Raungan suara sirine mobil ambulance memecah teriknya siang. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah padatnya arus kendaraan di jalan yang dilaluinya. Lampu merah diperempatan-perempatan diterobos dengan sigap supaya dapat segera sampai ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta yang berjarak cuma beberapa ratus meter dari lokasi festival. Di dalamnya, terbaring sesosok tubuh tak berdaya dengan masker oksigen terpasang di wajahnya. Dahinya terbalut perban yang ternoda oleh darah yang masih terus mengucur. Dengan setia, aku menemani tubuh yang masih tak bergerak sejak terjatuh dari atas panggung sewaktu kami mengikuti festival band terbesar se-Surakarta. Seingatku, setelah terjadi kecelakaan yang menimpa Viola, panitia segera memanggil tenaga medis yang telah dipersiapkan untuk memberikan pertolongan pertama kepadanya. Setelah itu, Viola segera dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobil ambulance. Aku dan Mas Deny ikut naik ke dalam mobil ambulance. Sedangkan teman-teman yang lain menyusul dibelakang kami dengan menggunakan mobilnya Danny serta mobilnya Viola.
Kami terus meluncur dengan cepatnya. Dalam hitungan menit, kami telah memasuki kawasan Monumen Pers. Segera mobil ambulance menikung tajam ke arah kanan mengitari sebuah taman yang berbentuk lingkaran yang berada di tengah-tengah perempatan jalan. Aku dan Mas Deny dengan sigap memegang apa yang bisa dijadikan pegangan untuk menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjerembab. Tak lama kemudian, mobil ambulance kembali berbelok ke kanan namun kali ini dengan kecepatan sedang karena arus lalu lintas terlihat agak macet. Dengan kembali mengeraskan bunyi sirine untuk membuka jalan, akhirnya mobil dapat melaju dengan mulus menuju ke rumah sakit yang jaraknya tinggal beberapa meter saja. Setelah melewati bangunan masjid rumah sakit yang bentuknya lain dari biasanya, mobil ambulance segera berbelok memasuki sebuah gedung berwarna putih dengan atap berbentuk kubah terlihat di berbagai sudutnya. Terdapat tulisan besar terpampang di depan kanopinya yang berbunyi “ UNIT GAWAT DARURAT, RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA ”.
Mobil ini terus melaju hingga akhirnya berhenti ketika berada tepat di bawah kanopi. Aku dan Mas Deny segera membuka pintu belakangnya lalu melompat keluar. Bersamaan dengan itu, dari arah dalam bangunan beberapa perawat berlarian menuju kea rah kami. Mereka segera menurunkan Viola dari atas mobil ambulance, kemudian segera membawanya menuju ke dalam gedung. Aku dan Mas Deny berlari mengikuti di belakangnya. Viola akhirnya dibawa memasuki Ruang Periksa. Kami berdua tidak diperbolehkan masuk oleh para perawat jaga. Kami akhirnya hanya bisa pasrah menunggu di Ruang Tunggu yang terletak tak jauh dari Ruang Periksa. Dengan langkah gontai, aku dan Mas Deny mencari tempat duduk. Mas Deny duduk dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menutupi mulutnya yang dari tadi masih diam seribu bahasa. Raut muka kesedihan tampak sekali diwajahnya. Rambutnya yang panjang tampak mulai acak-acakan. Mas Deny menatapku dengan pandangan kosong. Matanya berbinar menahan air mata yang mencoba untuk keluar dari kedua bola matanya.
“ Apakah keadaan Viola sering begini, Mas?”
Mas Deny hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun.
“Tolong jawab pertanyaanku, Mas! Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Viola?”
“Sorry, Is. Sekarang Mas takut sekali. Mas takut akan kehilangan Viola, adik Mas satu-satunya, Is.”
“Apa yang Mas katakan? Aku nggak ngerti. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Viola, Mas?”
“Sebenarnya Mas tahu hal ini pasti akan terjadi tapi Mas nggak menyangka kalau hal ini bakal terjadi secepat ini.”
“Sebenarnya apa yang sedang Mas sembunyikan dariku? Ayo, katakan, Mas! Aku berhak tahu!”
“Maaf, kalau selama ini aku nggak bilang sama kamu, Is. Ini juga atas permintaan Viola sendiri. Baiklah, Mas akan mengatakannya padamu. Kamu yang tabah ya, Is. Kenyataan memang selalu menyakitkan hati. Sebenarnya sejak kecil, Viola telah menderita suatu penyakit, Is.”
“Penyakit apa, Mas?”
“Dia menderita kanker yang menyebabkan kegagalan fungsi hati, Is.”
Bagaikan disambar petir di siang hari, aku pun langsung tersentak mendengar perkataan Mas Deny tersebut. Jantungku serasa berhenti berdetak. Pandanganku menjadi nanar. Hatiku sakit sekali bagai tertikam berjuta-juta pisau hingga hancur berkeping-keping. Dan akhirnya aku pun terduduk lunglai dengan tatapan mata yang kosong.
