


Sekaten adalah salah satu perayaan tradisional bernuansa Islam yang diselenggarakan setiap tahun di alun-alun Kraton Jogja dan Solo. Keramaian yang berupa pasar malam ini selalu diadakan pada bulan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Biasanya orang akan berbondong-bondong pergi ke Sekaten untuk mencari hiburan di stan-stan permainan dan tontonan atau untuk berbelanja, karena ada bermacam-macam barang yang ditawarkan dengan harga murah. Sekaten adalah suatu pesta rakyat yang diselenggarakan selama satu bulan penuh setiap tahun di Alun-Alun Utara, Masjid Agung, serta Komplek Karaton Surakarta Hadiningrat dalam menyambut datangnya Maulud Nabi Muhammad SAW.
Banyak sekali kegiatan yang disajikan dalam perayaan Sekaten, mulai dari pasar murah, pasar malam, pameran sampai dengan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Ada beberapa benda yang khas atau erat banget hubungannya dengan sekaten, yaitu mainan kodok-kodokan, gasing, kapal-kapalan, brondong nasi, cambuk serta celengan gerabah.
Beberapa kalangan (terutama generasi muda) sepertinya sudah kehilangan ketertarikan pada perayaan Sekaten. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh semakin banyaknya pilihan hiburan yang dapat dijumpai di Kota Solo saat ini sebagai dampak modernisasi. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Kraton maupun Pemda Surakarta untuk dapat mengemas kegiatan Sekaten ini semenarik mungkin (tanpa kehilangan makna dan nuansa tradisi) agar dapat menemukan kembali daya magnetnya untuk menarik semua kalangan untuk kembali datang mengunjunginya. Tapi bagi penggemar fotografi, Sekaten adalah salah satu surga untuk mendapatkan object foto yang menarik.
Perayaan Sekaten mencapai puncak saat ditabuhnya Gamelan Kyai Guntur Sari dan Gamelan Kyai Guntur Madu di Masjid Agung sebagai tanda Sekaten resmi dibuka. Kedua gamelan ini ditabuh selama seminggu pada tanggal 5 s/d 12 Rabiulawal dari jam 10.00 sampai jam 22.00, dengan jeda pada saat adzan. Penabuhnya adalah abdi dalem keraton yang disebt abdi dalem 'Niyogo'. Ada beberapa ritual yang khusus dan istimewa dari perayaan Sekaten, yaitu: ritual makan sirih dan telur asin (Endog Kamal) saat ke-dua gamelan ditabuh. Gendhing pertama yang ditabuh pada perayaan sekaten adalah gendhing Rambu yang dimainkan oleh gamelan Kyahi Guntur Madu, yang ditabuh setelah Ashar. Gendhing kedua yang dimainkan oleh gamelan Kyahi Guntur Sari disebut gendhing Rangu.
Pada hari ketujuh (tanggal 12 Rabiulawal) pagi, kedua gamelan dibawa kembali masuk ke Keraton. Hal ini menandakan bahwa prosesi Gunungan akan segera dimulai. Prosesi ini dikenal dengan nama Hajat Dalem Pareden Gunungan garebeg Mulud. Gunungan yang dibawa dari dalam keraton menuju masjid agung untuk diperebutkan masyarakat terdiri dari gunungan kakung, gunungan putri dan gunungan anak. Dalam perjalanan menuju masjid agung, gunungan dikawal oleh prajurit Wirengan dengan diiringi gendhing yang dimainkan dari gamelan
Kata Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung 2 makna kalimat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena “kepintaran” lidah orang Jawa akhirnya kata itu menjadi Sekaten. Ada pula yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata 'Sekati' yang berarti meng-estimasi dan meng-evaluasi untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu.
Perayaan Sekaten ini sudah berumur ratusan tahun. Bila diperhitungkan menurut kalender Masehi, perayaan Sekaten jatuh pada tanggal dan bulan yang berbeda dari tahun ke tahun. Misalnya, Sekaten tahun 2004 jatuh pada bulan Maret, sementara pada tahun 2005 bisa saja jatuh pada bulan April, demikian seterusnya.
Pada tahun 1979 , di sepanjang jalan masuk menuju arena Sekaten ada banyak penjual mainan tradisional, suvenir sederhana, makanan tradisional dan lain-lain. Situasinya terkesan apa adanya, tidak tertata rapi seperti perayaan Sekaten akhir-akhir ini. Arena Sekaten pada saat itu belum sepadat dan seramai saat ini. Jalan-jalan menuju arena masih teduh karena banyaknya pohon-pohon besar yang rindang dan belum banyaknya bangunan pertokoan.
