Rabu, 11 Februari 2009

Bag 8-Lagu Cinta untuk Viola ( Chap. Lagu untuk Viola )

Dan akhirnya hari H pun tiba. Festival ini merupakan event musik terbesar yang diadakan tahun ini di kota Solo. Festival yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan event organizer ini diadakan di sebuah lapangan parkir sebuah pusat olahraga terkenal yang terletak di sebelah Barat kota Solo. Luas lapangan parkir tersebut mencapai 2000 m2 sehingga dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Sebuah perusahaan rokok ternama pun turut menjadi sponsornya.
Suasana festival sangat meriah. Disekeliling lokasi festival terpasang berbagai macam spanduk dan umbul-umbul dari para sponsor. Banyak tenda-tenda didirikan sebagai tempat promosi dari produk-produk yang bertindak sebagai sponsor. Para pedagang kaki lima pun tidak mau kalah. Mereka sejak pagi hari sudah menggelar lapak-lapaknya. Beraneka macam dagangan mereka jajakan. Mulai dari makanan, minuman, pakaian dan yang terbanyak adalah atribut-atribut yang bernuansa musik seperti kaos, gelang, kalung, bandana, cincin, dan masih banyak lagi. Mereka menggelar dagangan di sepanjang lintasan jogging track yang mengelilingi pangan parkir. Harga yang mereka tawarkan sangat bervariatif. Bila berminat, harus pandai-pandai menawar supaya bisa dapat harga yang murah.

Terlihat di ujung tengah lapangan parkir, berdiri sebuah panggung megah dengan konstruksi baja space frame yang kokoh. Bentuk atap panggung berupa setengah lingkaran dengan kain terpal warna hitam sebagai penutupnya. Luas panggung tersebut kurang lebih 15m x 25m. Panggung terdiri dari 3 level. Level teratas diperuntukkan untuk seperangkat drums dan keyboards beserta aksesorisnya. Level dibawahnya terletak agak dipinggir panggung dengan posisi di sebelah kiri dan kanan. Biasanya level tersebut difungsikan untuk dua pemain gitar, baik lead guitar maupun rhythm guitar yang menempati masing-masing posisi, terserah di kiri maupun di kanan panggung. Dan yang terakhir level paling bawah difungsikan untuk menampung semua aksesoris dan perangkat sound system. Vokalis band serta pemain bass menempati level tersebut dengan posisi vokalis sedikit di depan atau bahkan sejajar dengan pemain bass. Tapi aturan itu tidak mutlak sepenuhnya. Hal itu tergantung dari teknik penguasaan panggung dari masing-masing grup band yang akan tampil. Biasanya tiap grup band mempunyai penguasaan panggung yang berbeda-beda satu sama lain. Sehingga sering terlihat antara pemain dari sebuah band saling bertukar tempat dan posisi untuk menampilkan gaya panggung masing-masing.

Sementara itu, di sebelah kiri dan kanan panggung, dengan posisi agak menjauh kira-kira 5m dari panggung, terpasang masing-masing seperangkat sound system berukuran besar, kekuatan suara yang dihasilkan mungkin hingga 100.000 watt. Disampingnya dilengkapi dengan wide screen berukuran 4m x 5m sehingga dari kejahuan para penonton bisa melihat aksi para grup band si atas panggung.
Rencananya festival akan dimulai tepat jam sepuluh pagi. Sebelumnya akan diadakan acara pembukaan yang dipimpin langsung oleh Bapak Walikota Solo sebagai tamu undangan kehormatan.
Untuk peserta festival jumlahnya cukup banyak. Hampir sekitar lima puluhan band turut berpartisipasi dalam acara besar ini. Kebanyakan merupakan band-band lokal dari kota Solo dan wilyah sekitarnya seperti Karanganyar, Sragen, Sukoharjo dan Boyolali. Tapi tak sedikit pula band yang berasal dari luar wilayah Solo seperti dari Klaten, Salatiga, Magelang bahkan dari Semarang dan Jogja pun ada. Beberapa band peserta sudah kami kenal cukup lama karena mereka se-kampus dengan kami. Seperti Es Campur dari Fakultas Sastra, ada juga Buldozer dari Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Alibi dari Fakultas Hukum, CT Scan dari Fakultas Kedokteran, Abstain dari Fakultas Sospol, Money Laundry dari Fakultas Ekonomi serta Balada Crew dari Fakultas Seni Rupa.

Sebagai toko musik terbesar, StarMusikindo ikut andil dalam festival ini. Meskipun demikian aku tidak diikutkan dalam kepanitiaan. Dikarenakan dalam hal ini aku sebagai peserta festival. Memang ada aturan yang melarang panitia ikut serta dalam festival. Dalam kepanitiaan, Mbak Ivonne bertugas untuk mendaftar ulang band-band yang akan tampil. Dan saat ini, hari sudah melewati pukul sembilan pagi, tapi anak-anak belum kelihatan sama sekali batang hidungnya. Sedangkan deadline daftar ulang adalah jam setengah sepuluh pagi. Sebagai karyawan StarMusikindo, tentu aku tidak boleh mendaftarkan bandku sendiri. Takut nantinya timbul fitnah kalau aku ini KKN. Harus ada perwakilan dari Coffeemilk selain aku yang harus mendaftar sehingga wajar kalau aku mulai khawatir. Hampir semua band telah daftar ulang, hanya tinggal delapan band lagi termasuk Coffeemilk yang belum daftar ulang.
“Is, mana temen-temen kamu? Kok jam segini belum pada datang? Bisa-bisa nanti band kamu didiskualifikasi kalau belum sempat daftar ulang!” Mbak Ivonne bertanya kepadaku sambil tangannya masih sibuk menulis laporan.
“Nggak tau nih, Mbak.” Aku pun makin gelisah. Kemana ya mereka? Apa mereka dapat halangan dalam perjalanan kemari?

