Sabtu, 07 Februari 2009

Bag6-Saat-Saat yang Terindah ( Chap. Lagu Untuk Viola )

Hari ini untuk kedua kalinya aku ikut Viola ke Jogja setelah minggu kemarin aku juga menemaninya sehabis latihan di Yellowbeat. Aku kasihan padanya kalau sendirian ke sana. Sebenarnya aku masih merasa nggak enak meninggalkan pekerjaanku di StarMusikindo. Aku nggak enak sama Bu Ratna dan teman-teman karyawan yang lain. Masa karyawan baru udah sering bolos. Tapi karena Mas Deny meyakinkanku bahwa dia nanti yang bakal ngomong sama Bu Ratna, aku agak merasa lega walau sebenarnya masih ada yang mengganjal. Aku pun teringat kembali kejadian di StarMusikindo seminggu yang lalu di hari pertama aku masuk kerja.

Seminggu yang lalu...

Hari ini merupakan hari pertama aku masuk kerja. Harusnya aku masuk kerja kemarin tapi karena pada hari itu aku pergi menemani Viola, maka terpaksa aku bolos kerja pada hari pertama. Saat ini aku akan menghadap Bu Ratna. Mungkin karena sikapku kemarin, Bu Ratna hendak bertemu denganku. Segera kuketuk pintu ruangannya dan tak berapa lama terdengar suara beliau menyuruhku masuk. Kulihat hari ini Bu Ratna memakai blazer warna kuning pastel sehingga beliau tampak jauh lebih muda. Raut muka tampak serius tak seperti biasanya. Jangan-jangan beliau sedang kesal padaku ? Wah, aku pasti dimarahi habis-habisan nih.
”Assalamu’ alaikum, Bu.” Aku menyapanya dengan ramah.
”Wa’ alaikum salam. Duduk, Is!”
”Makasih, Bu.” Segera kutarik kursi di depan meja kerjanya.
”Kemarin saya sudah dihubungi sama Mas Deny, kakaknya Viola. Katanya kamu nggak bisa masuk kerja di hari pertama karena harus menemani adiknya ke Jogja. Benar begitu, Is?”
”Benar, Bu. Kemarin siang saya menemani Viola ke Jogja sampai malam. Jadi saya mohon maaf kalau kemarin saya belum bisa masuk kerja.”
”Gimana perjalanan ke Jogja kemarin?”
”Alhamdulillah lancar, Bu.”
”Saya sih nggak papa. Tapi usahakan jangan terlalu sering bolos kerja ya. Nggak enak sama karyawan yang lain. Kamu mengerti maksud saya, Is?”
”Saya mengerti, Bu. Sebagai permohonan maaf, saya bersedia kerja full time hari ini untuk mengganti jam kerja saya kemarin.”
”Kamu yakin, Is? Apa kamu nggak kuliah pagi ini?”
”Kebetulan hari ini kuliah sedang kosong, Bu. Minggu kemarin tugas akhir mata kuliah sudah dikumpulkan jadi minggu ini nggak ada kuliah.”
”Baiklah, kalau begitu sekarang kamu boleh langsung kerja.”
”Makasih, Bu.”
Aku pun segera beranjak dan meninggalkan Bu Ratna di ruangannya. Tapi begitu aku hendak tiba di pintu keluar, tiba-tiba Bu Ratna memanggilku.
”O ya, Is. Saya hampir lupa sesuatu. Selamat bergabung di StarMusikindo, semoga kamu betah di sini.”
”Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha semampu saya.”
”Ok, sekarang kamu bisa pergi.”
”Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
”Wa’ alaikum salam.”

