Setelah berbulan-bulan aku ditemani oleh Mardi akhirnya saat perpisahan pun tiba. Mungkin karena tidak tahan dengan kerja ala Daendels di Rumah Biru, dan juga dapet obat cuci perut gratis kalo pas dinas luar karena muntah melulu kalo naik mobil sama si Bos, Mardi pun memutuskan untuk hengkang. Hiiiks…..aku sendiri lagi nih!
Ternyata selama bekerja di sini, Mardi mencoba untuk melamar di sebuah bank pemerintah. Dan setelah menjalani tes berkali-kali akhirnya dia pun di terima. Maka dengan senang hati, lho kok senang … lha iya lah, keluar dari sarang gorilla masak sedih sih, dia pun keluar dari Rumah Biru yang penuh dengan janji-janji palsu. Ugh, tega kau , Di ... aku kau tinggal sendiri bersama dengan penderitaan ini, hiiiks.
Sepeninggalan Mardi, Rumah Biru sering bongkar pasang pemain … eh pegawai maksudnya. Gak tau tuh, kenapa Pak Achmad punya banyak sekali stok pegawai (yang mau aja dibohongin). Tapi semuanya bernasib hampir sama dengan Mardi, tidak betah berlama-lama kerja rodi. Herannya, kok aku masih betah di sini ya? Apa aku kena guna-guna dari si Bos ya? Semacam pelet gitu? Allahuallam.
Tapi tidak semuanya bisa lepas dari cengkeraman Rumah Biru. Salah satunya adalah si Prast. Dia anak arsitek yang lagi-lagi seangkatan denganku. Asli orang Solo. Biasa kami memanggilnya dengan nama Gondrong, padahal sekarang rambutnya udah gundul. Dia juga betah banget kerja di sini. Nggak tahu kenapa. Ternyata setelah kutanya sebabnya, dia bilang seperti di bawah ini.
“Lumayan, Is. Disini banyak fasilitas gratis yang bisa kupake buat ngerjain proyek pribadi. Nggak bayar kan kalo numpang nge-print dokumen disini. Tinta gratis. Kertas pun gratis.”
Aku pun manggut-manggut tanda sepakat dengannya.
Seingatku ada beberapa orang yang pernah menjadi teman kerjaku. Sudah tak terhitung lagi siapa saja yang keluar masuk di kantor Rumah Biru yang tidak tercinta ini. Seingatku dulu, berikut daftar teman kerja rodiku dulu yang sekarang sudah bebas dari jaman per”budak”an:
• KANDAR, anak Lampung, arsitek juga. Alumni UNS juga. Seangkatan denganku. Cuma bertahan satu bulan, terus pulang ke Lampung dengan alasan mengurusi ternak kuda di sana. Tapi kemarin kutahu dari foto-fotonya di fesbuk, dia sekarang sudah alih profesi jadi tukang ojek di Bandung. Hehehehe …. Sorry, bro. Abis foto lo di fesbuk cuma ada gambar lo pas nongkrong di motor dengan plat D.
• WIDI, anak Colomadu, arsitek yang asli dodol abis. Juga teman seangkatanku. Bertahan cukup lama sekitar enam bulan. Alasan keluar karena milih “mengamen” di Jakarta daripada kerja paksa di Rumah Biru. Sebenarnya sih yang kutahu alasannya keluar karena dia dituntut oleh client kami, sebuah rumah sakit daerah di kota Solo. Ketika tahap perencanaan desain bangunan poliklinik, si Widi melakukan survey bersamaku untuk mengukur luas tanah yang digunakan untuk pembangunan poli. Saat tiba di lapangan ternyata dia lupa tidak membawa meteran. Mau balik lagi ke kantor, jaraknya lumayan jauh. Lagian waktu itu, matahari bersinar dengan teriknya. Males banget. Ketika kami kebingungan, si Widi mempunyai ide terkonyol yang pernah kuketahui sepanjang sejarah proyek. Dia mengukur panjang lebar tanah dengan menggunakan jangkah kakinya. Hebat kan !!!
“Eh, Is …..kamu catat ya, panjang tanahnya 193 jangkah, kalo lebarnya 98 jangkah. Nanti kamu hitung luasnya ya?” perintah Widi seenaknya.
“Lho, memangnya patokan satu jangkahmu berapa senti?
“Ya, tadi kalo normalnya sih 1 jangkah = 90 cm, tapi tadi aku sempat kesandung kira-kira 14 kali, saat kesandung 1 jangkahnya menjadi 50 cm. Nah, kamu kira-kira sendiri ya luasnya. Bisa, kan?
“What@#$%#$%#$%^&&6^^***&**&*&&@@@!!!” ( tak bisa diucapkan dengan kata-kata karena aku keburu pingsan )
Nah, tentunya tahu kan hasil rancangannya seperti apa? Pas ketika dimulainya pembangunan, gambar dan kondisi lapangan tidak klop. Maka si Bos pun dimaki-maki oleh client karena dinilai kerjaannya nggak becus. Setelah itu, tentunya Bos segera mencari si Widi sebagai sang arsitek proyek si biang kerok. Tapi yang bersangkutan keburu menghilang tanpa jejak! Kabur dulu ah …
• HASIM, berasal dari Purwodadi, anak sipil, alumni UNS. Bertahan tiga bulan. Alasan keluar klise, tentulah masalah gaji yang lebih rendah dari UMR pegawai pabrik. Mengharapkan bonus dari Bos, ibarat mengimpikan Cristian Ronaldo main di Persis Solo. Nggak mungkin banget lah yau!!!
• ROBI, anak sipil, alumni UGM, bertahan empat bulan. Alasan keluar karena merasa ditipu oleh si Bos. Saat hendak menagih tagihan proyek yang tinggal 15%, si Bos berkata waktu itu bahwa dana yang tersisa tersebut akan dibagikan kepada seluruh pegawai Rumah Biru sebagai bonus. Maka dengan semangat 45, si Robi yang bertugas sebagai administrasi proyek segera mengurus tagihan itu kepada client. Eh nggak tahunya … setelah duitnya cair dan masuk ke rekening Pak Achmad, bonus pun tak kunjung cair. Sampe akhirnya dana tersebut malah digunakan oleh Bos untuk menyunatkan si Wawan, anak laki-lakinya yang nggak kalah sifatnya ama senoirnya. Robi pun marah karena merasa dimanfaatkan dan langsung angkat ransel, cabut, merantau ke pulau seberang. Hey, gimana kabarmu, bro ……!!! Tolonglah daku yang masih nyangkut di sini.
Nah, setelah kepergian mereka, datanglah para calon-calon korban baru yang mau aja dikibulin ( istilah kami : dikempongin ) ama si Bos. Meskipun mereka nanti akhirnya bisa lepas dari jaman jahiliyah, tidak seperti diriku dan Prast yang sampe sekarang masih terkapar lemah tak berdaya di Rumah Biru. Hiiiks lagi …
• ALUNG, seorang arsitek lulusan UII Jogja, asli dari Sukoharjo. Bertahan cukup lama. Kira-kira hampir dua tahun. Dia sekarang kerja di perusahaan BUMN di Jakarta. Alasan keluar bilangnya sih karena gajinya sedikit. Klise banget ya, tapi emang kenyataannya kaya gitu mo apalagi! Tapi alasan sebenarnya, dia nggak tahan aja disuruh nganterin si Bos kesana-kemari kaya sopir taksi. Maklum, dulu, hanya dia yang bisa setir mobil. Lagian, ngapain juga dia ke kantor pake mobil. Tahu si Bos orangnya pelit sampe melilit. Daripada keluar bensin, mendingan nebeng terus sama si Alung minta anter kesana-kemari. Pernah suatu ketika si Bos ngajak kita semua nonton film di 21. Tentunya pake mobil si Alung. So pasti lah di Alung misuh-misuh. Mana nggak diganti pula ongkos bensinnya. Sampelah kita di tempat yang dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di kawasan Singosaren. Kebetulan tempat parkir di bawah penuh. Mau nggak mau, Alung harus memarkirkan mobilnya di top floor. Ketika hendak naik melewati ramp ( jalan miring –red ), tiba-tiba mobil Alung tidak bisa berjalan naik. Gimana mo jalan, mobil sedan dipake buat bertujuh, kelebihan berat cink. Malah mobil si Alung berangsur-angsur beranjak turun. Tiba-tiba tanpa dikomando, Pak Achmad keluar dari mobil dan meninggalkan kami berenam di dalam mobil yang hendak meluncur turun. Toloong!!! Tega kali kau , Bos.
• HADI, anak sipil alumni UNS. Asli orang Purwokerto. Semasa hidupnya eh salah ... maksudnya semasa bekerja di Rumah Biru, si Hadi ini punya hobi yang unik. hobinya mendengarkan siaran radio khusus musik dangdut sampe dari pagi sampe siang bolong. Tentunya memakai radio butut kesayanganku dulu. Nggak usah kerja, yang penting goyang men!!! Satu lagi acara favoritnya, dengerin siaran talk show perkumpulan mahasiswa di Solo yang berasal dari daerah asalnya, Purwokerto. Begitu on air, bahasa planet pluto mulai mengudara memenuhi ruang studio. Sampe pusing dengerinnya. Ngapak-ngapak gitu, ganti. Aja kaya kiye! Lha kepriben lah! Karena teman sekantor nggak ada yang punya selera yang sama, setelah berjalan empat bulan, daripada jadi minoritas, dia pun hengkang meninggalkan kami.
• ZAINI, anak sipil UNS juga. Bahkan seangkatan dan sekelas dengan Hadi. Asli dari Klaten. Bertahan sama seperti Hadi, empat bulan! Kompak banget! Alasan keluar karena ingin mencari pengalaman yang lebih menyenangkan dan menghasilkan banyak uang daripada di Rumah Biru.
• DIKA, anak arsitek UNS, adik angkatanku. Asli orang Solo. Paling jago ngomong di antara kami semua. Pantes jadi orang marketing. Istilah jadulnya salesman. Makanya semua yang berbau presentasi, Bos selalu menyuruhnya. Tapi cuma bertahan empat bulan. Alasan keluar sebenarnya sih sepele, bukan soal gaji yang di bawah UMR. Cuma stres aja karena kerjaannya cuma bikin studi kelayakan dan presentasi terus menerus, nggak kelar-kelar. Pernah sekali dia disuruh Bos bikin proposal untuk perencanaan pembangunan Carrefour di Solo. Sampe dia keluar pun, proyek itu nggak pernah ada realisasinya, ya cuma presentasi-presentasi sana-sini nggak ada juntrungannya. Karena boring dengan kerjaan model begitu, Dika pun meninggalkan Rumah Biru dan sukses menjadi wirausaha.
• ARIS, anak sipil UNS, asli orang Solo. Bertahan cuma tiga bulan. Setelah itu hijrah ke Ibukota menjadi pegawai salah satu bank pemerintah di sana. Alasan dia keluar karena nggak tahan perlakuan semena-mena di kantor Rumah Biru. Masak sarjana sipil kerjaan nyebokin anak. Yang bener aja. Lho kok bisa? Cerita begini, suatu saat keponakan Pak Achmad dari Jogja yang baru berumur 3 tahun datang ke Solo bersama ortunya. Singkat cerita, Bos sama sodaranya mo pergi sebentar cari makan. Kebetulan tuh anak baru molor. Sialnya pagi itu, di kantor yang nongol baru si Aris. Makanya si Bos menitipkan keponakannya sama di Aris. Nah, kira-kira setengah jam-an, saat kami semua sudah berada di kantor, si Bos dan sodara belum juga pulang. Tiba-tiba tuh anak menangis kenceng banget. Aris pun kaget. Dia pun tergopoh-gopoh segera turun. Karena heran kami pun mengikutinya.