Detik-detik waktu pun terus berjalan. Arena festival sudah dipadati oleh pengunjung maupun peserta festival. Waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Ketika perasaanku makin tidak karuan karena gelisah, tiba-tiba Mbak Ivonne berteriak.
”Is, tuh teman-temanmu datang.”
“Yang bener, Mbak! Mana ?”
“Tuh, yang baru keluar dari mobil.”
“Wah, bener Mbak, itu mereka!” Alhamdulillah, datang juga akhirnya mereka.
Saking girangnya, tanpa sadar aku berteriak memanggil mereka sambil melambaikan tanganku. “Hey, guys! Cepetan kesini! Keburu ditutup nanti pendaftarannya. Ayo, cepetan!”
Mereka rupanya juga melihatku dan segera bergegas menuju ke arahku sambil berlarian.
“Assalamu’alaikum. Wah sorry, Is! Kita telat nih.” Topan berkata kepadaku dengan nafasnya yang masih ngos-ngosan.
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
“Iya, Is! Sorry, tadi ban mobil gue kempes kena paku, jadi kita cari tambal ban dulu sebelum kemari,” imbuh Danny.
“Nggak papa. It’s OK. Yang penting sekarang cepetan kalian daftar dulu. Nih formulirnya! Cepetan diisi, nanti keburu terlambat. Bisa-bisa kita nggak jadi ikutan festival.”
“Sini biar aku yang ngisi formulirnya.” Manto mengambil inisiatif.
“Nih, bulpennya, To!” Aku menyodorkan bulpen kepada Manto.
Manto pun mulai sibuk mengisi formulir pendaftaran.
“Mas, kami mau daftar ulang.” Tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari belakang. Rupanya mereka adalah band terakhir yang ingin daftar ulang juga. Aku pun segera mengarahkan mereka ke Mbak Ivonne untuk daftar ulang.
“Sebentar ya, aku tinggal sebentar! To, nanti kalau udah selesai ngisi formulirnya, kasih ke Mbak Ivonne. Jangan lupa ditandatangani ya!”
“Ok, aku ngerti kok.”

Aku berlalu meninggalkan teman-temanku. Tak lama kemudian, peserta festival yang masih belum daftar ulang mulai berdatangan satu-persatu. Sampai akhirnya sebelum batas waktunya habis, semua peserta festival telah daftar ulang semuanya.
“Is, aku ke Mas Didik dulu, mau kasih formulir-formulir ini. Sebentar lagi kan acaranya mau dimulai. Band-band yang telah terdaftar nanti akan diundi oleh panitia untuk menentukan nomer urutan tampil. Setelah tersusun, nanti daftar urutan band akan dibacakan langsung oleh MC di atas panggung supaya para peserta dapat lebih mempersiapkan diri.” Mbak Ivonne berkata kepadaku sambil merapikan berkas-berkas formulir pendaftaran.
“Baik, Mbak. Aku juga mau gabung dulu sama teman-teman buat persiapan sebelum naik panggung.”
“Good luck ya, Is! Moga-moga band kamu menang.”
“Amin, thanks Mbak.”
Mbak Ivonne pun berlalu meninggalkanku.

Aku pun segera menghampiri teman-temanku yang berdiri di sebelah barat panggung.
“OK, udah siap semuanya, guys.”
“Siap, Bos. Let’s rock n roll.” Tampak teman-temanku bersemangat mengikuti festival ini.
“Rif, kamu bawa kan barang-barang yang kupesan?”
“Beres, Is. Aku nggak lupa kok,” jawab Arif sambil menyerahkan tas ranselnya kepadaku.
Pagi-pagi tadi aku udah menghubungi Arif untuk minta tolong dibawakan kostum panggung buatku karena tadi aku buru-buru sehingga lupa bawa kostum. Kami berlima nggak terlalu glamour dalam berkostum. Cukup berbusana casual atau baju kota-kotak dipadu kaos oblong plus celana jeans sudah cukup buat kami. Tapi karena aku saat ini memakai baju seragam StarMusikindo, mau nggak mau aku harus ganti baju biar nggak ada gunjingan nantinya.
“Thanks, Rif. Aku mau ganti baju dulu.” Aku berlari mencari tempat yang agak bersembunyi untuk ganti baju.
Setelah selesai memakai baju untuk tampil di atas panggung nanti, aku segera bergabung kembali dengan teman-temanku.
“Ngomong-ngomong, mana Mas Deny dan Viola? Kok mereka belum kelihatan?” tanyaku.
“Tadi sebelum sampai sini gue sempet kontak Mas Deny, katanya sih mereka udah dalam perjalanan kesini,” jawab Danny.
“Nah tuh, mereka datang!” teriak Arif sambil menunjuk ke arah area parkir.
Mataku segera tertuju kepada kearah yang ditunjukkan Arif.

Dikejauhan, terlihat Mas Deny dan Viola keluar dari mobil. Mereka berdua berlari-lari kecil ke arah kami. Dan ketika mereka berdua dihadapan kami, kami semua terkesima. Ada sesuatu yang beda dari penampilan Viola hari ini. Dia tampak begitu cantik. Dengan memakai blus warna putih sipadu dengan celana jeans warna biru, Viola tampak lebih anggun dari biasanya. Rambutnya tergerai rapi dan dikepang kesamping. Wajahnya bersinar bagaikan bidadari yang turun dari langit dengan senyum yang mengembang selalu menyertainya.
Mas Deny dan Viola serempak menyapa kami. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Balas kami serempak.
“Wah, siapa gerangan bidadari ini?” komentar Topan yang membuat Viola tersipu.
“Iya, Vi. Kamu tampak berbeda hari ini. Kamu tampak lebih cantik dan anggun. Benar kan, Is?” imbuh Danny.
Aku jadi salah tingkah diminta pendapat oleh Danny seperti itu. “Ee…, benar apa kata Danny barusan, Vi. Kamu eh… cantik sekali hari ini. Kami semua hampir nggak ngenalin kamu tadi.”
“Tuh, Isma aja sampai grogi melihatnya,” ledek Topan.
“Apaan sih loe,” tukasku.
“Kalian ini, jangan terlalu berlebihan kalau memuji. Nanti aku jadi kege-eran,” kata Viola dengan wajah masih tersipu-sipu.
“Sorry semuanya, kami agak terlambat datang. Soalnya tadi nungguin Viola merias diri sampai secantik ini. Hampir tiga puluh menit dia dandan di kamarnya,” terang Mas Deny ikutan menggoda.
“Apaan sih, Mas Deny. Jadi ikut-ikutan ngeledekin. Aku jadi malu nih,” rengek Viola manja sambil memukul lengan kakaknya.
“Udah-udah, sekarang lebih baik kita menuju ke tempat para peserta yang telah disediakan di belakang panggung,” ajakku.
“Yuk, kita ke sana.” Kami semua segera bergegas menuju ke tempat para peserta.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi acara festival akan segera dimulai. Lokasi festival berangsur-angsur telah dipadati oleh penonton. Mereka datang dari seluruh pelosok kota Solo dan sekitarnya. Baik tua, muda, pria, wanita bahkan anak-anak berbaur menjadi satu. Di antara mereka mungkin terdapat para supporter dari grup band yang akan tampil. Mereka telah mengenakan atributnya masing-masing. Kami sendiri tidak secara khusus mendatangkan supporter. Tapi sebelum festival kami sempat memberitahukan kepada teman-teman di kampus serta anak-anak “Mentari Buana” bahwa kami akan tampil di festival ini. Secara tak terduga, mereka malah berinisiatif sendiri membuat famlet-famlet dan brosur-brosur yang di tempel-tempel serta disebarkan di wilayah kampus dan sekitarnya guna mencari dukungan. Mirip team sukses sebuah Pilkada. Aku pun menjadi terharu melihatnya. Tak kusangka dukungan mereka akan seperti itu terhadap Coffeemilk.

Ketika kami hendak memasuki area peserta festival, dari arah belakng kami terdengar suara yang memanggil Coffeemilk. Kami pun memalingkan wajah mencari asal suara. Di belakang kami terlihat sekumpulan anak-anak muda seumuran anak SMU. Mereka terdiri dari lima orang cewek dan dua orang cowok. Mereka semua mengenakan kaus berwarna-warni. Tapi ada satu kesamaan dari kaos yang mereka pakai meskipun berbeda-beda warnanya. Logo kaos yang mereka pakai menggambarkan sebuah cangkir kopi dengan simbol asap yang mengepul di atasnya. Di cangkir tersebut terdapat sebuah kata dengan huruf latin yang tersusun melintang . Bunyi kata itu : Coffeemilk !!!
Seorang dari mereka, cewek berjilbab berkaos kuning dengan deker hitam menutupi kedua lengannya, mendekat dan bertanya kepadaku.”Permisi, Mas. Apa Mas sekalian dari Coffeemilk?”
Aku balik bertanya kepada mereka. “Kenapa kalian bisa menduga kalau kami ini dari Coffemilk?”
“Kami udah dari tadi memperhatikan Mas-Mas dan Mbak. Kemudian setelah berunding, kami memberanikan diri untuk menyapa. Dulu kami pernah nonton konsernya Coffeemilk pas ada cara launching produk di Solo Grand Mall. Tapi kami lupa-lupa ingat wajah mereka. Yang pasti mereka ada lima orang cowok yang ganteng-ganteng.”

Aku jadi teringat konser pertama kali dulu setelah kami bergabung dengan Yellowbeat. Dulu Mas Deny menerima job untuk mengisi acara launching produk di Solo Grand Mall. Kalau nggak salah semacam produk minuman suplemen. Kami mengisi acara bersama-sama dengan band-band lokal dari Solo. Kami berlima bermain dengan sangat antusias. Tapi dulu Viola belum ikutan. Dia cuma jadi semacam road manager-nya Coffeemilk membantu Mas Deny mengurusi segala keperluan Coffeemilk.
“Lho, Mas kok malah bengong? Benar nggak Mas dari Coffeemilk?” tanya si cewek satunya nggak sabaran.
“Benar, kami dari Coffeemilk. Ada yang bisa kami bantu?”
Serentak mereka bertujuh bersorak kegirangan. Melihat tingkah mereka, kami hanya tersenyum.
“Mas, kami semua ngefans berat lho sama Coffemilk. Kami mau minta tanda tangan dan foto-foto bersama. Boleh ya?” rengek mereka.
”Gimana ya, kami sedang sibuk nih mau mempersiapkan diri untuk pentas,” jawab Topan sambil berlagak sok artis.
“Ah, belagu loe,” ledek Arif keki melihat tingkah Topan. ”Boleh aja kok, nggak papa kalau mau minta tanda tangan tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apaan, Mas?”
“Pertama, sebutkan nama kalian masing-masing. Gimana?”
Cewek berkaos kuning itu kurasa pimpinan dari kelompok kecil ini. Dia yang sering menjadi juru bicara mereka.
“Kenalkan. Nama saya Azizah. Yang berkaos hijau namanya Khairina. Cowok-cowok yang berkaos hitam namanya Adit dan Hafidz. Terus yang pakai kaos merah namanya Wanda. Dan mereka berdua namanya Hanny dan yang berjilbab Zahra.”
“Mmh, … nama kalian bagus-bagus. Kalian satu sekolah ya? Dimana?” tanya Viola.
“Iya, Mbak. Kami semua satu sekolahan. Tepatnya di SMU Negeri 1 Solo,” jawab Khairina yang dari tadi diam.
“Bahkan kami semua satu kelas, kecuali Zahra dan Hafidz. Mereka berdua anak Biologi. Kalau kami anak Fisika,” terang Azizah.
“Wah, kalau gitu kalian adik-adik kelasku donk. Mbak dulu juga dari SMU Negeri 1 Solo dan Mbak juga anak Fisika,” kata Viola.
“Ternyata kita satu almamater ya,” balas Wanda girang.
“OK, sudah reuninya. Syarat pertama kalian lulus. Sekarang yang kedua, Mas pengin tahu, siapa yang punya ide memakai kaos seperti yang kalian pakai sekarang ini? Terus siapa yang bikin logonya dengan tulisan Coffeemilk?” tanya Arif kembali.
“Begini ceritanya, Mas. Karena kami sangat suka dengan Coffeemilk, kami sepakat untuk membentuk sebuah fans club. Tujuannya ya selain buat kumpul-kumpul antar sesama penggemar, kami bisa saling tukar menukar informasi mengenai segala sesuatu tentang Coffeemilk. Kami pun sering mengirim request ke Radio Indigo FM secara bergantian. Dulu pas ada acara interview khusus dengan Coffeemilk, saya yang pertama kali tahu, trus saya hubungi semua teman-teman untuk mendengar interview itu. Dan setelah kami pikir-pikir supaya lebih terorganisir, kami membentuk sebuah kepengurusan. Dan kami sepakat memilih Azizah sebagai Ketua. Untuk jabatan Sekretaris kami percayakan kepada Wanda. Bendahara dijabat oleh saya sendiri. Terus kami kompakan untuk membuat kaos dengan warna yang berbeda-beda. Kemudian atas usul Adit, kami menambahkan logo dikaosnya supaya nantinya dapat menjadi ciri khas dari perkumpulan ini,” terang Khairina panjang lebar.
“Jadi yang bikin logo kamu, Dit?” tanyaku.
“Iya, Mas. Alhamdullillah. Saya bisa sedikit desain grafis.”
“Bagus kok logonya. Simple tapi pas dengan artinya. Kami saja bahkan belum sempat membikin logo,” kata Manto sambil memperhatikan logo di kaos Hafidz dengan seksama.
“Kami memang belum mempunyai logo resmi. Kami belum sempat saja. Untuk itu, kalau boleh, kami ingin memakai logo yang kalian buat sebagai logo resmi Coffeemilk. Menurut Mas Deny gimana?” Aku pun meminta pendapat Mas Deny mengenai desain logo.
“Terserah kalian aja, yang penting image Coffeemilk tetap terjaga dan desainnya tidak melanggar norma-norma. Menurut Mas, karya dari anak-anak SMU 1 ini sangat bagus kok dan cocok untuk logo kalian.,” jawab Mas Deny bijak.
“Nah, manager kami sudah setuju, bagimana dengan kalian?” tanyaku balik kepada mereka.
Tanpa kami sadari, mimik wajah mereka bertujuh sudah berubah menjadi wajah yang penuh dengan keharuan dan kegembiraan.
“Yang benar, Mas? Suatu kehormatan bagi kami sekiranya Coffeemilk yang kami idolakan sudi memakai logo buatan kami. Kami sangat senang sekali. Saya mewakili teman-teman, sangat setuju atas usulan Mas. Benar kan teman-teman?” kata Azizah dengan mata berbinar.
Mereka menganggukkan kepala serempak tanda sepakat dengan Azizah.