Aku pun berlalu. Hatiku terasa lega . Aku nggak menyangka kalau Bu Ratna tidak marah padaku. Padahal tadinya aku sudah deg-degan ketika hendak masuk ke ruang kerjanya. Memang beliau orangnya sangat baik hati. Aku pun menjadi sangat menghormatinya.
”Hey, Is. Gimana? Dimarahin ya sama Bu Ratna.” Tiba-tiba dari arah belakang, Mas Seno menyapaku.
”Eh, Mas Seno. Bikin kaget aja. Enggak kok. Bu Ratna nggak marah.”
”Memang Bu Ratna orangnya baik hati. Orangnya jarang bahkan mungkin nggak pernah marah. Kita semua di sini sangat menghormatinya. Beliau kami anggap seperti Ibu kami sendiri. Tapi jangan tanya kalau kita sampai mengecewakan pelanggan toko ini, beliau mungkin nggak kenal kompromi.”
“O ya, kenapa bisa begitu Mas?
”Jelas bisa! Kamu tahu, Is. Toko ini menjadi besar karena pelanggan. Dan kamu boleh percaya apa nggak. 90% pembeli di sini adalah pelanggan toko ini selama satu dekade. Sisanya adalah pelanggan baru. Jadi wajar kalau Bu Ratna sangat memperhatikan kepuasan dari pelanggan.”
Mas Seno mulai menjelaskan dengan mimik muka yang serius.
”Menurutku mengenai persoalanmu kemarin, Bu Ratna menganggap Viola sebagai pelanggan lama karena memang keluarga Viola sudah menjadi pelanggan di toko ini sejak Viola masih kecil dan kamu dianggap beliau telah memuaskan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan, dalam hal ini kamu mengantar Viola ke Jogja.”
”O. Begitu ya, Mas.”
”Makanya sekarang kamu kerja yang betul supaya Bu Ratna betul-betul bangga padamu.”
”OK, Mas. Aku siap.”
”Nah, semangat gitu donk. Yuk, kita turun. Pelanggan tampaknya udah mulai berdatangan.”
Kami berdua pun segera menuju ruang display untuk melayani pelanggan-pelanggan kami.

”Hey, kamu kenapa Is?” Tiba-tiba suara Mas Deny membuyarkanku dari lamunan.
”Nggak papa, Mas.”
”Nggak baik kalau melamun terus. Nanti kesambet baru tahu rasa kamu.”
”Ah, masa sih siang bolong gini bisa kesambet.”
”Nih anak kalau dibilangin orang tua nggak percaya.”
Memang Mas Deny sering nasihatin kami berlima selayaknya kakak kepada adiknya. Dan kami pun menganggap Mas Deny seperti kakak kami sendiri.
”O ya, Is. Mas hampir lupa. Ada yang ingin Mas omongin sama kamu.”
”Tentang apa Mas?”
”Begini, Is. Kan udah seminggu nih kalian gabung sama Yellowbeat. Menurut Mas selama itu, kalian sudah banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Mas salut sama semangat kalian. Kalau bisa hal itu bisa terus kalian pertahankan.”
”Ok, itu udah pasti, Mas.”
”Satu lagi, Is. Apa kalian sudah punya materi lagu bikinan sendiri? Kalau ada coba besok kalian bawa ke sini.”
”Kalau materi secara utuh sih kita belum sempat bikin aransemen, tapi kalau mengenai lirik, aku punya banyak, Mas. Sejak dari SMU dulu, aku sudah sering bikin lirik lagu, sekalian menyalurkan hobiku menulis. Ada beberapa yang sudah kuaransemen sendiri, tapi belum bareng-bareng sama Coffeemilk. Kalau Mas mau lihat besok bisa ku copykan.”
”OK, Mas tunggu ya. Sekarang cepetan ke sana. Viola udah nunggu tuh.”
Aku nggak tahu kenapa Mas Deny begitu ngotot supaya aku bisa nemenin Viola ke Jogja. Apa dia sudah mengetahui hubunganku dengan Viola? Apa Mas Deny setuju kalau aku jadian sama Viola? Duh, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di otakku. Hingga akhirnya semuanya buyar ketika Viola datang menyapaku.
“Yuk, Is. Buruan kita berangkat. Tuh, udah mulai mendung.”
Tangan Viola menunjuk ke atas, memperlihatkan langit yang tampak mulai menghitam sehingga sinar matahari sudah tidak seterik tadi siang ketika aku dan teman-teman berangkat ke Yellowbeat.
“O ya, nanti kamu yang nyetir ya, Is!”
“What? Aku yang nyetir, Vi? Yang benar aja! Aku kan baru kemarin belajar nyetirnya. Aku nggak berani, Vi! Apalagi sekarang nyetirnya sampai Jogja.”
“Ayolah, Is. It’s OK. Minggu kemarin aku kan yang nyetir. Sekarang giliran kamu. Santai aja. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa kok. Lagipula kalau nggak langsung test drive, kamu nggak bakalan cepat bisa nyetir. Percaya deh ama aku.”
“Beneran nggak papa nih?”
“Iya, ayo donk, Is. Masa cowok nggak bisa nyetir mobil. Malu kan?”
“Tapi jalannya pelan-pelan aja ya , Vi.”
“Terserah kamu aja, yang penting nggak terlambat ke tempat dosenku dan tentunya selamat, sehat wal afiat.”
“Amiiin. Sekarang berangkatnya?”
“Nanti, tahun depan, ya sekarang lah.”
“Baik, Non.”
“Ih, nggak lucu ah!” Viola memukulkan kepalan tangannya ke lenganku sambil tersenyum.

