Jumat, 12 Juni 2009

Balada Rumah Biru, Schedule 12 - Bos versus Tikus Kantor

Hujan lebat mengguyur kota Solo sore ini. Ditambah bunyi halilintar saling bersautan disertai tiupan angin kencang yang menyamai badai Catrina di Amrik sana. Suasana kantor masih sangat sibuk. Teman-teman masih berkutat dengan tugasnya masing-masing. Prast masih mengerjakan proses rendering 3D proyek pasar Tuban. Zaini terlihat mengutak-utik angka-angka perhitungan rencana anggaran belanja bersama Hadi. Dika tangannya tak berhenti-henti menggerakkan tombol roda pada mouse untuk men -zoom in dan zoom out layar autoCAD di depannya. Kurang kerjaan banget tuh anak. Alung tampak mangut-manggut memandangi hasil rancangan gapura yang baru kelar sejak jam sembilan pagi tadi. Dan aku sendiri sibuk mencari pemain gelandang serang di game Championship Manager … hehehe.

Tanpa disadari, perutku mulai keroncongan. Didukung dengan suasana sore yang dingin menusuk tulang karena hujan di luar, perutku makin tak mau kompromi.
“Gila, laper banget nih,” seruku.

“Iya, hujan-hujan gini enaknya makan gorengan sambil minum teh anget, duh, ... serasa sorga dunia deh,” timpal Alung yang masih mangut-manggut memandangi layar monitor.

“Biasanya sore gini Mbak Inah bawain gorengan hasil masakannya, tumben nih telat,” kata Prast.

“Mungkin masih belum matang,” tambahku.

“Tuh, bunyi gorengannya saja masih terdengar. Sabar, teman-teman,” kata Hadi sok bijak.

Seperti yang Hadi bilang, suara gorengan yang berada di dalam minyak panas terdengar samar-samar masuk memenuhi ruangan studio. Mbak Inah rupanya masih memasak sesuatu di bawah sana. Semoga saja kami yang kelaparan dapat jatah juga.

“Buuuusyett, apaan tuh?” tiba-tiba Zaini menjerit kencang.

Kami semua sontak terkejut.

“Eh, ada apaan sih sampe teriak gitu,” protes Alung karena lamunannya saat sedang meresmikan gapura hasil rancangannya buyar.

“Tau tuh, tadi ada sesuatu yang lewat di kakiku,” jawab Zaini.

“Emang apa? Ular? Kadal? Kudanil?” tanya Alung masih sewot.

“Sekalian aja Raptor, Brontosaurus, T-Rex,” ejekku.

Sebuah buku langsung melayang ke arahku. Untung aku sempat berkelit hingga Prast yang jadi korban.
“Lung, apaan sih main lempar-lempar. Sakit tau!” bentak Prast.

“Eh, sory, Mas. Nggak sengaja. Tadi niatnya sih mau nimpuk Mas Isma. Sory deh kalo kamu yang kena,” jawab Alung tanpa dosa.

“Ngomong-ngomong, Zan, apaan sih yang lewat dikakimu?” tanya Hadi.

“Tau! Tikus kali,” jawab Zaini.

Akhir-akhir ini memang banyak sekali tikus yang berkeliaran di dalam studio. Hewan pengerat itu sering kali menggigit kabel-kabel yang berserakan di bawah dengan cueknya. Nggak takut kesetrum kali ya.....

Pernah suatu hari, aku hendak mencetak dokumen yang hendak di bawa Bos ke tempat meeting dengan kliennya dari Jakarta. Saat dokumen telah siap cetak, tiba-tiba mesin printer mati mendadak. Aku langsung memeriksanya segera karena dokumen ini telah ditunggu Bos di bawah. Hampir seperempat jam aku cek, printer masih nggak bisa menyala. Keringat dingin langsung mengucur deras di keningku.

“Isma, dokumennya sudah kelar belum? Buruan, sudah jam 2 siang nih!” teriak Bos tiba-tiba dari lantai bawah.

“Eh...sebentar lagi, Pak. Sekarang baru proses mencetak!” jawabku segera.
Padahal satu lembar pun belum dicetak dengan suksesnya. Makin grogilah aku.

“Kenapa printernya, Is?” tanya Prast.

“Tau tuh, tiba-tiba mati.”

“Coba cek aja kabel powernya di bawah sana, siapa tahu nggak pas nancepnya.”

Segera kuturuti saran Prast. Setelah kuruntut kabel yang berserakan tak teratur, akhirnya kutemukan penyebabnya. Kabel power yang berwarna hitam legam tampak terkoyak hingga hampir putus. Perbuatan siapa lagi kalo bukan tikus-tikus sialan itu penyebabnya. Gimana nih dokumennya? Aku pun mulai panik.

“Sialan, kabelnya putus digigit tikus,” kataku geram.

“Waduh, gimana donk dokumennya? Bos udah nungguin tuh di bawah.”

Setelah beberapa menit, Bos tampaknya sudah nggak sabar menunggu.
Teriakannya kembali bergema sampe ke ruang studio.
“Isma, lama banget sih nyetaknya. Cepeetaaaan!!!”