“Nah, urusan logo beres. Sekarang jadi nggak minta tanda tangannya?” tanyaku.
Tanpa disuruh, mereka bertujuh segera mengeluarkan buku atau agenda yang tersimpan dalam tas mereka masing-masing untuk diberi tangan tangan. Tak lupa pula kaos yang saat ini mereka pakai juga dimintai tanda tangan kami. Kami melayani mereka dengan sepenuh hati. Kami sepenuhnya sadar, tanpa penggemar-penggemar yang tulus dan setia seperti mereka bertujuh, mustahil Coffeemilk akan bisa terus eksis di blantika musik tanah air nanti. Mereka inilah pondasi kami dalam mengarungi kerasnya persaingan di industri musik yang sekarang demikian ketatnya.
Setelah tanda tangan sudah didapat, acara foto-foto dimulai. Mereka telah mempersiapkan kamera untuk mengabadikan momen yang bahagia hari ini. Wajah mereka tampak cerah, secerah langit di atas kawasan festival ini, warna biru tanpa sedikitpun awan mendung menyelimuti.
“Makasih atas tanda tangan dan foto-fotonya. Kami nggak akan melupakan saat-saat yang membahagiakan hari ini. Kami doakan semoga Coffeemilk menang,” kata Azizah setelah acara tanda tangan dan foto-foto selesai.
“Amin”. Jawab kami serempak.
“Nah, kalau begitu kami pergi dulu. Kelihatannya acara akan segera dimulai. Oh ya, Zah. Kalau kalian ada perlu dengan kami, kalian bisa kontak kami ke Yellowbeat, atau kirim e-mail ke coffeemilk@yahoo.co.id. Jangan lupa kasih kami nomer contact person kalian.”
“Beres, Mas. Kami juga mau gabung dengan penonton di sana. Insya Allah kami akan selalu menghubungi Mas-Mas dan Mbak sekalian. Sampai ketemu lagi ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Akhirnya mereka semua berpamitan dengan senyum yang mengembang. Mereka segera berbaur menjadi satu dengan para penonton festival untuk memberikan dukungan kepada kami. Aku memandangi mereka satu-persatu dengan penuh kebanggaan hingga bayangan mereka hilang dari pelupuk mataku. Oh, Azizah, Khairina, Wanda, Hanny, Zahra, Adit dan Hafidz. Nama-nama yang indah. Terima kasih atas dukungannya. Allah SWT telah mengirim kalian untuk membantuku menghadapi rintangan dalam perjalananku ini.

Lamunanku tiba-tiba dikejutkan oleh riuhnya sorak-sorai penonton. Kelihatannya acara festival telah dimulai. Para MC telah membacakan urutan-urutan acara yang nanti akan dilaksanakan. Nanti setelah sambutan dari Bapak Walikota dan dari Ketua Panitia Penyelenggara, daftar urutan band yang akan tampil akan dibacakan. Aku sangat deg-degan menanti detik-detik tersebut. Kami segera mempercepat langkah supaya tiba di belakang panggung dengan segera sehingga kami dapat jelas mendengar dari sana.
“Kira-kira kita nanti di urutan berapa ya?” tanya Viola.
“Entahlah, tapi berapa pun nomernya, kita sudah siap untuk tampil,” jawab Danny mantap.
“Yap, aku juga sudah siap tempur,” Topan tampak percaya diri.
“Yang penting kalian tetap semangat. Jangan pantang mundur. Kalian harus tampil tanpa beban. Jangan mikirin menang atau kalah. Pikirlah bagaimana kalian dapat tampil dengan maksimal dan dapat memuaskan penggemar kalian yang menantikan sesuatu yang dapat kalian berikan kepada mereka,” kata Mas Deny memotivasi kami.

Tanpa waktu lama, kami telah sampai di sisi kiri panggung dari arah belakang. Terlihat para peserta festival telah menanti hasil drawing dari panitia penyelenggara dengan hati yang deg-degan. Ada band yang sudah sangat percaya diri, ada band yang tampak biasa-biasa saja bahkan ada juga band yang malah cuek ngobrol dengan sesama anggota bandnya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Akhirnya Bapak Walikota naik ke atas panggung untuk memberi sambutan. Tepuk tangan dan sorak-sorai penonton segera membahana ke seantero kawasan festival. Suasananya menjadi sangat meriah. Bapak Walikota memberi sambutan dengan singkat, jelas dan padat. Intinya Babak Walikota sangat mendukung kegiatan seperti ini untuk diadakan di kota Solo. Kegiatan seperti ini sangat penting bagi para generasi muda supaya mereka bisa lebih menjauhi hal-hal negatif seperti narkoba. Begitulah kira-kira sambutan yang diberikan orang nomer satu di kota Solo ini.
Setelah itu giliran Ketua Panitia Penyelenggara memberikan sambutannya. Panitia cuma ingi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan festival sehingga festival musik ini dapat berjalan dengan lancar.
Dan saat yang dinanti pun tiba.
MC mulai membacakan satu-persatu nama band yang akan tampil berdasarkan urutan hasil pengundian dari panitia.
“Sekarang saat yang telah dinantikan oleh kita semua. Kalian sudah siap?”
Para penonton menjawab dengan tepuk tangan dan sorak-sorai yang saling bersahutan.
“Nah, kami akan membacakan urutan band yang akan tampil dalam acara Solo Music Festival yang bertema Peduli Sesama dan Cinta Damai adalah sebagai berikut.”
“Nomer pertama adalah … Money Laundry.”
Tepuk tangan penonton kembali bergema.
Jantungku sesaat berhenti berdetak karena tururt merasakan atmosfir ketegangan yang terjadi pada saat ini.
“Nomer dua adalah … Jet Set.”
“Nomer tiga adalah … Es Campur.”
“Nomer empat adalah … Buldozer.”
Dan seterusnya … hingga MC menyebut nama kami di atas panggung.
“Nomer sepuluh, band yang telah dinantikan oleh kita semua, … Coffeemilk.”
Terdengar suara penonton mengelu-elukan nama Coffeemilk diiringi tepuk tangan yang sangat meriah. Uh, aku menghela nafas yang panjang. Hatiku seketika menjadi lega. Demikian pula dengan Topan, Arif, Manto, Danny dan Viola. Ketegangan telah sirna dari hati kami. Benar, kami mendapatkan urutan nomer sepuluh. Jadi kalau dihitung berdasarkan asumsi masing-masing band memerlukan waktu rata-rata tampil kira-kira 20 menit untuk membawakan empat buah lagu, maka kami akan tampil kurang lebih 3 jam dari sekarang. Jadi kira-kira pada pukul 1 siang nanti, Coffeemilk akan naik ke atas panggung. Masih tersisa banyak waktu bagi kami untuk mempersiapkan diri.