“Waduh, cilaka, tuh anak pake acara bangun lagi.”
“Lho, emang tuh anak siapa, Ris?” tanyaku.
“Keponakannya bos dari Jogja. Tadi sebelum pergi, Bos titipkan padaku.”
“Wah, jadi babysitter lo sekarang. Tambahan bonus nih,” tambah Prast.
“Bonus kepala lo. Yang ada mah tambah mules ngurusin anak.”
“Ya udah sana, ditengokin. Kali aja tuh anak mo minta nenen, hahahaha,” Alung ikut-ikutan.
“Sialan lo pade.”
Aris pun segera menuju kamar sang anak. Setelah beberapa menit kami menunggu di luar, suara tangis anak itu menghilang. Tak lama kemudian Aris pun muncul dengan muka kusut.
“Lho, Ris. Kamu apain keponakannya Bos, kok udah nggak nagis lagi?” tanya Alung.
“Mukanya kamu tutupin bantal ya,” tambahku.
“Emangnya aku pembunuh anak kecil, gila lo.”
“Terus kenapa tadi nangis?”
“Rupanya tadi si keponakan Bos tuh eek di celana, makanya nangis. Terpaksa deh gue cebokin. Nasib, nasib.”
“HAH, lo nyebokin dia, yang bener Ris?”
Kami semua menahan tawa sampe sakit perut.
“Ye, malah pada ngeledekin ya. Awas kalian.”
Aris seketika mengejar kami sambil tangannya mengacungkan popok yang penuh dengan kotoran tuh anak ke arah kami. Karuan saja kami pun kabur menyelamatkan diri. Makan degan di Parangtritis. Kasihan kau, Ris.
Setelah angkatan si Alung dkk, muncullah pasukan rodi generasi berikutnya yang datang ke Rumah Biru untuk menjemput ajal, namun lagi-lagi mereka semua akhirnya dapat juga meloloskan diri dari benteng Radjiman 173. Kembali hanya diriku bersama Prast yang masih saja betah di Rumah Biru. Hiiiks 10x …
• FAHMI, lulusan arsitek UNS, juga adik angkatanku. Asli orang Kutoarjo. Bertahan selama hampir setahun. Alasan keluar dari Rumah Biru karena ingin mencari pekerjaan yang lebih layak daripada kerja rodi di sini.
• VINO, alumni arsitek UNS, adik angkatanku, asli orang Purwokerto kaya si Hadi. Bertahan cuma satu bulan. Alasan keluar karena diterima bekerja di sebuah konsultan interior di Semarang yang tentunya lebih prosfektif dengan gaji yang lebih besar daripada di Rumah Biru.
• MAS SIDIK, pegawai tertua yang pernah ada di Rumah Biru. Cuma bertahan sebulan. Selisih 3 angkatan di atasku. Anak akuntansi. Alasan keluar karena bingung dan tidak cocok sama sikap si Bos. Ceritanya, Mas Sidik diminta oleh Pak Achmad untuk membuat laporan cash flow perusahaan yang nantinya akan dipresentasikan dengan para komisaris. Tapi ketika ditanya data-datanya, si Bos tidak mau terbuka mengenai keuangan perusahaan. Takut dituntut kenaikan gaji sih.
“Kamu kerjakan saja seperti yang saya minta, data-datanya kamu rekayasa sendiri. Minggu depan harus sudah siap ya.” Begitulah perintah Bos.
Maka bingunglah Mas Sidik. Dan akhirnya daripada dia mengerjakan sesuatu yang tidak jelas, dia memilih untuk mengundurkan diri. Wah, ...salut deh sama kamu, Mas.
• ANDRI, pengganti Mas Sidik. Anak akuntansi UNS, asli dari Bekonang, Sukoharjo. Bertahan cukup lama, hampir tiga tahun. Sebabnya karena masih mengharap bonus yang dijanjikan Bos pas interview dengannya dulu. Karena tidak kunjung datang tuh bonus, akhirnya dia memutuskan untung hengkang, dan akhirnya sekarang bekerja di sebuah maskapai penerbangan nasional di Jakarta. Namun sampe saat ini si Andri masih sering SMS-an, tapi pada intinya dia tetap menanyakan apa bonus sudah keluar belum? Udah nggak di Rumah Biru masih juga mengharap bonus, kasihan deh lo, Andri.
• SIGI, anak ekonomi pembangunan, asli dari Gunung Kidul. Sering di sangka orang cina karena matanya yang kecil alias sipit. Kalo pas ketawa, anak-anak langsung pada ngumpet. Habis ketawanya sambil merem. Bertahan hampir setahun. Memutuskan hengkang karena diterima bekerja di sebuah bank pemerintah.
• ROMI, anak D3 sipil, asli orang Solo. Bertahan hanya dua bulan. Alasan keluar karena di Rumah Biru dia hanya menuruti perintah ortu saja ketika Bos meminta mereka supaya Romi bisa membantu di Rumah Biru. Kebetulan Bos dan ortunya Romi kenal sejak lama. Namun karena lama-lama tahu sifat Bos yang sedemikian rupa, maka Romi pun meminta ijin kepada ortunya untuk hengkang dan bekerja di tempat lain.
• DAMAR, anak sipil, orang Sukoharjo. Bertahan selama enam bulan. Alasan keluar karena nggak sanggup menyandang predikat OB di Rumah Biru. Habis wajahnya bagai pinang dibelah kapal tanker sama Sayuti di sikom OB yang tayang di salah satu stasiun TV swasta. Maka kami pun punya panggilan buat doi, Mas Say. Setelah keluar dari Rumah Biru, dia malah diterima sebagai PNS, gawatnya lagi di BPK ( Badan Pemeriksaaan Keuangan, red ). Nah, loh. Kalo sampe si Bos korupsi nih di proyek, bisa langsung diciduk ama Mas Say. Sekalian balas dendam sama kelakukan Bos pas dia kerja di Rumah Biru. Sikaaaat, Mas Say.
• BUDI, teman seangkatan dan sejurusan dengan si Sigi. Anak Klaten tulen. Seorang mantan aktivis semenjak kuliah di HMI. Vokal dan seorang kritikus sejati. Di kantor, selalu berdebat kusir dengan Bos kalo beda pendapat. Bisa sampe tiga hari tiga malam belom kelar-kelar. Namun semenjak peristiwa di Aceh, dia jadi pendiam. Ceritanya nanti ya di lain schedule. Dan akhirnya karena tidak tahan berlama-lama di Rumah Biru yang makin “mendekati kemungkaran”, istilah rohisnya versi Budi nih, maka dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengabdikan diri menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Solo.
Setelah mengalami bongkar pasang seperti telah kusebutkan di atas, saat ini Rumah Biru tinggal menyisakan hanya empat orang pegawai saja termasuk diriku dan Prast tentunya. Dua pegawai yang lainnya bernama Kurnia dan Purno.
• KURNIA, alumni arsitek UNS, asli orang Colomadu Sukoharjo. Masuk di Rumah Biru sebagai fresh graduated. Terbujuk rayuan Bos mengenai bonus yang gedhe, maka dia memutuskan untuk tetap bertahan di Rumah Biru. Tapi dia memiliki sebuah obsesi atau boleh dikatakan cita-cita dia sejak kecil, kalo dia lulus bisa menjadi seorang PNS sejati, maka bye-bye deh Rumah Biru. Hidup PNS!!!
• PURNO, alumni sipil UNS, teman seangkatan si Aris ... masih ingat kan? Yang nyebokin ponakan Bos dulu? Nah, setelah Aris cabut dia merekomendasikan si Purno untuk menggantikan tugasnya ... tapi bukan buat nyebokin lho. Si Purno nih asli dari Wonogiri. Orangnya sedikit gila kerja. Workaholic gitu. Semuanya dikerjakannya dengan giat tak kenal waktu. Makanya Pak Achmad sangat menyukainya, bahkan dia pun seolah sudah seperti sekretaris pribadinya si Bos. Mulai dari ngurusin schedule meeting, bikin surat, ngurusin tiket pesawat, bikin laporan pajak, jadi debt collector, semuanya Parno yang ngerjain. Asal nggak diajak check in aja ... sama-sama cowok gitu hiiiiiy.
skip to main |
skip to sidebar
Rabu, 29 April 2009
Balada Rumah Biru, Schedule 08 - Lembur Sampe (ber) Malam
Matahari bersinar dengan teriknya siang itu. Aku dan Mardi sampe mandi keringat. Kipas angin di kantor sudah tidak mempan. Mardi pun berinisiatif membuka jendela. Bukannya angin segar yang masuk, malah debu jalan memenuhi ruang studio. Maklum pinggir jalan besar. Akhirnya jendela ditutupnya kembali.
“Busyet, panas banget. Is, kamu kegerahan, nggak?”
“Nggak kok, aku malah kedinginan. Yee, sudah tahu aku keringatan begini masih nanya.”
“Kamu usul aja sama si Bos, pasang AC kek. Hari gini konsultan perencana kantornya pake kipas angin, nggak jaman!”
“Kamu ini, Di. Udah tahu si Bos pelitnya ngalahin demit. Boro-boro AC, kipas manual pake tangan aja pasti nggak akan dibeliin.”
“Kalo begini caranya, bisa-bisa kita matang nih di dalam sini. Panasnya udah kaya microwave.”
“Coba tadi aku bawa biji jagung, bisa jadi popcorn di sini.”
Ketika kami berdua masih sibuk dengan omelan masing-masing, Pak Achmad pun muncul. “Lho, kalian berdua baru ngapain? Kok pada keringatan begitu. Siang bolong kok malah olahraga. Kaya orang gila aja. Kerjaan udah selesai belum?”
Kalo tidak kucegah, Mardi pasti udah melempar keyboard ke arah Pak Achmad saking kesalnya.
“Kerjaan yang mana maksud Bapak? Kan gambar denah serta perspketif yang Bapak minta sudah kita siapkan kemarin sore,” tanyaku.
“Maksud saya, kerjaan yang baru saya bawa ini.”
Mardi kembali geram. Anak itu memang agak temperamental. Apalagi cuaca sedang panas-panasnya.
Pak Achmad pun duduk di meja meeting. Kami berdua mengikutinya.
“Itu proyek apa lagi, Pak?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Ini ada proyek baru, cuma bikin bangunan rumah tinggal milik teman saya. Nilainya sih tidak seberapa cuma butuh cepat pengerjaannya.”
“Deadline-nya berapa hari, Pak?” tanya Mardi
“Besok siang! Jadi kalian harus lembur sampe malam. Sekalian saja kalian tidur di sini jaga kantor dan rumah. Soalnya saya ada urusan keluarga mendadak di Jogja malam ini. Pulangnya baru besok siang. Mbak Inah juga sore ini mau menengok anaknya di Wonogiri.”
What? Gubraaak!!!!
Lembur lagi, lembur lagi! Capek deh!
Singkat cerita, aku dan Mardi pun bermalam di kantor. Bos dan keluarganya sudah mengosongkan rumah sejak ba’da Maghrib. Begitu juga dengan Mbak Inah. Mbah Hamid pun sudah pulang ke rumah mungilnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tinggal kami berdua di rumah yang serem ini. Hiiiyyyy...
“Di, coba perhatiin. Kalo malem di sini serem juga ya.”