“ Eh,..... iya, Pak. Ini udah kelar. Saya segera datang.”
Nggak tahu apa kalo printernya ngadat.

Segera aku turun ke bawah sambil membawa beberapa lembar dokumen yang hendak di bawa Bos. Sampe di depan Pak Achmad, sambil terengah-engah segera kuserahkan dokumen yang dimintanya.

“ Ini, Pak. Dokumennya.”

Bosku segera menerimanya dan seketika dia terperanjak.
“Lho, apaan ini. Kok dokumennya penuh coretan di sana-sini?”

“O.... itu bukan corat-coret, Pak. Memangnya font yang saya pilih modelnya begitu. Nama font-nya Hawaian Grafity, Pak,” jawabku sekenanya.
Padahal tadi dokumennya kusalin pake tulisan tangan terus aku fotokopi. Jadi arsitek memang harus kreatif. Hehehe ...

Kembali ke soal tikus, binatang satu ini memang menyebalkan. Mereka seolah tidak takut dengan keberadaan kami di sini. Bahkan kesannya malah menantang. Mereka sangat cuek. Diusir malah balik ngusir, dipukul pake penggaris, eh... malah nangkis. Busyet, tikusnya ban hitam kali...

Pernah sekali ada tikus yang tiba-tiba nakring di atas keyboard punya Alung. Alung kaget setengah mati sampe mau terjengkang dari kursi. Tikus itu malah berjalan ke sana kemari di atas tuts-tuts keyboard. Seketika Alung melemparinya dengan penggaris. Tikus itu pun segera ambil langkah seribu menghindar timpukan Alung.

Namun ketika Alung memperhatikan MS Word di monitornya, tampak deretan tulisan dengan huruf kapital font arial 14, di - bold pula yang berbunyi. “HEY, GENDUT, KEJARLAH DAKU, KAN KUGIGIT PANTATMU.” Hehehe. Pintar ngetik juga tikus satu itu ....

Setelah celingukan kesana kemari, kami tidak menemukan tikus yang merayap di kaki Zaini. Mungkin sudah pergi dipanggil emaknya mo mandi sore kali. Akhirnya kami kembali berkutat dengan pekerjaan kami masing-masing. Aku kembali sibuk memainkan Championship Manager. Kok malah main game sih padahal yang lain kerja dengan benar. Biarin aja, kan kerjaanku udah kelar tinggal nungguin proses cetak aja.

Tak lama kemudian saat-saat yang dinantikan tiba. Terdengar langkah kaki menaiki tangga menuju ke studio. Aroma gorengan sudah mulai tercium. Kami blingsatan segera beranjak dari kursi masing-masing seperti layaknya ibu-ibu hendak berebut jatah beras untuk orang miskin. Segitunya …

Mbak Inah pun muncul sambil membawakan kami senampan pisang goreng hangat. Asap masih terlihat mengepul dari makanan itu. Air liur pun kami segera menetes membasahi lantai studio. Ih...jorok abis.

“Mas-mas, ini pisang gorengnya. Silakan dimakan ya,” kata Mbak Inah genit.

Tanpa dikomando, kami langsung mengambil satu-persatu pisang goreng di atas nampan sampe lupa bahwa pisang gorengnya masih panas. Maklum baru kelar dari penggorengan. Karuan aja kami semua berjingkrak-jingkrak sambil mengibas-ibaskan tangan karena kepanasan. Dasar. Habis kelaparan banget nih. Mbak Inah hanya tersenyum kecil melihat tingkah kami.

Hanya dalam beberapa menit, pisang goreng itu sudah ludes. Hanya menyisakan satu potong di atas nampan. Karena kami sudah makan masing-masing tiga potong, gila.....lapar apa rakus? Melihat masih ada sisa di atas nampan, kami saling tunggu. Semuanya pada jaim nggak mau mengambil pisang goreng itu. Takut nanti dikatain rakuslah, makannya banyak lah, dll. Maka pisang itu masih tergolek dengan manisnya sambil melambai-lambaikan tangannya dengan gerakan slowmotion.

Tiba-tiba, tak disangka-sangka, tikus buronan kami keluar dari persembunyiannya dan langsung menggigit pisang goreng tadi. Kami spontan berteriak. Tapi sebelum sempat mengusir tikus kurang ajar itu, dari tangga terdengar langkah kaki disertai bunyi dehem yang khas. Wah, gawat. Pak Bos datang.

Kami segera menempati posisi masing-masing sambil sibuk cari-cari kerjaan. Karena saking tergesa-gesa, aku menginjak kaki Alung yang segera mengirimiku sumpah serapah hapalannya. Jadi inget sama temennya Tintin, siapa itu namanya? … ah aku lupa!

Sesampenya di ruang studio, mendadak Pak Achmad melirik pisang goreng yang tinggal sebiji di atas nampan.
“Lho, ini masih sisa satu kok nggak ada yang makan?”

Glek ... Bos mengambil pisang goreng itu sambil memandang ke arah kami.
“Ada yang mau?”

Kami semua menggelengkan kepala. Alung pun sampe menangis haru.

“Ya sudah, aku makan saja ya.”

Hueeek!!!

0 comments:

Posting Komentar