Kami segera mencari tempat yang enak untuk duduk sambil menunggu waktu kami tiba. Mas Deny, Viola dan aku duduk berdampingan di bangku yang tersedia pada sebuah plaza yang berada dekat di belakang panggung. Sedangkan anak-anak yang lain mencari duduk tak jauh dari tempat kami bertiga.
“O ya, menurut Mas Deny bagaimana mengenai fans club? Apakah kami memerlukannya sekarang?” tanyaku tiba-tiba.
Mas Deny terdiam sejenak. Selang beberapa detik dia berkata.”Sebenarnya kita belum begitu membutuhkan sebuah fans club. Kita ini Mas ibaratkan bagai seorang bayi masih berjalan merangkak. Bukan maksud Mas menganggap enteng masalah satu ini, tapi Mas rasa sebuah fans club merupakan sebuah jembatan untuk menghubungkan komunikasi dan apresiasi dari para penggemar dengan idolanya. Karena penggemar tersebut jumlahnya ribuan orang bahkan bisa sampai ratusan ribu orang, kalau tidak ada fans club tentu sebuah band akan sangat kerepotan mengurusi para penggemarnya satu persatu. Mas rasa Coffeemilk belum sampai ke tahap tersebut. Pelan-pelan aja. Suatu saat kalau kalian sudah berhasil, kalian pasti akan memiliki fans club sendiri. Tapi tidak ada salahnya untuk embrio, teman-teman dari SMU 1 tadi bisa kita mintai tolong untuk mengurus cikal bakal fans club dari Coffeemilk nanti.”
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Sebuah SMS masuk di sela obrolanku dengan Mas Deny. Kubaca nama pengirimnya yang ternyata dari Dik Ira, putrinya Mas Dody. Tumben dia SMS kepadaku. Ada apa ya?
“Dari siapa, Is?” tanya Viola kepadaku.
“Dari Dik Ira, tumben dia mencariku?” jawabku.
Karena penasaran segera kubuka SMS dari Dik Ira,

Mas Isma, Ira sdh smp di areal festival.
Tp ingin ketemu Mas dulu. Coffeemilk main jam brp?
Pss dimn? Aku dng Mas Willy n’ Dik Hary.
Tlg bls!

Rupanya Dik Ira datang melihat festival bersama kakak dan adiknya. Kelihatannya dia bingung mencariku. Segera kubalas SMSnya.

Mas ada diblkg pangg.
Sdng ddk di tmn.
Kalau mau Dik Ira kemari.
Mas tunggu!
Coffeemilk main nanti jam1!

Handphone pun kututup. Semoga Dik Ira mengerti petunjuk yang kuberikan. Band pertama telah memulai menunjukkan aksinya. Lagu Sweet Child O’Mine dari Guns N’ Roses yang merupakan lagu wajib di festival ini dibawakan dengan apik oleh Money Loundrey. Musiknya diaransemen ulang dengan ciri mereka meskipun kudengar masih ada banyak kemiripan dengan versi aslinya. Topan, Arif dan Manto tampak penasaran ingin melihat penampilan band pembuka itu. Mereka melangkah maju mendekati panggung. Sedangkan Danny dengan santai masih sibuk menghisap rokok di sudut plaza.
Tiba-tiba Mas Deny beranjak dari duduknya. “O ya, Vi. Mas permisi dulu. Mas tadi udah janjian untuk bertemu dengan teman lama. Katanya dia datang dari Jakarta khusus untuk melihat festival ini juga. Mas mau mencari dia dulu. Siapa tahu dia sudah menunggu. Mas tinggal dulu. Is, titip Viola ya.”
“Jangan khawatir, Mas. Viola akan kujaga sebaik-baiknya.”
“Aku percaya hal itu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”

Sekarang tinggal aku berduaan dengan Viola di taman ini. Kelihatannya Danny sudah bergabung dengan anak-anak yang lain untuk melihat para peserta festival unjuk kebolehan. Kutatap wajah Viola dengan penuh perasaan. Dan dia pun menatapku dengan mata yang sendu. Mata kami saling bertemu. Kurasakan sesuatu bergejolak di dalam tubuhku. Mengalir bersama aliran darahku. Oh, betapa indahnya ciptaan-Mu yang ada di hadapanku ini ya Allah. Sungguh agung kuasa-Mu hingga Kau perlihatkan kepadaku wajah seorang bidadari. Wajah yang bersinar terang, seakan hendak menerangi seluruh isi bumi ini dengan cahaya yang menyejukkan hati.
“Is, kok kamu memandangku seperti itu. Ada yang salah denganku?”
“Tak ada yang salah padamu, Vi. Bagiku kau terlalu sempurna.”
“Bisa aja kamu. Is, kamu tahu nggak? Saat-saat seperti inilah yang selalu kurindukan setiap hari. Kamu ingat kenangan terindah yang kita lakukan bersama di Jogja? Hari-hari itu merupakan hari-hari yang terindah dalam hidupku. Aku ingin selalu mengulanginya setiap hari. Aku selalu berdoa kepada Sang Maha Mendengar supaya aku bisa selalu mencurahkan seluruh perasaanku bersama dengan orang-orang yang kukasihi dan kucintai tanpa sedetik pun waktu yang terlewati. Karena mungkin aku nggak akan bisa selamanya menikmati keindahan dan kenikmatan itu.”
Tiba-tiba wajah Viola berubah menjadi sedih. Senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya perlahan-lahan memudar. Matanya yang bening menjadi sembab. Airmatanya terlihat mulai mengalir membasahi pipinya yang halus.
“Vi, kamu menangis? Ada suatu masalah yang membebani hatimu? Kalau boleh kutahu, mungkin aku bisa membantu meringankan bebanmu.”
“Tidak ada apa-apa, Is. Aku hanya kembali teringat dengan ayah dan bundaku. Semoga mereka di sana selalu merindukanku seperti aku di sini yang selalu merindukan mereka.”
“Insya Allah, Vi. Meskipun mereka telah menghadap kepada Sang Tunggal, orang tuamu akan selalu ada di dalam hatimu. Kemana pun kamu akan melangkahkan kaki, mereka akan selalu menemanimu, menjagamu dan menyanyangimu dengan setulus hati.”
“Makasih ya, Is. Kamu memang selalu ada untukku.”
“Sama-sama, Vi.”
Dengan diiringi lantunan syair-syair cinta yang mengharukan suasana, hati kami pun bertemu.