Beberapa tahun kemudian atau sekitar tahun 80-an, perayaan Sekaten menjadi sangat populer karena adanya tobong musik dangdut yang menghebohkan. Banyak orang membicarakan pertunjukan dangdut itu. Biasanya mayoritas penonton pertunjukan dangdut itu kaum laki-laki. Semakin malam jumlah penonton semakin berjubel. Mereka ingin menyaksikan penyanyi dangdut yang aduhai. Menurut kaum laki-laki yang sudah menontonnya, penyanyi dangdut di Sekaten sangat berani, baik dari cara berpakaiannya yang menggoda maupun goyangannya yang cenderung erotis. Namun, menjelang tahun 1990, hiburan itu tampaknya mulai dilarang hadir di Sekaten oleh Pemkot. Ada kabar pertunjukan dangdut tidak diperbolehkan lagi karena dipandang sangat vulgar dan menyimpang dari makna Sekaten yang sebenarnya agamis.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1999, terlihat ada perubahan dalam perayaan Sekaten baik dari segi penataan, pengelolaan, barang yang diperjualbelikan, maupun jasa yang ditawarkan. Hal-hal yang baru pada waktu itu adalah adanya stan-stan yang menawarkan rumah-rumah hasil karya para developer, paket-paket liburan ke luar kota, barang-barang elektronik yang bervariasi, sarana-sarana komunikasi, sampai bermacam-macamnya sarana permainan anak, tenda -tenda fast food dan lain sebagainya. Orang-orang yang berdatangan pun banyak yang bermotor maupun bermobil. Arena Sekaten tampak berdebu dan kotor, meskipun sudah ada penataan dari pihak penyelenggara.
Sejak tahun 2000, terlihat ada perubahan yang fantastis baik dari segi pengelolaan, barang dan jasa yang ditawarkan. Ada ruang-ruang stan ber-AC. Berbagai macam kendaraan dari motor hingga mobil dan rumah ditawarkan di sana. Meskipun sudah membayar ongkos tiket masuk yang cukup mahal, masih ada lagi tiket-tiket susulan yang harus dibeli agar bisa masuk di stan-stan tertentu. Ada lagi tukang-tukang parkir liar yang menarik tarif parkir semaunya.
Sekalipun sekarang orang harus mengeluarkan uang lebih banyak di Sekaten, tetap saja pasar malam ini tidak pernah sepi pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Sekaten punya daya tarik tersendiri baik bagi wisatawan dari luar Solo, maupun bagi penduduk Solo sendiri. Bila ditanyakan kepada orang Solo “Tahukah Anda perayaan Sekaten?”, bisa dipastikan hampir semua menjawab , “Ya”. Tetapi, apakah itu berarti bahwa semua orang Solo memahami makna Sekaten yang sebenarnya? Jawabnya, “ Belum tentu!”
Sebagai orang Solo, saya sangat merasakan perubahan Sekaten. Mengapa Sekaten berubah?
Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain :
• Perubahan jaman
Hidup di jaman modern seperti saat ini, orang cenderung berpikir ke arah materialistik dan kapitalistik daripada esensi budaya maupun religi. Kemajuan jaman tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. Hal ini bisa terlihat dari canggihnya barang-barang yang diperjualbelikan. Ini juga mendongkrak harga tiket, retribusi, dan harga-harga produk lainnya. Akibatnya, tidak semua orang bisa menikmati hiburan dari perayaaan yang dulu lebih dikenal sebagai pesta rakyat itu. Khususnya bagi rakyat kecil ( rakyat yang kurang mampu ) hal ini memberatkan sekali. Dari sini, kita juga bisa melihat adanya pergeseran nilai kehidupan dari masa ke masa.
• Majemuknya pandangan hidup masyarakat serta pola pikir modern
Ini merupakan penyebab utama berkurangnya kuantitas nilai kesakralan Sekaten. Bisa kita lihat bahwa tidak semua orang yang berkunjung ke Sekaten beragama Islam, tidak semua orang Islam adalah orang Jawa dan tidak semua orang Jawa percaya atau menganggap pergi ke tempat itu sebagai tempat untuk mendapat berkah. Hal-hal seperti ini yang membuat kesakralan Sekaten berkurang.