“Iya, Is. Maklumlah rumah kuno. Mana gedhe lagi.”
“Sekarang kita enaknya mo ngapain nih?”
“Lho. Kita kan ada kerjaan dari Bos. Gimana sih kamu, Is?”
“Males, Di. Mood ku ilang nih gara-gara liat suasana kantor yang serem kaya gini. Mana bisa tenang bikin rancangan desain kalo suasana di sini kaya di kompleks kuburan.”
“Iya juga sih. Jangan-jangan pas kita sedang asyik gambar, dari belakang ada yang nyolek, trus pas kita tengok, eh ... mukanya rata berdarah-darah! Hiiiiiiiy!”
“Makanya jangan sering-sering liat film nasional yang temanya kebanyakan horor nggak bermutu. Jadi parno kan pikiran lo? Ehm, .... mendingan gini aja, Di. Gimana kalo kita sekarang turun aja ke bawah. Kita ke ruang TV.”
“What? Udah gila kamu, Is. Di bawah kan lebih menyeramkan. Demit dan kawan-kawannya kan pada mangkal di sana. Banyak lukisan-lukisan kuno lagi di dindingnya.”
“Emang demit mangkal kaya tukang ojek? Ada-ada aja! Udah, nggak papa. Kita kan berdua. Nggak usah takut, Di. Nanti kita liat TV kabel punyanya si Bos aja. Acara kan bagus-bagus. Kalo nggak salah, dulu Bos pernah cerita kalo dia sering liat acara di Fashion TV. Isinya ya model-model cantik sedunia lenggak-lenggok di catwalk. Kalo enggak, stasiun tv yang nyiarin ada juga film-film box office, tanpa sensor pula. Lumayan kan buat ngillangin takut.”
“Itu sih maumu, Is. Dasar ngeres lo!”
“Tapi kamu juga mau kan?.”
“He-eh”
“Let’s go down, bro.”
Tak berselang lama, kami pun sudah duduk di depan TV mantengin Fashion Station dengan modelnya yang memperagakan busana perancang top dunia. Mata si Mardi terus melotot sampe nggak berkedip, ... kaya mo lepas aja tuh mata saking beloknya.
“Di, ngomong-ngomong laper nih. Ada makanan nggak ya di dapur?”
“Tau ah, kamu ini gangguin aja. Baru asyik nih. Coba aja cari di kulkas kek, di lemari makan kek. Siapa tahu Mbak Inah nyimpen makanan di sana.”
Kuturuti saran Mardi. Aku beranjak menuju dapur. Celingak-celinguk. Kaya maling mo nyuri jemuran aja. Akhirnya ketemu juga tuh kulkas. Segera kubuka pintu kulkas dua pintu itu. Ketengok isi di dalamnya. Di atas rak-rak tersebar makanan-makanan ringan. Lumayan juga nih buat ganjal perut. Kuambil beberapa bungkus, sekalian untuk si Mardi. Aku pun kembali menuju ke ruang TV. Mardi masih asyik dengan Fashion TV-nya ketika aku menghampirinya.
“Nih, ada snack di kulkas. Lumayan buat ngemil sambil nonton TV.”
“Wah, enak tuh keliatannya.”
Tanpa komando, langsung diambilnya beberapa bungkus makanan ringan kemudian dibukanya satu –persatu. Beberapa snack pun dilahapnya dengan rakus.
Ketika aku hendak membuka satu bungkus snack, tanpa sengaja kulihat keterangan expired date di bagian belakang. Disitu tertulis JAN 01. Lho, padahal sekarang kan udah bulan Maret. Busyeet, makanan basi nih!
“Di, awas makanannya kadaluwarsa.”
“What?”
Mardi segera melihat kode kadaluwarsa di bungkus makanannya.
“Hueeek, punyaku juga kadaluwarsa. Is, kamu gimana sih? Masak makanan kaya gini dibawa?”
“Yee, mana kutahu. Kuambil semuanya dari kulkas.”
“Sialan nih si Bos. Masak makanan basi disimpan di kulkas sih.”
“Buat ngerjain kita kali, Di. Tahu kita mo nginep sini, eh ... makanan yang dikasih expired semua.”
“Bener-bener tega tuh orang.”
Akhirnya kami pun kembali menonton TV dengan perut keroncongan. Cuma minum air putih aja sepanjang malam. ..... beser donk! Hingga tak sadar, kami berdua sudah ketiduran di ruang TV, dikelilingi para demit dan genderuwo penunggu rumah yang melihat kami dengan rasa iba. Kasihan nih anak orang, ..... pada kelaparan sampe ketiduran gitu. Gak jadi deh gue isep darahnya. Takut expired juga....hehehe.
Keesokan harinya, kita kesiangan. Jam delapan pagi baru bisa bangun. Kami segera membereskan semua yang berantakan di ruang TV. Setelah bersih-bersih, kemudian sholat subuh ...... gila nih anak, jam delapan pagi sholat subuh, kami berdua kembali ke studio.
Deadline tinggal jam empat jam lagi. Kami berdua belum juga membuat rancangan desain yang diminta Pak Achmad sedikit pun. Sampe ketika Bos datang, kami berdua belum menyelesaikannya.
Dan Pak Achmad seperti biasa, langsung marah-marah, mengomel tak karuan.
“Kalian ini, ngapain aja semaleman, kok kerjaan belum kelar sampe siang ini. Kalian pasti nggak mengerjakan semalem, kan? Terus ngapain aja? Begadang? Mabuk-mabukan? Dugem? Main perempuan? AYO, JAWAB!!!”
Perempuan yang mana maksudnya? Perasaan di sini cuma ada si kunti, si suster ngesot, si hantu jeruk purut .. .itu mah semuanya selera lo, Bos.
“Sebenarnya semalem kita udah bikin, Bos. Cuma karena desainnya sudah EXPIREEEEEEEEED ( sengaja ngomongnya dikencengin ), so kita buang aja.”
HAH!!! Si Bos pun bengong.
“Busyet, panas banget. Is, kamu kegerahan, nggak?”
“Nggak kok, aku malah kedinginan. Yee, sudah tahu aku keringatan begini masih nanya.”
“Kamu usul aja sama si Bos, pasang AC kek. Hari gini konsultan perencana kantornya pake kipas angin, nggak jaman!”
“Kamu ini, Di. Udah tahu si Bos pelitnya ngalahin demit. Boro-boro AC, kipas manual pake tangan aja pasti nggak akan dibeliin.”
“Kalo begini caranya, bisa-bisa kita matang nih di dalam sini. Panasnya udah kaya microwave.”
“Coba tadi aku bawa biji jagung, bisa jadi popcorn di sini.”
Ketika kami berdua masih sibuk dengan omelan masing-masing, Pak Achmad pun muncul. “Lho, kalian berdua baru ngapain? Kok pada keringatan begitu. Siang bolong kok malah olahraga. Kaya orang gila aja. Kerjaan udah selesai belum?”
Kalo tidak kucegah, Mardi pasti udah melempar keyboard ke arah Pak Achmad saking kesalnya.
“Kerjaan yang mana maksud Bapak? Kan gambar denah serta perspketif yang Bapak minta sudah kita siapkan kemarin sore,” tanyaku.
“Maksud saya, kerjaan yang baru saya bawa ini.”
Mardi kembali geram. Anak itu memang agak temperamental. Apalagi cuaca sedang panas-panasnya.
Pak Achmad pun duduk di meja meeting. Kami berdua mengikutinya.
“Itu proyek apa lagi, Pak?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Ini ada proyek baru, cuma bikin bangunan rumah tinggal milik teman saya. Nilainya sih tidak seberapa cuma butuh cepat pengerjaannya.”
“Deadline-nya berapa hari, Pak?” tanya Mardi
“Besok siang! Jadi kalian harus lembur sampe malam. Sekalian saja kalian tidur di sini jaga kantor dan rumah. Soalnya saya ada urusan keluarga mendadak di Jogja malam ini. Pulangnya baru besok siang. Mbak Inah juga sore ini mau menengok anaknya di Wonogiri.”
What? Gubraaak!!!!
Lembur lagi, lembur lagi! Capek deh!
Singkat cerita, aku dan Mardi pun bermalam di kantor. Bos dan keluarganya sudah mengosongkan rumah sejak ba’da Maghrib. Begitu juga dengan Mbak Inah. Mbah Hamid pun sudah pulang ke rumah mungilnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tinggal kami berdua di rumah yang serem ini. Hiiiyyyy...
“Di, coba perhatiin. Kalo malem di sini serem juga ya.”
“Iya, Is. Maklumlah rumah kuno. Mana gedhe lagi.”
“Sekarang kita enaknya mo ngapain nih?”
“Lho. Kita kan ada kerjaan dari Bos. Gimana sih kamu, Is?”
“Males, Di. Mood ku ilang nih gara-gara liat suasana kantor yang serem kaya gini. Mana bisa tenang bikin rancangan desain kalo suasana di sini kaya di kompleks kuburan.”
“Iya juga sih. Jangan-jangan pas kita sedang asyik gambar, dari belakang ada yang nyolek, trus pas kita tengok, eh ... mukanya rata berdarah-darah! Hiiiiiiiy!”
“Makanya jangan sering-sering liat film nasional yang temanya kebanyakan horor nggak bermutu. Jadi parno kan pikiran lo? Ehm, .... mendingan gini aja, Di. Gimana kalo kita sekarang turun aja ke bawah. Kita ke ruang TV.”
“What? Udah gila kamu, Is. Di bawah kan lebih menyeramkan. Demit dan kawan-kawannya kan pada mangkal di sana. Banyak lukisan-lukisan kuno lagi di dindingnya.”
“Emang demit mangkal kaya tukang ojek? Ada-ada aja! Udah, nggak papa. Kita kan berdua. Nggak usah takut, Di. Nanti kita liat TV kabel punyanya si Bos aja. Acara kan bagus-bagus. Kalo nggak salah, dulu Bos pernah cerita kalo dia sering liat acara di Fashion TV. Isinya ya model-model cantik sedunia lenggak-lenggok di catwalk. Kalo enggak, stasiun tv yang nyiarin ada juga film-film box office, tanpa sensor pula. Lumayan kan buat ngillangin takut.”
“Itu sih maumu, Is. Dasar ngeres lo!”
“Tapi kamu juga mau kan?.”
“He-eh”
“Let’s go down, bro.”
Tak berselang lama, kami pun sudah duduk di depan TV mantengin Fashion Station dengan modelnya yang memperagakan busana perancang top dunia. Mata si Mardi terus melotot sampe nggak berkedip, ... kaya mo lepas aja tuh mata saking beloknya.
“Di, ngomong-ngomong laper nih. Ada makanan nggak ya di dapur?”
“Tau ah, kamu ini gangguin aja. Baru asyik nih. Coba aja cari di kulkas kek, di lemari makan kek. Siapa tahu Mbak Inah nyimpen makanan di sana.”
Kuturuti saran Mardi. Aku beranjak menuju dapur. Celingak-celinguk. Kaya maling mo nyuri jemuran aja. Akhirnya ketemu juga tuh kulkas. Segera kubuka pintu kulkas dua pintu itu. Ketengok isi di dalamnya. Di atas rak-rak tersebar makanan-makanan ringan. Lumayan juga nih buat ganjal perut. Kuambil beberapa bungkus, sekalian untuk si Mardi. Aku pun kembali menuju ke ruang TV. Mardi masih asyik dengan Fashion TV-nya ketika aku menghampirinya.
“Nih, ada snack di kulkas. Lumayan buat ngemil sambil nonton TV.”