“Ehm, … Assalamu’alaikum, maaf kalau mengganggu.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyadarkan kami dari lamunan.
“Wa’alaikum salam, oh Dik Ira,” jawabku segera.
Viola kembali duduk seperti semula.
“Sorry, Mas Isma, Mbak Viola, kalau kedatangan Ira mengganggu.”
“Nggak papa kok, Dik. Kami hanya sedang melepaskan ketegangan aja sebelum nanti naik ke pentas.”
“Mas Topan dan yang lainnya pada kemana, Mas?”
“Tuh, mereka di sana. Sedang asyik melihat penampilan band yang sedang unjuk kebolehan di atas panggung.”
Dik Ira segera memalingkan pandangan ke arah yang kumaksud.
“Lho, kok sendirian, Dik? Katanya kemari sama Willy dan Dik Hary? Kemana mereka?” tanya Viola.
“Oh, Mas Willy dan Dik Hary tadi Ira tinggalin di antara para penonton, Mbak. Mereka tadi tampak asyik menikmati penampilan dari band pembuka sehingga pas Ira ajak kemari, mereka nggak mau. Nanti aja nyusul, katanya.”
“Ngomong-ngomong Dik Ira ada perlu apa dengan Mas, tumben, nggak biasanya?”
“Gini, Mas. Ira sebenarnya pengin minta tolong sama Mas. Ceritanya Ira disekolah kan ikut kegiatan madding sekolah. Kebetulan untuk materi minggu depan, Ira dapat jatah meliput festival ini. Sebenarnya Ira waktu itu keberatan karena Ira merasa belum mampu. Tapi karena didesak terus menerus oleh teman-teman Ira, terpaksa Ira menerima tugas itu. Itupun dikarenakan Ira ingat kalau Mas Isma dan Mas Topan akan ikutan festival ini. Jadi nanti Ira minta tolong sama Mas Isma atau Mas Topan untuk bisa memberi materi yang Ira perlukan guna penyusunan madding minggu depan. Bisa kan, Mas?”
“Insya Allah, nanti Mas usahakan.”
“Hebat lho Dik Ira ini. Meliput sebuah event apalagi yang berskala besar seperti festival ini tentu bukan pekerjaan gampang lho. Tapi Mbak percaya kok sama Dik Ira. Pasti Dik Ira Insya Allah bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Apalagi Mas Isma sudah mau membantu.”
“Amin. Makasih, Mbak. Semoga amanat ini dapat Ira kerjakan dengan sebaik-baiknya. Kalau begitu Ira pamit dulu ya. Ira mau mengambil gambar-gambar guna melengkapi materi madding nanti sekalian ikut menikmati musik tentunya. O ya, Mas. Coffeemilk jam satu siang kan mainnya?”
“Insya Allah, Dik.”
“Nanti Ira akan kasih tahu Mas Willy dan Dik Hary. Juga Mas-Mas di Mentari Buana. Mereka rnecananya mau rombongan kemari lho. Mungkin mereka sekarang sudah tiba disini bergabung dengan para penonton di sana untuk memberi dukungan buat Coffeemilk. Moga-moga Coffeemilk menang.”
“Makasih Dik, atas dukungannya. Salam buat anak-anak kalau Dik Ira ketemu di sana.”
“Ira pergi dulu ya Mas Isma. Mari, Mbak Viola. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab kami berdua serempak.
Dan Dik Ira segera berlalu dari hadapan kami.
Detik-detik sang waktu terus berjalan. Mentari pun bersinar dengan teriknya. Kucuran keringat membasahi tubuh kami. Tapi lain halnya dengan para penonton. Kulihat mereka tidak mempedulikan hal itu. Mereka terus terhanyut oleh irama-irama yang dimainkan para peserta festival dengan penuh semangat. Mereka ikut bergoyang, berjingkrak, mengangguk-anggukkan kepala, melompat, dan turut bernyanyi bersama ketika sang vokalis mengacungkan microphone ke arah mereka.
Penantian ini membuat perasaan kami menjadi kembali tidak tenang. Kami sudah tidak sabar untuk segera naik ke panggung dan memperlihatkan kemampuan kami dengan sepenuh hati. Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu. Sebentar lagi waktu kami akan tiba. Peserta nomer sembilan masih menunjukkan aksinya di atas panggung. Kami semua sudah berkumpul kembali di belakang panggung. Keadaan kami saat ini ibarat sekelompok pasukan yang sudah siap tempur ke medan perang dan kami akan berjuang secara habis-habisan. Mas Deny terus-menerus memberikan motivasi dan semangat sehingga kami cukup merasa lebih percaya diri.
“Yang perlu kalian ingat, kalian di sini selain untuk menunjukkan kemampuan yang terbaik, kekompakan di atas panggung harus dijaga dengan baik. Teknik blocking panggung harus kalian pahami dengan benar. Jelajahi semua sisi panggung secara merata. Hal tersebut sangat berguna untuk menunjang penampilan kalian supaya lebih bervariatif dan tidak menjemukan. Kita sekarang sedang berlaga di sebuah acara festival besar, bukan lagi di acara launching produk seperti kemarin di mall. Sangat beda penerapannya disini. Dulu di mall, kalian hanya bisa “diam ditempat” karena memang tempatnya yang terbatas. Sekarang dengan panggung yang seluas ini, kalian bisa leluasa bergerak tanpa harus melupakan harmoni musik yang kalian bawa,” terang Mas Deny memberi pengarahan. “Kalian sudah mengerti maksudnya?”
“Kami mengerti, Mas.” Jawab kami serempak.
“OK, sekarang kalian telah siap. Jaga kekompakkan kalian masing-masing. Is, pimpin teman-temanmu nanti setelah di atas panggung. Kamu memang punya kemampuan untuk itu.”
“Insya Allah, Mas.”
“Nah, itu lagu terakhir sebentar lagi akan selesai. Is, sekarang kendali kamu yang ambil alih. Mas akan selalu mendukung di belakang kalian. Mas doakan semoga kalian sukses.”
“Amin.”
“Ok, teman-teman. Seperti yang Mas Deny bilang. Kita harus bisa mengeluarkan kemampuan yang terbaik. Jangan kecewakan para penggemar kita seperti Azizah dan teman-temannya. Juga jangan kecewakan teman-teman kita di kampus maupun di kost-kostan yang sudah mendukung kita dengan tulus dan sepenuh hati. Demi Coffeemilk yang mereka cintai. Pan, kamu sudah siap?”
“Gue siap, Boss.”
“Kalau kamu, To?”
“Aku siap.”
“Kamu juga sudah siap, Rif?”
“Let’s get rock.”
“Dan, bagaimana dengan kamu?”
“Gue udah nggak sabar segera beraksi.”
“Terakhir kamu, Vi. Kamu juga sudah siap menemani kami berjuang?”
“Hatiku selalu untuk Coffeemilk .Aku selalu siap.”
“Baik, it’s time to show. Mari kita berdoa terlebih dahulu kepada Allah SWT. Semoga kita diberi kekuatan dalam perjuangan ini.”
Kami segera bermunajat kepada Sang Maha Pencipta dengan menengadahkan kedua tangan kami ke atas dengan penuh hikmat. Sejenak suasana menjadi hening. Aku pun mulai mempimpin memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta.