• Faktor ekonomi
Faktor ini demikian kuatnya sehingga mengalahkan aspek budaya-sosial-tradisi dan religi. Orang berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya baik dari pemilik modal, penyelenggara, maupun penjual jasa. Misalnya, harga tiket masuk pameran Rp 4.000, tiket masuk ke pameran kraton Rp 3.000, tiket pameran lain berkisar antara Rp 2000, tarif parkir motor Rp 2.000 ( normal Rp 500 ), belum lagi tiket-tiket titipan lainnya.
Bagaimana Sekaten itu awalnya dilakukan ? Seperti yang telah disebutkan di wal pembahasan, istilah Sekaten sendiri, sebenarnya berasal dari kata Syahadatain atau mengucapkan kalimat Syahadat, yang kemudian berubah pengucapan menjadi sekaten. Pada abad 15 awal mula agama Islam berkembang di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, memikat masyarakat luas dengan menggunakan gamelan dan menggelar karawitan. Untuk tujuan syiar ini, beliau menggunakan dua perangkat gamelan, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Sunan Kalijaga mengumpulkan masyarakat dengan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman mesjid Besar. Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam. Biasanya, di sela-sela pagelaran juga akan dibacakan ayat-ayat suci alquran dan khotbah.
Ditinjau secara rasional, cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dapat diterima oleh akal. Bahkan bisa disebut sebagai sebuah cara yang kreatif. Mungkin jika Beliau mengundang masyarakat secara lisan untuk datang mendengarkan dakwah, belum tentu masyarakat akan berbondong-bondong datang. Pada masa itu, masyarakat sangat menyukai kesenian, dan hal ini dengan jeli dapat ditangkap oleh Sunan Kalijaga sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam.
Tabuhan gamelan sekaten ini adalah kreasi Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh Sunan Kalijaga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh. Maleman Sekaten sendiri oleh Sunan Kalijaga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam.
Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali akan memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Cara ini terbukti dan dapat diterima oleh akal merupakan cara yang sangat efektif. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.
Sejarah awal Sekaten yang digagas oleh Sunan Kalijaga dalam rangka dakwah di Pulau Jawa, pada mulanya adalah media untuk melakukan doa tolak bala. Ketika itu, masyarakat dilanda banyak bencana, mulai dari kemarau panjang, gagal panen, wabah penyakit menular, hingga kematian ternak yang cukup banyak. Dari berbagai bencana tersebut, Sunan Kalijaga sangat prihatin dan dilakukanlah berbagai usaha dalam rangka memberi ketenangan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Dengan gagasan yang cerdas dan kreatif, Sunan Kalijaga memadukan budaya masyarakat dengan nilai agama dalam rangka menyampaikan tugas dakwah. Sunan Kalijaga mengumpulkan masyarakat di lapangan luas dan diajak melakukan doa tolak bala agar terhindar dari berbagai bencana yang melanda.
Di balik musibah yang beruntun itu tentu ada hikmah, entah itu sebagai ujian, cobaan, atau peringatan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Selain ishtigfar, kekuatan doa juga begitu penting untuk keluar dari bencana. Sunan Kalijaga misalnya, biasa melakukan doa tolak bala ketika masyarakat mendapat bencana. Dakwah Sunan Kalijaga yang mampu memadukan nilai agama dengan budaya masyarakat menjadi sangat komunikatif dan dihormati oleh masyarakat waktu itu.
Sunan Kalijaga juga tercatat dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa sebagai tokoh yang menggagas acara Sekaten yang hingga kini tetap dilestarikan di Yogyakarta. Momentum Sekaten pada awalnya digunakan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah dengan memadukan budaya masyarakat Jawa. Dalam acara Sekaten waktu itu, Sunan Kalijaga mengumpulkan tokoh- tokoh Islam dari berbagai lapisan, bergabung dengan masyarakat luas untuk mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bagi penduduk.
Salah satu karya besar Sunan Kalijaga dalam memadukan dakwah dengan budaya Jawa adalah Sekaten yang hingga kini masih terus dilestarikan. Sekaten sesungguhnya bukan hanya arena dangdut, hiburan, dan pasar malam, tetapi esensi Sekaten itu sendiri adalah media dakwah yang dikemas dengan acara budaya.