Ya, Allah. Cobaan apa yang telah Kau timpakan kepada hamba-Mu yang lemah ini. Berilah aku kekuatan untuk bisa menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan ini. Jangan kau biarkan Viola pergi dari sisiku. Ya, Allah. Akankah pelita hatiku yang selama ini menerangi perjalananku akan padam untuk selama-lamanya? Aku nggak bisa membayangkan seandainya memang itu yang akan terjadi. Berilah dia waktu lebih lama lagi supaya aku bisa selalu melihat senyumnya yang menyejukkan hatiku. Aku mohon pada-Mu, Ya Allah. Dengarlah permohonan hamba-Mu ini. Selamatkanlah dia. Selamatkanlah Viola untukku. Tapi kalau memang itu yang telah Kau gariskan padaku, aku akan ikhlas menerimanya, Ya Allah.
Tanpa kusadari, air mataku telah mengalir membasahi kedua pipiku. Aku tak mampu berpikir lagi. Semuanya terasa gelap. Gelap yang pekat telah menyelimuti jiwaku.
“Is, kamu baik-baik saja?” Mas Deny mencoba menenangkan diriku.
“Aku baik-baik aja, Mas.”
Setelah beberapa menit, Danny terlihat datang bersama Topan, Manto dan Arif. Mereka segera menghampiri kami.
“Gimana, Is? Sudah ada perkembangan dari Viola?” Danny menyapaku.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku belum tahu, Dan. Para tenaga medis masih di dalam ruangan memeriksa keadaan Viola. Dari tadi mereka belum keluar dari sana.”
“Is, sebenarnya Viola sakit apa sih?” Topan bertanya padaku.
Aku pun terdiam. Semua menatapku dengan penuh penasaran bercampur dengan kecemasan. Lidahku terasa ngilu. Tak ada sepatah katapun yang bisa keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaan itu. Melihat gelagatku, Mas Deny segera mewakiliku untuk menjawab.
“Viola hanya kecapekan saja, Pan. Dia sejak dulu menderita tekanan darah rendah. Karena terlalu memforsir tenaga buat festival, dia kehabisan tenaga, kemudian lemas dan akhirnya jatuh pingsan.”
“Semoga dia baik-baik saja, Mas.”
Kami semua akhirnya terdiam. Kami hanya bisa menunggu perkembangan Viola dari ruang tunggu ini.
Tiba-tiba seorang dokter setengah baya datang menghampiri Mas Deny.
“Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam, Om Lukman. Syukur Om bisa segera datang. Tolong adik saya, Om.”
“Setelah kamu telpon tadi, Om langsung cepat-cepat kemari. Gimana keadaan Viola, Den? Kenapa dia bisa kesini?”
“Sekarang dia masih di dalam, Om. Tadi Viola tiba-tiba jatuh pingsan saat mengikuti festival.”
“OK, kalau begitu Om masuk ke dalam untuk memeriksa keadaannya. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Dokter itu segera meninggalkan Mas Deny, lalu segera masuk ke ruang periksa.
“Siapa Dokter yang tadi, Mas?” tanyaku tiba-tiba kepada Mas Deny.
“Oo, itu Dokter Lukman. Beliau sudah lama menjadi dokter keluarga Mas Deny sejak Ayah dan Ibu masih bersama kami.”
“Semoga beliau bisa membuat Viola sembuh seperti sedia kala.”
“Mudah-mudahan, Is. Sekarang kita hanya bisa berdoa saja.”
Suasana di ruang tunggu ini kembali hening. Waktu terasa berjalan dengan sangat lambat. Detik-detik yang berlalu terus membuat jantung kami berdebar dengan kencang. Semuanya menanti dengan hati yang gelisah. Kami semua dirundung duka atas musibah yang menimpa Viola.
Dik Ira, Willy dan Dik Hary tiba-tiba memecahkan suasana hening yang mencekam. Mereka datang bersama dengan anak-anak “Mentari Buana”.
Willy segera menyalamiku.”Gimana keadaan Viola, Is?”
“Iya, Mas Isma. Gimana keadaan Mbak Viola?” Dik Ira ikut bertanya.
“Mas masih belum tahu, Dik. Dokternya masih di dalam. Dari tadi belum keluar. O ya Willy, Dik Ira, Dik Hary dan teman-teman dari Mentari Buana. Kenalin. Ini Mas Deny, kakaknya Viola.”
Willy dan saudara-saudaranya beserta anak-anak Mentari Buana segera bersalaman satu persatu dengan Mas Denny.
“Kami turut prihatin atas musibah yang menimpa Viola, Mas.” Ucap Kang Deden mewakili teman-teman kostku.
“Terima kasih atas perhatian kalian semua.”
