, Is! Moga-moga band kamu menang.”
“Amin, thanks Mbak.”
Mbak Ivonne pun berlalu meninggalkanku.

Aku pun segera menghampiri teman-temanku yang berdiri di sebelah barat panggung.
“OK, udah siap semuanya, guys.”
“Siap, Bos. Let’s rock n roll.” Tampak teman-temanku bersemangat mengikuti festival ini.
“Rif, kamu bawa kan barang-barang yang kupesan?”
“Beres, Is. Aku nggak lupa kok,” jawab Arif sambil menyerahkan tas ranselnya kepadaku.
Pagi-pagi tadi aku udah menghubungi Arif untuk minta tolong dibawakan kostum panggung buatku karena tadi aku buru-buru sehingga lupa bawa kostum. Kami berlima nggak terlalu glamour dalam berkostum. Cukup berbusana casual atau baju kota-kotak dipadu kaos oblong plus celana jeans sudah cukup buat kami. Tapi karena aku saat ini memakai baju seragam StarMusikindo, mau nggak mau aku harus ganti baju biar nggak ada gunjingan nantinya.
“Thanks, Rif. Aku mau ganti baju dulu.” Aku berlari mencari tempat yang agak bersembunyi untuk ganti baju.
Setelah selesai memakai baju untuk tampil di atas panggung nanti, aku segera bergabung kembali dengan teman-temanku.
“Ngomong-ngomong, mana Mas Deny dan Viola? Kok mereka belum kelihatan?” tanyaku.
“Tadi sebelum sampai sini gue sempet kontak Mas Deny, katanya sih mereka udah dalam perjalanan kesini,” jawab Danny.
“Nah tuh, mereka datang!” teriak Arif sambil menunjuk ke arah area parkir.
Mataku segera tertuju kepada kearah yang ditunjukkan Arif.

Dikejauhan, terlihat Mas Deny dan Viola keluar dari mobil. Mereka berdua berlari-lari kecil ke arah kami. Dan ketika mereka berdua dihadapan kami, kami semua terkesima. Ada sesuatu yang beda dari penampilan Viola hari ini. Dia tampak begitu cantik. Dengan memakai blus warna putih sipadu dengan celana jeans warna biru, Viola tampak lebih anggun dari biasanya. Rambutnya tergerai rapi dan dikepang kesamping. Wajahnya bersinar bagaikan bidadari yang turun dari langit dengan senyum yang mengembang selalu menyertainya.
Mas Deny dan Viola serempak menyapa kami. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Balas kami serempak.
“Wah, siapa gerangan bidadari ini?” komentar Topan yang membuat Viola tersipu.
“Iya, Vi. Kamu tampak berbeda hari ini. Kamu tampak lebih cantik dan anggun. Benar kan, Is?” imbuh Danny.
Aku jadi salah tingkah diminta pendapat oleh Danny seperti itu. “Ee…, benar apa kata Danny barusan, Vi. Kamu eh… cantik sekali hari ini. Kami semua hampir nggak ngenalin kamu tadi.”
“Tuh, Isma aja sampai grogi melihatnya,” ledek Topan.
“Apaan sih loe,” tukasku.
“Kalian ini, jangan terlalu berlebihan kalau memuji. Nanti aku jadi kege-eran,” kata Viola dengan wajah masih tersipu-sipu.
“Sorry semuanya, kami agak terlambat datang. Soalnya tadi nungguin Viola merias diri sampai secantik ini. Hampir tiga puluh menit dia dandan di kamarnya,” terang Mas Deny ikutan menggoda.
“Apaan sih, Mas Deny. Jadi ikut-ikutan ngeledekin. Aku jadi malu nih,” rengek Viola manja sambil memukul lengan kakaknya.
“Udah-udah, sekarang lebih baik kita menuju ke tempat para peserta yang telah disediakan di belakang panggung,” ajakku.
“Yuk, kita ke sana.” Kami semua segera bergegas menuju ke tempat para peserta.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi acara festival akan segera dimulai. Lokasi festival berangsur-angsur telah dipadati oleh penonton. Mereka datang dari seluruh pelosok kota Solo dan sekitarnya. Baik tua, muda, pria, wanita bahkan anak-anak berbaur menjadi satu. Di antara mereka mungkin terdapat para supporter dari grup band yang akan tampil. Mereka telah mengenakan atributnya masing-masing. Kami sendiri tidak secara khusus mendatangkan supporter. Tapi sebelum festival kami sempat memberitahukan kepada teman-teman di kampus serta anak-anak “Mentari Buana” bahwa kami akan tampil di festival ini. Secara tak terduga, mereka malah berinisiatif sendiri membuat famlet-famlet dan brosur-brosur yang di tempel-tempel serta disebarkan di wilayah kampus dan sekitarnya guna mencari dukungan. Mirip team sukses sebuah Pilkada. Aku pun menjadi terharu melihatnya. Tak kusangka dukungan mereka akan seperti itu terhadap Coffeemilk.

Ketika kami hendak memasuki area peserta festival, dari arah belakng kami terdengar suara yang memanggil Coffeemilk. Kami pun memalingkan wajah mencari asal suara. Di belakang kami terlihat sekumpulan anak-anak muda seumuran anak SMU. Mereka terdiri dari lima orang cewek dan dua orang cowok. Mereka semua mengenakan kaus berwarna-warni. Tapi ada satu kesamaan dari kaos yang mereka pakai meskipun berbeda-beda warnanya. Logo kaos yang mereka pakai menggambarkan sebuah cangkir kopi dengan simbol asap yang mengepul di atasnya. Di cangkir tersebut terdapat sebuah kata dengan huruf latin yang tersusun melintang . Bunyi kata itu : Coffeemilk !!!
Seorang dari mereka, cewek berjilbab berkaos kuning dengan deker hitam menutupi kedua lengannya, mendekat dan bertanya kepadaku.”Permisi, Mas. Apa Mas sekalian dari Coffeemilk?”
Aku balik bertanya kepada mereka. “Kenapa kalian bisa menduga kalau kami ini dari Coffemilk?”
“Kami udah dari tadi memperhatikan Mas-Mas dan Mbak. Kemudian setelah berunding, kami memberanikan diri untuk menyapa. Dulu kami pernah nonton konsernya Coffeemilk pas ada cara launching produk di Solo Grand Mall. Tapi kami lupa-lupa ingat wajah mereka. Yang pasti mereka ada lima orang cowok yang ganteng-ganteng.”