“Wah, enak tuh keliatannya.”
Tanpa komando, langsung diambilnya beberapa bungkus makanan ringan kemudian dibukanya satu –persatu. Beberapa snack pun dilahapnya dengan rakus.
Ketika aku hendak membuka satu bungkus snack, tanpa sengaja kulihat keterangan expired date di bagian belakang. Disitu tertulis JAN 01. Lho, padahal sekarang kan udah bulan Maret. Busyeet, makanan basi nih!
“Di, awas makanannya kadaluwarsa.”
“What?”
Mardi segera melihat kode kadaluwarsa di bungkus makanannya.
“Hueeek, punyaku juga kadaluwarsa. Is, kamu gimana sih? Masak makanan kaya gini dibawa?”
“Yee, mana kutahu. Kuambil semuanya dari kulkas.”
“Sialan nih si Bos. Masak makanan basi disimpan di kulkas sih.”
“Buat ngerjain kita kali, Di. Tahu kita mo nginep sini, eh ... makanan yang dikasih expired semua.”
“Bener-bener tega tuh orang.”
Akhirnya kami pun kembali menonton TV dengan perut keroncongan. Cuma minum air putih aja sepanjang malam. ..... beser donk! Hingga tak sadar, kami berdua sudah ketiduran di ruang TV, dikelilingi para demit dan genderuwo penunggu rumah yang melihat kami dengan rasa iba. Kasihan nih anak orang, ..... pada kelaparan sampe ketiduran gitu. Gak jadi deh gue isep darahnya. Takut expired juga....hehehe.
Keesokan harinya, kita kesiangan. Jam delapan pagi baru bisa bangun. Kami segera membereskan semua yang berantakan di ruang TV. Setelah bersih-bersih, kemudian sholat subuh ...... gila nih anak, jam delapan pagi sholat subuh, kami berdua kembali ke studio.
Deadline tinggal jam empat jam lagi. Kami berdua belum juga membuat rancangan desain yang diminta Pak Achmad sedikit pun. Sampe ketika Bos datang, kami berdua belum menyelesaikannya.
Dan Pak Achmad seperti biasa, langsung marah-marah, mengomel tak karuan.
“Kalian ini, ngapain aja semaleman, kok kerjaan belum kelar sampe siang ini. Kalian pasti nggak mengerjakan semalem, kan? Terus ngapain aja? Begadang? Mabuk-mabukan? Dugem? Main perempuan? AYO, JAWAB!!!”
Perempuan yang mana maksudnya? Perasaan di sini cuma ada si kunti, si suster ngesot, si hantu jeruk purut .. .itu mah semuanya selera lo, Bos.
“Sebenarnya semalem kita udah bikin, Bos. Cuma karena desainnya sudah EXPIREEEEEEEEED ( sengaja ngomongnya dikencengin ), so kita buang aja.”
HAH!!! Si Bos pun bengong.
Senin, 27 April 2009
Tips for Traveling Abroad - Go to U.S.
For detailed information about steps you can take to ensure a safe trip, see How to Have a Safe Trip. Meanwhile, here are some quick tips to make your travel easier and safer:
* Register so the State Department can better assist you in an emergency:
Register your travel plans with the State Department through a free online service at https://travelregistration.state.gov. This will help us contact you if there is a family emergency in the U.S., or if there is a crisis where you are traveling. In accordance with the Privacy Act, information on your welfare and whereabouts will not be released to others without your express authorization.
* Sign passport, and fill in the emergency information:
Make sure you have a signed, valid passport, and a visa, if required, and fill in the emergency information page of your passport.
* Leave copies of itinerary and passport data page:
Leave copies of your itinerary, passport data page and visas with family or friends, so you can be contacted in case of an emergency.
* Check your overseas medical insurance coverage:
Ask your medical insurance company if your policy applies overseas, and if it covers emergency expenses such as medical evacuation. If it does not, consider supplemental insurance.
* Familiarize yourself with local conditions and laws: While in a foreign country, you are subject to its laws. The State Department web site at http://travel.state.gov/travel/cis_pa_tw/cis/cis_1765.html has useful safety and other information about the countries you will visit.
* Take precautions to avoid being a target of crime:
To avoid being a target of crime, do not wear conspicuous clothing or jewelry and do not carry excessive amounts of money. Also, do not leave unattended luggage in public areas and do not accept packages from strangers.
* Contact us in an emergency:
Consular personnel at U.S. Embassies and Consulates abroad and in the U.S. are available 24 hours a day, 7 days a week, to provide emergency assistance to U.S. citizens. Contact information for U.S. Embassies and Consulates appears on the Bureau of Consular Affairs website at http://travel.state.gov. Also note that the Office of Overseas Citizen Services in the State Department’s Bureau of Consular Affairs may be reached for assistance with emergencies at 1-888-407-4747, if calling from the U.S. or Canada, or 202-501-4444, if calling from overseas.
* Register so the State Department can better assist you in an emergency:
Register your travel plans with the State Department through a free online service at https://travelregistration.state.gov. This will help us contact you if there is a family emergency in the U.S., or if there is a crisis where you are traveling. In accordance with the Privacy Act, information on your welfare and whereabouts will not be released to others without your express authorization.
* Sign passport, and fill in the emergency information:
Make sure you have a signed, valid passport, and a visa, if required, and fill in the emergency information page of your passport.
* Leave copies of itinerary and passport data page:
Leave copies of your itinerary, passport data page and visas with family or friends, so you can be contacted in case of an emergency.
* Check your overseas medical insurance coverage:
Ask your medical insurance company if your policy applies overseas, and if it covers emergency expenses such as medical evacuation. If it does not, consider supplemental insurance.
* Familiarize yourself with local conditions and laws: While in a foreign country, you are subject to its laws. The State Department web site at http://travel.state.gov/travel/cis_pa_tw/cis/cis_1765.html has useful safety and other information about the countries you will visit.
* Take precautions to avoid being a target of crime:
To avoid being a target of crime, do not wear conspicuous clothing or jewelry and do not carry excessive amounts of money. Also, do not leave unattended luggage in public areas and do not accept packages from strangers.
* Contact us in an emergency:
Consular personnel at U.S. Embassies and Consulates abroad and in the U.S. are available 24 hours a day, 7 days a week, to provide emergency assistance to U.S. citizens. Contact information for U.S. Embassies and Consulates appears on the Bureau of Consular Affairs website at http://travel.state.gov. Also note that the Office of Overseas Citizen Services in the State Department’s Bureau of Consular Affairs may be reached for assistance with emergencies at 1-888-407-4747, if calling from the U.S. or Canada, or 202-501-4444, if calling from overseas.
Balada Rumah Biru, Schedule 07 - Rally Paris Dakkar ala Bos
Suasana pagi hari ini begitu cerah. Matahari bersinar terang dengan langit bersih membiru tanpa noda awan sedikitpun. Tampak di kiri-kananku hamparan hutan jati yang mengering, menandakan air hujan sudah lama tidak menyirami hutan ini. Udara terasa panas membuatku berkeringat dengan derasnya.
Mendadak di sebuah tikungan yang tajam, .... ciiiiiiiiiiiiiiit! Duk! Kelapaku terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Aduh, pusingnya minta ampun. Gila nih, Bos! Nyetir mobilnya kaya Sebastian Loeb di kejuaraan rally Paris Dakkar. Banting stir ke kiri, banting ke kanan, tancap gas, tancap teruuus dah, tanpa rem, gila kan! Padahal di tikungan tajam lho. So pasti aku duduk dengan terbanting-banting.
Ceritanya nih, hari ini, aku, Bos dan Mardi sedang dalam perjalanan menuju ke kota Lamongan, Jawa Timur. Kami dapat proyek di sana. Karena lokasi kota Lamongan cuma bisa dicapai dengan efektif lewat jalan darat, so Pak Achmad mengajakku dan Mardi untuk ikut serta dalam acara presentasi proyek di sana, naik mobil sedan Mazda keluaran tahun 95 miliknya.
Schedule-nya jam 11 pagi ini kita ada meeting sebelum presentasi dengan para pejabat kota Lamongan. Karena menunggu si Mardi yang datang ke kantornya telat, katanya sakit perut pas bangun tidur karena semalem dinner pake semur jengkol, so kita berangkatnya agak terlambat, pukul 7 lewat 30 pagi, yang seharusnya pukul 6 pagi, karena Solo – Lamongan jaraknya bisa ditempuh kurang lebih dalam waktu 5 jam. Untuk mengejar schedule, si Bos nyetirnya jadi gila-gilaan.
Kecepatan mobil sepanjang perjalanan rata-rata di atas 100 km/jam. Salip sana, salip sini. Semua mobil yang menghalangi diklaksonin dengan penuh ketidaksabaran. Dan tentu saja para pengemudi yang kena getahnya bakalan nyumpah-nyumpahin si Bos sambil mengacungkan jari tengahnya ke udara di sela-sela kaca jendela mobilnya, F**@ U, Man! Gila kan! Untung nggak ketemu ama polisi lalu lintas. Bisa-bisa adegan film fast and furious terealisasi di sini. Aku yang duduk di depan, sepanjang jalan hanya bisa pasrah sambil komat-kamit berdoa, supaya mobilnya nggak nyasar aja masuk ke kolong truk peti kemas atau jatuh masuk jurang di kiri kanan jalan.
Kupikir, Bos sengaja nih nyetir gila-gilaan kaya gini buat revenge sama aku. Dulu, aku pernah sekali goncengin si Bos pas mo ke lokasi proyek rumah tinggal di bilangan Solo Baru. Ceritanya nih, biasa, dengan alasan mobilnya sedang turun mesin, padahal supaya ngirit bensin, dia minta aku untuk mengantarnya pake motor. Padahal aku udah alasan kalo bannya sedang kempes, sok beker –nya keras, eh ... bukannya batalin, malah si Bos makin semangat buat nebeng. Padahal males banget aku mesti goncengin si Bos, panas-panas pula sampe Solo Baru. Bukannya aku nggak loyal sama perusahaan sih, cuma berat badannya itu loh, bikin motorku bisa masuk bengkel esok harinya karena kelebihan beban. Mending diongkosin biaya servisnya. Pasti aku yang mesti tombok alias bayar sendiri.
Makanya buat melampiaskan kekesalanku, aku nyetirnya gila-gilaan. Motor kupacu hingga 100 km/jam. Padahal baru rush hour, so salip sana, salip sini, belok kiri – belok kanan, kaya Valentino Rossi di motoGP. Si Bos yang duduk di jok belakang ketakutan setengah mati. Sepanjang jalan teriak-teriak kaya orang gila. Bahkan si Bos memelukku kenceng banget. Ih ... jijay banget deh pokoknya. Aku sampe sesak napas dibikinnya. Sampe di lokasi proyek, Bos turun dari motor dengan wajah kusut, rambut yang klimis ... itu sih kalo boleh di bilang rambut hehehe... sampe berantakan, wajahnya bengong kaya orang bego. Pulangnya dia nggak mau lagi naik motorku. Mendingan naik taksi aja deh daripada kena sakit jantung, katanya. Aku pun tersenyum puas. Rasain lo ...