Ruang tunggu terasa penuh sesak dengan kehadiran mereka. Tapi hal itu tidak merubah apapun. Suasana kembali mencekam karena kami semua diam dalam kesunyian yang seolah tanpa akhir. Penantian ini terasa sangat lama dan menyiksa kami. Bagaimana sebenarnya kondisi Viola di dalam? Kenapa sampai sekarang belum ada yang keluar dari ruang periksa tersebut untuk menjelaskan kepada kami keadaan Viola saat ini? Sudah hampir 1,5 jam lamanya, Viola masih tidak sadarkan diri dan tergelatak tak berdaya di dalam sana.
Kesunyian kembali menyelimuti kami. Penantian yang melelahkan dan menegangkan ini terus menerus mendebarkan jantung kami.
Hingga akhirnya pintu ruang periksa tempat Viola terbaring terbuka. Kami semua tersentak. Sosok berjubah putih pun muncul di balik pintu. Rupanya Dokter Lukman beserta para perawat telah selesai memeriksa keadaan Viola. Kami pun sudah tak sabar dan segera menghampiri mereka untuk menanyakan tentang keadaan Viola.
”Gimana, Om? Bagaimana dengan adik saya?” Mas Deny yang pertama bertanya pada Dokter Lukman tersebut.
“Ayo masuk dulu ke ruangan saya. Nanti akan saya jelaskan padamu kondisi Viola saat ini.”
“Dok, saya boleh ikut kan?” pintaku.
“OK, hanya kamu saja yang boleh. Yang lain mohon tunggu di luar.”
Aku dan Mas Deny segera mengikuti Dokter Lukman menuju ke ruangannya. Sesampainya di sana, kami berdua dipersilahkan duduk.
Dokter Lukman menghela nafas panjang setelah duduk dikursinya. Dia menatap sambil memegangi pundak Mas Deny.
“Yang tabah ya, Den. Om tak bisa berbuat banyak untuk membantu adikmu. Kanker yang menggerogoti organ hatinya sudah tidak bisa disembuhkan lagi dan Viola hanya bisa menunggu mukzijat dari Allah.”
Mas Deny pun langsung lemas mendengarnya. Begitu juga diriku. Jantungku seketika berhenti berdetak. Aku nggak mampu membayangkan apa yang akan terjadi dengan Viola.
Ya, Allah. Akankah kami semua akan kehilangan Viola?
“Kalian berdoa saja kepada Allah, semoga Viola bisa bersama kita lagi meskipun kemungkinan itu adalah sesuatu yang mustahil. Andaikan ada donor organ hati yang cocok dengan miliknya, kemungkinan Viola bisa diselamatkan. Tetapi mencari donor hati tidaklah semudah seperti mencari donor ginjal. Manusia masih bisa bertahan dengan hanya satu ginjal, sedangkan tanpa organ hati, mustahil manusia hidup lama. Sekarang ini hanya Allah yang bisa membantu Viola. Dan kalian jangan bersedih. Biarkanlah Viola melalui hari-hari terakhirnya dengan bahagia bersama orang-orang yang dikasihinya. O ya, kamu pasti yang bernama Isma, kan?”
“Benar, Dok.”
“Viola banyak bercerita pada Om. Dan dia sangat senang sekali sewaktu bercerita tentang dirimu. Mungkin hanya kamu yang bisa membuatnya bahagia menjalani sisa waktunya.”
“Insya Allah, Dok.”
“Sekali lagi, Den. Om hanya bisa mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa banyak membantu. O ya, sekarang Viola masih belum sadar, mohon jangan diganggu dulu. Sekarang Om pamit dulu. Setelah ini Viola akan Om pindahkan ke ruangan ICU untuk menjalani perawatan yang lebih intensif.”
“Silahkan, Om. Terima kasih banyak.”
Kami berdua segera keluar dari ruangan Dokter Lukman. Begitu melihat kami, teman-temanku segera menghambur ke arah kami. Dokter Lukman berlalu meninggalkan kami untuk memindahkan Viola ke ruang ICU.
“Bagaimana kondisi Viola, Mas? Apa dia baik-baik saja?” Topan segera bertanya kepada Mas Deny.
“Ehm,…gini, Pan. Rupanya Viola harus menjalani perawatan yang lebih intensif. Benturan di kepalanya menyebabkan Viola mengalami gegar otak ringan. Makanya sekarang Viola harus menginap beberapa hari di rumah sakit,” kilah Mas Deny.
Aku diam-diam sangat kagum dengan ketabahan Mas Deny. Meskipun kutahu dari dalam hatinya sesungguhnya Mas Deny sangat menderita seperti halnya diriku, dia masih bisa terus menerus menutupi kondisi Viola yang sebenarnya dari teman-temanku.
“O ya, Is. Pada saat kamu di dalam dengan Mas Deny, di luar gedung sudah banyak para wartawan dan beberapa penggemar Coffeemilk yang menanti kabar tentang Viola. Mereka terus-menerus ingin menerobos masuk kemari. Para satpam rumah sakit telah menahan mereka di luar gedung. Kita harus bagaimana nih?” tanya Arif.
“Bagaimana menurut Mas Deny sebaiknya?” tanya Manto.