Di sinilah kreativitas Sunan Kalijaga dalam membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat, mereka bisa memadukan dakwah dengan budaya sehingga masyarakat merasa tersentuh. Mereka tidak pernah berdakwah dengan kekerasan dan mereka tidak pernah menanamkan kebencian di tengah masyarakat. Dakwah mereka dibutuhkan masyarakat dan mereka pun memahami betul budaya masyarakat sehingga mereka dicintai masyarakat dan mereka pun sangat mencintai masyarakat.
Sunan Kalijaga menggagas acara Sekaten yang memadukan peringatan Maulid Nabi dengan budaya Jawa. Sekaten adalah merupakan media dakwah yang dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat yang datang ke acara Sekaten bisa melihat budaya rakyat sekaligus mendapatkan syiar dakwah, termasuk doa tolak bala.
Dalam peringatan Maulid Nabi, sesungguhnya banyak hikmah yang bisa diperoleh. Lewat peringatan tersebut akan diulas kembali berbagai keteladanan yang dilakukan oleh nabi. Dari sekian banyak teladan yang diberikan oleh nabi, bisa diambil satu contoh ucapan nabi, bahwa tugas utama yang diemban beliau adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Setelah berlangsung selama ratusan tahun, Sekaten mulai mengalami pergeseran nilai. Tatkala moralitas umat saat ini dilanda kritis yang memprihatinkan dan tatkala kegersangan spiritual semakin suram, perayaan Sekaten yang mengandung esensi dakwah perlu diaktualisasikan. Sekaten tidak hanya sekadar arena dangdut, hiburan, dan pasar malam, namun harus dikembalikan pada esensinya sebagai media dakwah.Pada jaman serba teknologi, serba cangging, serba maju, seperti sekarang ini, masyarakat mulai menggunakan akal pikirnya dalam menyingkapi semua ritual yang ada dalam perayaan Sekaten. Mereka mulai tidak percaya akan mitos-mitos yang sering mereka dengar dalam ritual Sekaten. Secara rasional, ritual – ritual itu cenderung tidak masuk akal. Bahkan ada yang beranggapan ritual dalam Sekaten cenderung mendekatkan pada kesyirikan. Bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga dulu. Sehingga perayaan sekaten sekarang ini hanya mereka nikmati sebagai sebuah pesta rakyat, sebuah hiburan yang murah meriah, tanpa memikirkan apa sebenarnya makna yang terkandung dalam perayaan Sekaten.
Pembukaan Garebek Sekaten di Masjid Besar Surakarta yang diikuti dengan ditabuhnya gamelan Sekaten, diwarnai adegan unik pejabat setempat yang nginang (makan sirih) seperti tradisi yang dilakukan masyarakat tempo dulu. Tradisi nginang saat Sekaten ini merupakan kepercayaan masyarakat setempat, dengan harapan mereka akan mendapat berkah, awet muda dan panjang umur. Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung.
Seperangkat kinang yang dijual dengan harga Rp 500 itu terdiri dari daun sirih, tembakau, gambir, jambe, serta sedikit kapur atau biasa disebut injet. Kinang ini biasanya digunakan orang-orang tua zaman dahulu untuk menguatkan gigi dengan cara dikunyah. Tetapi kinang sekaten ditambah dengan satu bunga kanthil di dalamnya. Menurut cerita, orang yang akan membeli seperangkat kinang sekaten tidak boleh sembarang memilih. Sebab, harus dipisahkan antara mereka yang belum menikah dengan yang sudah menikah. Kalau yang belum menikah, bunga kanthil-nya harus yang baru kuncup, sementara yang sudah menikah harus yang sudah mekar. Dengan harapan mereka yang belum menikah bisa segera mendapatkan jodoh, sedangkan yang sudah menikah bisa mendapatkan berkah dan enteng rezeki. Bagi mereka yang percaya, bunga kanthil yang ada dalam seperangkat kinang sekaten itu bisa dimasukkan ke dalam dompet.
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. Sementara untuk telur asin atau endhog amal lebih bermakna sebagai lambang kehidupan manusia bahwa setiap makhluk hidup pasti berasal dari telur, dan agar bermakna di dunia ini, manusia harus selalu beramal terhadap sesama manusia.
Adapun Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
• Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
• Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi. Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
• Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton. Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung.
• Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung Solo kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).