Dalam perjalanan menuju ke Lamongan, jalur yang kami melalui Sragen, Ngawi, Bojonegoro, baru kemudian Lamongan. Karena ini adalah kali pertamanya ke kota Lamongan, maka sepanjang perjalanan, kami mengandalkan peta sebagai penunjuk jalan. Nggak ada alat macam GPS di mobil. Dan aku yang duduk di sebelah Bos pun didaulat sebagai navigator. Enak aja si Bos main tunjuk, mending kalo ditambah gajinya. Dalam rute Ngawi – Bojonegoro, kami melewati rute yang paling membahayakan. Tepatnya di sekitar daerah Padhangan, jalan mulai berkelok-kelok, menikung tajam dan membelah sebuah hutan jati yang mengalami kekeringan berkepanjangan. Selain jalannya agak sempit, jalur ini juga cukup padat, dilalui berbagai kendaraan-kendaraan berat seperti truk pasir, truk peti kemas serta bus-bus antar kota.
Berkali-kali klakson mobil Bos berbunyi dengan nyaringnya ketika hendak menyalip kendaraan di depannya. Karena jengkel, pengendara kendaraan-kendaraan besar itu pun tak mau kalah, iku-ikut membunyikan klakson dengan nada yang berat. Tentu saja lebih keras dari bunyi klakson mobil sedan milik Bos. Tapi yang punya mobil sedan, tetep cuek bebek.
“Sialan, nih. Truk di depan jalannya lambat banget. Gimana mo nyampai kalo jalannya begini? Is, kiri kosong, nggak?”
Busyeet dah, gelagatnya Bos mo nyalip nih truk.
“Nggak bisa, Pak. Terlalu sempit. Pinggir sebelah kiri jalan ada jurang yang dalem. Lewat kanan aja.”
“Kamu ini gimana sih jadi navigator, saya tanya yang kiri, kok malah nyuruh yang kanan. Kalo tahu yang kanan kosong, udah dari tadi saya salip truk yang di depan ini. Lha jalur kanan padat banget begini, dari tadi ada aja mobil dari arah depan. Gimana mo nyalip?”
“Ya, sabar aja, Pak. Daripada nyalip dari kiri malah masuk jurang.” Mardi yang duduk di jok belakang ikut-ikutan komentar.
“Nggak bisa begini terus nih. Bisa terlambat nanti sampe Lamongan. Memang berapa dalem sih jurangnya, kok takut banget? Jadi laki-laki jangan pengecut, harus berani, nggak boleh takut pada apapun, Is.”
Yee, dibilangin masih ngeyel aja nih orang!
“Ya, nggak dalem sih, Pak. Paling cuma 20 meteran. Kalo jatuh, pasti almarhum, ya kalo beruntung, paling-paling cuma gegar otak doang. Masih mau nyoba nyalip dari kiri, Pak?”
Bos pun terdiam.
Makanya jangan belagu lo, takut juga kan?
Namun setelah beberapa saat tak bersuara, mendadak Bos membanting setirnya ke kanan dengan cepat, lalu tancap gas kuat-kuat. Aku dan Mardi sampe terbanting-banting dibuatnya. Bos nekat mo nyalip truk dari arah kanan ketika jalur sudah agak sepi. Namun ketika Bos baru bisa menyalip sampe setengah badan truk, dari arah berlawanan tampak sebuah bus antar kota melaju ke arah kami.
Aku spontan berteriak.
“Pak, AWAS!!! Ada bus di depan. Nggak cukup, Pak. Injak rem, Pak. REEEM!”
Yee, bukannya rem yang diinjak, Bos malah mengoper gigi lalu tancap gas lebih kuat. Gila! Bakalan tabrakan nih.
Bus di depan segera membunyikan klakson dengan nyaringnya di sertai kedipan lampu depan yang menyilaukan. Bukannya mengalah, karena merasa tertantang, Bos malah ikutan-ikutan membunyikan klakson serta mengedipkan lampu. Yee, malah jadi kedip-kedipan, ganjen banget.
Aku dan Mardi tanpa dikomando seketika berteriak sekencang-kencangnya sambil memejamkan mata dengan mulut komat-kamit. Mobil sedan terus melaju kencang dengan kecepatan 130 km/jam hingga sampe ke kepala truk. Tinggal kira-kira sepuluh meter lagi jarak antara mobil Bos ama bus di depan.
Jantungku seketika berhenti berdetak. Pemandangan yang sangat mengerikan terpampang jelas di depan mataku. Bus tersebut seakan hendak menabrak mobil sedan dengan diriku di dalamnya hingga hancur berkeping-keping. Aku tak bisa membayangkannya. Dan ketika jarak mobil dengan bus mulai menipis, dalam hitungan seper sekian detik, Bos membanting mobil ke arah kiri menyalip truk yang sarat muatan. Mobil sedan lolos dengan tipis dari tabrakan dengan bus yang penuh dengan penumpang. Bus tersebut sampe berjalan keluar dari jalan aspal menghindari tabrakan. Gila, bener bener gila nih si Bos! Hampir aja nyawa kami yang berharga melayang gara-gara nurutin egonya Bos.
Bukannya merasa kasihan melihat wajah kami yang tampak seperti habis melihat setan, si Bos malah senyum-senyum cengegesan tanda kemenangan. Mungkin dalam batinnya, si Bos puas banget ngerjain aku dan Mardi sampe hampir kena sakit jantung.
Mendadak Bos melambatkan kecepatan mobil. Truk yang disalipnya barusan kembali melewati kami. Sang sopir pun teriak-teriak nyumpahin si Bos pake kata-kata jorok. Kebun binatang ada semua di situ. Si Bos masih tuetep cuek bebek. Terus ngapain tadi mati-amatian nyalip tuh truk. Emang dasar si Bos, pasti emang niatnya cuma ngerjain kita berdua.
Karena shock, Mardi minta si Bos untuk menepi. Begitu sampe di jalur yang agak lebar, Bos pun menghentikan mobilnya. Dan begitu Mardi keluar dari mobil, sontak ... hueeeeeeeeekkkkk!!!! Keluar deh semua semur jengkol semalem yang dilahap Mardi.
“Nggak papa, lo?” tanyaku setelah Mardi selesai menumpahkan isi perutnya
“Busyeet, Bos gila! Hampir mati kita dibuatnya.”
Dengan wajah kesal, Mardi melirik ke arah Bos, yang lagi-lagi dengan wajah tanpa dosa ... malah mendengar musik di dalam mobil, sambil siul-siul lebay pula.
Mardi pun berbisik padaku.
“Awas ya, lain kali pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!”
Yee nggak nyambung kalee, Di.
Mendadak di sebuah tikungan yang tajam, .... ciiiiiiiiiiiiiiit! Duk! Kelapaku terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Aduh, pusingnya minta ampun. Gila nih, Bos! Nyetir mobilnya kaya Sebastian Loeb di kejuaraan rally Paris Dakkar. Banting stir ke kiri, banting ke kanan, tancap gas, tancap teruuus dah, tanpa rem, gila kan! Padahal di tikungan tajam lho. So pasti aku duduk dengan terbanting-banting.
Ceritanya nih, hari ini, aku, Bos dan Mardi sedang dalam perjalanan menuju ke kota Lamongan, Jawa Timur. Kami dapat proyek di sana. Karena lokasi kota Lamongan cuma bisa dicapai dengan efektif lewat jalan darat, so Pak Achmad mengajakku dan Mardi untuk ikut serta dalam acara presentasi proyek di sana, naik mobil sedan Mazda keluaran tahun 95 miliknya.
Schedule-nya jam 11 pagi ini kita ada meeting sebelum presentasi dengan para pejabat kota Lamongan. Karena menunggu si Mardi yang datang ke kantornya telat, katanya sakit perut pas bangun tidur karena semalem dinner pake semur jengkol, so kita berangkatnya agak terlambat, pukul 7 lewat 30 pagi, yang seharusnya pukul 6 pagi, karena Solo – Lamongan jaraknya bisa ditempuh kurang lebih dalam waktu 5 jam. Untuk mengejar schedule, si Bos nyetirnya jadi gila-gilaan.
Kecepatan mobil sepanjang perjalanan rata-rata di atas 100 km/jam. Salip sana, salip sini. Semua mobil yang menghalangi diklaksonin dengan penuh ketidaksabaran. Dan tentu saja para pengemudi yang kena getahnya bakalan nyumpah-nyumpahin si Bos sambil mengacungkan jari tengahnya ke udara di sela-sela kaca jendela mobilnya, F**@ U, Man! Gila kan! Untung nggak ketemu ama polisi lalu lintas. Bisa-bisa adegan film fast and furious terealisasi di sini. Aku yang duduk di depan, sepanjang jalan hanya bisa pasrah sambil komat-kamit berdoa, supaya mobilnya nggak nyasar aja masuk ke kolong truk peti kemas atau jatuh masuk jurang di kiri kanan jalan.
Kupikir, Bos sengaja nih nyetir gila-gilaan kaya gini buat revenge sama aku. Dulu, aku pernah sekali goncengin si Bos pas mo ke lokasi proyek rumah tinggal di bilangan Solo Baru. Ceritanya nih, biasa, dengan alasan mobilnya sedang turun mesin, padahal supaya ngirit bensin, dia minta aku untuk mengantarnya pake motor. Padahal aku udah alasan kalo bannya sedang kempes, sok beker –nya keras, eh ... bukannya batalin, malah si Bos makin semangat buat nebeng. Padahal males banget aku mesti goncengin si Bos, panas-panas pula sampe Solo Baru. Bukannya aku nggak loyal sama perusahaan sih, cuma berat badannya itu loh, bikin motorku bisa masuk bengkel esok harinya karena kelebihan beban. Mending diongkosin biaya servisnya. Pasti aku yang mesti tombok alias bayar sendiri.
Makanya buat melampiaskan kekesalanku, aku nyetirnya gila-gilaan. Motor kupacu hingga 100 km/jam. Padahal baru rush hour, so salip sana, salip sini, belok kiri – belok kanan, kaya Valentino Rossi di motoGP. Si Bos yang duduk di jok belakang ketakutan setengah mati. Sepanjang jalan teriak-teriak kaya orang gila. Bahkan si Bos memelukku kenceng banget. Ih ... jijay banget deh pokoknya. Aku sampe sesak napas dibikinnya. Sampe di lokasi proyek, Bos turun dari motor dengan wajah kusut, rambut yang klimis ... itu sih kalo boleh di bilang rambut hehehe... sampe berantakan, wajahnya bengong kaya orang bego. Pulangnya dia nggak mau lagi naik motorku. Mendingan naik taksi aja deh daripada kena sakit jantung, katanya. Aku pun tersenyum puas. Rasain lo ...
Dalam perjalanan menuju ke Lamongan, jalur yang kami melalui Sragen, Ngawi, Bojonegoro, baru kemudian Lamongan. Karena ini adalah kali pertamanya ke kota Lamongan, maka sepanjang perjalanan, kami mengandalkan peta sebagai penunjuk jalan. Nggak ada alat macam GPS di mobil. Dan aku yang duduk di sebelah Bos pun didaulat sebagai navigator. Enak aja si Bos main tunjuk, mending kalo ditambah gajinya. Dalam rute Ngawi – Bojonegoro, kami melewati rute yang paling membahayakan. Tepatnya di sekitar daerah Padhangan, jalan mulai berkelok-kelok, menikung tajam dan membelah sebuah hutan jati yang mengalami kekeringan berkepanjangan. Selain jalannya agak sempit, jalur ini juga cukup padat, dilalui berbagai kendaraan-kendaraan berat seperti truk pasir, truk peti kemas serta bus-bus antar kota.
Berkali-kali klakson mobil Bos berbunyi dengan nyaringnya ketika hendak menyalip kendaraan di depannya. Karena jengkel, pengendara kendaraan-kendaraan besar itu pun tak mau kalah, iku-ikut membunyikan klakson dengan nada yang berat. Tentu saja lebih keras dari bunyi klakson mobil sedan milik Bos. Tapi yang punya mobil sedan, tetep cuek bebek.