Aku jadi teringat konser pertama kali dulu setelah kami bergabung dengan Yellowbeat. Dulu Mas Deny menerima job untuk mengisi acara launching produk di Solo Grand Mall. Kalau nggak salah semacam produk minuman suplemen. Kami mengisi acara bersama-sama dengan band-band lokal dari Solo. Kami berlima bermain dengan sangat antusias. Tapi dulu Viola belum ikutan. Dia cuma jadi semacam road manager-nya Coffeemilk membantu Mas Deny mengurusi segala keperluan Coffeemilk.
“Lho, Mas kok malah bengong? Benar nggak Mas dari Coffeemilk?” tanya si cewek satunya nggak sabaran.
“Benar, kami dari Coffeemilk. Ada yang bisa kami bantu?”
Serentak mereka bertujuh bersorak kegirangan. Melihat tingkah mereka, kami hanya tersenyum.
“Mas, kami semua ngefans berat lho sama Coffemilk. Kami mau minta tanda tangan dan foto-foto bersama. Boleh ya?” rengek mereka.
”Gimana ya, kami sedang sibuk nih mau mempersiapkan diri untuk pentas,” jawab Topan sambil berlagak sok artis.
“Ah, belagu loe,” ledek Arif keki melihat tingkah Topan. ”Boleh aja kok, nggak papa kalau mau minta tanda tangan tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apaan, Mas?”
“Pertama, sebutkan nama kalian masing-masing. Gimana?”
Cewek berkaos kuning itu kurasa pimpinan dari kelompok kecil ini. Dia yang sering menjadi juru bicara mereka.
“Kenalkan. Nama saya Azizah. Yang berkaos hijau namanya Khairina. Cowok-cowok yang berkaos hitam namanya Adit dan Hafidz. Terus yang pakai kaos merah namanya Wanda. Dan mereka berdua namanya Hanny dan yang berjilbab Zahra.”
“Mmh, … nama kalian bagus-bagus. Kalian satu sekolah ya? Dimana?” tanya Viola.
“Iya, Mbak. Kami semua satu sekolahan. Tepatnya di SMU Negeri 1 Solo,” jawab Khairina yang dari tadi diam.
“Bahkan kami semua satu kelas, kecuali Zahra dan Hafidz. Mereka berdua anak Biologi. Kalau kami anak Fisika,” terang Azizah.
“Wah, kalau gitu kalian adik-adik kelasku donk. Mbak dulu juga dari SMU Negeri 1 Solo dan Mbak juga anak Fisika,” kata Viola.
“Ternyata kita satu almamater ya,” balas Wanda girang.
“OK, sudah reuninya. Syarat pertama kalian lulus. Sekarang yang kedua, Mas pengin tahu, siapa yang punya ide memakai kaos seperti yang kalian pakai sekarang ini? Terus siapa yang bikin logonya dengan tulisan Coffeemilk?” tanya Arif kembali.
“Begini ceritanya, Mas. Karena kami sangat suka dengan Coffeemilk, kami sepakat untuk membentuk sebuah fans club. Tujuannya ya selain buat kumpul-kumpul antar sesama penggemar, kami bisa saling tukar menukar informasi mengenai segala sesuatu tentang Coffeemilk. Kami pun sering mengirim request ke Radio Indigo FM secara bergantian. Dulu pas ada acara interview khusus dengan Coffeemilk, saya yang pertama kali tahu, trus saya hubungi semua teman-teman untuk mendengar interview itu. Dan setelah kami pikir-pikir supaya lebih terorganisir, kami membentuk sebuah kepengurusan. Dan kami sepakat memilih Azizah sebagai Ketua. Untuk jabatan Sekretaris kami percayakan kepada Wanda. Bendahara dijabat oleh saya sendiri. Terus kami kompakan untuk membuat kaos dengan warna yang berbeda-beda. Kemudian atas usul Adit, kami menambahkan logo dikaosnya supaya nantinya dapat menjadi ciri khas dari perkumpulan ini,” terang Khairina panjang lebar.
“Jadi yang bikin logo kamu, Dit?” tanyaku.
“Iya, Mas. Alhamdullillah. Saya bisa sedikit desain grafis.”
“Bagus kok logonya. Simple tapi pas dengan artinya. Kami saja bahkan belum sempat membikin logo,” kata Manto sambil memperhatikan logo di kaos Hafidz dengan seksama.
“Kami memang belum mempunyai logo resmi. Kami belum sempat saja. Untuk itu, kalau boleh, kami ingin memakai logo yang kalian buat sebagai logo resmi Coffeemilk. Menurut Mas Deny gimana?” Aku pun meminta pendapat Mas Deny mengenai desain logo.
“Terserah kalian aja, yang penting image Coffeemilk tetap terjaga dan desainnya tidak melanggar norma-norma. Menurut Mas, karya dari anak-anak SMU 1 ini sangat bagus kok dan cocok untuk logo kalian.,” jawab Mas Deny bijak.
“Nah, manager kami sudah setuju, bagimana dengan kalian?” tanyaku balik kepada mereka.
Tanpa kami sadari, mimik wajah mereka bertujuh sudah berubah menjadi wajah yang penuh dengan keharuan dan kegembiraan.
“Yang benar, Mas? Suatu kehormatan bagi kami sekiranya Coffeemilk yang kami idolakan sudi memakai logo buatan kami. Kami sangat senang sekali. Saya mewakili teman-teman, sangat setuju atas usulan Mas. Benar kan teman-teman?” kata Azizah dengan mata berbinar.
Mereka menganggukkan kepala serempak tanda sepakat dengan Azizah.