Setelah beberapa menit, penampilan band kesembilan telah selesai. Mereka telah turun dari panggung besar ini dengan wajah kelelahan dan badan basah kuyup oleh keringat. Namun terlihat senyum kepuasan di wajah-wajah mereka. Mereka telah menampilkan kemampuan terbaiknya.
Ketika mereka berpapasan dengan kami, tak lupa kami memberikan selamat kepada mereka dan mereka tak lupa membalasnya dengan ucapan semoga kami sukses di atas panggung. Kami semua berjabat tangan dengan erat. Sungguh sebuah persahabatan yang sangat indah. Tidak ada rasa ingin saling mengalahkan dan saling menyaingi satu sama lain. Semuanya menunjukkan rasa persaudaraan dan perdamaian di antara sesama peserta festival.. Kami semua adalah teman-teman seperjuangan di festival ini.
Tak lama kemudian, terdengar MC telah memanggil kami untuk segera naik ke atas panggung.
“Para indie lover sekalian, yang telah kita nantikan akan segera naik ke panggung ini. Siapa mereka?”
“Coffeemilk !!!” Jawab para penonton serempak.
“Siapaaa?”
“Coffeemilk, Coffeemilk, Coffeemilk !!!”
Para penonton mulai memanggil dan mengelu-elukan kami.
“Baiklah, hadirin sekalian. Sekarang kita sambut … COFFEEMILK !!!”

Sebuah panggilan untuk kami yang terdengar laksana suara tabuhan genderang perang yang menggema ke seluruh penjuru medan pertempuran sebagai tanda dimulainya perjuangan.
“Sekarang saatnya, teman-teman. Kita berikan mereka yang terbaik.” Aku segera naik ke atas panggung memimpin teman-temanku yang segera menyusul satu persatu berurutan di belakangku.
Suara tepuk tangan dan siulan yang saling sahut-menyahut dari para penonton festival menyambut kami. Mereka terus-menerus meneriakkan nama kami tanpa kenal lelah. Sebuah pemandangan yang membuat hatiku sedikit haru. Belum pernah kami menerima sambutan yang sebesar ini. Ya Allah, semoga kami bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.
Kami segera menuju ke posisi kami masing-masing. Aku menempati sisi kanan panggung. Sedangkan Manto berada di sisi kiri panggung. Arif sudah duduk di belakang seperangkat drum di belakang panggung. Sepasang stick pemukul telah siap ditangannya yang telah ia kenakan sepasang sarung tangan. Viola menempati posisi di samping Arif. Dia berdiri di belakang dua buah keyboards yang dipasang menyudut. Viola kemudian tersenyum kepadaku sambil mengacungkan ibu jarinya tanda dia sudah siap untuk beraksi. Manto dan Danny terlihat telah memanggul alat musiknya masing-masing. Manto berdiri di seberangku dengan memakai gitar jenis Fender warna merah marun. Danny berdiri agak di depan Arif. Dan Topan tampak sudah bersiap dibelakang microphone. Sesaat kemudian dia mulai menyapa penonton.
“Assalamu’ alaikum. Selamat siang semuanya. Kami harap kalian masih bisa bertahan dalam cuaca yang panas ini. Kalian masih sanggup?”
“Sanggup !!!” Teriak penonton bersama-sama.
“Bagus, kami dari Coffeemilk siap untuk menghibur para indie lovers sekalian.”
Aku segera mengenakan gitar les paul yang telah disiapkan oleh panitia. Gitar berwarna cokelat tua yang menjadi idamanku selama ini telah berada dalam genggamanku. Kuperhatikan setiap lekuk gitar ini dengan penuh perasaan. Kubelai dengan lembut dawai-dawainya yang tampak berkilauan memantulkan sinar mentari siang yang terik.
“Ayo, teman. Kita segera beraksi,” bisikku dalam hati seolah gitar dalam genggamanku ini dapat mendengarnya.
Aku pun berjalan menuju ke bagian depan panggung yang agak menjorok ke arah penonton. Para penonton pun histeris melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Jarak penonton dengan batas panggung hanya berkisar satu meter saja dengan diberi pagar pengaman yang dijaga oleh para panitia.

Kuputarkan pandangan menyapu semua penonton yang berada di sekelilingku. Kubalas lambaian mereka dengan antusias. Kemudian mataku melihat wajah-wajah yang telah kukenal berada di antara mereka. Di depanku kira-kira jaraknya lima meter, kulihat Azizah dan teman-temannya berteriak histeris sambil sibuk memotret diriku dengan kamera handphonenya. Terlihat pula anak-anak Mentari Buana tak jauh dari posisi kelompok Azizah. Kulihat ada Kang Deden, Fajar, Uda Kamal, Mas Unang dan Hasan hadir di antara penonton. Dan ternyata Dik Ira, Willy dan Dik Hary juga telah berada di antara mereka. Hah … itu kan si bule David. Dia datang juga dengan anak-anak Mentari Buana. Dia tersenyum pada sambil mengacungkan ibu jarinya. Aku pun segera membalas perhatian mereka semua dengan senyuman dan lambaian tanganku yang tulus.
“Terima kasih semuanya, semoga kalian selalu bisa membawa semangat yang bergelora ini untuk berbuat yang lebih baik. Dan jangan lupa pesan dari kami, stay away from drugs, stay way from free sex, and finally, let’s make the new world with loves and peace. Semoga kalian selalu diberi rakhmat dariNya.”
Aku pun segera memainkan jemariku di atas dawai gitar. Jari-jari tanganku mulai menari dengan gerakan yang agak cepat dan berirama. Sebuah melodi mulai terdengar melantun membahana, keluar dari seperangkat sound system raksasa di samping panggung. Para penonton segera terbius oleh lantunan nada yang melengking tinggi menembus angkasa. Melodi pembuka lagu Sweet Child O’ Mine telah kumainkan dengan sempurna. Dan akhirnya kami berenam telah berpadu dalam hentakan-hentakan nada yang memancing penonton untuk berjingkrak-jingkrak mengikuti irama.
Suara Topan bergema ke seluruh kawasan festival, menyanyikan bait demi bait syair yang telah terangkai dengan suara lantang layaknya seorang Axl Rose. Dentuman bass dari Danny terus-menerus mencabik-cabik pendengaran seiring dengan gebukan-gebukan yang bertenaga dari Arif di belakangnya. Aku dan Manto pun saling sahut-menyahut memainkan melodi yang menyayat hati dan melengking tinggi. Kulihat Viola memainkan jemarinya yang lembut di atas tuts-tuts dengan lemah gemulai. Rangkaian nada yang dihasilkan menambah suasana dalam musik yang kami bawakan.
Penonton mulai memanas. Mereka mulai berlompatan mengikuti irama musik yang kami mainkan. Tak jarang mereka pun ikutan bernyanyi dengan suara yang tak kalah lantangnya.