“Menurut Mas, kalian bisa memberikan keterangan kepada para wartawan dan para penggemar tentang kondisi Viola seperti yang Mas bilang tadi. Itu saja keterangan yang bisa kita berikan saat ini kepada mereka. Kalau mereka tanya lebih lanjut, kalian bilang kita juga masih menunggu perkembangannya selanjutnya.”
“Baiklah, kami akan bilang kepada mereka seperti yang Mas katakan.”
Manto dan Arif dengan dibantu beberapa anak-anak Mentari Buana segera berlari keluar untuk memberikan penjelasan tentang keadaan Viola seperti intruksi dari Mas Deny.
Tanpa menunggu mereka, kami segera menyusul Dokter Lukman yang telah memindahkan Viola ke ruangan ICU. Viola menempati kamar paling ujung dari ruangan ICU. Kami semua tidak diperbolehkan masuk oleh para perawat jaga. Kami hanya bisa melihat kondisi Viola dari balik pintu kamar yang pada bagian pinggirnya terdapat sebuah kaca yang dipergunakan untuk bisa melihat ke dalam kamar.
Terlihat tubuh Viola tergolek lemas di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, dihiasi oleh selang oksigen yang ditempatkan di kedua lubang hidungnya. Sungguh sebuah pemandangan yang membuatku tak dapat menahan air mataku.
Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku segera beranjak keluar dari ruang ICU. Aku ingin menenangkan hatiku sebentar sambil menghirup udara segar. Kulihat ada sebuah taman yang asri di salah satu sudut rumah sakit yang dihiasi sebuah kolam ikan dengan air terjun yang mengalir dan menimbulkan suara gemericik air. Disana mungkin aku bisa menentramkan hatiku. Segera kuayunkan langkahku menuju ke taman itu. Kududukan tubuhku di sebuah bangku taman yang panjang mengelilingi taman. Sambil menikmati suara gemericik air, pandanganku menerawang menyapu taman. Anganku melayang menembus awan yang menggantung di langit biru, membayangkan saat-saat yang indah bersama Viola. Aku membayangkan saat-saat pertama kali bertemu dengannya, saat-saat yang mengharukan di taman Sriwedari, tak lupa saat-saat terindah di Jogja yang telah kulalui bersama Viola. Semuanya menyatu dalam lamunanku.
Di saat aku sedang terhanyut dalam lamunan-lamunan, suara isak tangis seorang ibu menyadarkanku. Aku segera mencari sumber suara yang terasa sungguh memilukan. Dan akhirnya kulihat seorang ibu sedang menangis di pelukan suaminya. Ibu itu terus menangis dipundak suaminya hingga matanya terlihat merah karena kelelahan terus menerus menitikkan air mata yang tiada habisnya. Karena merasa kasihan, aku segera menghampiri beliau berdua.
“Assalamu’ alaikum. Maaf, Bapak, Ibu, kalau saya mengganggu. Kalau boleh tahu, mengapa Ibu terus menangis sedari tadi? Derita apa yang telah membuat Ibu seperti itu?”
“Wa’alaikum salam. Maafkan kami, Nak Mas. Kami sangat berduka sekali saat ini. Putri kami satu-satunya telah dirawat selama seminggu di sini. Dan kami tidak bisa melakukan apa-apa demi kesembuhannya. Dokter pun sudah angkat tangan. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT,” jawab Sang Bapak.
“O ya, perkenalkan. Namanya saya Isma,” kataku sambil kujulurkan tanganku.
“Namanya saya Abdul, Nak Isma. Ini istri saya namanya Surti,” jawab Pak Abdul sambil menjabat tanganku erat.
Bu Surti segera menghentikan tangisnya untuk berjabat tangan denganku dengan sesekali masih sesenggukan menahan tangis.
“Memangnya putri Bapak sakit apa?”
“Dia sudah lama menderita kanker di kepalanya. Sakitnya sekarang sudah sangat parah. Kanker telah menjalar ke sekujur tubuhnya. Dokter sudah tidak mampu mengatasinya. Bahkan mereka telah memvonis umur putri kami sudah tidak lama lagi.”
Mendengar hal itu, Bu Surti tak mampu menahan tangisnya kembali. Pak Abdul segera menenangkan istrinya.
“Kalau Nak Isma mengapa bisa berada di rumah sakit ini?”
“Nasib saya hampir sama dengan Bapak dan Ibu sekalian. Teman dekat saya sekarang sedang sekarat di ruang ICU.”
Aku pun bercerita panjang lebar tentang Viola kepada mereka. Aku seakan menemukan tempat aku mencurahkan segala kegundahan hatiku saat ini. Mereka pun dengan sabar mendengar ceritaku sampai akhir.
“Kasihan sekali teman Nak Isma itu. Nasibnya sama dengan putri kami,” kata Bu Surti akhirnya.
“Ya begitulah, Bu. Saya hanya bisa berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memang sebagai hamba-Nya yang lemah, kita tidak bisa menentang apa yang telah digariskan oleh-Nya.”
“O ya, siapa nama putri Bapak dan Ibu?”