“Nah, urusan logo beres. Sekarang jadi nggak minta tanda tangannya?” tanyaku.
Tanpa disuruh, mereka bertujuh segera mengeluarkan buku atau agenda yang tersimpan dalam tas mereka masing-masing untuk diberi tangan tangan. Tak lupa pula kaos yang saat ini mereka pakai juga dimintai tanda tangan kami. Kami melayani mereka dengan sepenuh hati. Kami sepenuhnya sadar, tanpa penggemar-penggemar yang tulus dan setia seperti mereka bertujuh, mustahil Coffeemilk akan bisa terus eksis di blantika musik tanah air nanti. Mereka inilah pondasi kami dalam mengarungi kerasnya persaingan di industri musik yang sekarang demikian ketatnya.
Setelah tanda tangan sudah didapat, acara foto-foto dimulai. Mereka telah mempersiapkan kamera untuk mengabadikan momen yang bahagia hari ini. Wajah mereka tampak cerah, secerah langit di atas kawasan festival ini, warna biru tanpa sedikitpun awan mendung menyelimuti.
“Makasih atas tanda tangan dan foto-fotonya. Kami nggak akan melupakan saat-saat yang membahagiakan hari ini. Kami doakan semoga Coffeemilk menang,” kata Azizah setelah acara tanda tangan dan foto-foto selesai.
“Amin”. Jawab kami serempak.
“Nah, kalau begitu kami pergi dulu. Kelihatannya acara akan segera dimulai. Oh ya, Zah. Kalau kalian ada perlu dengan kami, kalian bisa kontak kami ke Yellowbeat, atau kirim e-mail ke coffeemilk@yahoo.co.id. Jangan lupa kasih kami nomer contact person kalian.”
“Beres, Mas. Kami juga mau gabung dengan penonton di sana. Insya Allah kami akan selalu menghubungi Mas-Mas dan Mbak sekalian. Sampai ketemu lagi ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Akhirnya mereka semua berpamitan dengan senyum yang mengembang. Mereka segera berbaur menjadi satu dengan para penonton festival untuk memberikan dukungan kepada kami. Aku memandangi mereka satu-persatu dengan penuh kebanggaan hingga bayangan mereka hilang dari pelupuk mataku. Oh, Azizah, Khairina, Wanda, Hanny, Zahra, Adit dan Hafidz. Nama-nama yang indah. Terima kasih atas dukungannya. Allah SWT telah mengirim kalian untuk membantuku menghadapi rintangan dalam perjalananku ini.

Lamunanku tiba-tiba dikejutkan oleh riuhnya sorak-sorai penonton. Kelihatannya acara festival telah dimulai. Para MC telah membacakan urutan-urutan acara yang nanti akan dilaksanakan. Nanti setelah sambutan dari Bapak Walikota dan dari Ketua Panitia Penyelenggara, daftar urutan band yang akan tampil akan dibacakan. Aku sangat deg-degan menanti detik-detik tersebut. Kami segera mempercepat langkah supaya tiba di belakang panggung dengan segera sehingga kami dapat jelas mendengar dari sana.
“Kira-kira kita nanti di urutan berapa ya?” tanya Viola.
“Entahlah, tapi berapa pun nomernya, kita sudah siap untuk tampil,” jawab Danny mantap.
“Yap, aku juga sudah siap tempur,” Topan tampak percaya diri.
“Yang penting kalian tetap semangat. Jangan pantang mundur. Kalian harus tampil tanpa beban. Jangan mikirin menang atau kalah. Pikirlah bagaimana kalian dapat tampil dengan maksimal dan dapat memuaskan penggemar kalian yang menantikan sesuatu yang dapat kalian berikan kepada mereka,” kata Mas Deny memotivasi kami.