“Sialan, nih. Truk di depan jalannya lambat banget. Gimana mo nyampai kalo jalannya begini? Is, kiri kosong, nggak?”
Busyeet dah, gelagatnya Bos mo nyalip nih truk.
“Nggak bisa, Pak. Terlalu sempit. Pinggir sebelah kiri jalan ada jurang yang dalem. Lewat kanan aja.”
“Kamu ini gimana sih jadi navigator, saya tanya yang kiri, kok malah nyuruh yang kanan. Kalo tahu yang kanan kosong, udah dari tadi saya salip truk yang di depan ini. Lha jalur kanan padat banget begini, dari tadi ada aja mobil dari arah depan. Gimana mo nyalip?”
“Ya, sabar aja, Pak. Daripada nyalip dari kiri malah masuk jurang.” Mardi yang duduk di jok belakang ikut-ikutan komentar.
“Nggak bisa begini terus nih. Bisa terlambat nanti sampe Lamongan. Memang berapa dalem sih jurangnya, kok takut banget? Jadi laki-laki jangan pengecut, harus berani, nggak boleh takut pada apapun, Is.”
Yee, dibilangin masih ngeyel aja nih orang!
“Ya, nggak dalem sih, Pak. Paling cuma 20 meteran. Kalo jatuh, pasti almarhum, ya kalo beruntung, paling-paling cuma gegar otak doang. Masih mau nyoba nyalip dari kiri, Pak?”
Bos pun terdiam.
Makanya jangan belagu lo, takut juga kan?
Namun setelah beberapa saat tak bersuara, mendadak Bos membanting setirnya ke kanan dengan cepat, lalu tancap gas kuat-kuat. Aku dan Mardi sampe terbanting-banting dibuatnya. Bos nekat mo nyalip truk dari arah kanan ketika jalur sudah agak sepi. Namun ketika Bos baru bisa menyalip sampe setengah badan truk, dari arah berlawanan tampak sebuah bus antar kota melaju ke arah kami.
Aku spontan berteriak.
“Pak, AWAS!!! Ada bus di depan. Nggak cukup, Pak. Injak rem, Pak. REEEM!”
Yee, bukannya rem yang diinjak, Bos malah mengoper gigi lalu tancap gas lebih kuat. Gila! Bakalan tabrakan nih.
Bus di depan segera membunyikan klakson dengan nyaringnya di sertai kedipan lampu depan yang menyilaukan. Bukannya mengalah, karena merasa tertantang, Bos malah ikutan-ikutan membunyikan klakson serta mengedipkan lampu. Yee, malah jadi kedip-kedipan, ganjen banget.
Aku dan Mardi tanpa dikomando seketika berteriak sekencang-kencangnya sambil memejamkan mata dengan mulut komat-kamit. Mobil sedan terus melaju kencang dengan kecepatan 130 km/jam hingga sampe ke kepala truk. Tinggal kira-kira sepuluh meter lagi jarak antara mobil Bos ama bus di depan.
Jantungku seketika berhenti berdetak. Pemandangan yang sangat mengerikan terpampang jelas di depan mataku. Bus tersebut seakan hendak menabrak mobil sedan dengan diriku di dalamnya hingga hancur berkeping-keping. Aku tak bisa membayangkannya. Dan ketika jarak mobil dengan bus mulai menipis, dalam hitungan seper sekian detik, Bos membanting mobil ke arah kiri menyalip truk yang sarat muatan. Mobil sedan lolos dengan tipis dari tabrakan dengan bus yang penuh dengan penumpang. Bus tersebut sampe berjalan keluar dari jalan aspal menghindari tabrakan. Gila, bener bener gila nih si Bos! Hampir aja nyawa kami yang berharga melayang gara-gara nurutin egonya Bos.
Bukannya merasa kasihan melihat wajah kami yang tampak seperti habis melihat setan, si Bos malah senyum-senyum cengegesan tanda kemenangan. Mungkin dalam batinnya, si Bos puas banget ngerjain aku dan Mardi sampe hampir kena sakit jantung.
Mendadak Bos melambatkan kecepatan mobil. Truk yang disalipnya barusan kembali melewati kami. Sang sopir pun teriak-teriak nyumpahin si Bos pake kata-kata jorok. Kebun binatang ada semua di situ. Si Bos masih tuetep cuek bebek. Terus ngapain tadi mati-amatian nyalip tuh truk. Emang dasar si Bos, pasti emang niatnya cuma ngerjain kita berdua.
Karena shock, Mardi minta si Bos untuk menepi. Begitu sampe di jalur yang agak lebar, Bos pun menghentikan mobilnya. Dan begitu Mardi keluar dari mobil, sontak ... hueeeeeeeeekkkkk!!!! Keluar deh semua semur jengkol semalem yang dilahap Mardi.
“Nggak papa, lo?” tanyaku setelah Mardi selesai menumpahkan isi perutnya
“Busyeet, Bos gila! Hampir mati kita dibuatnya.”
Dengan wajah kesal, Mardi melirik ke arah Bos, yang lagi-lagi dengan wajah tanpa dosa ... malah mendengar musik di dalam mobil, sambil siul-siul lebay pula.
Mardi pun berbisik padaku.
“Awas ya, lain kali pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!”
Yee nggak nyambung kalee, Di.
Senin, 20 April 2009
Deadly-New Computer Virus
Sebuah virus baru sudah ditemukan, dan digolongkan oleh Microsoft sebagai yang paling merusak! Virus itu baru ditemukan pada hari Minggu siang yang lalu oleh McAfee, dan belum ditemukan vaksin untuk mengalahkannya. Virus ini merusak Zero dari Sektor hard disc, yang menyimpan fungsi informasi-informasi terpenting. Virus ini berjalan sebagai berikut :
- secara otomatis virus ini akan terkirim ke semua nama dalam daftar
alamat anda dengan judul "Sebuah Kartu Untuk Anda" (Une Carte Pour Vous, atau A Card For You);
- begitu kartu virtual itu terbuka, virus itu akan membekukan
komputer sehingga penggunanya harus memulainya kembali; kalau anda menekan CTRL+ALT+SUPPR atau perintah untuk restart, virus itu akan merusak Zero dari Sektor Boot hard disc, sehingga hard disc akan rusak secara permanen.
Menurut CNN, virus itu dalam beberapa jam sudah menimbulkan kepanikan di New York. Peringatan ini telah diterima oleh pegawai Microsoft sendiri. Jangan membuka e-mail dengan judul "Sebuah kartu virtual untuk Anda" (Une Carte Virtuelle Pour Vous atau A Virtual Card For You).
- Kirimkan pesan ini kepada semua teman anda. Saya rasa bahwa
sebagian besar orang, seperti saya sendiri, lebih suka mendapat peringatan ini 25 kali daripada tidak sama sekali.
AWAS!!!
Jangan terima kontak "pti_bout_de_ chou hotmail.com" .
Ini virus yang akan memformat komputer anda.
Kirimkan pesan ini ke semua orang yang ada di dalam daftar alamat anda.Kalau anda tidak melakukannya dan salah seorang teman anda
memasukkannya dalam daftar alamatnya, komputer anda juga akan
terkena.
- secara otomatis virus ini akan terkirim ke semua nama dalam daftar
alamat anda dengan judul "Sebuah Kartu Untuk Anda" (Une Carte Pour Vous, atau A Card For You);
- begitu kartu virtual itu terbuka, virus itu akan membekukan
komputer sehingga penggunanya harus memulainya kembali; kalau anda menekan CTRL+ALT+SUPPR atau perintah untuk restart, virus itu akan merusak Zero dari Sektor Boot hard disc, sehingga hard disc akan rusak secara permanen.
Menurut CNN, virus itu dalam beberapa jam sudah menimbulkan kepanikan di New York. Peringatan ini telah diterima oleh pegawai Microsoft sendiri. Jangan membuka e-mail dengan judul "Sebuah kartu virtual untuk Anda" (Une Carte Virtuelle Pour Vous atau A Virtual Card For You).
- Kirimkan pesan ini kepada semua teman anda. Saya rasa bahwa
sebagian besar orang, seperti saya sendiri, lebih suka mendapat peringatan ini 25 kali daripada tidak sama sekali.
AWAS!!!
Jangan terima kontak "pti_bout_de_ chou hotmail.com" .
Ini virus yang akan memformat komputer anda.
Kirimkan pesan ini ke semua orang yang ada di dalam daftar alamat anda.Kalau anda tidak melakukannya dan salah seorang teman anda
memasukkannya dalam daftar alamatnya, komputer anda juga akan
terkena.
Selasa, 14 April 2009
Essential Tips for Backpackers
• The little plastic containers that camera film comes in are excellent for storing things. The best use I found for them was salt and pepper holders.
• If you're a drinker, make sure you have your own wine/bottle opener! Sometimes you can get them as key rings. You'll never find one in a hostel cause they're constantly stolen.
• Always travel with a pack of cards. It's the best way to make friends and a lifesaver if you're staying in a hostel with no TV.
• A sarong has many uses. It acts as a tablecloth during a picnic. A wrap around if you've unfortunately managed to fry your legs to a crunchy crusty crisp in the midday sun. A belt that keeps your trousers up. A blanket to sit on while relaxing on the beach or in the park. Finally, my personal favourite, if you're lucky enough to get a bottom bunk, you can pin it under the mattress above so you get a little more privacy.
• Don't leave home without a journal. The scribbled stories from Singapore , tales from Thailand and memories of amazing people and places will be what you treasure when you're in your 50s. Think of it less as a journal or diary and more as the story of your travels. Your own little book!
• The best way to carry detergent is in a plastic water bottle. It's both safe and convenient. Some people have to learn the hard way that, glass bottles can't withstand long drops, even when they're safely snuggled in your rucksack and paper bags tend to tear. (Seriously, I'm not that dumb, but…we'll say no more.)
• If you treat yourself to a meal in a fast food place, make full use of your trip and stock up on all those lovely sachets of salt, pepper, ketchup, mustard, vinegar, jam, napkins and anything else you can get your hands on that's free, without getting arrested of course! Pulling your T-shirt out and bending it back to make a rather sizeable pouch is the best way to carry your new found friends!
• Always carry a roll of toilet paper with you. It comes in so handy in so many ways. Toilet paper – not just an ass wiper.
• Find out the population of your own country, city and any other fascinating facts, preferably before you leave home, or alternatively, while you're travelling. The Internet's filled with information that should have been stuffed into our heads while we were in school. You don't want to look stupid when a foreigner asks you simple questions about home. And believe me, they will.
• When buying international phone cards…shop around. When ringing home, always pay for the local call instead of using the free phone number on the card. You're charged a fortune for this and your card won't last half as long. It's a right slimy dead fish slam in the face when you think you have half an hour to talk to your loved one at home, while in reality you get four minutes.
• Invest in a VIP, HI or any other form of backpacker card if you intend to stay in alot of hostels. You'd be amazed how much money you'll save over the duration of a few months. Most cards give a discount of at least a dollar/pound per night in a hostel.
• Some hostels do free pickups from the airport, train station or bus station. Email your chosen hostel before hand and check it out, saves on taxi or bus costs. It also prevents you from fumbling around lost while trying to balance a ridiculously enormous rucksack on your back.
