“ Is, bangun ! Udah sampai nih di studio.”
Sebuah suara tiba-tiba membangunkanku dari kenangan yang indah saat pertama bertemu dengan Viola. Rupanya selama dalam perjalanan ke studio, aku sempat ketiduran. Mungkin kecapekan karena semalam habis bergadang bikin tugas mata kuliah dari Pak Edy.
“Eh, ayo bangun, Is! Udah sampai tuh! Molor aja loe kerjaannya,” kata Danny sambil memarkirkan mobil di depan studio.
“Capek tau, semalam kan gue begadang sampai malem, tanya aja ama si Topan kalau nggak percaya.” Aku pun membalas perkataan Danny.
Tidak terasa sudah empat bulan kami bergabung di Yellowbeat. Selama itu pula kami telah memakai studionya Mas Deny sebagai tempat latihan sekaligus basecamp kami berlima. Mas Deny sudah menjadwalkan latihan kami selama seminggu sebanyak tiga kali, yaitu hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Kami berlima selalu antusias selama latihan di studio. Berbagai event-event yang berhubungan dengan kegiatan musik pun telah kami ikuti. Dari pentas-pentas seni di kampus-kampus hingga acara launching produk-produk baru yang sering diadakan di kota Solo. Coffeemilk pun mulai dikenal oleh pecinta musik di kota Solo, terutama di kalangan kampus. Namun belum pernah sekalipun kami mengikuti sebuah event musik besar semacam festival band yang mungkin penyelenggaraannya dalam setahun bisa dihitung dengan jari. Sehingga ketika seminggu lagi akan diadakan sebuah festival musik se-Karisidenan Surakarta, kami pun tidak mungkin melewatkannya. Selain kami berlima bisa menambah jam terbang, kalau beruntung hadiah jutaan rupiah bisa kami bawa pulang.
Mas Deny pun telah mendaftarkan kami untuk bisa mengikuti festival tersebut. Sebagai persiapannya, kami telah menjalani proses latihan secara intensif. Selain materi lagu yang akan dibawakan telah kami latih dengan cermat, fisik dan mental pun tidak luput dari gemblengan. Ada beberapa lagu yang akan kami bawakan dalam festival itu. Diantaranya lagu Sweet Child O’ Mine - nya Guns N’ Roses yang merupakan lagu wajib di festival itu. Kebetulan waktu aku masih SMU, lagu itu sudah kumainkan berkali-kali bersama teman-teman bandku dulu sewaktu ikut pentas seni pelajar di Wonosobo. Begitu pula dengan anak-anak yang lain. Mereka sudah hafal luar dalamnya sehingga kami tidak menemui kesulitan dalam latihan. Cuma kami ingin merubah aransemennya saja supaya terdengar lain dan tentu saja disesuaikan dengan gaya bermusik kami. Memang sekarang ini, kami baru dalam proses pencarian jati diri mengingat umur band kami masih seumur jagung. Baru sekitar dua minggu Coffeemilk terbentuk. Oleh karena itu, kami terus mencoba menemukan bagaimana warna musik yang nantinya akan menjadi ciri khas musik kami atau orang-orang nanti bisa mengatakan “Ini lho musiknya Coffeemilk”. Memang hal itu tidaklah mudah. Pelan tapi pasti, kami berlima terus dan terus mencoba untuk bisa mencapainya.
Tanpa menunggu lama, kami segera mengayunkan langkah menuju studio. Matahari mengiringi kami berlima dengan teriknya yang menerobos di sela-sela batang-batang pohon rindang di halaman. Tampak di teras, sosok tegap berdiri sambil berkacak pinggang menatap tajam ke arah kami. Asap rokok tampak mengepul di sela-sela mulutnya. Mas Deny tampak gusar menunggu kedatangan kami. Wah, bisa-bisa kita berlima kena marah nih! Takut juga kalau membayangkan Mas Deny sedang marah. Kami hanya bisa pasrah.
“Hey, kalian. Tahu nggak sekarang jam berapa? Kenapa kalian terlambat, hah?” Tanpa peringatan, Mas Deny berteriak lantang kepada kami.
“Maaf, Mas,” jawabku segera.