Tanpa waktu lama, kami telah sampai di sisi kiri panggung dari arah belakang. Terlihat para peserta festival telah menanti hasil drawing dari panitia penyelenggara dengan hati yang deg-degan. Ada band yang sudah sangat percaya diri, ada band yang tampak biasa-biasa saja bahkan ada juga band yang malah cuek ngobrol dengan sesama anggota bandnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Akhirnya Bapak Walikota naik ke atas panggung untuk memberi sambutan. Tepuk tangan dan sorak-sorai penonton segera membahana ke seantero kawasan festival. Suasananya menjadi sangat meriah. Bapak Walikota memberi sambutan dengan singkat, jelas dan padat. Intinya Babak Walikota sangat mendukung kegiatan seperti ini untuk diadakan di kota Solo. Kegiatan seperti ini sangat penting bagi para generasi muda supaya mereka bisa lebih menjauhi hal-hal negatif seperti narkoba. Begitulah kira-kira sambutan yang diberikan orang nomer satu di kota Solo ini.
Setelah itu giliran Ketua Panitia Penyelenggara memberikan sambutannya. Panitia cuma ingi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan festival sehingga festival musik ini dapat berjalan dengan lancar.
Dan saat yang dinanti pun tiba.
MC mulai membacakan satu-persatu nama band yang akan tampil berdasarkan urutan hasil pengundian dari panitia.
“Sekarang saat yang telah dinantikan oleh kita semua. Kalian sudah siap?”
Para penonton menjawab dengan tepuk tangan dan sorak-sorai yang saling bersahutan.
“Nah, kami akan membacakan urutan band yang akan tampil dalam acara Solo Music Festival yang bertema Peduli Sesama dan Cinta Damai adalah sebagai berikut.”
“Nomer pertama adalah … Money Laundry.”
Tepuk tangan penonton kembali bergema.
Jantungku sesaat berhenti berdetak karena tururt merasakan atmosfir ketegangan yang terjadi pada saat ini.
“Nomer dua adalah … Jet Set.”
“Nomer tiga adalah … Es Campur.”
“Nomer empat adalah … Buldozer.”
Dan seterusnya … hingga MC menyebut nama kami di atas panggung.
“Nomer sepuluh, band yang telah dinantikan oleh kita semua, … Coffeemilk.”
Terdengar suara penonton mengelu-elukan nama Coffeemilk diiringi tepuk tangan yang sangat meriah. Uh, aku menghela nafas yang panjang. Hatiku seketika menjadi lega. Demikian pula dengan Topan, Arif, Manto, Danny dan Viola. Ketegangan telah sirna dari hati kami. Benar, kami mendapatkan urutan nomer sepuluh. Jadi kalau dihitung berdasarkan asumsi masing-masing band memerlukan waktu rata-rata tampil kira-kira 20 menit untuk membawakan empat buah lagu, maka kami akan tampil kurang lebih 3 jam dari sekarang. Jadi kira-kira pada pukul 1 siang nanti, Coffeemilk akan naik ke atas panggung. Masih tersisa banyak waktu bagi kami untuk mempersiapkan diri.

Kami segera mencari tempat yang enak untuk duduk sambil menunggu waktu kami tiba. Mas Deny, Viola dan aku duduk berdampingan di bangku yang tersedia pada sebuah plaza yang berada dekat di belakang panggung. Sedangkan anak-anak yang lain mencari duduk tak jauh dari tempat kami bertiga.
“O ya, menurut Mas Deny bagaimana mengenai fans club? Apakah kami memerlukannya sekarang?” tanyaku tiba-tiba.
Mas Deny terdiam sejenak. Selang beberapa detik dia berkata.”Sebenarnya kita belum begitu membutuhkan sebuah fans club. Kita ini Mas ibaratkan bagai seorang bayi masih berjalan merangkak. Bukan maksud Mas menganggap enteng masalah satu ini, tapi Mas rasa sebuah fans club merupakan sebuah jembatan untuk menghubungkan komunikasi dan apresiasi dari para penggemar dengan idolanya. Karena penggemar tersebut jumlahnya ribuan orang bahkan bisa sampai ratusan ribu orang, kalau tidak ada fans club tentu sebuah band akan sangat kerepotan mengurusi para penggemarnya satu persatu. Mas rasa Coffeemilk belum sampai ke tahap tersebut. Pelan-pelan aja. Suatu saat kalau kalian sudah berhasil, kalian pasti akan memiliki fans club sendiri. Tapi tidak ada salahnya untuk embrio, teman-teman dari SMU 1 tadi bisa kita mintai tolong untuk mengurus cikal bakal fans club dari Coffeemilk nanti.”
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Sebuah SMS masuk di sela obrolanku dengan Mas Deny. Kubaca nama pengirimnya yang ternyata dari Dik Ira, putrinya Mas Dody. Tumben dia SMS kepadaku. Ada apa ya?
“Dari siapa, Is?” tanya Viola kepadaku.
“Dari Dik Ira, tumben dia mencariku?” jawabku.
Karena penasaran segera kubuka SMS dari Dik Ira,

Mas Isma, Ira sdh smp di areal festival.
Tp ingin ketemu Mas dulu. Coffeemilk main jam brp?
Pss dimn? Aku dng Mas Willy n’ Dik Hary.
Tlg bls!

Rupanya Dik Ira datang melihat festival bersama kakak dan adiknya. Kelihatannya dia bingung mencariku. Segera kubalas SMSnya.

Mas ada diblkg pangg.
Sdng ddk di tmn.
Kalau mau Dik Ira kemari.
Mas tunggu!
Coffeemilk main nanti jam1!

Handphone pun kututup. Semoga Dik Ira mengerti petunjuk yang kuberikan. Band pertama telah memulai menunjukkan aksinya. Lagu Sweet Child O’Mine dari Guns N’ Roses yang merupakan lagu wajib di festival ini dibawakan dengan apik oleh Money Loundrey. Musiknya diaransemen ulang dengan ciri mereka meskipun kudengar masih ada banyak kemiripan dengan versi aslinya. Topan, Arif dan Manto tampak penasaran ingin melihat penampilan band pembuka itu. Mereka melangkah maju mendekati panggung. Sedangkan Danny dengan santai masih sibuk menghisap rokok di sudut plaza.
Tiba-tiba Mas Deny beranjak dari duduknya. “O ya, Vi. Mas permisi dulu. Mas tadi udah janjian untuk bertemu dengan teman lama. Katanya dia datang dari Jakarta khusus untuk melihat festival ini juga. Mas mau mencari dia dulu. Siapa tahu dia sudah menunggu. Mas tinggal dulu. Is, titip Viola ya.”
“Jangan khawatir, Mas. Viola akan kujaga sebaik-baiknya.”
“Aku percaya hal itu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”