• There's usually a free food shelf in most hostels. The minute you enter the kitchen in the morning, check it out! When people move on they don't want to be carrying extra bags of pasta that weigh them down. Refrigerators in hostels usually get cleaned out once a week, so get in there while the goings good. It may sound desperate, but believe me, when you've been travelling long enough and finances are almost none existent, a bag of pasta could mean the difference between eating dinner or keeping everyone in your dorm room awake with unearthly hungry stomach growling syndrome.
• Always wear a pair of cheap, plastic flip-flops while showering. Hundreds of people use hostel showers and I've heard some really bad stories about what people get up to in them.
• Don't be one of those people who has a rucksack full of plastic bags. Invest in a nice little wash bag for yourself and your bits and bobs. Sleeping in a dorm and being woken by a rustling plastic bag at 5 in the morning is frankly a pain in the ass, and no backpacker will thank you for disturbing their sleep!
• Especially for the girls. Sometimes it's difficult for us lady backpackers to look and smell our best. If you're feeling a little yucky or you're heading out somewhere nice for the night, nip into any large department store and sample their perfume. If you smell pretty, you feel pretty. Sure, while you're at it, maybe a little nail varnish or eye shadow wouldn't go a stray. Boys, same goes for you, sample some nice after-shave. And remember fellas, experimentation with colours is always encouraged.
• Some large city libraries have free Internet access. Libraries are also one of the best places to spend a rainy day. You can brush up on your next destination in the travel section and get hostel names and numbers from books such as the Lonely Planet.
• Always check out the Tourist Information Centre in the city that you are visiting. They're the people who know what's on for free. Many cities have free admissions or cheaper ticket days to galleries, museums and cinemas.
• For Gods sake, always carry insect repellent. If you're moving on to a different country don't be naïve and think, “I'll buy it when I get there!” Those little bastards that bite will have you in bits before you even know it! If you have been bludgeoned to death by the feckers and tend to react badly to them, take some anti-histamines, they'll calm your bites right down!
• And remember, you'll probably never get a chance like this again…Travelling broads the mind. Teaches you lessons that remain with you forever. You see things you couldn't have even imagined and meet people that are so extraordinarily fascinating. So talk to everyone you meet, learn as much as you can about what and who surrounds you each day, laugh lots, forget about the financial debt you are incurring and discover who you really are!
This is your time-out to live the way you want and be who you always knew you could be!
• If you're a drinker, make sure you have your own wine/bottle opener! Sometimes you can get them as key rings. You'll never find one in a hostel cause they're constantly stolen.
• Always travel with a pack of cards. It's the best way to make friends and a lifesaver if you're staying in a hostel with no TV.
• A sarong has many uses. It acts as a tablecloth during a picnic. A wrap around if you've unfortunately managed to fry your legs to a crunchy crusty crisp in the midday sun. A belt that keeps your trousers up. A blanket to sit on while relaxing on the beach or in the park. Finally, my personal favourite, if you're lucky enough to get a bottom bunk, you can pin it under the mattress above so you get a little more privacy.
• Don't leave home without a journal. The scribbled stories from Singapore , tales from Thailand and memories of amazing people and places will be what you treasure when you're in your 50s. Think of it less as a journal or diary and more as the story of your travels. Your own little book!
• The best way to carry detergent is in a plastic water bottle. It's both safe and convenient. Some people have to learn the hard way that, glass bottles can't withstand long drops, even when they're safely snuggled in your rucksack and paper bags tend to tear. (Seriously, I'm not that dumb, but…we'll say no more.)
• If you treat yourself to a meal in a fast food place, make full use of your trip and stock up on all those lovely sachets of salt, pepper, ketchup, mustard, vinegar, jam, napkins and anything else you can get your hands on that's free, without getting arrested of course! Pulling your T-shirt out and bending it back to make a rather sizeable pouch is the best way to carry your new found friends!
• Always carry a roll of toilet paper with you. It comes in so handy in so many ways. Toilet paper – not just an ass wiper.
• Find out the population of your own country, city and any other fascinating facts, preferably before you leave home, or alternatively, while you're travelling. The Internet's filled with information that should have been stuffed into our heads while we were in school. You don't want to look stupid when a foreigner asks you simple questions about home. And believe me, they will.
• When buying international phone cards…shop around. When ringing home, always pay for the local call instead of using the free phone number on the card. You're charged a fortune for this and your card won't last half as long. It's a right slimy dead fish slam in the face when you think you have half an hour to talk to your loved one at home, while in reality you get four minutes.
• Invest in a VIP, HI or any other form of backpacker card if you intend to stay in alot of hostels. You'd be amazed how much money you'll save over the duration of a few months. Most cards give a discount of at least a dollar/pound per night in a hostel.
• Some hostels do free pickups from the airport, train station or bus station. Email your chosen hostel before hand and check it out, saves on taxi or bus costs. It also prevents you from fumbling around lost while trying to balance a ridiculously enormous rucksack on your back.
• There's usually a free food shelf in most hostels. The minute you enter the kitchen in the morning, check it out! When people move on they don't want to be carrying extra bags of pasta that weigh them down. Refrigerators in hostels usually get cleaned out once a week, so get in there while the goings good. It may sound desperate, but believe me, when you've been travelling long enough and finances are almost none existent, a bag of pasta could mean the difference between eating dinner or keeping everyone in your dorm room awake with unearthly hungry stomach growling syndrome.
• Always wear a pair of cheap, plastic flip-flops while showering. Hundreds of people use hostel showers and I've heard some really bad stories about what people get up to in them.
• Don't be one of those people who has a rucksack full of plastic bags. Invest in a nice little wash bag for yourself and your bits and bobs. Sleeping in a dorm and being woken by a rustling plastic bag at 5 in the morning is frankly a pain in the ass, and no backpacker will thank you for disturbing their sleep!
• Especially for the girls. Sometimes it's difficult for us lady backpackers to look and smell our best. If you're feeling a little yucky or you're heading out somewhere nice for the night, nip into any large department store and sample their perfume. If you smell pretty, you feel pretty. Sure, while you're at it, maybe a little nail varnish or eye shadow wouldn't go a stray. Boys, same goes for you, sample some nice after-shave. And remember fellas, experimentation with colours is always encouraged.
• Some large city libraries have free Internet access. Libraries are also one of the best places to spend a rainy day. You can brush up on your next destination in the travel section and get hostel names and numbers from books such as the Lonely Planet.
• Always check out the Tourist Information Centre in the city that you are visiting. They're the people who know what's on for free. Many cities have free admissions or cheaper ticket days to galleries, museums and cinemas.
• For Gods sake, always carry insect repellent. If you're moving on to a different country don't be naïve and think, “I'll buy it when I get there!” Those little bastards that bite will have you in bits before you even know it! If you have been bludgeoned to death by the feckers and tend to react badly to them, take some anti-histamines, they'll calm your bites right down!
• And remember, you'll probably never get a chance like this again…Travelling broads the mind. Teaches you lessons that remain with you forever. You see things you couldn't have even imagined and meet people that are so extraordinarily fascinating. So talk to everyone you meet, learn as much as you can about what and who surrounds you each day, laugh lots, forget about the financial debt you are incurring and discover who you really are!
This is your time-out to live the way you want and be who you always knew you could be!
Senin, 13 April 2009
Kamis, 02 April 2009
Balada Rumah Biru, Schedule 06 - Teman Kerja Baru
Setelah cukup lama sebagai lone ranger, akhirnya aku dapat teman kantor baru. Rupanya Pak Achmad merasa membutuhkan lagi karyawan mengingat proyek yang dikerjakan sudah menumpuk dan waktu pengerjaan pun semakin pendek. Apalagi waktu itu, proyek Pasar Tawangmangu harus segera dibikin presentasinya karena akan dipaparkan minggu depan dihadapan Bupati Karanganyar beserta jajarannya. Biasanya dalam presentasi harus ada gambar 3 dimensinya atau istilah di arsitektur gambar perspektifnya, supaya lebih mudah menjelaskannya. Untuk itu, Pak Achmad sangat membutuhkan tenaga arsitek yang bisa program 3D Max untuk membuat visualisasi desain.
Sebenarnya aku sih mampu membuat gambar perspektif, cuma pakai sketsa tangan bukan komputer. Tapi pernah suatu kali aku akan presentasi dan Bos menyuruhku membuat gambar perspektifnya. Eh, bukannya sketsa desain yang kubikin, malah hasil yang terlihat adalah gambar pemandangan lengkap dengan dua gunung, matahari terbit di antara kedua gunung, jalan membentang di tengah-tengahnya, dengan kiri kanannya hamparan sawah hijau membentang, ... itu sih gambaran wajib anak TK. Yang pasti hasilnya jauh dari harapan Pak Bos. Makanya, Pak Achmad kapok menyuruhku membuat gambar perspektif.
Teman baruku itu namanya Danny. Dia adik angkatanku di arsitektur. Ceritanya dia bisa kerja di sini sih hampir sama denganku. Pak Achmad meminta kepada dosenku untuk dicarikan mahasiswa yang bisa bikin gambar perspektif pakai komputer. Kenapa bukan mahasiswa yang sudah lulus yang dicari? Alasannya sih klise. Kalo masih mahasiswa honornya bisa lebih murah, syukur-syukur gratisan itung-itung kerja praktek. Penyakit pelitnya si Bos baru kumat nih. Maka direkomendasikanlah di Danny ini. Dia masih kuliah tingkat akhir. Asli dari Bandung. Anaknya sangat periang dan suka bercanda. Sejak kuliah aku sudah cukup akrab dengannya. Lagian kost dia juga bertetangga dengan “kost” aku dulu. Sama-sama di satu RT.
Masih ingatkan cerita sebelumnya, aku memang “kost” di pondokan Mentari Buana di samping kampus. Tapi cuma buat numpang makan siang, tidur siang, mandi, makan malam terus malamnya pulang ke rumah ortu. Nah, si Danny ini kost di dekat Mentari Buana. Selisih satu gang. Nama pondokannya Graha Tirta. Tiap siang kita selalu bertemu. Biasanya pas mo makan siang di warung dekat kost kita masing-masing. Di sana kita sering ngobrol sambil menyantap tempe goreng atau mie instan rebus. Biasanya ngobrol tentang kuliah, tanya tugas-tugas atau masalah cewek fakultas sebelah. Pokoknya tentang apa saja.
“Eh, Mas Isma. Inget nggak cewek ekonomi yang kemarin lewat di depan kantin pas kita makan siang nungguin kuliah?”
“O, yang cewek manis berambut agak pirang itu. Aku masih ingat orangnya. Emangnya kenapa dengannya?”
“Aku sudah tahu namanya, Mas. Bukan hanya itu. Nomer hp-nya pun aku punya.”
“Gila lo, Dan. Cepet amat. Tahu dari mana? Kamu nanya langsung ke dia? Atau kamu nanya sama teman kuliahnya? Nanya Dosennya?”
Danny hanya menggeleng.
Aku pun jadi penasaran
“Terus darimana kamu tahu?”
“Ya terang aja aku tahu. Dia kan teman SMU ku di Bandung.”
Aku pun langsung spontan menjitak kepalanya. Pletak!!!
Setelah Danny masuk membantuku menyelesaikan kerjaan proyek di Rumah Biru, otomatis Pak Achmad harus mencarikan satu unit computer untuknya. Sejak saat itu, era digital sudah menjamah tempat kerjaku. Dan saat itu pula aku mengenal program autoCAD dan 3D Max.