“Maaf, maaf! Kalian ini belum jadi band terkenal aja udah bikin ulah. Indisipliner, manja dan ledha-ledhe. Kalau cara kalian begini terus, mana mungkin kalian bisa jadi band besar.”
“Iya, Mas. Kita nggak sengaja datangnya terlambat. Soalnya tadi kita ada deadline ngumpulin tugas kuliah.”
“Beneran, Mas. Kami nggak bohong. Semalam kita semua lembur sampai malam buat ngerjain tugas itu.” Topan ikut menimpali.
“Mas nggak mau tahu alasan kalian. Pokoknya kalian sudah tidak disiplin dan sudah melanggar peraturan yang telah kita sepakati. So, kalian harus menerima hukuman dari Mas.”
“Kok pake dihukum segala sih, Mas. Kan baru kali ini kita terlambat. Kemaren-kemaren kita juga ontime terus.” Topan protes.
“Udah, jangan bawel. Sekarang kalian berlima push up masing-masing 20 kali. Ayo!”
“Hah, push up? Yang bener aja, Mas. Kaya wamil donk.”
“Ayo, cepetan! Jangan mengeluh. Ambil posisi masing-masing.”
Kami berlima tak bisa berbuat apa-apa. Karena memang kami yang salah, mau nggak mau kami harus menerima hukuman ini. Kami berlima segera mengambil posisi push up di halaman studio yang makin panas karena terik matahari siang.
Tiba-tiba dari dalam rumah, tampak Viola berjalan menghampiri kami.
“Wah, mau lomba apaan nih? Kok semuanya tiduran di halaman?”
“Kita semua dihukum push up sama Mas Deny 20 kali karena udah telat datang latihan,” jawabku.
“O, begitu tho! Baguslah.”
“Bagus gimana, Vi. Capek tahu! Apalagi sampai 20 kali.” Danny tampak kesal.
“Udah cepetan! Atau mau Mas tambahin lagi 30 kali biar pas 50 kali,” hardik Mas Deny.
“Nggak mau, Mas.”
Mas Deny mulai menghitung. Keringat bercucuran membasahi kening kami berlima. Dengan nafas terengah-engah, kami terus menjalani hukuman ini satu demi satu hingga hitungan terakhir. Dan akhirnya setelah mencapai hitungan ke dua puluh, kami berlima serentak merebahkan tubuh kami ke tanah. Sendi-sendiku terasa pegal-pegal. Akhir-akhir ini aku jarang olahraga karena kesibukanku, makanya otot-otot di tubuhku terasa kaku. Biasanya seminggu sekali aku main bola sama anak-anak Mentari Buana.
“Gila, capek banget gue. Badan gue terasa mau remuk nih.” Danny mengeluh sambil meregangkan kedua tangannya.
“Emangnya loe aja yang sakit. Gue juga nih.” Topan tampak kesal.
“Gimana? Masih mau ditambah lagi?” Mas Deny tampak tersenyum puas mengerjai kami berlima.
“Ampun, Mas! Aku nggak sanggup lagi.” Tampaknya Manto yang paling kelelahan. Tubuhnya yang hitam kerempeng tampak mengkilat diguyur oleh keringat yang bercucuran.
“Iya, Mas. Kami janji nggak akan terlambat lagi.” Arif juga ikutan mengiba kepada Mas Deny.
“Bener, Mas! Kami kapok! Kami berjanji mulai saat ini kami akan selalu mematuhi peraturan dan nggak akan terlambat lagi,” tambahku.
“OK, Mas pegang janji kalian. Sekarang berdiri semuanya. Kita segera latihan. Ingat, festival tinggal beberapa hari lagi. Jadi waktu kita nggak banyak.”
“Ngomong-ngomong, kalian haus, nggak? Mau minum dulu?” kata Viola.
“Boleh, Vi. Kalau ada, lemon tea juga boleh.” Topan langsung menyahut mendengar kata minuman.
“Boleh aja, tapi sana beli sendiri di warung seberang! Kamu ini, Pan. Urusan perut nomer satu,” sahut Mas Deny.
“Sorry, Mas. Becanda. Air putih juga nggak papa deh, Vi.”
Kami semua tersenyum geli melihat tingkah Topan yang gokil.
“Sebentar, aku siapin dulu ya minumannya.” Viola pun berlalu meninggalkan kami menuju rumah induk untuk mengambil minuman.
Kami berlima segera masuk ke dalam studio mengikuti Mas Deny. Setiba di dalam studio Mas Deny memberi sedikit pesan-pesan kepada kami. Mas Deny bermaksud untuk memotivasi kami supaya kami dalam bermusik tidak setengah-setengah menjalani. Harus total! Demi hasil yang memuaskan. Dan kami berlima mengerti akan hal itu. Memang untuk meraih sukses diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Dan kami siap untuk menjalaninya, demi Coffeemilk!
Selang beberapa menit, Viola datang sambil membawa minuman dan beberapa cemilan untuk kami. Setelah kami melepaskan dahaga yang dari tadi mencekik leher kami, latihan pun dimulai. Kami segera mengambil posisi masing-masing.
“O ya, sebelum kita latihan, ada yang ingin Mas omongin. Mengenai materi lagu Coffeemilk yang kemarin udah kalian aransemen berkali-kali, menurut Mas, hasil aransemen yang terakhir cukup memuaskan dan Mas juga udah sempet bikin demo CD yang berisi rekaman aransemen lagu-lagu Coffeemilk.”
“Yang bener, Mas. Kok kita nggak dikasih tahu?” tanya Manto.
“Sengaja Mas nggak ngasih tahu kalian, biar surprice! Dan menurut Mas, ada beberapa lagu yang sangat berpotensi menjadi hit. Seperti lagu Hanya Satu, I Don’t Wanna Be It Will Be Over dan Yang Terindah. Dan asal kalian tahu. Mas udah kirim demo tersebut kepada teman Mas yang bekerja di radio Indigo. Stasiun radio yang satu ini terkenal di kalangan anak muda kota Solo karena sering melantunkan lagu-lagu indie label dari band-band lokal.”
“Mas Deny becanda, kan?” tanyaku masih nggak percaya.
“Kalian masih nggak percaya? Nih Mas punya SMS teman Mas dari radio Indigo yang isinya mengundang Coffemilk untuk interview on air, malam ini!” jawab Mas Deny sambil menunjukkan SMS yang dimaksud kepadaku.
Anak-anak yang lain segera menghampiriku. Dan tak lama kemudian kami berlima saling memandang dengan tersenyum dan akhirnya kami pun tertawa terbahak-bahak sambil tak henti-hentinya saling memukulkan telapak tangan sebagai ungkapan rasa bahagia kami yang tak terhingga. Mas Deny dan Viola ikut tertawa. Mereka juga ikut larut dalam kebahagiaan kami berlima.
“Nah, udah cukup senang-senangnya. Sekarang kita mulai latihan lagi. Kalian berlima kembali ke posisi masing-masing.” Mas Deny memberi intruksi.
Kami berlima menuruti apa kata Mas Deny. Dan tak lama kemudian melantunlah lagu Sweet Child O’Mine versi Coffeemilk memenuhi ruangan studio. Mas Deny tampak menyimak permainan kami dengan seksama. Sementara Viola mengambil posisi di belakang keyboard. Akhir-akhir ini, Viola sering menjadi additional player sebagai keyboardist. Permainan Viola tak kalah hebat dengan kami berlima sehingga nada demi nada yang dihasilkan makin menambah warna pada musik Coffeemilk. Menurut Mas Deny, Viola sudah belajar musik dari kelas satu SD. Viola menguasai beberapa jenis alat musik seperti piano, keyboard, gitar dan biola. Tapi Viola paling mahir memainkan biola. Mungkin karena kebetulan namanya memang diambil dari nama alat musik tersebut.
Waktu terus berjalan, dan kami pun makin larut ke dalam alunan lagu yang membawa kami menyelami ke suatu tempat yang menjadi impian kami, tempat dimana kami seharusnya berdiri dan menjadi diri kami sendiri…, seutuhnya.
Hari yang lelah telah kami lalui dengan penuh kerja keras. Meski letih melanda kami berlima, kami tetap bersemangat. Apalagi malam ini, kami ada jadwal interview di radio Indigo. Tentu kami sangat antusias menyambutnya. Rencananya interview dijadwalkan pukul sembilan malam. So, pada pukul delapan malam, kami berlima berkumpul terlebih dahulu di Yellowbeat karena Mas Deny dan Viola pun turut serta. Lagipula letak radio Indigo tidak jauh dari Yellowbeat, kurang lebih hanya seperempat jam perjalanan naik mobil.
“Kalian udah siap berangkat?” tanya Mas Deny.
“Udah dari tadi Mas,” jawabku.
“Tapi aku sedikit nervous nih,” kata Manto.
“Dasar orang udik loe, mau interview aja grogi,” ejek Topan.
“Ye, kamu yang ndeso,” balas Manto.
“Eh, udah-udah kok malah bertengkar sih,” hardik Arif.
“Tau tuh si Topan, isone ngece wae,” jawab Manto dengan logat Jawa yang kental.
“Sorry, To. Gue kan cuma becanda, gitu aja marah, tosh dulu donk bro,” balas Topan.
“Habis becanda kamu kelewatan sih,” balas Manto sambil menyambut telapak tangan Topan di udara.
“Gitu, donk. Yang rukun, jangan berantem melulu. Kita berlima kan harus kompak. Ya kan, Is?” sahut Danny.
“Tentu, teman,” jawabku yang sedari tadi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah polah teman-temanku.
“OK, kalau udah pada siap, kita berangkat sekarang. Udah setengah sembilan nih. Jangan sampai kita datang terlambat. Kesan pertama kita harus meyakinkan,” kata Mas Deny.
“Ngomong-ngomong, Viola kok belum kelihatan, jadi ikut kan?” tanya Danny.
“Is, gimana sih loe? Viola mana ? Kan tadi loe ama Viola datang bareng ke sini sehabis dia jemput loe dari Starmusikindo?” tanya Topan.
“Tadi sih emang bareng ke sini. Tapi Viola kan masuk ke rumah dulu buat ganti baju sedangkan gue kan nunggu kalian di studio,” jawabku.
“Iya, sabar, Pan, barangkali Viola masih ganti baju. Is, cepetan susul dia ke dalam. Waktu kita sudah sempit nih,” perintah Mas Deny.
“Baik, Mas.”
Tanpa menunggu perintah lagi, aku segera menyusul Viola ke dalam rumah. Sesampainya di depan pintu, kutemui Bi Inah, pembantunya Viola, masih membereskan meja di ruang tamu.
“Bi, Non Viola mana? Udah ditunggu Mas Deny sama anak-anak tuh.”
“Tadi sih ada di ruang makan, Den Isma. Setelah ganti baju, tadi Non Viola minta tolong sama Bibi untuk mengambilkan air putih dan minta diantarkan ke ruang makan.”
“Makasih ya, Bi. Saya susul Non Viola ke ruang makan aja.”
Aku berlalu meninggalkan Bi Inah. Karena rumah Viola cukup besar, jarak ruang tamu dan ruang makan lumayan jauh. Kira-kira hampir dua puluh langkah. Kupercepat langkahku berburu dengan waktu. Dan sesampainya di ruang makan, kulihat Viola duduk di kursi sambil memegang gelas berisi air putih. Dia tampak mengenakan kaus motif garis melintang dipadu dengan jeans warna hitam. Rambutnya tampak dikucir rapi. Tak lama kemudian, kulihat Viola memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dilanjutkan dengan meminum segelas air putih. Beberapa butir obat bertebaran di meja makan.
“Vi, kamu sakit?” Kucoba menyapa Viola tanpa bermaksud untuk mengejutkannya.
“Eh, kamu Is,…ee….sakit? Ah, nggak! Aku nggak papa kok,” jawab Viola yang tampak gugup mengetahui keberadaanku.
“Tapi tadi kulihat kamu sedang minum obat.”
“Ah, itu biasa, Is. Cuma suplemen biasa kok. Vitamin buat tubuh biar tetap bugar.” Viola tampak segera membereskan obat-obat yang tercecer di atas meja.
“Beneran cuma vitamin?” Aku mulai curiga.
“Lho, kamu mulai nggak percaya lagi sama aku, Is?” Viola mulai gusar.
“Bukan begitu maksudku, Vi.”
“Habis, sikap kamu seperti mencurigaiku.”
“Sorry, deh. Aku minta maaf ya,” jawabku.
“Kau juga minta maaf ya, Is. Aku udah marah-marah sama kamu,” kata Viola lirih.
“Yuk, kita berangkat. Mas Deny dan anak-anak udah nunggu di luar.”
Aku dan Viola segera menyusul ke depan dimana semuanya sudah tidak sabar lagi menunggu.
“Yah, lama amat sih kalian berdua. Hayo,..habis ngapain di dalam ?” ledek Topan setelah melihat kami keluar dari rumah.
“Hush, ngaco loe. Pikiran loe ngeres aja,” jawabku.
“Yuk, buruan berangkat. Udah hampir setengah sembilan nih,” kata Mas Deny.
Kami semua pun masuk ke dalam mobilnya Danny. Dan tak lama kemudian kami telah meluncur menuju ke radio Indigo. Angin malam mengiringi perjalanan kami. Suasana khas kota Solo segera kami jumpai selama perjalanan. Di bawah temaram cahaya lampu jalan yang memancar kekuningan, terlihat banyak orang baik tua maupun muda, laki-laki da perempuan, semuanya berbaur menjadi satu, duduk lesehan di sepanjang trotoar jalan menikmati hidangan wedhangan sambil mengobrol, tertawa, bercanda, guna melepas lelah setelah bekerja seharian.
“Udah hampir sampai nih, kalian udah siap?” Tanya Mas Deny.
“Beres, Bos,” jawab kami serempak.
“Vi, nanti kamu ikut interview juga kan?” tanya Arif tiba-tiba.
“Ah, nggak usah lah, aku nonton aja, ” kata Viola.
“Lho, kok cuma nonton sih. Kamu kan anggota Coffeemilk juga. Kamu nanti harus ikut interview ,” kata Topan.
“Gimana menurutmu Is?” Viola meminta pendapatku.
“Terserah kamu aja, Vi. Tapi aku berharap kamu juga ikut interview bersama kami. Seperti yang teman-teman bilang. Kamu juga anggota Coffeemilk,” jawabku.
“Kalau menurutmu begitu, baiklah. Aku mau,” jawab Viola.
“Nah, begitu donk,” kata Arif.
Tak lama kemudian, tampak di depan kami sebuah bangunan tua jaman peninggalan Belanda yang telah direnovasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah stasiun radio dengan menara pemancar yang menjulang tinggi di bagian belakang bangunan. Tampak papan nama “ INDIGO FM” terpampang di pagar depan dihiasi dengan lampu dan gemericik air yang ditata dengan apik sehingga menghasilkan desain yang menarik.
Kami pun segera meluncur memasuki gerbang yang dijaga oleh beberapa orang satpam. Salah satunya sedang berjalan menghampiri kami.
“Selamat malam, Pak. Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya satpam tersebut sopan.
“Begini, Pak. Kami sudah janjian dengan Mas Bayu untuk interview malam ini,” jawab Mas Deny setelah turun dari mobil.
“O, silahkan Pak. Tadi Pak Bayu pesan kalau rombongan yang mau interview sudah datang, suruh langsung menemui beliau di ruang kerjanya. Mari, Pak! Saya antar. Mobilnya bisa diparkir di sebelah sana, Mas,” kata Pak satpam sambil menunjuk tempat parkir yang terletak di depan bangunan.
Mas Deny segera mengikuti satpam tadi untuk menemui Mas Bayu. Kami pun mengikuti mereka sedangkan Danny segera memarkir mobilnya.
Setelah sampai di lobby, Mas Deny menghampiri kami.
“Kalian tunggu sebentar di sini. Biar Mas menemui Mas Bayu dulu.”
“Baik, Mas,” jawabku.
Kami segera mencari tempat duduk yang tersedia di area lobby. Tampak Danny menghampiri kami setelah memarkirkan mobilnya.
“Mana Mas Deny, Is?” tanyanya.
“Mas Deny sedang menemui Pak Bayu dulu. Kita semua disuruh tunggu di sini,” jawabku.
Tiba-tiba seorang cewek receptionist berparas cantik menghampiri kami.
“Maaf, mengganggu. Kenalkan saya Ine. Kalian yang mau interview malam ini?” tanyanya sambil menyodorkan tangan kepada orang yang terdekat dengannya, Manto.
“Betul, Mbak. Janjinya kami akan interview jam Sembilan,” kata Manto.
“Kalau begitu, kalian isi buku tamu ini dulu ya. Cuma buat laporan aja kok,” kata Mbak Ine ramah.
Manto segera meraih buku tamu yang disodorkan oleh Mbak Ine.
Sesaat setelah Manto mengisi buku tamu dan mengembalikannya kepada Mbak Ine, Mas Deny datang menghampiri kami bersama seorang laki-laki paruh baya yang berpakaian rapi dan berkacamata.
“Anak-anak, kenalkan. Ini Mas Bayu, Station Manager Indigo FM,” kata Mas Deny.
Kami semua pun segera bersalaman dengan Mas Bayu sambil memperkenalkan nama kami masing-masing.
“Senang berkenalan dengan kalian semua. Ternyata kalian masih muda-muda dan cakep-cakep. Sangat cocok untuk jadi idola baru bagi musik Indonesia,” kata Mas Bayu mengawali sambutannya.
“Amin.” Kami menjawab serempak.
“Mas Bayu ini kakak tingkat Mas Deny waktu di UGM dulu. Istrinya teman sekelas Mas Deny sewaktu SMU. Jadi kita ini udah temenan lama,” jelas Mas Deny.
“Kamu ini, Den. Buka rahasia segala,” kata Mas Bayu. “Lho, kalau nggak salah ini kan Viola adik kamu, Den. Kok ikutan juga.”
“Tadi kuajak sekalian kesini,” jawab Mas Deny.
“Maaf, Mas. Viola juga menjadi anggota Coffeemilk,” jelasku.
“Benar, Den?” tanya Mas Bayu.
Mas Deny hanya menganggukkan kepala.
“Dulu seingatku, saat masih kecil, Viola kan yang sering usil mainin microphone sampai putus kabelnya saat kita hendak nge-jam bareng,” cerita Mas Bayu. ”Nggak disangka, sekarang sudah menjadi anak band juga.”
Mereka berdua pun tertawa terbahak-bahak.
Viola tampak tersipu karena diingatkan masa kecilnya dulu.
Kami semua pun larut dalam obrolan hangat yang meramaikan suasana lobby yang tadi lengang. Tanpa terasa waktu terus berjalan dengan cepatnya.
“Mas, udah hampir jam sembilan nih. Gimana interviewnya? Udah siap?” potong Mas Deny.
“O, ya. Sampai lupa. Kalau begitu ayo kita ke ruang siaran. Semuanya udah kita persiapkan. Pokoknya beres. Anak-anak Coffeemilk? Kalian udah siap kan?” tanya Mas Bayu.
“Kami siap, Mas,” jawabku. Teman-temanku pun menggangguk tanda setuju.
Segera kami mengikuti Mas Bayu menuju ke ruang siaran. Tampak Mbak Ine tersenyum ke arah kami. Tak lama kemudian, kami sudah tiba di dalam ruang siaran yang cukup lapang. Ada dua orang penyiar, cowok dan cewek, yang nampak sedang mengudara ditemani oleh seorang operator.
“Kalian semua masuk ke ruang siar yang telah kami siapkan. Nanti kalian ditemani oleh Mas Danu dan Mbak Igrid sebagai pemandu acara. Nanti Mas Deny biar menunggu di ruang kerjaku. Sekarang kami tinggal dulu. Good luck, ya. Yuk, Den. Kita ke ruangku sekarang. Ada yang ingin aku obrolin,” kata Mas Bayu. Mas Bayu segera memberi kode kepada kedua penyiar tersebut bahwa kami sudah siap untuk di interview.
“OK, anak-anak, Mas tinggal dulu ya. Semoga sukses interviewnya,” kata Mas Deny sambil berlalu bersama Mas Bayu meninggalkan kami.
Sang operator segera mempersilahkan kami untuk masuk ke ruang siaran.
“Halo semua. Kenalin, saya Trisno. Operator di sini. Acara sudah dimulai. Nah, sekarang kalian bisa duduk di kursinya masing-masing.”
“Makasih, Mas,” jawab Topan.
Dan kami pun segera mengambil posisi seperti yang diintruksikan oleh Mas Trisno. Tak lama kemudian, tampak Mas Danu dan Mbak Igrid telah memulai acara interview ini.
“Apa kabar, kawula muda kota Solo. Kalian masih stay tune kan di 92.8 Indigo FM? Selamat malam semuanya. Moga-moga kalian belum tidur malam ini karena kita ada surprise buat kalian semua. Apakah itu? Silahkan, Igrid.”
“Ya, Mas Danu. Malam ini di studio, kita kedatangan tamu yang sangat istimewa. Mungkin para kawula muda terutama para penggemar indie di kota Solo juga sudah menantikannya. Kalian ingin tahu siapa mereka?”
“Ayo, coba tebak. Siapa yang tahu?”
“Sudahlah, Mas Danu. Daripada para kawula muda kota Solo makin penasaran, mendingan kita langsung saja memperkenalkan lima orang cowok ganteng dan seorang cewek manis yang sudah duduk dihadapan kita berdua.”
“Ya, mari kita sambut dengan meriah, COFFEEMILK.”
Suara tepuk tangan pun bergemuruh di udara diringi oleh musik yang telah diatur sedemikian rupa oleh Mas Trisno.
“Halo, selamat malam. Apa kabar semuanya?” tanya Mas Danu.
“Baik-baik, Mas,” jawab kami serempak.
“Wah, mereka kompak sekali, Mas Danu,” sahut Mbak Igrid. ”Sekarang coba kalian memperkenalkan diri satu – persatu kepada kawula muda kota Solo. Ayo, mulai dari siapa?”
Teman-temanku segera memberi isyarat kepadaku untuk memulai pembicaraan.
“Ok, Assalamu’ alaikum. Halo semuanya, selamat malam!. Kami dari Coffeemilk ingin memperkenalkan diri kepada para kawula muda kota Solo terutama para penggemar indie yang telah mendukung kami selama ini. Pertama-tama perkenalkan, nama saya Isma. Saya pegang gitar dan backing vocal.”
“Saya Topan, sebagai lead vocal.”
“Saya Manto, saya pegang gitar seperti Isma.”
“Halo, semuanya. Nama saya Arif, saya pegang drum.”
“Selamat malam, perkenalkan, saya Danny. Saya pegang bas.”
“Terakhir dan satu-satunya anggota cewek dari Coffeemilk. Nama saya Viola. Saya sebagai keyboardist.”
“OK, semuanya udah memperkenalkan diri. Sekarang saya mau tanya, kapan band ini berdiri? Mungkin Topan bisa menjawab?” tanya Mas Danu.
Topan tampak belum siap menerima pertanyaan tersebut.
“Eh…kapan ya? O ya, Coffeemilk berdiri pada bulan April tahun lalu,” jawab Topan.
“Kenapa memilih nama Coffeemilk?” tanya Mbak Igrid.
“Itu idenya Isma. Waktu itu, kita ngumpul bareng di kantin kampus buat membentuk band. Terus kita semua kebingungan mencari nama yang pas. Nah, kebetulan Isma melihat pemilik kantin membuat minuman yang paling digemari di kampus, yaitu kopi susu hangat. Makanya kita langsung sepakat untuk memakai nama Coffeemilk, dengan tujuan supaya musik kita juga digemari dan disukai oleh seluruh lapisan masyarakat seperti minuman kopi susu itu,” jawab Manto panjang lebar.
“Wah, cukup unik juga proses pencarian nama band kalian. Mudah-mudahan jadinya seperti yang Manto katakan. Amin. Kemudian dari semua lagu Coffeemilk, siapa yang paling banyak menciptakan lagu?” tanya Mbak Igrid lagi.
“Lagu-lagu Coffeemilk mayoritas liriknya yang buat Isma, untuk musiknya kita biasanya bikin bareng di studio,” jawab Arif.
“Betul, setelah lirik jadi, kami semua mulai memasukkan musiknya di studio. Tapi terkadang ada satu dua lagu yang musiknya jadi duluan baru nanti kita tulis liriknya,” imbuh Danny.
“Sekarang pertanyaan buat Isma, lirik-lirik lagu Coffeemilk yang kamu bikin biasanya berbicara tentang apa?” tanya Mas Danu.
“Kebanyakan lagu yang saya tulis biasanya berbicara tentang cinta secara universal. Baik cinta antara ibu dengan anak, cinta antar sahabat, cinta dengan lawan jenis, cinta kepada sesama makhluk Allah, maupun cinta terhadap alam sekitar,” jawabku.
“Tapi saya perhatikan, kebanyakan liriknya berbicara tentang cinta kepada lawan jenis atau dengan kata lain dengan kekasih hati. Apa ini merupakan pengalaman pribadi?” tanya Mbak Igrid.
“Kebanyakan saya menulisnya berdasarkan kejadian-kejadian yang ada di sekitar saya. Kebetulan saya anak kost, jadi saya sering melihat perilaku-teman-teman kost saya. Terus saya tuangkan saja ke dalam tulisan yang nantinya saya bikin lirik lagu.. Tapi ada memang beberapa lirik lagu yang merupakan pengalaman pribadi saya,” jawabku.
“Contohnya?” tanya Mas Danu.
“Ehm … salah satunya lagu Yang Terindah,” jawabku agak malu.
“O, lagu yang itu. Asal kalian tahu saja, lagu itu disini merupakan No.1 request para kawula muda penggemar indie lho,” terang Mas Danu.
“Wah, terima kasih banget. Saya tidak menyangka responnya sampai segitu,” kataku.
“Benar, Is. Lagu Yang Terindah merupakan lagu terpopuler saat ini di kalangan indiest. Musiknya enak didengar. Dan liriknya itu sangat romantis banget. Laksana sebuah puisi yang dibaca oleh seorang penyair. Apa itu ditujukan buat pacar kamu, Is? Kamu udah punya pacar, kan?” tanya Mbak Igrid memojokkanku.
“Jangan malu-malu, Is. Di sini kita semua terbuka. Kalau boleh tahu, siapa gadis yang beruntung jadi pacar kamu?” imbuh Mas Danu.
“Waduh, pertanyaannya kok menjurus sekali nih. Sebenarnya saya nggak bisa ngomong masalah pribadi di sini. Saya cuma bisa bilang, memang saat ini saya sedang dekat dengan seseorang, siapa orangnya itu rahasia dan memang lagu tersebut saya persembahkan untuknya,” jawabku diplomatis.
Kusempat diriku untuk melirik ke arah Viola. Tampaknya Viola juga menyadarinya. Wajahnya tampak merona, menatap diriku malu-malu.
“Wah, romantisnya. Para kawula muda terutama yang cewek-cewek siap-siap patah hati nih. Isma ternyata udah punya cewek lho. Tapi tenang aja, para indiest. Masih ada empat cowok di sini yang nggak kalah keren. Hayo, siapa nih di antara kalian berempat yang masih jomblo?” goda Mbak Igrid.
“Saya masih jomblo, Mbak. Siapa yang mau jadi pacar saya, tinggal telepon saya aja. Nanti saya pasti mampir ke rumahnya tiap malam minggu,” canda Topan.
Tawa pun pecah di sela-sela interview.
Tanpa terasa waktu sudah berlalu selama dua jam lebih sedikit. Acara interview pun akhirnya selesai. Kami pun semua berpamitan pulang dengan Mas Danu, Mbak Igrid, Mas Trisno, Mbak Ine serta Mas Bayu tentunya.
Dalam perjalanan, kami semua kecapekan karena seharian melakukan aktifitas yang padat. Entah apa yang terjadi esok hari. Sekarang waktu kami untuk istrirahat, dan Insya Allah, hari esok akan lebih baik dari hari ini. Semoga.
Bersambung ...
skip to main |
skip to sidebar
Senin, 09 Februari 2009
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Diberdayakan oleh Blogger.



0 comments:
Posting Komentar