Sekarang tinggal aku berduaan dengan Viola di taman ini. Kelihatannya Danny sudah bergabung dengan anak-anak yang lain untuk melihat para peserta festival unjuk kebolehan. Kutatap wajah Viola dengan penuh perasaan. Dan dia pun menatapku dengan mata yang sendu. Mata kami saling bertemu. Kurasakan sesuatu bergejolak di dalam tubuhku. Mengalir bersama aliran darahku. Oh, betapa indahnya ciptaan-Mu yang ada di hadapanku ini ya Allah. Sungguh agung kuasa-Mu hingga Kau perlihatkan kepadaku wajah seorang bidadari. Wajah yang bersinar terang, seakan hendak menerangi seluruh isi bumi ini dengan cahaya yang menyejukkan hati.
“Is, kok kamu memandangku seperti itu. Ada yang salah denganku?”
“Tak ada yang salah padamu, Vi. Bagiku kau terlalu sempurna.”
“Bisa aja kamu. Is, kamu tahu nggak? Saat-saat seperti inilah yang selalu kurindukan setiap hari. Kamu ingat kenangan terindah yang kita lakukan bersama di Jogja? Hari-hari itu merupakan hari-hari yang terindah dalam hidupku. Aku ingin selalu mengulanginya setiap hari. Aku selalu berdoa kepada Sang Maha Mendengar supaya aku bisa selalu mencurahkan seluruh perasaanku bersama dengan orang-orang yang kukasihi dan kucintai tanpa sedetik pun waktu yang terlewati. Karena mungkin aku nggak akan bisa selamanya menikmati keindahan dan kenikmatan itu.”
Tiba-tiba wajah Viola berubah menjadi sedih. Senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya perlahan-lahan memudar. Matanya yang bening menjadi sembab. Airmatanya terlihat mulai mengalir membasahi pipinya yang halus.
“Vi, kamu menangis? Ada suatu masalah yang membebani hatimu? Kalau boleh kutahu, mungkin aku bisa membantu meringankan bebanmu.”
“Tidak ada apa-apa, Is. Aku hanya kembali teringat dengan ayah dan bundaku. Semoga mereka di sana selalu merindukanku seperti aku di sini yang selalu merindukan mereka.”
“Insya Allah, Vi. Meskipun mereka telah menghadap kepada Sang Tunggal, orang tuamu akan selalu ada di dalam hatimu. Kemana pun kamu akan melangkahkan kaki, mereka akan selalu menemanimu, menjagamu dan menyanyangimu dengan setulus hati.”
“Makasih ya, Is. Kamu memang selalu ada untukku.”
“Sama-sama, Vi.”
Dengan diiringi lantunan syair-syair cinta yang mengharukan suasana, hati kami pun bertemu.