“Namanya Fatimah, Nak Isma. Dia berumur 17 tahun. Sekarang dia sudah kelas dua SMU.”
“Bolehkah saya menjenguknya, kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan.”
“Oh, tentu. Kami tidak keberatan. Kami sangat senang kalau Nak Isma sudi menjenguk putri kami. Mari, Nak.”
Pak Abdul dan Bu Surti segera mengantarkan diriku menuju ke tempat putri mereka dirawat.
Ternyata beliau berdua merupakan dari kalangan yang berduit. Fatimah dirawat di sebuah kamar mewah kelas VIP yang terletak tak jauh dari taman tempat kami mengobrol tadi. Kamar itu dilengkapi sebuah teras di depannya dengan dilengkapi oleh dua buah kursi dan meja kayu. Kulihat di dalamnya kamar VIP itu terdapat sebuah sofa panjang berwarna hijau tua. Sebuah televisi 21 inch dan kulkas ada juga di sana. Kamar itu dilengkapi kamar mandi di dalamnya. Udaranya terasa sejuk karena memiliki fasilitas AC. Di dalamnya terbaring sesosok gadis berkerudung yang tampak berwajah pucat sedang menonton televisi.
“Assalamu’alaikum, Fatimah.”
“Wa’alaikum salam. Eh, Bapak dan Ibu. Darimana aja sih, tadi Fatimah panggil-panggil kok nggak ada?”
“Tadi Bapak dan Ibu cari makan di luar. Ibu tadi kelaparan karena belum makan siang,” kilah Pak Abdul.
“O ya, Fatimah. Ini ada orang yang mau menjenguk kamu.”
“Siapa, Bu?”
“Mari, Nak Isma. Silahkan masuk.”
“Assalamu’alaikum, Fatimah,” sapaku.
“Wa’alaikum salam. Mas siapa ya? Kok Fatimah nggak kenal?”
“Mas teman dari Bapak dan Ibumu.”
“Iya, Fatimah. Ini namanya Mas Isma.”
“Mas Isma? Sebentar, ........ sepertinya Fatimah pernah dengar nama itu sebelumnya. Tapi dimana, ya?”
“Kamu ini mengada-ada saja.”
“Beneran, Pak. Fatimah pernah dengar nama itu. Tapi Fatimah agak lupa. Coba Fatimah ingat-ingat dulu ...”
“Sudahlah, nanti kamu malah kecapekan.”
Tiba-tiba Fatimah melonjak kegirangan.
“Nah, sekarang Fatimah ingat. Fatimah dulu pernah mendengarkan siaran di sebuah radio yang sedang mengadakan wawancara dengan salah satu grup band pendatang baru. Nama bandnya kalau nggak salah, .... sebentar eh,...Coffeemilk. Ya betul! Namanya Coffeemilk. Fatimah sangat suka dengan lagu-lagunya. Dan salah satu personilnya bernama Isma. Apakah Isma yang dimaksud adalah Mas Isma yang ini?”
“Kamu ini. Mungkin itu hanya kebetulan saja, Fatimah.”
“Nggak mungkin, Pak. Tadi waktu dengar suara Mas Isma, Fatimah rasa suaranya mirip dengan yang di radio waktu itu.”
“Wah, Fatimah ternyata memiliki daya ingat yang luar biasanya.”
“Jadi, Mas Isma ini betul Isma, personil Coffeemilk seperti yang Fatimah bilang tadi?”
“Kamu benar, Fatimah. Mas adalah Isma yang kau maksud.”
Seketika Fatimah meloncat kegirangan. Dia lupa kalau dirinya sedang sakit parah. Sepertinya dia hendak beranjak dari tempat tidurnya. Hal itu segera kucegah bersama dengan Pak Abdul.
“Bapak, Ibu. Fatimah mimpi apa semalam? Sekarang Fatimah dijenguk oleh idola Fatimah. Hari ini Fatimah seneeeeng banget. Bapak, punya kertas dan bulpen, kan? Mas Isma, Fatimah boleh minta tanda-tangannya?”
“Sabar sedikit, Fatimah. Kamu kan sedang sakit.”
“Udah nggak papa, kok.”
“Wah, ternyata Nak Isma ini seorang artis tho?”
“Ah, Ibu. Saya bukan siapa-siapa.”
“Mas Isma jangan merendah begitu. Asal Mas tahu. Di sekolah Fatimah, Coffeemilk sudah memiliki penggemar tersendiri yang tergabung dalam sebuah fans club. Jumlah anggotanya lumayan banyak. Termasuk Fatimah tentunya. Bahkan ketua fans club nya teman Fatimah sekelas.”
Jangan-jangan...
“Kalau boleh tahu, siapa nama teman Fatimah?”
“Namanya Azizah, Mas. Anaknya cantik dan ramah. Dia anak terpandai di sekolah Fatimah.”
“Jadi kamu sekelas dengan Azizah?”
“Lho, Mas Isma kenal juga dengan Azizah?”
“Iya, Mas kenal baik dengannya.”