She's got a smile that it seems to me
Reminds me of childhood memories
Where evrything
Was as fresh as the bright blue sky
Now and then when I see her face
She takes me away to that special place
And if I stared too long
I'd probably break down and cry
Oooo, … sweet child o’mine
Oooo, … sweet love of mine
( petikan lagu “Sweet Child O’Mine” dari Guns N’Roses, album Appetite For Destruction )

Setelah hampir lima menit, lagu wajib dari festival ini sudah selesai kami bawakan dengan cukup memuaskan. Suara tepuk tangan penonton tak henti-hentinya berkumandang. Mereka masih ingin mendengar dan melihat kami membawakan sebuah lagu. Dan tak menunggu lama, kami segera memainkan lagu kedua, dan kemudian kami lanjutkan secara medley ke lagu ketiga. Tentu lagi yang kami mainkan adalah lagu dari band favorit kami, Padi. Lagu Hitam dan Begitu Indah kami bawakan dengan sempurna tanpa jeda sedikitpun.

Stamina kami telah terkuras habis. Keringat membasahi tubuh kami yang lelah. Kemampuan terbaik sudah kami keluarkan demi memuaskan penonton. Sekarang tiba saatnya kami bawakan lagu pamungkas. Kalau ketiga lagu sebelumnya merupakan lagu dari band-band idola kami, lagu terakhir ini merupakan lagu ciptaan kami sendiri.
Kembali aku dan Topan berkomunikasi dengan penonton.
“Sekarang kami akan menyanyikan lagu yang terakhir. Lagu ini adalah ciptaan kami sendiri. Dan tentunya, Isma lah yang menulis liriknya. Benar begitu kan, Is?”
“Benar, Pan. Para indie lovers sekalian, liriknya memang saya sendiri yang menciptakan. Namun dalam penggarapan lagu ini, kami kerjakan secara bersama-sama. Lagu ini sudah lama berkumandang di radio-radio yang ada di kota Solo. Mungkin kalian sudah tahu judul lagunya apa?”
“Yang Terindah.” Jawab para penonton dengan penuh semangat.
“Betul, seratus buat kalian. Judul lagunya adalah Yang Terindah. Lagu ini saya buat khusus bagi mereka yang ingin mengungkap perasaan yang paling dalam dari lubuk hati mereka kepada seseorang yang paling mereka cintai. Perasaan itu bisa ditujukan kepada Sang Maha Pencipta, kepada semua ciptaan-NYa, kepada orang tua, saudara, teman, dan juga kepada kekasih sang tambatan hati.”
“Baiklah, indie lover. Inilah persembahan dari kami, Yang Terindah.”
Alunan suara piano terdengar merdu membuka lagu. Dengan mata yang terpejam, Viola memainkan jemarinya dengan penuh penghayatan. Wajahnya terlihat sangat cantik tertimpa cahaya mentari.
Dan alunan syair-syair cinta pun berkumandang.

Kini telah kutahu
Apa yang menjadi milikku
Walau semua belumlah pasti
Tapi kuyakin nanti
Semuanya akan menjadi nyata

Sejalan laju putaran waktu
Seiring terbitnya mentari
Mencari akan arti hidup
Bersanding dengan belahan hati

Pastikan kumiliki
Semua yang ada padamu
Sgalanya dalam dirimu
Yang terindah darimu

Jangan pernah kau ragu
Akan ketulusan hatiku
Yang tak dapat terbagi
Hanya satu untukmu … (petikan puisi dari karya penulis sendiri)

Sambil kupetik gitarku, aku berjalan mendekati Viola yang terus memainkan jemari di atas tuts. Melihat aku berjalan mendekat, dia tersenyum dengan manisnya.
Aku pun berbisik padanya. “Vi, kupersembahankan lagu ini untukmu seorang, duhai belahan jiwaku. Kau lah yang terindah dalam hidupku. Cintaku selain kepada Allah semata, juga kuberikan hanya untukmu.”
Mendengar hal itu, Viola seketika terharu. Kedua bola matanya yang bening terlihat berkaca-kaca. Butiran air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya.
“Terima kasih, Is. Aku juga sayang kamu, wahai malaikatku.”
Syair-syair cinta terus mengalun, meresap ke dalam lubuk hati kami berdua. Hembusannya bagaikan sebuah oase yang menyirami hati kami yang dahaga akan kasih dan cinta.
Lagu terus bergulir. Lantunannya membius ribuan penonton. Mereka turut terhanyut dalam syair-syair yang dibawakan Topan dengan penuh perasaan. Kedua tangan mereka mengacung ke atas, bergoyang ke kanan dan ke kiri tanpa dikomando. Mereka turut bernyanyi dengan penuh penghayatan.

Dan ketika lagu Yang terindah telah selesai kami bawakan, suara gemuruh tepuk tangan kembali terdengar di seluruh kawasan festival. Penampilan kami kurasa cukup memuaskan mereka. Mereka kembali mengelu-elukan kami. Setelah melepaskan alat musik masing-masing, kami berenam segera berdiri sejajar di depan panggung. Kami akan memberikan penghormatan untuk para penggemar kami yang telah mendukung kami dengan tulus.
Namun sebelum kami hendak membungkukkan badan, terdengar suara benda jatuh yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Bruuuk !!!”
Dan ketika kami sadari, terlihat Viola telah terbaring tak sadarkan diri di bawah panggung dengan dahi bersimbah darah. Viola telah terjatuh dari atas panggung dengan ketinggian 1 meter dan dahinya terlebih dulu menghantam seperangkat speaker. Aku terpana melihat pemandangan yang mengerikan itu. Aku terpaku tanpa bisa bergerak sedikit pun. Awan mendung seketika menyelimuti hatiku. Lidahku terasa kelu sehingga aku tak mampu berkata apa-apa. Sebuah suara jeritan dari penonton akhirnya menyadarkanku. Segera aku melompat turun dari panggung dengan air mata yang telah berlinang membasahi pipiku. Teman-temanku juga melakukan hal serupa. Para panitia segera membentuk pagar betis mengelilingi lokasi Viola jatuh karena para penonton terlihat mulai berdesakan ingin melihat apa yang telah terjadi. Segera kerengkuh tubuh yang tak berdaya dengan darah yang terus menyucur di dahinya. Kugoncang-goncangkan tubuhnya. Viola tetap tak bergerak. Wajahnya yang cantik telah bersimbah darah. Senyumnya yang menawan telah hilang dari bibirnya yang tampak pucat. Kurasakan dinginnya tubuh Viola di pelukanku. Seketika aku berteriak dengan lantang.
“VIOLA !!!”
Bersambung ...

0 comments:

Posting Komentar