Wah, ribet juga ya ngerjainnya. Klik sana. Klik sini. Cukup lama aku memperhatikan di Danny membuat draft gambar 3 dimensi, aku masih bingung juga. Aku belum tahu bagaimana memulainya. Mau minta diajarin sama Danny, nggak ada waktu. Soalnya Danny sedang di deadline terus tiap harinya sama Pak Achmad. Kerja rodi begitulah kasarannya. Boro – boro ngajarin, ngobrol aja jarang – jarang. Danny sibuk terus dengan kerjaannya. Paling kita baru bisa ngobrol panjang lebar pas istirahat makan siang.
“Busyet, baru kali ini aku kerja kaya gini, Mas.”
“Emangnya pas kuliah nggak pernah lembur lo?”
“Lemburnya beda, Mas. Ini mah namanya kerja paksa jaman Daendels. Nggak ada matinya. Mana komputernya dodol pisan. Buat rendering aja nunggu berjam-jam. Belum lagi kalo Bos minta perubahan. Aku harus ngulang dari awal lagi, Mas.”
“Ya, welcome to rumahbiru. Begitulah kerja disini.”
“Emangnya dari dulu kerjanya begini, Mas?”
“Lebih parah lagi. Kamu sekarang enak ada komputer. Mo edit gambar tinggal klik sana klik sini. Jamanku dulu masih manual. Gambar aku buat sketsa dengan pensil di atas kertas. Kalo ada perubahan, ya harus gambar ulang lagi. Nggak bisa dihapus. Kalo nekat ya sobek kertasnya. Belum lagi kalo gambar di kertas kalkir. Kalo kena air, gambarnya jadi keriting. Terpaksa gambar lagi juga. Pokoknya dulu kerjanya lebih parah lagi dari Daendels. Mungkin kaya jaman Firaun bikin pyramid.”
“Waduh, parah banget ya. Kok betah sih, Mas?”
“Ya belum ada yang lain, mau gimana lagi.”
Namun keberadaan Danny di Rumah Biru tidak lama. Hanya berjalan enam bulan saja, Danny pun mengundurkan diri. Dengan alasan sudah mulai sibuk skripsi, maka Danny meninggalkan aku menjadi lone ranger lagi di kantor. Aslinya sih alasan dia keluar karena nggak tahan di deadline melulu sama si Bos. Kerjaannya berat tapi honornya kecil. Ya begitulah si Boss. Prinsip ekonomi dipegang teguh sampai mengakar ke tulang sumsum.
Untungnya proyek presentasi untuk desain Pasar Tawangmangu sudah kelar sehingga aku tidak perlu menggantikan tugas Danny. Namun di balik itu semua, ada hikmah yang bisa di ambil. Inventaris kantor bertambah dengan adanya satu unit komputer. Maka radio butut pun beralih fungsi menjadi speaker active, karena untuk mendengarkan musik aku tinggal meng-klik program winamp untuk memutar file mp3 yang jumlahnya cukup banyak di hard disk komputer.
Rupanya Allah tidak menghendaki umat-Nya bekerja sendirian terus menerus. Setelah dua minggu, Pak Achmad akhirnya merekrut kembali seorang pegawai baru yang rencananya diangkat sebagai pegawai tetap layaknya diriku. Pak Achmad baru mendapatkan proyek untuk pembuatan Pasar Ikan di daerah Brondong Lamongan Jawa Timur. Kelihatannya dia mulai membutuhkan tenaga tetap untuk pekerjaan visualisasi desain.
Namanya Mardi. Dia juga kebetulan teman kuliah seangkatanku. Asli Cilacap. Dia juga mahir dalam program gambar seperti autoCAD dan 3D Max. Orangnya tinggi kurus. Meskipun badannya kecil, jangan tanya makannya. Nasi sebakul bisa ludes dilahapnya. Herannya, badannya tetap aja cuma kulit sama tulang. Nggak tahu kemana larinya nasi yang sebakul itu. Mungkin baru masuk langsung keluar lagi, jadi nggak sempat diambil sarinya. Kaya lewat jalan tol aja tuh nasi. Bebas hambatan dan langsung masuk jurang!!! Akhirnya Mardi pun menemani hari-hariku di kantor Rumah Biru.
Sebenarnya aku sih mampu membuat gambar perspektif, cuma pakai sketsa tangan bukan komputer. Tapi pernah suatu kali aku akan presentasi dan Bos menyuruhku membuat gambar perspektifnya. Eh, bukannya sketsa desain yang kubikin, malah hasil yang terlihat adalah gambar pemandangan lengkap dengan dua gunung, matahari terbit di antara kedua gunung, jalan membentang di tengah-tengahnya, dengan kiri kanannya hamparan sawah hijau membentang, ... itu sih gambaran wajib anak TK. Yang pasti hasilnya jauh dari harapan Pak Bos. Makanya, Pak Achmad kapok menyuruhku membuat gambar perspektif.
Teman baruku itu namanya Danny. Dia adik angkatanku di arsitektur. Ceritanya dia bisa kerja di sini sih hampir sama denganku. Pak Achmad meminta kepada dosenku untuk dicarikan mahasiswa yang bisa bikin gambar perspektif pakai komputer. Kenapa bukan mahasiswa yang sudah lulus yang dicari? Alasannya sih klise. Kalo masih mahasiswa honornya bisa lebih murah, syukur-syukur gratisan itung-itung kerja praktek. Penyakit pelitnya si Bos baru kumat nih. Maka direkomendasikanlah di Danny ini. Dia masih kuliah tingkat akhir. Asli dari Bandung. Anaknya sangat periang dan suka bercanda. Sejak kuliah aku sudah cukup akrab dengannya. Lagian kost dia juga bertetangga dengan “kost” aku dulu. Sama-sama di satu RT.
Masih ingatkan cerita sebelumnya, aku memang “kost” di pondokan Mentari Buana di samping kampus. Tapi cuma buat numpang makan siang, tidur siang, mandi, makan malam terus malamnya pulang ke rumah ortu. Nah, si Danny ini kost di dekat Mentari Buana. Selisih satu gang. Nama pondokannya Graha Tirta. Tiap siang kita selalu bertemu. Biasanya pas mo makan siang di warung dekat kost kita masing-masing. Di sana kita sering ngobrol sambil menyantap tempe goreng atau mie instan rebus. Biasanya ngobrol tentang kuliah, tanya tugas-tugas atau masalah cewek fakultas sebelah. Pokoknya tentang apa saja.
“Eh, Mas Isma. Inget nggak cewek ekonomi yang kemarin lewat di depan kantin pas kita makan siang nungguin kuliah?”
“O, yang cewek manis berambut agak pirang itu. Aku masih ingat orangnya. Emangnya kenapa dengannya?”
“Aku sudah tahu namanya, Mas. Bukan hanya itu. Nomer hp-nya pun aku punya.”
“Gila lo, Dan. Cepet amat. Tahu dari mana? Kamu nanya langsung ke dia? Atau kamu nanya sama teman kuliahnya? Nanya Dosennya?”
Danny hanya menggeleng.
Aku pun jadi penasaran
“Terus darimana kamu tahu?”
“Ya terang aja aku tahu. Dia kan teman SMU ku di Bandung.”
Aku pun langsung spontan menjitak kepalanya. Pletak!!!
Setelah Danny masuk membantuku menyelesaikan kerjaan proyek di Rumah Biru, otomatis Pak Achmad harus mencarikan satu unit computer untuknya. Sejak saat itu, era digital sudah menjamah tempat kerjaku. Dan saat itu pula aku mengenal program autoCAD dan 3D Max.
Wah, ribet juga ya ngerjainnya. Klik sana. Klik sini. Cukup lama aku memperhatikan di Danny membuat draft gambar 3 dimensi, aku masih bingung juga. Aku belum tahu bagaimana memulainya. Mau minta diajarin sama Danny, nggak ada waktu. Soalnya Danny sedang di deadline terus tiap harinya sama Pak Achmad. Kerja rodi begitulah kasarannya. Boro – boro ngajarin, ngobrol aja jarang – jarang. Danny sibuk terus dengan kerjaannya. Paling kita baru bisa ngobrol panjang lebar pas istirahat makan siang.
“Busyet, baru kali ini aku kerja kaya gini, Mas.”
“Emangnya pas kuliah nggak pernah lembur lo?”
“Lemburnya beda, Mas. Ini mah namanya kerja paksa jaman Daendels. Nggak ada matinya. Mana komputernya dodol pisan. Buat rendering aja nunggu berjam-jam. Belum lagi kalo Bos minta perubahan. Aku harus ngulang dari awal lagi, Mas.”
“Ya, welcome to rumahbiru. Begitulah kerja disini.”
“Emangnya dari dulu kerjanya begini, Mas?”
“Lebih parah lagi. Kamu sekarang enak ada komputer. Mo edit gambar tinggal klik sana klik sini. Jamanku dulu masih manual. Gambar aku buat sketsa dengan pensil di atas kertas. Kalo ada perubahan, ya harus gambar ulang lagi. Nggak bisa dihapus. Kalo nekat ya sobek kertasnya. Belum lagi kalo gambar di kertas kalkir. Kalo kena air, gambarnya jadi keriting. Terpaksa gambar lagi juga. Pokoknya dulu kerjanya lebih parah lagi dari Daendels. Mungkin kaya jaman Firaun bikin pyramid.”
“Waduh, parah banget ya. Kok betah sih, Mas?”
“Ya belum ada yang lain, mau gimana lagi.”
Namun keberadaan Danny di Rumah Biru tidak lama. Hanya berjalan enam bulan saja, Danny pun mengundurkan diri. Dengan alasan sudah mulai sibuk skripsi, maka Danny meninggalkan aku menjadi lone ranger lagi di kantor. Aslinya sih alasan dia keluar karena nggak tahan di deadline melulu sama si Bos. Kerjaannya berat tapi honornya kecil. Ya begitulah si Boss. Prinsip ekonomi dipegang teguh sampai mengakar ke tulang sumsum.
Untungnya proyek presentasi untuk desain Pasar Tawangmangu sudah kelar sehingga aku tidak perlu menggantikan tugas Danny. Namun di balik itu semua, ada hikmah yang bisa di ambil. Inventaris kantor bertambah dengan adanya satu unit komputer. Maka radio butut pun beralih fungsi menjadi speaker active, karena untuk mendengarkan musik aku tinggal meng-klik program winamp untuk memutar file mp3 yang jumlahnya cukup banyak di hard disk komputer.
Rupanya Allah tidak menghendaki umat-Nya bekerja sendirian terus menerus. Setelah dua minggu, Pak Achmad akhirnya merekrut kembali seorang pegawai baru yang rencananya diangkat sebagai pegawai tetap layaknya diriku. Pak Achmad baru mendapatkan proyek untuk pembuatan Pasar Ikan di daerah Brondong Lamongan Jawa Timur. Kelihatannya dia mulai membutuhkan tenaga tetap untuk pekerjaan visualisasi desain.
Namanya Mardi. Dia juga kebetulan teman kuliah seangkatanku. Asli Cilacap. Dia juga mahir dalam program gambar seperti autoCAD dan 3D Max. Orangnya tinggi kurus. Meskipun badannya kecil, jangan tanya makannya. Nasi sebakul bisa ludes dilahapnya. Herannya, badannya tetap aja cuma kulit sama tulang. Nggak tahu kemana larinya nasi yang sebakul itu. Mungkin baru masuk langsung keluar lagi, jadi nggak sempat diambil sarinya. Kaya lewat jalan tol aja tuh nasi. Bebas hambatan dan langsung masuk jurang!!! Akhirnya Mardi pun menemani hari-hariku di kantor Rumah Biru.
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.