Dari kejauhan tampak Mas Deny dan anak-anak Coffeemilk sedang berjalan ke arah kami berdua. Anak-anak kelihatan lelah. Mereka berjalan dengan lunglai. Hari ini kami memang latihan dengan keras. Hampir tiga jam kami habiskan waktu di studio. Tenaga kami pun terkuras. Tapi kami merasa puas dengan hasil latihan kami hari ini.
Setelah dihadapanku, Mas Deny pun berkata, ”O ya, Is. Tadi Mas udah menghubungi Mbak Ratna. Kamu diijinkan nggak masuk hari ini.”
“Makasih ya, Mas. Jadi ngrepotin Mas Deny terus nih.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting sekarang kamu temenin adikku ke Jogja. Aku titip Viola sama kamu, Is. Hati-hati di jalan ya.”
“O ya, Is.” Topan menyahut. “Jangan lupa oleh-olehnya ya. Bakpia kek atau geplak kek, yang penting khas Jogja. Jangan kaya minggu kemarin. Masa dari Jogja bawa oleh-olehnya bakwan. Nggak nyambung!”
“Jangan khawatir, Pan. Entar gue bawain. Dasar loe, makanan aja yang loe pikir.”
“Udah buruan sana berangkat, tuh mendungnya kelihatannya mulai pekat, mungkin sebentar lagi mau hujan”, kata Danny.
“OK, kami berdua pergi dulu ya. O ya, Dan. Titip anak-anak ya. Anterin sampai kost-kostan masing-masing. Terutama tuh si Topan. Hari ini kan jatah dia nguras bak mandi.”
Tawa kami pun bergema.
Mentari telah bersembunyi, menghilang dan tenggelam dibalik bongkahan awan hitam yang semakin pekat. Tak ketinggalan sambaran kilat dan pekaknya guntur mulai saling bersahutan, mengiringi perjalanan kami ke Jogja. Tak sampai dalam hitungan menit, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Semakin lama semakin deras dan kemudian hujan lebat pun telah menghadang. Segera kulajukan mobil tidak terlalu kencang mengingat kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Hujan lebat telah mengaburkan pandanganku hingga aku hanya bisa melihat cahaya-cahaya lampu dari mobil yang berada di depan maupun dari mobil yang berpapasan.
“ Is, hati-hati ya jalannya.”
“Tenang, Vi. Aku pasti berhati-hati. Pertama kali test drive langsung dapat tantangan kaya gini.”
“Nggak papa, santai aja lagi. Entar kamu malah cepet mahir nyetirnya.”
“Yang benar, Vi.”
“Percaya deh ama aku.”
“OK, Non.”
“O ya. Is, makasih ya kamu udah mau nemenin aku ke Jogja. Nggak kebayang deh seumpama aku sendirian pergi ke Jogja seperti minggu kemarin, apalagi pas hujan lebat kaya gini. Sekali lagi, makasih ya, Is.”
“Sama-sama, Vi. Aku nggak keberatan kok. Aku juga senang kok bisa nemenin kamu.”
“Benar, Is ? Kamu nggak nyesel?”
“Masa aku harus menyesal sih? Apalagi aku bisa berduaan dengan cewek secantik dan sebaik kamu, Vi.”