Seperti yang telah disebutkan di atas, tradisi Garebek Sekaten di Solo berlangsung selama sepekan, dan akan ditutup dengan ritual gunungan yang diperebutkan oleh masyarakat di halaman Masjid Besar. Ada mitos yang mengatakan bahwa ketika mendapatkan gunungan tersebut keberkahan akan datang ke diri kita. Makanya orang-orang yang percaya akan melalap berkah sampai rela mengais-ngais sisa dari gunungan yang tidak terambil.
Menurut petugas Keraton Surakarta, isi Gunungan itu adalah macam-macam hasil bumi, seperti kacang panjang, wortel, mentimun, serta makanan tradisional seperti rengginang, makanan yang terbuat dari nasi kering. Semua contoh hasil pertanian itu dimasukkan dalam Gunungan untuk melambangkan betapa masyarakat Muslim pengikut Nabi Muhammad di Solo selama setahun terakhir diberi kemudahan-kemudahan oleh Allah dalam bercocok tanam sehingga masyarakat petani bisa lancar memanen hasil pertanian mereka. Hasil pertanian itu pun sebagian besar sempat dipasarkan dan penghasilkan jumlah rupiah yang cukup untuk dijadikan tabungan atau sekadar menutupi beragam kebutuhan sehari-hari.
Prosesi keluarnya Gunungan dimulai dari Kori Brojonolo di Keraton Surakarta dengan ditandai dengan dibunyikannya terompet dan tambur dan diberangkatkan Raja Surakarta PB XIII Hangabehi. Selanjutnya Gunungan dibawa ke halaman Mesjid Agung untuk didoakan. Tetapi sebelum doa selesai, ribuan masyarakat yangsudah menunggu sejak pagi di halaman Mesjid Agung tidak sabar untuk segera memperebutkan isi Gunungan tersebut. Siapa pun masyarakat yang ikut berebut dan berhasil mendapatkan banyak macam barang, dinilai sebagai orang yang punya potensi jadi sukses dalam hidupnya. Sebaliknya, jika mendapatkan hasil rebutan sedikit, orang itu digambarkan sebagai warga yang lemah, tidak punya semangat juang tinggi untuk meningkatkan derajat hidupnya. Biasanya hanya dalam waktu sekejap, sejumlah 16 gunungan yang ditampilkan habis diperebutkan. Masyarakat masih mempercayai berkah dari ritual tersebut.
Penyelenggaraannya dimulai sejak tahun 1478, pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. Dalam ritual Gunungan Sekaten tersebut dilakukan pengucapan dua kalimat syahadat (syahadatain), yang dulunya dilakukan untuk mengajak orang Jawa masuk Islam. Sementara untuk Gunungan sendiri bermakna sedekah raja kepada rakyat. Jika dulu dilakukan dengan membagi-bagikan langsung kepada masyarakat luas, maka sekarang dilakukan dengan cara diperebutkan.
Selain itu, penyelenggaraan Sekaten selalu dimeriahkan dengan perayaan yang digelar di Alun-alun Utara serta Pagelaran Keraton Surakarta. Perayaan Sekaten, merupakan wahana bagi rakyat kebanyakan yang mengekspresikan budaya Jawa yang agraris. Di sini bisa ditemukan beberapa mata dagangan tradisional seperti celengan, cambuk, nasi liwet, cabuk rambak, gangsingan, dan kodok-kodokan. Tercatat 400 pedagang menggelar dagangan di Alun-alun Utara dan 125 pedagang di pendapa Pagelaran.
Secara empiris, masyarakat Solo sangat percaya terhadap kegiatan-kegiatan ritual seperti yang telah disebutkan di atas berdasarkan pengalaman yang mereka lihat. Mereka mengetahui bahwa kebiasaan tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun oleh orang tua mereka sejak dulu. Telah menjadi adat istiadat bagi orang Jawa untuk hormat dan mematuhi orang tua termasuk semua hal yang dilakukannya. Karenanya, kegiatan ritual dalam Sekaten sudah menjadi kepercayaan bagi masyarakat Solo. Para ustad selalu menjelaskan bahwa ritual Sekaten terutama gunungan hanyalah upacara budaya, bukan kegiatan agama. Kebetulan saja acara tersebut punya nilai jual untuk menjaring wisatawan sehingga tak aneh jika pemerintah menjadikan ritual Gunungan Sekaten sebagai bagian dari usaha memajukan industri kepariwisataan Solo.



0 comments:
Posting Komentar