“Ehm, … Assalamu’alaikum, maaf kalau mengganggu.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyadarkan kami dari lamunan.
“Wa’alaikum salam, oh Dik Ira,” jawabku segera.
Viola kembali duduk seperti semula.
“Sorry, Mas Isma, Mbak Viola, kalau kedatangan Ira mengganggu.”
“Nggak papa kok, Dik. Kami hanya sedang melepaskan ketegangan aja sebelum nanti naik ke pentas.”
“Mas Topan dan yang lainnya pada kemana, Mas?”
“Tuh, mereka di sana. Sedang asyik melihat penampilan band yang sedang unjuk kebolehan di atas panggung.”
Dik Ira segera memalingkan pandangan ke arah yang kumaksud.
“Lho, kok sendirian, Dik? Katanya kemari sama Willy dan Dik Hary? Kemana mereka?” tanya Viola.
“Oh, Mas Willy dan Dik Hary tadi Ira tinggalin di antara para penonton, Mbak. Mereka tadi tampak asyik menikmati penampilan dari band pembuka sehingga pas Ira ajak kemari, mereka nggak mau. Nanti aja nyusul, katanya.”
“Ngomong-ngomong Dik Ira ada perlu apa dengan Mas, tumben, nggak biasanya?”
“Gini, Mas. Ira sebenarnya pengin minta tolong sama Mas. Ceritanya Ira disekolah kan ikut kegiatan madding sekolah. Kebetulan untuk materi minggu depan, Ira dapat jatah meliput festival ini. Sebenarnya Ira waktu itu keberatan karena Ira merasa belum mampu. Tapi karena didesak terus menerus oleh teman-teman Ira, terpaksa Ira menerima tugas itu. Itupun dikarenakan Ira ingat kalau Mas Isma dan Mas Topan akan ikutan festival ini. Jadi nanti Ira minta tolong sama Mas Isma atau Mas Topan untuk bisa memberi materi yang Ira perlukan guna penyusunan madding minggu depan. Bisa kan, Mas?”
“Insya Allah, nanti Mas usahakan.”
“Hebat lho Dik Ira ini. Meliput sebuah event apalagi yang berskala besar seperti festival ini tentu bukan pekerjaan gampang lho. Tapi Mbak percaya kok sama Dik Ira. Pasti Dik Ira Insya Allah bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Apalagi Mas Isma sudah mau membantu.”
“Amin. Makasih, Mbak. Semoga amanat ini dapat Ira kerjakan dengan sebaik-baiknya. Kalau begitu Ira pamit dulu ya. Ira mau mengambil gambar-gambar guna melengkapi materi madding nanti sekalian ikut menikmati musik tentunya. O ya, Mas. Coffeemilk jam satu siang kan mainnya?”
“Insya Allah, Dik.”
“Nanti Ira akan kasih tahu Mas Willy dan Dik Hary. Juga Mas-Mas di Mentari Buana. Mereka rnecananya mau rombongan kemari lho. Mungkin mereka sekarang sudah tiba disini bergabung dengan para penonton di sana untuk memberi dukungan buat Coffeemilk. Moga-moga Coffeemilk menang.”
“Makasih Dik, atas dukungannya. Salam buat anak-anak kalau Dik Ira ketemu di sana.”
“Ira pergi dulu ya Mas Isma. Mari, Mbak Viola. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab kami berdua serempak.
Dan Dik Ira segera berlalu dari hadapan kami.
Detik-detik sang waktu terus berjalan. Mentari pun bersinar dengan teriknya. Kucuran keringat membasahi tubuh kami. Tapi lain halnya dengan para penonton. Kulihat mereka tidak mempedulikan hal itu. Mereka terus terhanyut oleh irama-irama yang dimainkan para peserta festival dengan penuh semangat. Mereka ikut bergoyang, berjingkrak, mengangguk-anggukkan kepala, melompat, dan turut bernyanyi bersama ketika sang vokalis mengacungkan microphone ke arah mereka.
Penantian ini membuat perasaan kami menjadi kembali tidak tenang. Kami sudah tidak sabar untuk segera naik ke panggung dan memperlihatkan kemampuan kami dengan sepenuh hati. Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu. Sebentar lagi waktu kami akan tiba. Peserta nomer sembilan masih menunjukkan aksinya di atas panggung. Kami semua sudah berkumpul kembali di belakang panggung. Keadaan kami saat ini ibarat sekelompok pasukan yang sudah siap tempur ke medan perang dan kami akan berjuang secara habis-habisan. Mas Deny terus-menerus memberikan motivasi dan semangat sehingga kami cukup merasa lebih percaya diri.
“Yang perlu kalian ingat, kalian di sini selain untuk menunjukkan kemampuan yang terbaik, kekompakan di atas panggung harus dijaga dengan baik. Teknik blocking panggung harus kalian pahami dengan benar. Jelajahi semua sisi panggung secara merata. Hal tersebut sangat berguna untuk menunjang penampilan kalian supaya lebih bervariatif dan tidak menjemukan. Kita sekarang sedang berlaga di sebuah acara festival besar, bukan lagi di acara launching produk seperti kemarin di mall. Sangat beda penerapannya disini. Dulu di mall, kalian hanya bisa “diam ditempat” karena memang tempatnya yang terbatas. Sekarang dengan panggung yang seluas ini, kalian bisa leluasa bergerak tanpa harus melupakan harmoni musik yang kalian bawa,” terang Mas Deny memberi pengarahan. “Kalian sudah mengerti maksudnya?”
“Kami mengerti, Mas.” Jawab kami serempak.
“OK, sekarang kalian telah siap. Jaga kekompakkan kalian masing-masing. Is, pimpin teman-temanmu nanti setelah di atas panggung. Kamu memang punya kemampuan untuk itu.”
“Insya Allah, Mas.”
“Nah, itu lagu terakhir sebentar lagi akan selesai. Is, sekarang kendali kamu yang ambil alih. Mas akan selalu mendukung di belakang kalian. Mas doakan semoga kalian sukses.”
“Amin.”
“Ok, teman-teman. Seperti yang Mas Deny bilang. Kita harus bisa mengeluarkan kemampuan yang terbaik. Jangan kecewakan para penggemar kita seperti Azizah dan teman-temannya. Juga jangan kecewakan teman-teman kita di kampus maupun di kost-kostan yang sudah mendukung kita dengan tulus dan sepenuh hati. Demi Coffeemilk yang mereka cintai. Pan, kamu sudah siap?”
“Gue siap, Boss.”
“Kalau kamu, To?”
“Aku siap.”
“Kamu juga sudah siap, Rif?”
“Let’s get rock.”
“Dan, bagaimana dengan kamu?”
“Gue udah nggak sabar segera beraksi.”
“Terakhir kamu, Vi. Kamu juga sudah siap menemani kami berjuang?”
“Hatiku selalu untuk Coffeemilk .Aku selalu siap.”
“Baik, it’s time to show. Mari kita berdoa terlebih dahulu kepada Allah SWT. Semoga kita diberi kekuatan dalam perjuangan ini.”
Kami segera bermunajat kepada Sang Maha Pencipta dengan menengadahkan kedua tangan kami ke atas dengan penuh hikmat. Sejenak suasana menjadi hening. Aku pun mulai mempimpin memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta.

Setelah beberapa menit, penampilan band kesembilan telah selesai. Mereka telah turun dari panggung besar ini dengan wajah kelelahan dan badan basah kuyup oleh keringat. Namun terlihat senyum kepuasan di wajah-wajah mereka. Mereka telah menampilkan kemampuan terbaiknya.
Ketika mereka berpapasan dengan kami, tak lupa kami memberikan selamat kepada mereka dan mereka tak lupa membalasnya dengan ucapan semoga kami sukses di atas panggung. Kami semua berjabat tangan dengan erat. Sungguh sebuah persahabatan yang sangat indah. Tidak ada rasa ingin saling mengalahkan dan saling menyaingi satu sama lain. Semuanya menunjukkan rasa persaudaraan dan perdamaian di antara sesama peserta festival.. Kami semua adalah teman-teman seperjuangan di festival ini.
Tak lama kemudian, terdengar MC telah memanggil kami untuk segera naik ke atas panggung.
“Para indie lover sekalian, yang telah kita nantikan akan segera naik ke panggung ini. Siapa mereka?”
“Coffeemilk !!!” Jawab para penonton serempak.
“Siapaaa?”
“Coffeemilk, Coffeemilk, Coffeemilk !!!”
Para penonton mulai memanggil dan mengelu-elukan kami.
“Baiklah, hadirin sekalian. Sekarang kita sambut … COFFEEMILK !!!”

Sebuah panggilan untuk kami yang terdengar laksana suara tabuhan genderang perang yang menggema ke seluruh penjuru medan pertempuran sebagai tanda dimulainya perjuangan.
“Sekarang saatnya, teman-teman. Kita berikan mereka yang terbaik.” Aku segera naik ke atas panggung memimpin teman-temanku yang segera menyusul satu persatu berurutan di belakangku.
Suara tepuk tangan dan siulan yang saling sahut-menyahut dari para penonton festival menyambut kami. Mereka terus-menerus meneriakkan nama kami tanpa kenal lelah. Sebuah pemandangan yang membuat hatiku sedikit haru. Belum pernah kami menerima sambutan yang sebesar ini. Ya Allah, semoga kami bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.
Kami segera menuju ke posisi kami masing-masing. Aku menempati sisi kanan panggung. Sedangkan Manto berada di sisi kiri panggung. Arif sudah duduk di belakang seperangkat drum di belakang panggung. Sepasang stick pemukul telah siap ditangannya yang telah ia kenakan sepasang sarung tangan. Viola menempati posisi di samping Arif. Dia berdiri di belakang dua buah keyboards yang dipasang menyudut. Viola kemudian tersenyum kepadaku sambil mengacungkan ibu jarinya tanda dia sudah siap untuk beraksi. Manto dan Danny terlihat telah memanggul alat musiknya masing-masing. Manto berdiri di seberangku dengan memakai gitar jenis Fender warna merah marun. Danny berdiri agak di depan Arif. Dan Topan tampak sudah bersiap dibelakang microphone. Sesaat kemudian dia mulai menyapa penonton.
“Assalamu’ alaikum. Selamat siang semuanya. Kami harap kalian masih bisa bertahan dalam cuaca yang panas ini. Kalian masih sanggup?”
“Sanggup !!!” Teriak penonton bersama-sama.
“Bagus, kami dari Coffeemilk siap untuk menghibur para indie lovers sekalian.”
Aku segera mengenakan gitar les paul yang telah disiapkan oleh panitia. Gitar berwarna cokelat tua yang menjadi idamanku selama ini telah berada dalam genggamanku. Kuperhatikan setiap lekuk gitar ini dengan penuh perasaan. Kubelai dengan lembut dawai-dawainya yang tampak berkilauan memantulkan sinar mentari siang yang terik.
“Ayo, teman. Kita segera beraksi,” bisikku dalam hati seolah gitar dalam genggamanku ini dapat mendengarnya.
Aku pun berjalan menuju ke bagian depan panggung yang agak menjorok ke arah penonton. Para penonton pun histeris melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Jarak penonton dengan batas panggung hanya berkisar satu meter saja dengan diberi pagar pengaman yang dijaga oleh para panitia.

Kuputarkan pandangan menyapu semua penonton yang berada di sekelilingku. Kubalas lambaian mereka dengan antusias. Kemudian mataku melihat wajah-wajah yang telah kukenal berada di antara mereka. Di depanku kira-kira jaraknya lima meter, kulihat Azizah dan teman-temannya berteriak histeris sambil sibuk memotret diriku dengan kamera handphonenya. Terlihat pula anak-anak Mentari Buana tak jauh dari posisi kelompok Azizah. Kulihat ada Kang Deden, Fajar, Uda Kamal, Mas Unang dan Hasan hadir di antara penonton. Dan ternyata Dik Ira, Willy dan Dik Hary juga telah berada di antara mereka. Hah … itu kan si bule David. Dia datang juga dengan anak-anak Mentari Buana. Dia tersenyum pada sambil mengacungkan ibu jarinya. Aku pun segera membalas perhatian mereka semua dengan senyuman dan lambaian tanganku yang tulus.
“Terima kasih semuanya, semoga kalian selalu bisa membawa semangat yang bergelora ini untuk berbuat yang lebih baik. Dan jangan lupa pesan dari kami, stay away from drugs, stay way from free sex, and finally, let’s make the new world with loves and peace. Semoga kalian selalu diberi rakhmat dariNya.”
Aku pun segera memainkan jemariku di atas dawai gitar. Jari-jari tanganku mulai menari dengan gerakan yang agak cepat dan berirama. Sebuah melodi mulai terdengar melantun membahana, keluar dari seperangkat sound system raksasa di samping panggung. Para penonton segera terbius oleh lantunan nada yang melengking tinggi menembus angkasa. Melodi pembuka lagu Sweet Child O’ Mine telah kumainkan dengan sempurna. Dan akhirnya kami berenam telah berpadu dalam hentakan-hentakan nada yang memancing penonton untuk berjingkrak-jingkrak mengikuti irama.
Suara Topan bergema ke seluruh kawasan festival, menyanyikan bait demi bait syair yang telah terangkai dengan suara lantang layaknya seorang Axl Rose. Dentuman bass dari Danny terus-menerus mencabik-cabik pendengaran seiring dengan gebukan-gebukan yang bertenaga dari Arif di belakangnya. Aku dan Manto pun saling sahut-menyahut memainkan melodi yang menyayat hati dan melengking tinggi. Kulihat Viola memainkan jemarinya yang lembut di atas tuts-tuts dengan lemah gemulai. Rangkaian nada yang dihasilkan menambah suasana dalam musik yang kami bawakan.
Penonton mulai memanas. Mereka mulai berlompatan mengikuti irama musik yang kami mainkan. Tak jarang mereka pun ikutan bernyanyi dengan suara yang tak kalah lantangnya.

She's got a smile that it seems to me
Reminds me of childhood memories
Where evrything
Was as fresh as the bright blue sky
Now and then when I see her face
She takes me away to that special place
And if I stared too long
I'd probably break down and cry
Oooo, … sweet child o’mine
Oooo, … sweet love of mine
( petikan lagu “Sweet Child O’Mine” dari Guns N’Roses, album Appetite For Destruction )

Setelah hampir lima menit, lagu wajib dari festival ini sudah selesai kami bawakan dengan cukup memuaskan. Suara tepuk tangan penonton tak henti-hentinya berkumandang. Mereka masih ingin mendengar dan melihat kami membawakan sebuah lagu. Dan tak menunggu lama, kami segera memainkan lagu kedua, dan kemudian kami lanjutkan secara medley ke lagu ketiga. Tentu lagi yang kami mainkan adalah lagu dari band favorit kami, Padi. Lagu Hitam dan Begitu Indah kami bawakan dengan sempurna tanpa jeda sedikitpun.

Stamina kami telah terkuras habis. Keringat membasahi tubuh kami yang lelah. Kemampuan terbaik sudah kami keluarkan demi memuaskan penonton. Sekarang tiba saatnya kami bawakan lagu pamungkas. Kalau ketiga lagu sebelumnya merupakan lagu dari band-band idola kami, lagu terakhir ini merupakan lagu ciptaan kami sendiri.
Kembali aku dan Topan berkomunikasi dengan penonton.
“Sekarang kami akan menyanyikan lagu yang terakhir. Lagu ini adalah ciptaan kami sendiri. Dan tentunya, Isma lah yang menulis liriknya. Benar begitu kan, Is?”
“Benar, Pan. Para indie lovers sekalian, liriknya memang saya sendiri yang menciptakan. Namun dalam penggarapan lagu ini, kami kerjakan secara bersama-sama. Lagu ini sudah lama berkumandang di radio-radio yang ada di kota Solo. Mungkin kalian sudah tahu judul lagunya apa?”
“Yang Terindah.” Jawab para penonton dengan penuh semangat.
“Betul, seratus buat kalian. Judul lagunya adalah Yang Terindah. Lagu ini saya buat khusus bagi mereka yang ingin mengungkap perasaan yang paling dalam dari lubuk hati mereka kepada seseorang yang paling mereka cintai. Perasaan itu bisa ditujukan kepada Sang Maha Pencipta, kepada semua ciptaan-NYa, kepada orang tua, saudara, teman, dan juga kepada kekasih sang tambatan hati.”
“Baiklah, indie lover. Inilah persembahan dari kami, Yang Terindah.”
Alunan suara piano terdengar merdu membuka lagu. Dengan mata yang terpejam, Viola memainkan jemarinya dengan penuh penghayatan. Wajahnya terlihat sangat cantik tertimpa cahaya mentari.
Dan alunan syair-syair cinta pun berkumandang.

Kini telah kutahu
Apa yang menjadi milikku
Walau semua belumlah pasti
Tapi kuyakin nanti
Semuanya akan menjadi nyata

Sejalan laju putaran waktu
Seiring terbitnya mentari
Mencari akan arti hidup
Bersanding dengan belahan hati

Pastikan kumiliki
Semua yang ada padamu
Sgalanya dalam dirimu
Yang terindah darimu

Jangan pernah kau ragu
Akan ketulusan hatiku
Yang tak dapat terbagi
Hanya satu untukmu … (petikan puisi dari karya penulis sendiri)

Sambil kupetik gitarku, aku berjalan mendekati Viola yang terus memainkan jemari di atas tuts. Melihat aku berjalan mendekat, dia tersenyum dengan manisnya.
Aku pun berbisik padanya. “Vi, kupersembahankan lagu ini untukmu seorang, duhai belahan jiwaku. Kau lah yang terindah dalam hidupku. Cintaku selain kepada Allah semata, juga kuberikan hanya untukmu.”
Mendengar hal itu, Viola seketika terharu. Kedua bola matanya yang bening terlihat berkaca-kaca. Butiran air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya.
“Terima kasih, Is. Aku juga sayang kamu, wahai malaikatku.”
Syair-syair cinta terus mengalun, meresap ke dalam lubuk hati kami berdua. Hembusannya bagaikan sebuah oase yang menyirami hati kami yang dahaga akan kasih dan cinta.
Lagu terus bergulir. Lantunannya membius ribuan penonton. Mereka turut terhanyut dalam syair-syair yang dibawakan Topan dengan penuh perasaan. Kedua tangan mereka mengacung ke atas, bergoyang ke kanan dan ke kiri tanpa dikomando. Mereka turut bernyanyi dengan penuh penghayatan.

Dan ketika lagu Yang terindah telah selesai kami bawakan, suara gemuruh tepuk tangan kembali terdengar di seluruh kawasan festival. Penampilan kami kurasa cukup memuaskan mereka. Mereka kembali mengelu-elukan kami. Setelah melepaskan alat musik masing-masing, kami berenam segera berdiri sejajar di depan panggung. Kami akan memberikan penghormatan untuk para penggemar kami yang telah mendukung kami dengan tulus.
Namun sebelum kami hendak membungkukkan badan, terdengar suara benda jatuh yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Bruuuk !!!”
Dan ketika kami sadari, terlihat Viola telah terbaring tak sadarkan diri di bawah panggung dengan dahi bersimbah darah. Viola telah terjatuh dari atas panggung dengan ketinggian 1 meter dan dahinya terlebih dulu menghantam seperangkat speaker. Aku terpana melihat pemandangan yang mengerikan itu. Aku terpaku tanpa bisa bergerak sedikit pun. Awan mendung seketika menyelimuti hatiku. Lidahku terasa kelu sehingga aku tak mampu berkata apa-apa. Sebuah suara jeritan dari penonton akhirnya menyadarkanku. Segera aku melompat turun dari panggung dengan air mata yang telah berlinang membasahi pipiku. Teman-temanku juga melakukan hal serupa. Para panitia segera membentuk pagar betis mengelilingi lokasi Viola jatuh karena para penonton terlihat mulai berdesakan ingin melihat apa yang telah terjadi. Segera kerengkuh tubuh yang tak berdaya dengan darah yang terus menyucur di dahinya. Kugoncang-goncangkan tubuhnya. Viola tetap tak bergerak. Wajahnya yang cantik telah bersimbah darah. Senyumnya yang menawan telah hilang dari bibirnya yang tampak pucat. Kurasakan dinginnya tubuh Viola di pelukanku. Seketika aku berteriak dengan lantang.
“VIOLA !!!”
Bersambung ...