“Wah, nggak nyangka. Dunia memang sempit ya Mas.”
“Begitulah.”
Kami terus mengobrol dengan serunya. Sedikit demi sedikit, kegelisahan hatiku yang menunggu kondisi Viola terhibur oleh keceriaan Fatimah. Fatimah orangnya sangat terbuka dan ceplas-ceplos. Dia anak yang sangat periang. Sifatnya sangat mirip dengan Nadia, adikku. Aku serasa sedang mengobrol dengan adikku sendiri.
“Fatimah mau tanya, nih.”
“Mau tanya apaan?”
“Seingat Fatimah, dulu sewaktu siaran di radio. Mas bilang Mas udah punya pacar, ya? Siapa, hayo?”
“Ah, ngawur kamu ini. Mas nggak bilang begitu. Lagian nggak ada siapa-siapa kok.”
“Ah, Mas Isma jangan bohongin Fatimah. Sebenarnya Fatimah udah tahu kok siapa orangnya.”
“Emangnya siapa?”
“Eee,... pacarnya Mas Isma, ... itu, tuh.”
“Siapa?” Aku jadi merasa gemas dengannya.
“Eee, ...pacarnya Mas, ... Mbak Viola kan? Hayo ngaku, Mas?”
“Lho, kok bisa?”
“Udah, nggak usah mengelak, Mas. Benar kan kata Fatimah?”
Dasar anak ini. Kali ini aku nggak bisa berkelit lagi.
“Kalau iya, memang kenapa?”
“Wah, Fatimah jadi patah hati nih.”
“Lho, jadi Neng Viola yang dirawat di ICU itu pacarnya Nak Isma?”
“Lho, kok Ibu tahu soal Mbak Viola? Terus tadi Ibu bilang apa? Mbak Viola di rawat di sini?”
“Tadi Mas Isma sudah cerita sama Bapak dan Ibu tentang Neng Viola.”
“Emangnya Mbak Viola sakit apa, Mas?”
Ketika Fatimah bertanya tentang Viola kepadaku, aku pun menjadi sedih kembali. Keriangan yang tadi kurasakan bersama Fatimah kembali berganti duka yang menyelimuti hati. Kembali kujelaskan kepada Fatimah seperti yang telah kubilang kepada orang tuanya tentang kondisi Viola saat ini.
Kulihat Fatimah mulai menitikkan air mata. Dia terlihat sedih sedang mendengar ceritaku.
“Sudah, Dik. Janganlah kau bersedih. Mas jadi nggak tega melihat kau seperti itu. Kembalilah seperti tadi. Kembalilah menjadi Fatimah yang periang,” hiburku.
“Aku kasihan dengan Mbak Viola, Mas. Mengapa nasibnya sama denganku.”
Mendengar ucapan putrinya, kulihat kembali Pak Abdul dan Bu Surti meneteskan air mata. Melihat suasana itu, aku segera bertindak untuk menenangkan suasana.
“Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Fatimah. Semuanya telah digaris oleh Allah SWT. Kita hanya bisa berdoa dan terus berusaha. Semua manusia telah diatur takdirnya masing-masing.”
“Apa takdir manusia tidak bisa dirubah, Mas?”
“Hanya Allah yang tahu, Dik.”
Tiba-tiba handphoneku berdering. Sebuah SMS masuk di dalamnya. Ternyata Mas Deny telah menghubungi. Segera kubaca pesannya.
Is, kamu ada dimana?
Viola sudah siuman.
Dia mencari kamu.
Segeralah kau kemari.
Hah, Viola telah sadar. Alhamdullillah. Aku segera akan menjenguknya. Terlebih dulu aku berpamitan kepada Pak Abdul dan keluarganya.
“Pak, Ibu, dan Fatimah. Mas mau pamit dulu. Ini ada SMS dari teman Mas yang bilang kalau Mbak Viola sudah siuman. Mas mau ke sana dulu menjenguknya.”
“Jadi Neng Viola sudah sadar, Nak Isma?”
“Benar, Bu. Dia sudah sadar.”
“Alhamdullillah, Ya Allah.”
“Mas, sampaikan salam Fatimah untuk Mbak Viola. Mas jangan lupa jenguk Fatimah lagi ya.”
“Insya Allah, Dik. Mas pergi dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’ alaikum salam.” Jawab keluarga Pak Abdul serempak.
Aku pun segera berlari menuju ke ruang ICU di mana Viola sedang menungguku. Tunggu aku, bidadariku. Aku akan datang untukmu.
Kupercepat lariku supaya dapat segera sampai ke ruang ICU. Ketika kutiba di sana, teman-temanku sudah berdiri di depan pintu kamar tempat Viola dirawat. Tapi aku tidak melihat Willy, Dik Hary dan anak-anak Mentari Buana. Aku hanya melihat Dik Ira saja. Kemana mereka? Dan Topan segera menyapaku.
”Hey, Is. Darimana saja kamu? Kami tadi mencari kamu kemana-mana.”