Gila! Sungguh aku nggak menyangka bisa ngomong seperti itu. Viola tampak tersipu mendengarnya.
“Bisa aja kamu, Is. Jangan bikin aku malu donk.”
“Kenapa mesti malu? Kamu memang cantik kok. Sungguh buta kalau ada orang yang menganggap kamu tidak cantik.”
“Makasih ya, Is.”
Ya Allah! Aku nggak nyangka akan berkata seperti itu kepada Viola. Aku jadi salah tingkah. Tanpa kusadari, aku nggak sengaja menginjak pedal rem secara mendadak hingga kami berdua pun tersentak.
“Eh, ups…, sorry! Aku nggak sengaja! Sorry ya…”
Viola hanya tersenyum melihat tingkahku.
“Kenapa kamu, Is? Nggak usah salah tingkah kaya gitu. Masa sama aku kamu masih malu-malu sih. Terus terang aja padaku. Apapun yang akan kamu katakan, aku nggak akan marah kok.”
Dengan mata yang sesekali menatap ke jalan, kuperhatikan wajahnya dengan lembut. Viola menggeliat manja di kursi. Wajahnya yang tadi berseri, seketika menjadi sayu. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dan tak lama kemudian air matanya mulai berjatuhan setitik demi setitik.
“Is, bisa berhenti sebentar?”
“Berhenti di sini, Vi? OK, aku pinggirkan mobilnya dulu.”
Mobil segera kuhentikan dipinggiran jalan. Kulihat disekelilingku, hamparan sawah yang luas menghijau dengan tanaman padi yang kuning menari-nari tertiup kencangnya angin yang berhembus mengiringi lebatnya hujan.
“Kenapa, Vi? Kok berhenti disini? Kenapa kamu meneteskan air mata, Vi. Apa ada perkataanku yang menyakiti hatimu?”
“Aku menangis karena saat ini aku sungguh bahagia sekali. Kamu tahu, Is? Walaupun kita belum lama berteman, tapi aku nggak tahu kenapa setiap aku melihatmu, aku merasakan kedamaian, keteduhan dan kebahagiaan yang telah lama aku tidak merasakannya. Perasaan itu sudah hilang saat kedua orang tuaku meninggal. Tapi saat bersamamu, perasaan itu muncul kembali dan aku tidak ingin semuanya akan pergi meninggalkanku kembali. Isma, jujurlah padaku! Apakah kamu senang bersamaku?”
“Vi, dengan ketulusan hatiku yang paling dalam, aku senang menemanimu.”
“Sungguh, Is? Kamu tidak menyesal berteman denganku?”
“Kenapa aku harus menyesal. Aku malah sangat beruntung mempunyai sahabat yang cantik sepertimu.”
“Isma, makasih ya.” Viola berbinar bahagia.
Perasaan kami pun bertambah erat, memunculkan ketentraman dan kedamaian dalam jiwa kami berdua. Hujan semakin lebat dan kami pun larut dalam bunyi tetesan air yang berjatuhan, yang menyejukkan hati kami berdua yang telah terpadu dalam kehangatan.
Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar