Senin, 16 Maret 2009

Balada Rumah Biru, Schedule 03 - Pertama Kali Kerja

Delapan tahun yang lalu, aku jadi teringat saat pertama kali masuk kerja di Rumah Biru. Saat itu sehari setelah kelulusanku, aku bertekad untuk ikut teman kuliahku yang bernamaTopan untuk pergi ke Jakarta mencari peluang kerja di sana. Rencananya Topan akan pulang ke Jakarta untuk menjenguk Ibunya yang sedang sakit flu. Memang dia tuh anak mami banget, Ibu nya kena flu aja bela-belain pulang ke Jakarta untuk menjenguk. Memang dia anak yang berbakti, pikirku. Tapi ternyata Topan pulang karena uangnya untuk bekal hidup di Solo sudah habis dan orang tuanya terlambat mentransfer karena sibuk. Dasar!!!

Di Jakarta nanti aku akan numpang di rumahnya Topan. Rencananya di sana aku akan mencari lowongan-lowongan kerja tentunya minta diantar sama Topan keliling Jakarta dan sekitarnya. Biar ngirit pikirku. Sambil cari kerja itung-itung refreshing setelah mati-matian mengerjakan tugas akhir yang cukup melelahkan. Aku bisa mampir ke Monas, Ragunan, Ancol, Pantai Anyer, Puncak, Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Cibodas, Taman Safari Cisarua, lho ... cari kerja apa piknik?

Padahal ijazahku saja belum jadi. Aku kan belum di wisuda. Wisuda di UNS diadakan empat kali dalam setahun. Bulan Maret, Juni, September dan Desember. Aku lulus di awal bulan Juni. Deadline pengumpulan syarat-syarat wisuda berada di awal bulan. Jadinya aku belum bisa ikut wisuda di bulan Juni karena syaratku belum komplit. Makanya aku diikutkan di wisuda bulan September.

Malam sebelum hari keberangkatku, aku mendapat kabar dari dosen pembimbingku kalo temannya, yang akhirnya kutahu bernama Pak Achmad, membutuhkan seorang arsitek untuk bekerja di kantornya. Setelah kupikir matang-matang, daripada jauh-jauh ke Jakarta, mendingan kuterima saja tawaran itu. Itung-itung cari pengalaman dulu.

Paginya, aku bersiap hendak bertolak menuju ke alamat rumah Pak Achmad yang kudapatkan dari dosen pembimbingku. Kupersiapkan diriku sebaik-baiknya. Kumis dan jenggotku kucukur bersih. Kupakai kemejaku yang paling bagus dengan dipadu celana jeans model terbaru saat itu. Kupakai dasi pinjaman ayahku dengan warna yang menyolok. Rambut kuminyaki hingga licin. Mirip tokoh mafia di film-film Hollywood. Dijamin kutu rambut meluncur dengan sukses kalo melangkah di rambutku. Kupakai sepatu yang sudah kusemir sehingga tampak mengkilat. Padahal kuliah biasanya aku pakai sandal jepit karena nggak tahan kegerahan. Sekilas penampilanku mirip salesman daripada seorang arsitek.

“Wah, tumben kamu rapi sekali pagi ini. Biasanya kamu pakai baju kedombrangan. Rambut nggak pernah disisir.” Ibu tiba-tiba menegurku melihat penampilanku.

“Ya iyalah, Bu. Masak mau pertama masuk kerja dandannya tidak rapi. Nanti bisa tidak diterima kan”

“Iya, Ibu doakan semoga kau diterima.”

“Makasih, Bu. Isma pergi dulu ya.”

“TTDJ, nak.”

“Apaan artinya, Bu?”

“Hati-hati di jalan, kamu nih nggak gaul amat sih.”

“Hehehe, Ibu bisa saja.”

Maka dengan langkah kaki yang mantap, aku meluncurkan motorku ke arah Penumping tempat rumah tinggal Pak Achmad. Kupacu motorku dengan kecepatan sedang takut bau minyak wangi punya Bapak yang kusemprotkan di baju menguap tertelan angin.

Hari itu kota Solo suasananya mendung. Matahari tidak bersinar terik seperti biasanya. Angin bertipu kencang membawa daun-daun yang berguguran meliuk-liuk di udara. Kututup kaca helmku supaya mataku tidak kemasukan debu. “Wah, bakalan turun hujan lebat, nih,” pikirku.

Akhirnya kusampai juga ke daerah Penumping. Daerah ini terletak di pusat kota Solo. Tepatnya disebelah stadion Sriwedari. Daerah ini merupakan daerah perumahan elit. Banyak rumah bagus dan besar bertebaran di sini. Jalannya pun telah di hot mix sehingga lingkungannya terlihat rapi dan bersih. Kupelankan laju motorku sambil kukeluarkan catatan alamat rumah Pak Achmad dari saku kemejaku. Aku pun mulai celingukan ke kiri dan ke kanan.

Setelah berputar ke sana kemari, belum kutemukan juga alamat rumah Pak Achmad. Hampir setengah jam aku mengililingi kompleks perumahan ini. Kulihat langit pun semakin mendung. Angin pun bertiup lebih kencang. “Mau kerja saja sudah susah kaya gini, ya,” keluhku.

Karena usahaku tidak juga membuahkan hasil,akhirnya aku putuskan untuk bertanya ke penduduk setempat. Aku mulai mencari orang yang sekiranya bisa kutanyai dimana rumahnya Pak Achmad. Tak berapa lama, kutemukan seorang pria separuh baya sedang duduk-duduk di depan pos ronda. Dia tampak sedang menikmati sebatang rokok yang “nokrong” di mulutnya.

Aku segera memarkirkan motorku tak jauh dari tempat Bapak tadi duduk. Setelah kulepaskan helm, aku pun menghampirinya.

“Permisi, Pak. Mau numpang tanya?”

“O ya, dik. Monggo. Mau tanya apa?”

“Saya mau tanya alamat rumahnya Pak Achmad, Pak. Jalan Rambutan No. 173. Bapak tahu tempatnya?”

“Ehm, .... Pak Achmad ya? Sebentar, ...... nama jalannya tadi apa?”

“Jalan Rambutan No. 173, Pak!

“Setahu saya di sini nggak ada nama jalan rambutan. Adanya cuma jalan Pepaya, Jambu, Kedondong, Ketimun, Bengkoang, Nanas, Mangga. Nggak ada nama Rambutan.”

“Kok semuanya nama buah-buahan buat bikin rujak?”

“Makanya disini nggak ada jalan Rambutan.”

Lucu banget sih nama jalannya. Jangan-jangan penduduk kompleks perumahan sisni penggemar rujak semua. Sampai nama jalannya pun nama buah untuk rujakan. Ada-ada saja.
Waduh, tapi gimana nih sekarang? Ternyata alamat yang diberi dosenku salah.

Tiba-tiba Bapak yang kutanyai itu ingat sesuatu.
“Sebentar, Dik. Tadi nomer rumahnya berapa?”

“No.173, Pak.”

“Kalo nomer rumah di kompleks di sini nggak ada yang sampai seratusan begitu. Paling besar No. 50. Biasanya nomer di atas seratus untuk rumah-rumah yang letaknya di pinggir jalan besar sebelah utara kompleks sini.”

“Maksud Bapak di jalan besar sebelah sana.” Tanganku menunjuk ke arah utara.

“Betul, dik.”

“Di jalan Radjiman, Pak?”

“Mungkin adik salah tulis alamat. Bukan Rambutan 173 tapi Radjiman 173.”

“Mungkin juga ya, Pak. Kalo begitu coba saya cari dulu kesana. Terima kasih, Pak! Pareng rumiyin.”

“Monggo.”

Aku pun memutar motorku menuju ke arah jalan Radjiman. Jalan ini termasuk jalan yang ramai di kota Solo setelah jalan Slamet Riyadi. Kususuri jalan dengan kecepatan pelan sambil celingukan mencari-cari rumah Pak Achmad.

Setelah seperempat jam, akhirnya kutemukan juga alamat yang kucari. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Padahal kemarin aku sudah buat janji untuk ketemu Pak Achmad jam sembilan. Aku pun segera bergegas menuju rumah yang bergaya kolonial jaman belanda itu.

Sesampainya tiba di depan pintu gerbangnya yang terbuat dari besi tempa menjulang setinggi kira-kira 3 meteran, kutekan bel yang terdapat di salah satu sisinya. Suaranya terdengar dari dalam rumah. Seorang kakek segera datang menuju ke pintu gerbang. Umurnya berkisar 70 tahunan. Tapi jalannya masih tegak layaknya anak muda. Badannya pun tidak kurus amat. Mungkin dulu ketika mudanya, kakek ini seorang tentara atau pejuang kemerdekaan. Sebelum membukakan pintu gerbang, kakek itu menyapaku lebih dulu.

“Ya, cari siapa?”

“Permisi, Mbah. Ini benar rumahnya Pak Achmad?”

“Benar. Ada perlu apa ya?”

“Saya mau ketemu dengan Pak Achmad. Kemarin sudah janjian jam sembilan.”

“O, kalo begitu. Monggo. Silahkan masuk. Motornya dibawa masuk ke dalam saja.” Kakek itu segera membukakan pintu gerbang yang besar itu.

Aku pun menuruti perkataannya. Segera kutuntun motorku memasuki halaman rumah Pak Achmad yang cukup lapang. Kusapu pandanganku melihat sekeliling rumah. Terlihat rumah induk dengan gaya arsitektur kolonial yang cukup megah. Umurnya mungkin sudah ratusan tahun dan tentunya juga berkesan menyeramkan seperti suasana rumah kuno kebanyakan. Demit dan konco-konconya demen banget tinggal di rumah model beginian.

“Mari silahkan duduk di sini. Tunggu sebentar. Mbah panggil Bapak dulu.”

“Ya, Mbah. Terima kasih.”

Aku pun menjatuhkan pantatku dikursi rotan yang berada di teras rumah. Nampaknya teras ini difungsikan sebagai ruang penerima tamu. Terlihat barisan kursi rotan kuno tersusun rapi dengan dilengkapi meja bulat terbuat dari kayu jati. Serasa kembali ke tempo dulu waktu jamannya si Pitung.

Setelah menunggu hampir seperempat jam, kudengar langkah kaki dengan iringan suara batuk dari dalam rumah. Pintu utama yang cukup besar terbuka. Sesosok makluk bertubuh pendek dan agak gemuk pun muncul. Angin pun berdesir dengan kencang ditambah bau menyam dan anyir darah menusuk hidung …. Eiiit stop! Ini cerita humor apa cerita horor sih! Sory, jadi terbawa suasana.

Akhirnya Pak Achmad muncul. Aku pun segera berdiri sambil menjulurkan tanganku.
“Selamat pagi, Pak.”

“Pagi. Kamu yang bernama Isma?”

“Betul, Pak. Saya Isma.”

“Mari silahkan duduk.” Pak Achmad pun duduk dihadapanku sambil menyalakan sebatang rokok. “Kata Pak Dwi (dosen pembimbingku – red ) kamu sudah lulus dari arsitek UNS cuma belum wisuda. Betul begitu?”

“Betul, Pak. Wisuda saya masih di bulan September. Saya mau cari pengalaman kerja dulu sambil menunggu ijazah saya keluar. Kata Pak Dwi, Bapak butuh bantuan seorang arsitek yang sudah lulus, meskipun ijazahnya belum ada. Maka saya langsung menerima tawaran dosen saya itu. Kalo boleh saya ingin membantu di sini.”

“Begini ceritanya. Dulu saya pernah punya usaha developer. Sudah bepuluh-puluh perumahan sudah saya buat. Namun sejak krisis moneter melanda negeri ini, usaha saya mengalami masalah. Ya, dibilang bangkrut sih belum. Cuma banyak ruginya dan tidak bisa berkembang. Nah, untuk itu saya sekarang mau beralih usaha menjadi konsultan perencana saja. Resikonya tidak sebesar developer. Tapi ya keuntungannya juga tidak seberapa. Makanya saya membutuhkan tenaga arsitek yang fresh graduate seperti kamu. Kalo jadi, kamu menjadi pegawai pertama saya.”

“Memang Bapak tidak membuka lowongan lagi.”

“Sementara cukup satu dulu. Kita lihat perkembangannya. Nanti kalo dirasa butuh tenaga lagi, baru saya buka lowongan. Gimana? Kamu bersedia?”

“Saya bersedia, Pak.”

“O, ya satu lagi. Untuk masalah gaji, jangan dilihat dari nilai nominalnya. Ya mungkin bagi kamu tidak seberapa. Karena memang saat ini saya baru merintis usaha ini. Nanti kalo di tengah jalan, saya akan memberikan kamu bonus-bonus sesuai dengan nilai proyek-proyek yang akan kita kerjakan. Gimana?”

“Nggak papa, Pak. Yang penting saya bisa dapat pengalaman dulu. Kalo boleh tahu, jobs deskripsi saya apa saja?”

“Nanti yang kamu kerjakan mulai dari membuat sebuah konsep rancangan, bikin rencana anggaran biaya, rancangan desain, dan presentasi. Bolehlah nanti kamu sesekali mengetik dokumen, bersih-bersih, bikin minum, atau jaga kantor sekalian kalo pas saya pergi. Gimana, masih sanggup?”
Busyeet, banyak banget kerjaannya. Kaya pembokat merangkap satpam saja.

“Baiklah, Pak. Saya sanggup. Buat cari pengalaman.”

“OK, hari ini kamu boleh langsung kerja.”

“Hari ini, Pak? Sekarang? Baiklah. Proyek apa yang harus saya siapkan?”

“Nggak kok. Bukan proyek. Kita bersih-bersih kantor dulu. Maklum sudah lama tidak dipakai jadi agak berdebu dan berantakan. Kamu rapi-rapikan dulu, ya. Nanti biar dibantu sama Mbah Hamid dan Mbak Inah.”

HAH???!!! Gubrak

0 comments:

Posting Komentar