”Sorry. Aku baru saja menjenguk teman yang sakit. Kebetulan dia juga di rawat di sini. Ngomong-ngomong, teman-teman Mentari Buana yang lain kemana?”
”Mereka sudah pulang dulu ke kostan bareng Willy dan Dik Hary. Sekalian mau ngabarin Mas Dody dan Mamah Rini kalau Viola sedang dirawat di sini.”
”Terus sejak kapan Viola sadar?”
”Baru sepuluh menit yang lalu. Begitu sadar, dia langsung nanyain kamu.”
”OK, kalau begitu. Aku masuk dulu.”
”Ya cepetan sana. Mas Deny udah nunggu di dalam.”
Segera kubuka pintu ruang ICU menuju ke tempat Viola terbaring. Mas Deny tampaknya mengetahui kehadiranku. Kulihat Viola masih terbaring lemah di ranjangnya. Matanya masih terpejam. Dia belum melihatku datang.
”Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam. Akhirnya kamu datang juga. Kemana saja kamu, Is?” Mas Deny berkata padaku dengan suara yang pelan.
”Maafkan aku, Mas. Tadi aku menenangkan diri sejenak. Begitu mendengar kabar kalau Viola sudah sadar, aku sangat senang sekali dan segera berlari kemari,” jawabku setengah berbisik.
”Ya sudah, sekarang kamu temenin Viola. Mas keluar sebentar mencari Om Lukman.”
”Baik, Mas.”
Mas Deny segera beranjak keluar, meninggalkan diriku sendiri bersama Viola. Kupandangi Viola dengan penuh kelembutan. Wajahnya masih memakai alat bantu pernafasan. Nafasnya terhembus dengan lemah. Selang dari saluran infus juga masih melekat di pergelangan tangannya. Aku segera meraih sebuah kursi dan kuletakkan di samping tempat tidurnya. Setelah duduk, kuberanikan diri untuk membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tampaknya Viola merasakannya. Tubuhnya bergerak dengan perlahan. Wajahnya berpaling menghadap diriku. Matanya yang tadi terpejam kini perlahan-lahan mulai terbuka. Setelah melihatku, dia tersenyum.
”Isma? ... Kaukah itu, sayang?”
”Ya, kekasihku. Ini aku telah berada di sisimu.”
”Sayang, jangan pernah kau tinggalkan diriku.”
”Tidak akan, Vi.. Aku akan selalu menjagamu.”
”Sungguh, sayang?”
”Insya Allah, Vi.”
Kugenggam erat tangan Viola yang masih lemah tak berdaya. Viola pun berusaha membalasnya. Tanganku yang lain membelai pipinya yang halus dengan lembut. Viola menggeliat dengan manja. Senyumnya yang tadi menghilang, perlahan mulai muncul kembali.
”Is, bagaimana dengan festivalnya? Apa kita menang?”
”Aku nggak tahu, Vi. Sejak musibah yang menimpa dirimu, aku dan teman-teman tidak menghiraukan lagi apakah kita menang atau kalah di festival itu. Saat ini kami hanya peduli dengan keselamatan kamu. Kami semua lebih mementingkan kesembuhan kamu.”
”Aku jadi merasa nggak enak dengan kalian, Is. Kita sudah bersusah payah dan berlatih dengan keras setiap hari. Kita curahkan seluruh tenaga dan pikiran supaya bisa memenangi festival itu. Maafkan aku ya. Gara-gara aku...”
Kupotong segera perkataannya dengan menempelkan jari telunjukku di bibirnya yang mungil. ”Ssst, sudah cukup, Vi. Kamu sekarang jangan memikirkan apa-apa dulu, ya.”
Viola pun terdiam. Dia menatapku dengan penuh arti. Pandangan kami saling bertemu seakan hendak merasuki raga kami masing-masing. Mencari tempat yang paling teduh di relung hati.
”Sayang?”
”Ada apa?”
”Kamu sudah tahu bukan, penyakit apa yang telah kuderita selama ini.”
Aku sejenak terdiam. ”Ya, aku tahu.”
”Kamu juga tahu kan kalau umurku sudah tidak lama lagi.” Mata Viola mulai berkaca-kaca.
”Janganlah kau bicara seperti itu.. Sesungguhnya panjang pendeknya umur manusia hanya Allah-lah Yang Maha Tahu.”
”Tapi disebabkan oleh penyakit yang kuderita ini, bukankah dokter sudah dapat memberi keterangan berapa lama lagi sisa hidupku?”
”Sayang, itu hanya hitungan secara ilmiah saja. Selebihnya tergantung dari kehendak Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa terus berusaha dan berdoa kepada-Nya.”
”Apakah kamu tetap mencintaiku setelah mengetahui penyakitku ini, sayang?”
”Aku tetap dan selalu mencintaimu, Vi. Apapun yang terjadi pada dirimu. Kuserahkan hati dan cintaku yang tulus ini hanya padamu.”
”Benarkah yang kamu katakan?”
”Demi rasa cintaku kepada Allah SWT, demi cintaku kepada Bapak dan Ibu serta saudari-saudariku, begitulah rasa cintaku padamu.”
”Is, maukah melakukan sesuatu untukku?”
”Asal tidak bertentangan dengan keyakinanku, aku sanggup melakukan apapun permintaanmu dengan ikhlas, sayang.”
”Maukah kau selalu menemani disisiku dan mencintaiku sampai ajal menjemputku?”
”Vi, kamu jangan ...”
”Is, tolong jawab pertanyaanku.”
”Tentu, sayangku. Akan akan selalu menemanimu dan mencintaimu.”
”Maukah kamu menyanyikan lagu cinta untukku, Is?”
”Sekarang, sayang?”
Viola mengangguk dan tersenyum.
”Baiklah, aku akan menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini hanya untukmu, belahan hatiku. Dengarkanlah dengan hatimu dan kamu akan tahu, seberapa dalam cintaku untukmu.”
Aku segera melantunkan syair-syair cinta kepada Viola.
Bila telah tiba
Saatnya berbagi cinta
Yang lama terpendam
Di relung hati yang terdalam
Saat mentari terus bersinar
Kala bintang masih gemerlap
Biarkan aku selalu disini
Bersanding denganmu berbagi cinta
Bagaikan sebuah cerita
Semua yang kulalui
Dan akan terus begini
Temani hari-hariku yang indah
Hangat cinta yang terasa
Tak bisa sirna walau sesaat
Selamanya dalam hidupku
Oh….maukah dirimu jadi milikku
Selamanya ...
( kutipan puisi karya penulis sendiri )
Kulihat Viola meneteskan air mata setelah mendengar lagu yang kudendangkan untuknya.
”Oh .. , lagu itu sungguh indah, sayang.”
”Benarkah?”
”Sungguh, aku sangat suka lagu itu. Kapan kau membuatnya?”
”Baru saja. Lagu itu terlantun dengan sendirinya dari dalam jiwaku, mengalir melalui aliran darahku hingga berdendang merdu menuju ke hatimu, sayangku.”
”Oh, Isma ...”
”Adakah permintaanmu yang lain?”
”Iya, dan ini permintaanku yang terakhir. Seperti bait terakhir yang kau nyanyikan tadi. Dan sebelum ajal menjemputku, aku ingin jadi milikmu selamanya, sayang. Maukah kau menikahiku?”
Sejenak aku tersentak. Permintaan terakhir Viola tersebut sangat mengagetkan diriku. Jantungku terasa tak sanggup lagi berdetak. Lidahku menjadi kelu. Aku terdiam. Lalu kupandang wajah cantik Viola lekat-lekat.
Kugenggaman tangannya dengan lebih erat.
”Kenapa kamu diam, sayang? Maukah kamu menikahiku?”
”Apakah perlu saat ini juga kulakukan permintaanmu itu?”
”Ya, sayang. Sebelum semuanya terlambat dan aku nggak ingin semua itu terjadi.”
”Pernikahan adalah sesuatu ibadah yang sangat suci dan mulia. Kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Apakah kamu telah benar-benar yakin akan melakukannya secepat ini, Vi?”
”Aku yakin, sayang. Seperti keyakinanku akan cinta yang telah kauberikan untukku.”
Aku kembali terdiam. Memang permintaan Viola yang terakhir kurasakan bagaikan sebuah ujian dalam perjalanan hidupku. Perjalanan yang telah kurencanakan sejak dulu. Ujian ini bisa saja membuat perjalananku menjadi tersendat di tengah jalan. Membuyarkan semua impianku yang sejauh ini mulai kudaki dengan perlahan namun pasti. Ataukah justru akan memudahkanku mencapai tujuan hidup yang sebenarnya kucari-cari. Sesungguhnya sekarang Viola telah menjadi tujuan hidupku. Tapi apakah dia bersama diriku selamanya? Menemaniku setiap langkah hidupku? Ya Allah, apa yang harus kulakukan?
Aku masih bimbang. Pikiranku masih kalut. Berbagai pertanyaan-pertanyaan terus menggelantung di pikiranku. Bayangan kehidupan setelah pernikahan tiba-tiba menghantuiku. Melihat kondisiku sekarang ini, apakah nanti aku bisa menafkahi istriku, memberikan kehidupan yang layak untuknya? Apa aku mampu menjadi suami yang baik untuk Viola?
Lama aku terus berkutat dalam pertentangan batinku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk mengambil sebuah keputusan yang akan merubah seluruh hidupku.
”Demi Allah Sang Pencipta Alam Semesta, dan demi cinta suciku pada dirimu. Aku akan menikahimu, Viola. Bersediakan kau menjadi istriku? Bersama selamanya, baik dalam suka maupun duka?”
Viola mengangguk dengan linangan air mata yang mengucur deras membasahi pipi.
Akhirnya cinta pun bersanding dengan indahnya, diringi lantunan suara adzan yang bergema menggetarkan jiwa.
Bersambung ...
skip to main |
skip to sidebar
Jumat, 13 Februari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar