Hari kelihatannya mulai mendung. Awan gelap tampak menyelimuti kota Solo di siang ini. Mungkin sebentar lagi hujan pun akan segera turun. Aku tidak tahu kemana Viola akan membawaku pergi. Kalau kutanya pasti dia menjawab ”Ada aja!” sambil memperlihatkan senyumannya yang manis. Aku pun hanya bisa pasrah mengikuti kehendaknya. Seperti biasa, sepanjang perjalanan kami saling ngobrol dengan alunan lagu dari perangkat audio mobilnya yang selalu menyertai kami berdua.
”Is, kamu lapar lagi nggak?”
”Ya belum, tadi aku kan barusan makan banyak di rumahmu.”
”Kalau gitu temenin aku makan ya.”
”Mau makan dimana?”
”Aku pengin makan pizza nih.”
”Ya udah, aku minum aja.”
Viola pun mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah restoran pizza yang cukup terkenal di kota Solo. Restoran itu tampak sepi, mungkin karena sudah melewati jam makan siang. Setelah mobil Viola parkir di depan bangunan restoran, kami berdua turun dari mobil dan segera masuk ke dalam restoran, menuju ke arah meja yang terletak di barisan paling pinggir. Kami berdua duduk di kursi berbentuk sofa, dan tak lama kemudian seorang cewek pelayan restoran datang menghampiri kami.
”Selamat siang Mas, Mbak. Mau pesan apa?”
Viola pun segera memesan pizza kesukaannya.
”Saya pesan pizza isi daging dicampur sama keju ukuran sedang, minumnya orange juice aja. Kamu minum apa, Is?”
”Aku minum milkshake aja.”
”Jadi pesannya pizza ukuran sedang satu, orange juice satu, milkshake satu.” Pelayan restoran itu mengulangi pesanan kami. ”Mau tambah yang lain?”
”Sudah, itu saja, Mbak.”
”Baik, mohon ditunggu sebentar."
Pelayan restoran itu pun segera berlalu dari hadapan kami.
”Kamu sering makan di sini, Vi?”
”Lumayan sering juga. Habis aku sangat suka sama pizza.”
”Nggak takut gemuk?”
”Biarin, yang penting aku kan tetap cantik.” Jawab Viola centil.
”Memang, Vi. Kamu tetap cantik.” Tanpa kusadari aku berani mengatakan hal itu kepada seorang cewek yang ada di depanku sekarang ini. Akibatnya wajah Viola tampak tersipu-sipu. Aku pun jadi salah tingkah sendiri.
”Apa benar, Is? Yang barusan kamu katakan?”
”Mmmh, bener kok, aku nggak bohong, Vi. Kamu memang cantik.”
”Makasih ya, Is.”
Kami saling memandang. Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang cantik, menatap kedua bola matanya yang indah serta menatap senyumannya yang menawan. Viola pun tertunduk malu, menghindar dari tatapanku. Kami pun terdiam. Hingga akhirnya pelayan restoran datang membawakan pesanan kami.
”Ini pesanannya. Silahkan.”
”Makasih, Mbak.”
Pelayan restoran itu kembali berlalu.
”Udah, jangan melihatku seperti itu, Is. Aku kan jadi malu.”
”Ups, sorry, Vi.”
”Ayo, cobain nih pizzanya, enak lho.”
”Aku udah kenyang, Vi.”
”Ayolah, satu potong aja.”
”OK, aku coba.”
”Nah, gitu donk.”
Kami pun tengah asyik menyantap pizza serta minuman yang tersedia di depan kami.
”Gimana, Is? Enak nggak?”
”Enak juga, aku jarang sekali makan pizza.”
”Makanya sekali-kali kamu kemari. Biar bisa nyobain rasa yang lainnya.”
”Wah, bisa bangkrut kalau aku terus-terusan makan di sini. Kecuali kalau kamu yang traktir sih, aku pasti nggak keberatan.”
”Yee, maunya yang gratis terus.”
”Bercanda kok, Vi. O ya, bagaimana acaramu ke dokter kemarin? Kamu sebenarnya sakit apa sih?”
”Aku baik-baik aja kok. Jangan khawatir, kemarin aku cuma pusing-pusing dikit.”
”Manja kamu. Pusing aja sampai ke dokter segala.”
”Biarin.”
Viola pun kembali tersenyum manja. Kelihatannya dia gembira sekali hari ini.
”Vi, kamu berdua aja sama Mas Deny di rumah? Tadi aku nggak melihat Ayah dan Ibumu. Memangnya mereka baru pergi kemana?”
Tiba-tiba Viola terdiam sejenak.
”Orang tuaku sudah lama meninggal karena kecelakaan, Is. Kejadiannya waktu aku masih SMU.” Raut muka Viola seketika terlihat sedih dan matanya mulai berkaca-kaca.
”Ups, sorry, Vi. Aku nggak tahu. Sorry, kalau kata-kataku tadi membuatmu sedih.”
”Nggak papa, Is. Aku sudah terbiasa kok. Pada awalnya sih aku nggak bisa menerima kenyataan itu tapi aku mencoba untuk tetap tegar setelah kepergian mereka berdua. Aku nggak ingin larut terlalu lama dalam kesedihan. Life must go on, Is.”
“Aku kagum sama kamu, Vi. Aku mungkin nggak bisa ngebayangin kalau aku di posisi kamu. Aku sangat menyayangi kedua ortuku. Sekali lagi, maafin aku ya.”
”Sudahlah, kita ganti topik yang lain aja. Biar nggak tambah sedih.”
”Baiklah kalau begitu, sebenarnya kita mau kemana sih?”
”Dari tadi tanyanya itu melulu sih, penasaran ya?”
”Ngapain sih pake rahasia-rahasia segala?”
”Biar surprise.”
“Kalau mau kamu begitu, aku sih nurut aja.”
“Kamu udah selesai makannya, Is? Yuk kita pergi, nanti keburu hujan.”
Setelah membayar ke kasir, kami berdua pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke tempat dimana Viola ingin mengajakku kesana.
“O ya, Is! Kamu bisa setir mobil nggak?”
“Kalau bisa, dari kemarin aku pasti sudah setir mobil kamu.”
”Kapan-kapan aku ajarin mau?”
”Boleh, gratis kan?”
”Yee, bayar donk.”
”Berapa?”
”Bayarnya nggak pake duit.”
“Terus pake apaan?”
“Kamu.”
“Aku? Emangnya ada apa denganku?”
”Kamu harus mau menemaniku kalau aku mengajakmu pergi! Gimana, sanggup?”
”Mmmh, gimana ya? Tapi kurasa itu cukup adil.”
“Deal or No Deal?”
“OK, deal.” Kami pun saling mengaitkan jari kelingking masing-masing.
Mobil Viola kembali meluncur menyusuri jalan protokol yang membelah Kota Solo. Terlihat jalanan cukup ramai. Banyak masyarakat Solo yang sedang pergi keluar siang ini. Mungkin karena hari ini hari libur, kebanyakan mereka habiskan waktunya pergi ke tempat-tempat hiburan atau pusat-pusat perbelanjaan yang banyak bertebaran di seluruh Kota Solo. Alunan musik kembali melantun, mengiringi perjalanan kami berdua.
“Ngomong-ngomong aku boleh nanya sesuatu nggak ke kamu?”
“Boleh, emang mau nanya apaan?”
“Aku mau nanya, seberapa penting sih arti grup band kamu hingga kalian berlima sampai bela-belain mau bergabung sama kakakku?”
“Kalau ditanya seberapa pentingnya, band ini mempunyai arti yang sangat penting dalam hidupku. Kamu tahu, Vi? Dari kecil aku sangat menyukai musik. Aku pertama kali mengenal musik ketika bapakku sering mengajakku untuk mendengarkan atau menyanyikan lagu-lagu kesayangan koleksinya yang kebanyakan dari grup Koes Plus. Mulai saat itu, musik sangat berperan penting dalam hidupku. Dalam musik, kadang-kadang aku bisa menemukan siapa diriku yang sesungguhnya. Dan mungkin suatu saat nanti, aku ingin bisa seperti Koes Plus yang menjadi legenda hingga semua orang nanti akan terus mengenangku walaupun aku sudah tidak bisa bermain musik lagi. Bisa dibilang inilah impianku sejak dulu, Vi. Kalau aku kuliah di arsitektur, bukannya di sekolah musik, kuanggap itu sebagai baktiku kepada orang tua yang menginginkanku untuk menjalani pendidikan formal dan lulus sebagai sarjana. Yang penting selama masih ada unsur seninya, nggak menjadi kendala bagiku menjalaninya karena aku nggak terlalu jauh menyimpang dari siapa sesungguhnya aku.”
”Wow, ternyata kamu sangat serius ya dalam bermusik.”
”Tekadku sudah bulat, Vi. Aku nggak mau menjalaninya setengah hati.”
”Wah, Is. Rupanya kita udah sampe nih.”
”Lho, ini kan taman kota yang namanya Taman Sriwedari? Ngapain kita di sini?”
”Sebentar lagi kamu juga akan tahu.”
Kami pun segera memasuki sebuah gerbang yang berdiri megah terbuat batu. Taman ini terletak tepat di tengah-tengah kota Solo. Selain berfungsi sebagai unsur keindahan, taman ini juga berfungsi sebagai paru-paru kota yang dimana sudah jarang sekali ditemui di kota-kota besar. Selain katanya sebagai tempat pacaran juga. Viola mengarahkan mobilnya menyusuri jalan-jalan setapak dari bebatuan yang membelah taman kota ini menjadi dua bagian. Di sebelah kiri kami terlihat sebuah telaga buatan yang cukup besar dengan air yang jernih serta ditumbuhi oleh bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Sebuah pulau kecil yang terletak di tengah-tengah telaga dengan dilengkapi sebuah gazebo yang terbuat dari kayu terlihat dari pinggiran telaga. Sungguh indah pemandangan di sini. Kami mulai merasa nyaman di sini setelah berjam-jam yang lalu larut dan tenggelam dalam kesumpekan kota. Viola akhirnya memarkirkan mobilnya di pinggiran telaga.
”Yuk turun, Is. Ada yang ingin kulihatkan padamu.”
”Aku nggak nyangka kalau taman kota ini cukup indah juga pemandangannya. Padahal aku sudah lama kuliah di sini, tapi sekalipun aku belum pernah masuk ke taman ini.”
”Makanya sekarang aku ajak kamu ke sini, yuk.”
Ternyata Viola mengajakku menyusuri sebuah jembatan kayu yang menghubungkannya dengan pulau yang berada di tengah telaga. Tanpa kami sadari, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Rupanya hujan akan segera turun. Kami pun mempercepat langkah menuju ke arah gazebo kayu yang berada di tengah pulau. Setibanya di dalam gazebo, hujan pun turun dengan lebatnya. Angin dingin mulai berhembus dengan kencangnya menerpa kami berdua. Kami berdua pun duduk menikmati pemandangan telaga yang telah diguyur oleh derasnya air hujan. Riak air hujan yang jatuh ke telaga terasa indah dipandang. Suara gemericiknya menentramkan jiwa. Viola kelihatannya mulai menggigil kedinginan. Segera kulepaskan kemeja flannel yang kukenakan sehingga aku hanya menyisakan kaos hitam membalut tubuhku. Kupakaikan kemejaku ke tubuh Viola untuk memberi kehangatan padanya. Viola memandangku dengan senyuman khasnya.
”Makasih, Is. Kamu baik banget.”
”Aku nggak ingin kamu kedinginan, nanti kalau sakit aku bisa dimarahin sama Mas Deny.”
”Sekali lagi, makasih ya, Is.”
”O ya, katanya ada sesuatu yang ingin kamu tunjukin kepadaku. Apa itu?”
”Is, kamu lihat pohon mangga yang tumbuh di pinggir pulau itu?”
”Yang nggak begitu tinggi itu?”
”That’s right.”
”Emang kenapa dengan pohon itu?”
”Itulah kenanganku yang terakhir bersama kedua orang tuaku, Is. Beberapa hari sebelum mereka pergi, aku, Mas Deny dan kedua orang tuaku pergi ke taman ini. Mas Deny dan Ayah sangat hobi memancing ikan di telaga ini. Ketika kami berempat mengunjungi pulau ini, aku dan Ibu sengaja menanam bibit pohon mangga yang kami beli di dekat gerbang masuk tadi. Kami menanamnya di situ dan sekarang seperti yang kau lihat, pohon itu sudah tumbuh dengan baik. Kami sering duduk di dekat pohon mangga itu memandangi telaga yang jernih sambil bercanda dan menyantap makanan yang kami bawa dari rumah.”
”Apa hal itu nggak membuatmu menjadi sedih, Vi?”
”Aku hanya sesekali kemari kalau aku kangen sekali dengan mereka. Kadang-kadang aku merasa kalau mereka masih bersamaku. Aku sangat merindukan mereka, Is.”
Air mata mulai membasahi wajah cantik Viola. Dia tak kuasa untuk membendung emosinya sehingga Viola seketika menangis terisak-isak dengan tangan menutupi mulutnya. Aku jadi terharu melihatnya. Pemandangan ini sungguh membuat ngilu hatiku. Sesungguhnya dibalik ketegaranku, aku ini seorang yang rapuh. Aku nggak tahan melihat air mata yang mengalir. Itulah salah satunya mengapa aku sangat menyukai musik. Aku ingin membahagiakan semua orang dengan musik sehingga tak akan ada lagi air mata yang mengalir kecuali hanya air mata kebahagiaan. Karena merasa iba, aku pun segera meraih saputangan yang ada di saku celanaku dan kuberikan kepada Viola. Viola memandangku dengan senyumannya. Matanya masih berkaca-kaca. Air matanya masih berlinang di pipinya. Seiring air hujan yang makin lama makin deras, suara tangis Viola pun larut di dalamnya. Tenggelam di antara titik-titik air hujan yang berjatuhan, tenggelam di antara rindangnya pohon-pohon hijau yang terbentang...
Bersambung...
skip to main |
skip to sidebar



Ada suatu tempat...
Dimana ku sering menunggu
Dimana ku sering termangu
Tentang semua yang harus kujalani
Tuk mengejar semua mimpi
Yang memang jadi tujuan hidupku
Selama ini....
Di tempat itu,
Semua keluh dan kesahku
Semua riang dan candaku
Berbaur menjadi satu
Bersama sobat-sobat terkasih
Hingga terjalin sebuah cerita
Cerita indah kisahku
Waktu dulu...



Banyak mulut cerita tentangmu
Banyak mata kagumi elokmu
Sejuta pesonamu decakkan mereka
Bagai untaian permata tak ternilai
Budaya negeri bertebaran memikat
Tergerai semerbak penuhi ku berpijak
Harum mewangi laksana melati
Tak pernah terganti.....
Tak bisa terbeli.....
Betapa indah dirimu
Sungguh epik semua kisahmu
Terhampar dari puncak nan abadi
Terbentang hingga ke pantai misteri
Ingin lagi kusinggahimu
Nikmati lagi semua keramahanmu
Biar tertanam sampai ke khayalan
Kamis, 29 Januari 2009
Bag4 - Perjumpaan Kembali 01 ( Chap. Lagu untuk Viola )
Di hari Minggu yang agak mendung, kami berlima bertolak menuju ke studio temannya Danny yang terletak di daerah Solo Baru. Hari ini kami sudah janjian akan ke sana jam sepuluh pagi. Padahal kalau hari Minggu, aku dan Topan jam segini biasanya masih bermalas-malasan di kamar. Tapi karena jam delapan tadi si Danny sudah menjemput, terpaksa kami harus bangun pagi-pagi sekali.
Setelah menjemput Manto dan Arif, maka kami segera meluncur ke arah Solo Baru. Sepanjang perjalanan, anak-anak selalu bercanda untuk mengurangi kejenuhan. Baru pertama kali ini kami berlima bisa pergi bersama. Dan aku merasa, ada suasana dan semangat baru yang sedang tumbuh di antara kami. Semangat untuk bersama-sama menggapai mimpi. Meskipun ini baru awal dari sebuah perjalanan. Kuyakin nanti semua akan berjalan seperti apa yang telah kami impikan. Semoga...
“Eh, Is. Kok bengong? Baru ngelamunin apaan?” Tiba-tiba Arif menegurku.
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Ah, bohong loe. Paling-paling lagi ngelamunin cewek yang semalem nganterin loe kan? Eh, ngomong-ngomong siapa sih namanya?” Topan ikutan nimbrung.
“Lho kok loe tahu, Pan?”
“Semalem kan gue liat dari balkon pas loe pulang.”
“Dasar tukang intip loe.”
“Siapa sih dia?”
“Cuman temen aja. Kenalnya juga di StarMusikindo.”
Aku kembali teringat akan pertemuanku dengan Viola. Memang dia teman yang ramah. Dan entah kenapa ketika ngobrol dengannya, ada sesuatu yang muncul di dalam tubuhku. Sebuah perasaaan yang membuatku menjadi tentram dan damai. Atau inikah yang namanya cinta? Padahal aku baru bertemu dengannya kemarin. Masak sih aku bisa jatuh cinta kepada Viola? Ah, mana mungkin. Sejujurnya aku belum pernah merasakan jatuh cinta, selain kepada Bapak, Ibu dan kedua adikku. Aku jadi bingung. Aku masih belum bisa menemukan jawaban yang sebenarnya.
“Ngomong-ngomong kemarin lamaran kerja loe diterima nggak?” Tiba-tiba Danny membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya…, Alhamdulillah, gue diterima. Besok gue baru mulai kerja.”
“Wah selamat, Is. Jangan lupa, ditunggu syukurannya aja.”
”Thanks, Dan. O ya, studionya masih jauh?”
”Sebentar lagi sampai. Paling lama seperempat jam lagi.”
Kami pun telah memasuki kawasan Solo Baru. Kawasan ini merupakan kawasan elite di selatan kota Solo. Kulihat banyak pembangunan di sana-sini. Dari perumahanan mewah, pusat perbelanjaan, ruko, showroom, gedung bioskop hingga gelanggang olahraga pun ada. Kawasan ini memang sedang berkembang dengan pesatnya.
”Is, udah mau sampe nih. Kita tinggal belok di tikungan depan, nanti ada papan nama warna kuning yang besar di kiri jalan.” Kata Danny sambil menunjukkan tangannya ke arah tikungan yang dimaksud.
Seperti yang Danny bilang, setelah berbelok melewati tikungan, tak lama kemudian kami melihat sebuah papan nama yang cukup besar berdiri kokoh di pinggir jalan. Dengan dominan warna kuning menyala, desainnya juga cukup unik, lain dari papan nama kebanyakan. Terdapat tulisan ”YELLOWBEAT” berwarna hitam yang terletak agak di pinggir papan nama. Danny segera memarkirkan mobilnya di sisi jalan yang tak jauh dari papan nama tersebut.
”Ayo buruan turun.” Kata Danny sambil membuka pintu mobil di sampingnya.
”Disini ya studionya?” Manto tiba-tiba meregangkan tubuhnya. Rupanya nih anak dari tadi ketiduran di jok belakang. Pantes saja nggak kedengaran suaranya.
Kami berlima pun segera bergegas turun dan berjalan menuju ke studio. Danny berjalan paling depan sambil memegang handphone. Mungkin dia akan menghubungi temannya yang punya studio, memberitahu kalau kami sudah ada di depan. Tak lama kemudian dari dalam rumah yang bergaya minimalis modern, keluar seorang pria setengah baya dari pintu garasi. Rambutnya panjang tergerai rapi dengan perawakan yang agak gemuk. Dia segera menyambut kami dengan ramah sambil tersenyum.
”Teman-teman. Kenalin. Ini Mas Deny, yang punya studio ini.” Danny pun memperkenalkannya kepada kami.
”Halo, selamat datang. Kenalkan, saya Deny. Bagaimana perjalanan kalian?”
Kami pun segera memperkenalkan diri. Mas Deny ternyata orangnya sangat terbuka dan humoris. Dia selalu memberi joke-joke segar di sela-sela obrolan sehingga kami pun segera akrab dengannya. Setelah puas bercengkrama, Mas Deny pun mempersilahkan kami berlima untuk segera melihat studionya. Setelah berjalan melewati garasi, kami pun tiba di sebuah halaman yang cukup luas dan asri. Saat melewati garasi tadi, aku sempat melihat sebuah mobil yang sepertinya aku pernah melihatnya. Sebuah mobil sedan warna biru metalik. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.
” Eh, kok bengong, ayo masuk saja jangan malu-malu. Apa ada yang sedang kamu pikiran, Is?” Mas Deny segera membimbingku.
”Nggak ada apa-apa kok, Mas. O ya, di mana studionya?”
“Sabar, sebentar lagi juga kelihatan.”
Dan benar juga perkataan Mas Deny. Setelah melewati halaman yang cukup luas itu, kami segera melihat sebuah paviliun yang letaknya agak di belakang dari rumah induk. Paviliun itulah yang oleh Mas Deny difungsikan sebagai studio. Anak-anak tampak terkagum-kagum termasuk aku. Selain bergaya arsitektur minimalis serasi dengan rumah induk, penataan ruangan di studio ini juga terlihat cukup nyaman. Pertama memasuki paviliun ini, kami disambut oleh teras yang bermaterial batu alam yang langsung menghadap ke arah halaman yang rindang dengan dilengkapi seperangkat kursi dan meja bergaya minimalis pula. Sebuah pintu kayu yang cukup besar yang difungsikan sebagai akses menuju ke dalam studio berdiri kokoh di sudut teras.
”Mari, silahkan duduk. Mau minum apa?” Mas Deny segera mempersilahkan kami untuk duduk.
”Ah, nggak usah repot-repot, Mas.” Aku pun berbasa-basi.
”Nggak apa-apa, kok.”
” Begini, Mas, Kita langsung aja ya ngomongnya. Kami ini kan baru bergabung membentuk sebuah band, namanya Coffeemilk. Sebagai band baru, kami belum mempunyai tempat latihan yang bisa kami pakai secara rutin, mungkin seminggu sekali atau dua kali. Kalau Mas Deny mengijinkan, bisakah kami latihan di sini dan bagaimana prosedurnya?”
”Oh begitu. Kalau prosedurnya sih nggak jauh beda sama studio-studio yang lain. Kalau ingin latihan disini seperti biasa untuk yang reguler ongkosnya per jamnya tiga puluh ribu rupiah. Tapi kalau Mas melihat ada sebuah grup band yang dirasa berpotensi atau berbakat, mungkin Mas bisa kasih gratis atau studio ini bisa dijadikan basecamp asal lolos seleksi dan mau ikut bergabung sama manajemen di sini.”
”Jadi Mas Deny juga sering sebagai manajer band?” Tanya Topan.
Mas Deny pun mengangguk. ”Sudah ada beberapa band yang alumni dari sini, kebanyakan mereka sekarang sudah hijrah ke Ibukota.”
Serasa ada sebuah angin segar yang berhembus menerpaku mendengar perkataan Mas Deny. Tanpa pikir panjang, aku pun segera mengajukan sebuah tawaran kepadanya.
”Kalau begitu, gimana kalau Mas Deny sekalian menjadi manajer kami?”
Aku segera memandang ke arah anak-anak yang lain. Keliatannya anak-anak pun setuju akan usulanku barusan. Mas Deny terdiam sejenak.
”O ya, apa nama bandnya tadi?”
”Coffeemilk, Mas.”
”Cukup unik. Mmmh, mungkin Mas bisa jadi manajer kalian tapi kalian harus melalui proses audisi dulu. Gimana?”
”Nggak masalah.”
Kami pun segera beranjak memasuki studio. Studionya Mas Deny ternyata cukup lengkap fasilitasnya. Selain ruang studionya sendiri, terdapat pula ruangan kantor, ruang recording, ruang mixing hingga ruang editing. Mungkin disini Mas Deny bisa sekalian membikin sebuah demo bagi grup band baru. Studionya sendiri juga cukup lengkap alatnya. Ada seperangkat alat musik yang masih terawat dengan baik. Ada tiga buah gitar elektrik lengkap dengan aksesorisnya, dua buah gitar akustik, dua buah bass elektrik, satu buah keyboard, satu set drum serta perangkat audio dan soundeffect yang sangat lengkap. Kami pun kembali terkagum-kagum. Ruangan studio ini kira-kira berukuran 5x7 meter persegi dengan dinding yang dilapisi oleh lapisan peredam suara serta terdapat beberapa cermin berukuran besar di salah satu sisinya. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna abu-abu. Di dalam studio terasa sangat dingin karena memakai air conditioner. Setelah kami merasa puas melihat-lihat, akhirnya acara audisi pun segera dimulai. Kami segera diuji oleh Mas Deny satu persatu. Dimulai terlebih dahulu dari Topan sebagai vokalis, dilanjutkan aku dan Manto sebagai gitaris, terus Danny di posisi bassist dan yang terakhir Arif sebagai drummer. Mas Deny tampak serius sekali melihat kami menunjukkan skill, performa serta kekompakan kami dalam bermusik hingga akhirnya Mas Deny terlihat tersenyum puas. Setelah hampir dua jam lamanya kami mengikuti proses audisi, Mas Deny mengacungkan jempol ke arah kami.
”Not bad, sebagai grup baru, kalian cukup punya talenta.”
”Jadi bagaimana, Mas? Apa kami diterima di sini?”
“Mmmh, kalian memang berbakat dan musik kalian cukup unik, mungkin dengan sentuhan sedikit di sana-sini, kalian bisa jadi grup band yang bagus, jadi Mas cuma bisa kasih satu komentar, welcome to Yellowbeat.”
Kami pun sontak kegirangan. Kami nggak menyangka kalau Mas Deny bisa menerima kami dalam manajemennya. Maka mulai detik ini, Mas Deny telah resmi menjadi manajer kami. Dan untuk merayakannya, Mas Deny mengajak kami untuk lunch dengannya, dan kami pun tentu tidak bisa menolak ajakannya terutama Topan si tukang makan, wajahnya segera berseri-seri mendengar kata makanan. Acara lunch berlangsung di teras paviliun. Di bawah rindangnya pepohonan, kami menikmati semua makanan dan minuman yang tersaji dihadapan kami. Mungkin karena kecapekan karena proses audisi tadi, selera makan kami menjadi gila-gilaan. Tapi Mas Deny tidak marah atas sikap kami. Justru dia terus melontarkan joke-joke segarnya kembali sesekali menyerempet yang berbau porno sedikit untuk memeriahkan suasana.
Tiba-tiba di tengah acara lunch sedang berlangsung, terdengar sebuah suara memanggil Mas Deny dari dalam rumah.
”Mas Deny, udah selesai belum acaranya? Jadi nggak kita keluar?”
Aku terkejut. Suara itu terasa sangat tidak asing bagiku. Dan ketika kutolehkan wajahku, kulihat seorang cewek sedang berdiri di bawah pergola yang menghubungkan rumah induk dengan paviliun. Ternyata...
”Viola?”
”Lho, Isma? Ngapain kamu disini?” Viola pun terkejut dan menghampiriku.
”Kalian sudah saling kenal ya?” Mas Deny terheran-heran.
”Kemarin aku ketemu Isma di StarMusikindo. Isma kan pegawai baru di sana.”
”Pantas wawasan musik kamu cukup bagus, Is. Oh ya, sampai lupa! Topan, Arif, Danny, Manto, kenalkan, ini Viola, adikku.”
Rupanya Viola adiknya Mas Deny. Sungguh ini terasa diluar dugaanku. Apakah ini sebuah kebetulan saja atau ada sebuah maksud yang telah ditakdirkan dalam perjalananku sehingga aku bisa bertemu dengan Viola kembali?
”O, jadi kemaren Viola ya yang nganterin loe, Is.” Topan pun mulai menggodaku.
Viola pun tampak tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah karena malu. Tapi justru itu yang membuatnya tampak terlihat lebih cantik. Tiba-tiba perasaan itu kembali muncul dalam diriku. Aku pun mencoba untuk tenang dan tidak terbawa suasana.
”Udah, Pan. Tuh, Viola jadi merah mukanya.” Arif ikutan menggoda.
”Apa-apaan sih kalian. Kalau adikku sampai nangis, awas ya! Mas bisa batalin perjanjian kita!” Mas Deny ikutan bercanda.
”Sorry deh, Mas. Sorry ya Viola.” Anak-anak pun serentak minta maaf.
”Nggak papa kok. O ya, Mas Deny, nanti aku nggak jadi pergi sama Mas. Aku sama Isma aja. Is, kamu nggak ada acara kan setelah ini?”
Aku pun berpaling ke arah anak-anak yang lain tapi mereka malah lebih menggodaku.
”Emang kamu mau ke mana sih?”
”Pokoknya kamu ikut aja dulu, gimana?”
”Gimana nih, Mas?” Aku mencoba meminta ijin kepada Mas Deny.
”Urusan kita sudah selesai hari ini. Nanti masalah schedule latihan serta yang lainnya, kita bahas lain hari. Kamu bisa pergi sama Viola kalau kamu nggak keberatan.”
”Iya, Is. Tenang aja. Kita nggak papa kok. Demi teman. Nanti anak-anak biar gue yang anterin pulang satu-satu.” Danny juga mengiyakan.
”Thanks, guys.”
Setelah menjemput Manto dan Arif, maka kami segera meluncur ke arah Solo Baru. Sepanjang perjalanan, anak-anak selalu bercanda untuk mengurangi kejenuhan. Baru pertama kali ini kami berlima bisa pergi bersama. Dan aku merasa, ada suasana dan semangat baru yang sedang tumbuh di antara kami. Semangat untuk bersama-sama menggapai mimpi. Meskipun ini baru awal dari sebuah perjalanan. Kuyakin nanti semua akan berjalan seperti apa yang telah kami impikan. Semoga...
“Eh, Is. Kok bengong? Baru ngelamunin apaan?” Tiba-tiba Arif menegurku.
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Ah, bohong loe. Paling-paling lagi ngelamunin cewek yang semalem nganterin loe kan? Eh, ngomong-ngomong siapa sih namanya?” Topan ikutan nimbrung.
“Lho kok loe tahu, Pan?”
“Semalem kan gue liat dari balkon pas loe pulang.”
“Dasar tukang intip loe.”
“Siapa sih dia?”
“Cuman temen aja. Kenalnya juga di StarMusikindo.”
Aku kembali teringat akan pertemuanku dengan Viola. Memang dia teman yang ramah. Dan entah kenapa ketika ngobrol dengannya, ada sesuatu yang muncul di dalam tubuhku. Sebuah perasaaan yang membuatku menjadi tentram dan damai. Atau inikah yang namanya cinta? Padahal aku baru bertemu dengannya kemarin. Masak sih aku bisa jatuh cinta kepada Viola? Ah, mana mungkin. Sejujurnya aku belum pernah merasakan jatuh cinta, selain kepada Bapak, Ibu dan kedua adikku. Aku jadi bingung. Aku masih belum bisa menemukan jawaban yang sebenarnya.
“Ngomong-ngomong kemarin lamaran kerja loe diterima nggak?” Tiba-tiba Danny membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya…, Alhamdulillah, gue diterima. Besok gue baru mulai kerja.”
“Wah selamat, Is. Jangan lupa, ditunggu syukurannya aja.”
”Thanks, Dan. O ya, studionya masih jauh?”
”Sebentar lagi sampai. Paling lama seperempat jam lagi.”
Kami pun telah memasuki kawasan Solo Baru. Kawasan ini merupakan kawasan elite di selatan kota Solo. Kulihat banyak pembangunan di sana-sini. Dari perumahanan mewah, pusat perbelanjaan, ruko, showroom, gedung bioskop hingga gelanggang olahraga pun ada. Kawasan ini memang sedang berkembang dengan pesatnya.
”Is, udah mau sampe nih. Kita tinggal belok di tikungan depan, nanti ada papan nama warna kuning yang besar di kiri jalan.” Kata Danny sambil menunjukkan tangannya ke arah tikungan yang dimaksud.
Seperti yang Danny bilang, setelah berbelok melewati tikungan, tak lama kemudian kami melihat sebuah papan nama yang cukup besar berdiri kokoh di pinggir jalan. Dengan dominan warna kuning menyala, desainnya juga cukup unik, lain dari papan nama kebanyakan. Terdapat tulisan ”YELLOWBEAT” berwarna hitam yang terletak agak di pinggir papan nama. Danny segera memarkirkan mobilnya di sisi jalan yang tak jauh dari papan nama tersebut.
”Ayo buruan turun.” Kata Danny sambil membuka pintu mobil di sampingnya.
”Disini ya studionya?” Manto tiba-tiba meregangkan tubuhnya. Rupanya nih anak dari tadi ketiduran di jok belakang. Pantes saja nggak kedengaran suaranya.
Kami berlima pun segera bergegas turun dan berjalan menuju ke studio. Danny berjalan paling depan sambil memegang handphone. Mungkin dia akan menghubungi temannya yang punya studio, memberitahu kalau kami sudah ada di depan. Tak lama kemudian dari dalam rumah yang bergaya minimalis modern, keluar seorang pria setengah baya dari pintu garasi. Rambutnya panjang tergerai rapi dengan perawakan yang agak gemuk. Dia segera menyambut kami dengan ramah sambil tersenyum.
”Teman-teman. Kenalin. Ini Mas Deny, yang punya studio ini.” Danny pun memperkenalkannya kepada kami.
”Halo, selamat datang. Kenalkan, saya Deny. Bagaimana perjalanan kalian?”
Kami pun segera memperkenalkan diri. Mas Deny ternyata orangnya sangat terbuka dan humoris. Dia selalu memberi joke-joke segar di sela-sela obrolan sehingga kami pun segera akrab dengannya. Setelah puas bercengkrama, Mas Deny pun mempersilahkan kami berlima untuk segera melihat studionya. Setelah berjalan melewati garasi, kami pun tiba di sebuah halaman yang cukup luas dan asri. Saat melewati garasi tadi, aku sempat melihat sebuah mobil yang sepertinya aku pernah melihatnya. Sebuah mobil sedan warna biru metalik. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.
” Eh, kok bengong, ayo masuk saja jangan malu-malu. Apa ada yang sedang kamu pikiran, Is?” Mas Deny segera membimbingku.
”Nggak ada apa-apa kok, Mas. O ya, di mana studionya?”
“Sabar, sebentar lagi juga kelihatan.”
Dan benar juga perkataan Mas Deny. Setelah melewati halaman yang cukup luas itu, kami segera melihat sebuah paviliun yang letaknya agak di belakang dari rumah induk. Paviliun itulah yang oleh Mas Deny difungsikan sebagai studio. Anak-anak tampak terkagum-kagum termasuk aku. Selain bergaya arsitektur minimalis serasi dengan rumah induk, penataan ruangan di studio ini juga terlihat cukup nyaman. Pertama memasuki paviliun ini, kami disambut oleh teras yang bermaterial batu alam yang langsung menghadap ke arah halaman yang rindang dengan dilengkapi seperangkat kursi dan meja bergaya minimalis pula. Sebuah pintu kayu yang cukup besar yang difungsikan sebagai akses menuju ke dalam studio berdiri kokoh di sudut teras.
”Mari, silahkan duduk. Mau minum apa?” Mas Deny segera mempersilahkan kami untuk duduk.
”Ah, nggak usah repot-repot, Mas.” Aku pun berbasa-basi.
”Nggak apa-apa, kok.”
” Begini, Mas, Kita langsung aja ya ngomongnya. Kami ini kan baru bergabung membentuk sebuah band, namanya Coffeemilk. Sebagai band baru, kami belum mempunyai tempat latihan yang bisa kami pakai secara rutin, mungkin seminggu sekali atau dua kali. Kalau Mas Deny mengijinkan, bisakah kami latihan di sini dan bagaimana prosedurnya?”
”Oh begitu. Kalau prosedurnya sih nggak jauh beda sama studio-studio yang lain. Kalau ingin latihan disini seperti biasa untuk yang reguler ongkosnya per jamnya tiga puluh ribu rupiah. Tapi kalau Mas melihat ada sebuah grup band yang dirasa berpotensi atau berbakat, mungkin Mas bisa kasih gratis atau studio ini bisa dijadikan basecamp asal lolos seleksi dan mau ikut bergabung sama manajemen di sini.”
”Jadi Mas Deny juga sering sebagai manajer band?” Tanya Topan.
Mas Deny pun mengangguk. ”Sudah ada beberapa band yang alumni dari sini, kebanyakan mereka sekarang sudah hijrah ke Ibukota.”
Serasa ada sebuah angin segar yang berhembus menerpaku mendengar perkataan Mas Deny. Tanpa pikir panjang, aku pun segera mengajukan sebuah tawaran kepadanya.
”Kalau begitu, gimana kalau Mas Deny sekalian menjadi manajer kami?”
Aku segera memandang ke arah anak-anak yang lain. Keliatannya anak-anak pun setuju akan usulanku barusan. Mas Deny terdiam sejenak.
”O ya, apa nama bandnya tadi?”
”Coffeemilk, Mas.”
”Cukup unik. Mmmh, mungkin Mas bisa jadi manajer kalian tapi kalian harus melalui proses audisi dulu. Gimana?”
”Nggak masalah.”
Kami pun segera beranjak memasuki studio. Studionya Mas Deny ternyata cukup lengkap fasilitasnya. Selain ruang studionya sendiri, terdapat pula ruangan kantor, ruang recording, ruang mixing hingga ruang editing. Mungkin disini Mas Deny bisa sekalian membikin sebuah demo bagi grup band baru. Studionya sendiri juga cukup lengkap alatnya. Ada seperangkat alat musik yang masih terawat dengan baik. Ada tiga buah gitar elektrik lengkap dengan aksesorisnya, dua buah gitar akustik, dua buah bass elektrik, satu buah keyboard, satu set drum serta perangkat audio dan soundeffect yang sangat lengkap. Kami pun kembali terkagum-kagum. Ruangan studio ini kira-kira berukuran 5x7 meter persegi dengan dinding yang dilapisi oleh lapisan peredam suara serta terdapat beberapa cermin berukuran besar di salah satu sisinya. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna abu-abu. Di dalam studio terasa sangat dingin karena memakai air conditioner. Setelah kami merasa puas melihat-lihat, akhirnya acara audisi pun segera dimulai. Kami segera diuji oleh Mas Deny satu persatu. Dimulai terlebih dahulu dari Topan sebagai vokalis, dilanjutkan aku dan Manto sebagai gitaris, terus Danny di posisi bassist dan yang terakhir Arif sebagai drummer. Mas Deny tampak serius sekali melihat kami menunjukkan skill, performa serta kekompakan kami dalam bermusik hingga akhirnya Mas Deny terlihat tersenyum puas. Setelah hampir dua jam lamanya kami mengikuti proses audisi, Mas Deny mengacungkan jempol ke arah kami.
”Not bad, sebagai grup baru, kalian cukup punya talenta.”
”Jadi bagaimana, Mas? Apa kami diterima di sini?”
“Mmmh, kalian memang berbakat dan musik kalian cukup unik, mungkin dengan sentuhan sedikit di sana-sini, kalian bisa jadi grup band yang bagus, jadi Mas cuma bisa kasih satu komentar, welcome to Yellowbeat.”
Kami pun sontak kegirangan. Kami nggak menyangka kalau Mas Deny bisa menerima kami dalam manajemennya. Maka mulai detik ini, Mas Deny telah resmi menjadi manajer kami. Dan untuk merayakannya, Mas Deny mengajak kami untuk lunch dengannya, dan kami pun tentu tidak bisa menolak ajakannya terutama Topan si tukang makan, wajahnya segera berseri-seri mendengar kata makanan. Acara lunch berlangsung di teras paviliun. Di bawah rindangnya pepohonan, kami menikmati semua makanan dan minuman yang tersaji dihadapan kami. Mungkin karena kecapekan karena proses audisi tadi, selera makan kami menjadi gila-gilaan. Tapi Mas Deny tidak marah atas sikap kami. Justru dia terus melontarkan joke-joke segarnya kembali sesekali menyerempet yang berbau porno sedikit untuk memeriahkan suasana.
Tiba-tiba di tengah acara lunch sedang berlangsung, terdengar sebuah suara memanggil Mas Deny dari dalam rumah.
”Mas Deny, udah selesai belum acaranya? Jadi nggak kita keluar?”
Aku terkejut. Suara itu terasa sangat tidak asing bagiku. Dan ketika kutolehkan wajahku, kulihat seorang cewek sedang berdiri di bawah pergola yang menghubungkan rumah induk dengan paviliun. Ternyata...
”Viola?”
”Lho, Isma? Ngapain kamu disini?” Viola pun terkejut dan menghampiriku.
”Kalian sudah saling kenal ya?” Mas Deny terheran-heran.
”Kemarin aku ketemu Isma di StarMusikindo. Isma kan pegawai baru di sana.”
”Pantas wawasan musik kamu cukup bagus, Is. Oh ya, sampai lupa! Topan, Arif, Danny, Manto, kenalkan, ini Viola, adikku.”
Rupanya Viola adiknya Mas Deny. Sungguh ini terasa diluar dugaanku. Apakah ini sebuah kebetulan saja atau ada sebuah maksud yang telah ditakdirkan dalam perjalananku sehingga aku bisa bertemu dengan Viola kembali?
”O, jadi kemaren Viola ya yang nganterin loe, Is.” Topan pun mulai menggodaku.
Viola pun tampak tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah karena malu. Tapi justru itu yang membuatnya tampak terlihat lebih cantik. Tiba-tiba perasaan itu kembali muncul dalam diriku. Aku pun mencoba untuk tenang dan tidak terbawa suasana.
”Udah, Pan. Tuh, Viola jadi merah mukanya.” Arif ikutan menggoda.
”Apa-apaan sih kalian. Kalau adikku sampai nangis, awas ya! Mas bisa batalin perjanjian kita!” Mas Deny ikutan bercanda.
”Sorry deh, Mas. Sorry ya Viola.” Anak-anak pun serentak minta maaf.
”Nggak papa kok. O ya, Mas Deny, nanti aku nggak jadi pergi sama Mas. Aku sama Isma aja. Is, kamu nggak ada acara kan setelah ini?”
Aku pun berpaling ke arah anak-anak yang lain tapi mereka malah lebih menggodaku.
”Emang kamu mau ke mana sih?”
”Pokoknya kamu ikut aja dulu, gimana?”
”Gimana nih, Mas?” Aku mencoba meminta ijin kepada Mas Deny.
”Urusan kita sudah selesai hari ini. Nanti masalah schedule latihan serta yang lainnya, kita bahas lain hari. Kamu bisa pergi sama Viola kalau kamu nggak keberatan.”
”Iya, Is. Tenang aja. Kita nggak papa kok. Demi teman. Nanti anak-anak biar gue yang anterin pulang satu-satu.” Danny juga mengiyakan.
”Thanks, guys.”
Rabu, 28 Januari 2009
Kenangan Jaket Biru 02

Ada suatu tempat...
Dimana ku sering menunggu
Dimana ku sering termangu
Tentang semua yang harus kujalani
Tuk mengejar semua mimpi
Yang memang jadi tujuan hidupku
Selama ini....
Di tempat itu,
Semua keluh dan kesahku
Semua riang dan candaku
Berbaur menjadi satu
Bersama sobat-sobat terkasih
Hingga terjalin sebuah cerita
Cerita indah kisahku
Waktu dulu...
Bag3 - Pertemuan Pertama 02 ( Chap. Lagu untuk Viola )
Hari sudah mulai gelap. Kira-kira sudah hampir maghrib. Mungkin kurasa cukup perkenalanku hari ini. Aku pun memutuskan untuk segera pulang, takut nanti kemaleman dan nggak dapat angkutan umum. Maklum, aku ke sini siang tadi naik bus kota dan biasanya kalau mendekati saat maghrib, bus kota yang lewat sudah jarang. Yang lewat cuma taksi. Di sini tidak ada ojek selain di daerah Terminal Tirtonadi. Dan yang pasti kalau naik taksi untuk pulang ke kost, aku harus bayar sampai puluhan ribu.
Ketika aku hendak berganti seragam, kulihat seorang cewek tampak kebingungan di sebelah rak compact disk. Dia kelihatannya sebaya denganku. Wajahnya sangat cantik. Perawakannya tinggi dengan rambut hitam pendek lurus sebahu. Tubuhnya sangat ideal untuk ukuran model, dibalut dengan kaus biru dan celana jeans model sebetis. Karena toko dalam keadaaan ramai, semua karyawan toko sedang sibuk dengan pengunjung yang lain sehingga tidak ada yang menghiraukan cewek itu. Bahkan Mas Bram pun tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin baru di lantai atas atau ke ruang administrasi. Karena merasa kasihan, aku pun segera menghampirinya.
“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapanya dengan ramah.
“Sore juga, Mas. Maaf, saya mau tanya, apa album barunya Padi udah keluar?”
“Oh, sudah Mbak. Ada di rak sebelah sana. Mari saya antar.”
Aku pun segera mengantarnya menuju ke rak compact disk yang terletak bersebelahan dengan eskalator.
“Ini Mbak, album barunya Padi. Judulnya Tak Hanya Diam, kan?”
“Nah, ini yang kucari-cari. Makasih ya Mas.”
“Sama-sama. Kalau boleh tahu, Mbak suka sama Padi ya?”
“Sebenarnya aku nggak begitu ngefans banget sih sama Padi, tapi aku suka banget sama musik dan liriknya. Terutama liriknya itu lho. Kata-katanya begitu menyentuh dan sangat romantis. Pokoknya dalem banget maknanya.”
“Oh begitu ya. Kalau saya sangat ngefans berat sama Padi. Saya sangat menyukai lagu-lagunya Padi. Memang liriknya sangat puitis dan bermakna.”
”Wah, kok selera kita bisa sama ya?”
”Ya mungkin memang liriknya itu yang bisa membikin para penggemarnya suka.”
“Eh, ngomong-ngomong, saya belum pernah lihat Mas sebelumnya di sini. Biasanya saya sering dilayani sama Mas Didik atau si Devi. Mas baru ya?”
“Iya saya baru diterima kerja di sini. Sekarang aja masih trainee. Besok Senin baru masuk pertama kerja.”
“Wah, selamat ya. O ya, kenalin. Saya Viola. Saya pelanggan lama di sini. Sejak saya kecil, saya sering diajak oleh Ayah ke sini. ”
“Saya Ismail. Panggil aja Isma”
Kami pun mulai akrab. Viola ternyata orangnya sangat ramah dan enak kalau diajak ngobrol. Wawasannya cukup luas sehingga kami pun merasa cocok satu sama lain. Dia kuliah di Universitas Gadjah Mada Jogja, ambil Jurusan Psikologi. Dia seangkatan denganku. Kebetulan hari ini dia pulang ke Solo. Mumpung liburan akhir pekan katanya. Dia rutin pulang seminggu sekali naik kereta Prameks yang memang mempunyai trayek Solo-Jogja.
Obrolan kami pun terus berlanjut hingga tak sadar waktu sudah larut.
“Wah kelihatannya udah malem nih, Is. Aku harus pergi.”
“Sama, aku juga mau pulang, takut nggak kebagian bus kota.”
“Lho, emang kamu tinggal dimana, Is?”
“Aku kost di daerah dekat kampus. Tepatnya di Kentingan.”
Ngomong-ngomong aku merasa sering mengucapkan kalimat ini. Hari ini sudah tiga orang yang bertanya di mana aku tinggal. Pertama Eyang Lastri, kemudian Bu Ratna dan yang terakhir Viola.
“Wah, lumayan jauh juga ya dari sini. Eh, kalau kamu nggak keberatan, mau nggak kamu sekalian ikut denganku?”
“Emang kamu mau ke arah kampus juga?”
“Kebetulan hari ini aku ada jadwal ke dokter di daerah dekat kampus.”
“Ke dokter? Emang kamu sakit apa?”
“Ah, nggak ada apa-apa kok, cuma check up rutin aja.”
“Yakin kamu nggak papa?”
“Udah, jangan khawatir, I’m fine.”
“O ya, dalam perjalanan nanti ada masjid nggak? Aku mau sholat maghrib dulu. Takut nggak keburu.”
“Di dekat Hotel Novotel ada masjid kok. Kamu bisa sholat di sana. Entar tak tungguin.”
“Nggak papa kamu nungguin?”
“Nggak papa.”
“Kamu nggak sholat?”
“Aku lagi berhalangan. Tahu kan maksudku.”
“Kalau begitu, aku ganti baju dulu ya.”
“Aku juga mau ke Mbak Ivonne dulu. Ku tunggu di depan ya. Mobilku kuparkirkan di pinggir jalan.”
“OK, thanks.”
Tak berapa lama, kami pun meluncur dengan menggunakan mobil sedan warna biru metalik milik Viola menyusuri jalanan kota Solo dalam keremangan lampu jalan yang berpendar menuju ke arah kampus. Para pedagang kaki lima sudah mulai menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Kebanyakan mereka menjual aneka jenis makanan khas kota Solo. Memang kota Solo terkenal akan makanannya yang beraneka ragam terutama wedhangan hik yang menjadi tempat favoritku. Aku sering menghabiskan malam nongkrong bersama anak-anak “Mentari Buana” di tempat itu sambil minum wedhang jahe serta menyantap aneka jajanan yang tersedia di gerobak hik.
Setelah aku sholat Maghrib di masjid yang dimaksud Viola tadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesekali ku mencuri pandang memperhatikan Viola saat sedang menyetir. Dia terlihat sangat gembira. Senyumnya yang manis selalu terlukis di wajahnya yang cantik. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya dibalik keriangan dirinya. Dibalik keramahannya. Dibalik senyum manisnya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Sambil memutar compact disk yang baru dibelinya tadi sore, sepanjang perjalanan kami terus-terusan ngobrol.
“Eh, Is. Ngomong-ngomong kamu udah lapar belum? Kita makan dulu yuk!”
“Mau makan di mana?”
“Di daerah Gladag. Tepatnya di depan Patung Slamet Riyadi yang baru diresmikan bulan kemarin. Aku sering ke warung lesehan langgananku. Masakannya sangat enak. Ada ayam goreng, bebek goreng dan berbagai macam sea food. Harganya pun relatif lebih murah. Penjualnya juga ramah. Gimana, mau mencoba?”
“Boleh, tapi aku yang traktir ya.”
“Nggak usah repot-repot. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ngajakin.”
“Ah, aku nggak enak, Vi. Aku pulang kan udah numpang mobil kamu. Masak makan juga dibayarin.”
“Santai aja lagi, Is.”
“Aku tetap merasa nggak enak. Biar aku yang bayarin ya. Mau kan kamu kutraktir?”
“Kalau kamu memaksa, apa boleh buat.”
Mobil Viola pun terus meluncur membelah malam. Jalan sudah mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum, malam minggu. Banyak anak muda yang ingin menghabiskan malam bersama dengan pasangannya masing-masing.
Kami pun telah sampai di tempat yang dimaksud Viola tadi. Viola segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di depan sebuah warung tenda berwarna orange yang berdiri di sepanjang trotoar. Cahaya remang -remang dari lampu minyak menambah suasana warung tersebut menjadi lebih hangat. Terlihat sudah banyak pengunjung yang duduk lesehan di sepanjang trotoar menunggu pesanan sambil melihat panorama kawasan Gladhag yang eksostis di malam hari. Tampak patung Slamet Riyadi berdiri dengan gagahnya, menutupi pesona gapura Gladhag yang telah dilupakan kenangannya. Sebenarnya patung itu kurang cocok di tempatkan di sini karena daerah ini merupakan kawasan konservasi. Banyak bangunan bersejarah berdiri di kawasan Gladhag yang merupakan jantung kota Solo. Disini terdapat bangunan Kantor Pos Pusat, Bank Indonesia, serta Beteng Vastenberg yang semuanya merupakan peninggalan dari jaman kolonial. Dikarenakan kebijakan Pemerintah Kota setempat yang kurang bijaksana, maka kawasan ini telah “tercemar” dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang secara kontekstual sangat kontras dengan bangunan-bangunan bersejarah yang ada seperti Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Belum lagi keberadaan Beteng Vastenberg yang kondisinya sangat memprihatinkan karena tidak terurus.
Ketika kami hendak memasuki warung tersebut, tiba-tiba dari arah belakangku suara seorang anak perempuan menyapaku.
“Halo, Om Isma. Ketemu lagi.”
Suaranya terasa tidak asing bagiku. Spontan kupalingkan wajahku.
“Hah, Putri. Sedang apa kau di sini?” tanyaku sambil seketika kegendong Putri.
“Putri bantuin Eyang jualan disini.”
“Eyang jualan di sini?”
Putri menggangguk.
“Lho, Is. Kamu kenal dengan Putri?”
“Iya. Tadi aku ketemu Putri sama Eyangnya di bus kota sewaktu aku berangkat ke StarMusikindo untuk wawancara.”
“Wah, kebetulan sekali. Aku udah kenal mereka lama. Ibunya Putri adalah adik kelas Ibuku dulu sewaktu SMU.”
“Halo, Kak Viola. Lho kok bisa bareng dengan Om Isma?”
“Sekarang jangan panggil Om donk. Sekarang panggilnya Kak Isma, ya. Biar sama dengan Kak Viola.”
“Ya, … Om Is, eh .. Kak Isma. Eh, … Kakak pacarnya Kak Viola ya?”
Aku dan Viola terkejut dengan pertanyaan Putri yang masih polos itu. Kulihat Viola menjadi salah tingkah. Aku pun juga merasakan perasaan yang mendesir secara tiba-tiba. Setelah dapat menguasai perasaanku, aku menjawab pertanyaan Putri tadi.
“Nggak, Putri. Kakak sama Kak Viola cuma teman. Kamu ini masih kecil udah tahu pacaran. Nggak boleh ya?”
“Baik, Kak. O ya, yuk masuk dulu. Eyang Putri ada di dalam. Eyang pasti seneng deh ketemu Kak Isma lagi. ”
Aku dan Viola segera masuk ke warung tenda. Terlihat Eyang Lastri sibuk melayani pelanggannya yang hendak membayar. Eyang Lastri sibuk mencarikan kembalian. Viola segera berjalan didepanku ketika hendak menyapa Eyang Lastri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam, eh Neng Viola. Apa kabar?”
“Baik-baik, Eyang.”
“Sendirian ke sini?”
“Nggak. Sama teman, Eyang. Nih orangnya.”
Aku pun segera menyapa Eyang Lastri sambil masih menggendong Putri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam. Lho, Nak Isma?”
“Atas kehendak Allah, kita dipertemukan lagi, Eyang.”
“Kok bisa bareng dengan Neng Viola?”
“Kebetulan tadi Viola ke toko tempat saya kerja, Eyang. Pulangnya saya numpang mobil Viola karena kami searah. Di tengah jalan kami ingin makam malam dulu. Terus Viola ngajak saya ke sini. Eh … ternyata ini warungnya Eyang.”
“Bagaimana lamaran kerjanya, Nak Isma? Nak Mas dierima kerja di sana?”
“Alhamdulillah, berkat doa Eyang, saya diterima.”
“Wah, selamat ya Nak Isma. Ya sudah, kalian berdua mau makan apa? Biar Eyang buatkan yang spesial. Anggap saja ini sebagai ucapan syukur atas diterimanya Nak Isma kerja. Dan kali ini nggak usah bayar.”
“Lho, kok nggak usah bayar, Eyang?”
“Nggak apa-apa. Ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih Eyang atas pertolongan Nak Mas tadi siang.”
“Saya ikhlas kok, Eyang. Eyang nggak perlu repot-repot.”
“Eyang juga ikhlas, Nak Isma. Jadi mohon Nak Isma tidak menolak, seperti Eyang tadi siang juga tidak menolak atas pertolongan Nak Isma.”
“Kalau begitu makasih, Eyang.”
“Wah, saya kecipratan berkah nih.”
“Iya, Neng Viola. Kalau berteman dengan orang baik, Insya Allah akan terkena berkahnya juga. Nak Isma ini anak yang baik .”
“Ah, Eyang. Jangan memuji saya terus. Saya jadi malu.”
“Kalau boleh tahu, emangnya tadi Isma menolong Eyang apa?”
“Nak Isma tadi menolong Eyang dengan ikhlas memberikan tempat duduknya kepada Eyang sewaktu Eyang bergelantungan dengan Putri di bus kota. Padahal semua orang di dalam bus itu tidak ada yang menghiraukan Eyang. Nak Isma juga membawakan belanjaan Eyang yang lumayan berat karena Eyang habis kulakan di Pasar Gedhe.”
“Wah, aku jadi salut sama kamu, Is. Kamu ternyata orangnya baik banget.”
“Sudah, Vi. Nggak usah dibesar-besarkan. Yuk, kita cari tempat duduk.”
“Kalian mau makan apa? Terus minumannya apa?”
“Saya ayam goreng saja, Eyang. Minumnya teh manis. Kamu, Vi?”
“Saya juga ayam goreng, Eyang. Minumnya seperti biasa. Wedhang Jeruk.”
“Baik, nanti biar karyawan Eyang yang antar. Kalian pilih sendiri tempat duduknya. Jangan sungkan-sungkan di warungnya Eyang.”
“Makasih, Eyang. Kalau Putri mau makan apa?” tanyaku sambil kuturunkan Putri dari gendongan.
“Putri udah kenyang, Kak. Tadi udah makan udang goreng disuapin Eyang.”
“Lho, udah gedhe kok masih disuapin. Lain kali Putri makan sendiri ya. Udah diajarin makan yang benar di sekolah kan?”
“Udah, Kak Isma. Nanti lain kali Putri akan makan sendiri.”
“Anak pintar.”
Aku dan Viola segera mencari tempat duduk. Kami duduk lesehan di trotoar yang masih kosong. Trotoar itu diberi alas tikar dan dilengkapi sebuah meja kecil berkaki pendek tempat menaruh makanan. Terdapat sebuah lampu dengan kap terbuat dari rotan menggantung tepat di atas meja. Kami duduk bersandar pada tembok pagar bangunan yang terletak di belakang warung.Kami duduk menghadap jalan Slamet Riyadi tampak ramai dengan arus kendaraan baik mobil maupun sepeda motor. Bila malam Minggu, kawasan Gladhag sangatlah ramai. Karena selain sebagai jantung kota Solo, di kawasan ini juga ada sebuah pusat wisata kuliner yang terbentang sepanjang jalan yang berada di sebelah timur Gapura Gladhag, namanya Galabo, kepanjangannya Gladhag Langen Bogan. Hampir semua makanan khas Solo dijajakan di sana. Ada nasi liwet ( mirip dengan nasi uduk Betawi ), nasi gudheg ( daging buah nangka yang belum matang yang dimasak manis ), sambal goreng ceker (kaki ayam), tengkleng (gulai tulang kambing), hingga sate kere/gembus (ampas tahu), inthip ( kerak nasi ), srabi (kue dari tepung beras) dan kripik paru terdapat di sana. Para pendatang dari luar kota Solo pasti menyempatkan untuk singgah di sana sambail menikmati suasana malam kota Solo yang menawan. Belum lagi diringi lantunan tembang kenangan atau musik keroncong menambah suasana menjadi eksotis.
Warung Eyang Lastri tidak terdapat di kawasan Galabo. Warung Eyang terletak berseberang dengan Galabo atau di sebelah barat gapura Gladhag. Karena warung Eyang sudah berdiri lama sebelum Galabo ada. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Seorang pelayan menata pesanan kami di atas meja dan setelah selesai dia mempersilahkan kami untuk menyantap makanan yang telah tersaji. Kami menyantap makanan sambil mengobrol. Obrolan kami berkisar tentang kuliah dan kegiatan-kegiatan kami. Nggak ada perbicaraan yang spesial. Kami cuma sedang mengakrabkan diri dan mencoba lebih mengenal diri kami masing-masing.
Hampir satu jam kami mampir di warung Eyang Lastri. Dan karena dirasakan hari sudah semakin malam kami pun berpamitan ke pada Eyang Lastri.
“Eyang, kami pamit dulu. Terima kasih atas ayam gorengnya.”
“Iya, Eyang. Masakan Eyang benar-benar enak seperti yang dibilang Viola.”
“Kalian jangan kapok ya kemari. Sekali-kali kunjungi Eyang disini.”
“Insya Allah, Eyang. Kalau ada waktu, kami sempatkan kemari. Kami pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Permisi, Eyang. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
“Baik, Eyang. Dah, Putri. Kak Isma dan Kak Viola pulang dulu ya.”
“Dah, Kak. Nanti main lagi kemari ya.”
Kami pun meninggalkan Eyang Lastri dan Putri menuju ke tempat parkir mobil. Setelah memasuki mobil, Viola kembali menghidupkan audio player di mobilnya. Alunan musik yang terdengar dari perangkat audio di mobil Viola menghangatkan suasana. Mengiringi perjalanan kami dalam membelah dinginnya malam menuju ke daerah kampus. Setelah kami terlarut dalam lantunan syair-syair serta nada-nada yang menghanyutkan jiwa, tanpa terasa kami telah sampai ke tempat kostku.
“Nah, disini tempat tinggalku. Nggak terasa ya udah sampai.”
“O, ini ya kost-kostan kamu, Is? Enak juga tempatnya. Halamannya cukup luas dan rindang.”
“Yuk, mampir dulu.” Aku pun turun dari mobilnya.
“Lain kali aja, Is. Udah telat nih ke dokternya. Nanti ditungguin. Lagian ini udah malam. Aku nggak enak sama dokternya soalnya beliau teman lama Ayahku dan sudah lama menjadi dokter langganan keluargaku. Namanya Dokter Lukman. Beliau sudah kuanggap seperti Pamanku sendiri.”
“Tapi janji ya lain kali mampir ke sini.”
“OK, aku janji. Nanti kuhubungi kalau aku mau mampir. Udah dulu ya.”
“Makasih, Vi. Atas tumpangannya.”
“You’re welcome. Nice to meet you, Isma. Daah.”
Mobil Viola pun meluncur meninggalkan aku dalam kegelapan malam yang dingin…..
Bersambung...
Ketika aku hendak berganti seragam, kulihat seorang cewek tampak kebingungan di sebelah rak compact disk. Dia kelihatannya sebaya denganku. Wajahnya sangat cantik. Perawakannya tinggi dengan rambut hitam pendek lurus sebahu. Tubuhnya sangat ideal untuk ukuran model, dibalut dengan kaus biru dan celana jeans model sebetis. Karena toko dalam keadaaan ramai, semua karyawan toko sedang sibuk dengan pengunjung yang lain sehingga tidak ada yang menghiraukan cewek itu. Bahkan Mas Bram pun tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin baru di lantai atas atau ke ruang administrasi. Karena merasa kasihan, aku pun segera menghampirinya.
“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapanya dengan ramah.
“Sore juga, Mas. Maaf, saya mau tanya, apa album barunya Padi udah keluar?”
“Oh, sudah Mbak. Ada di rak sebelah sana. Mari saya antar.”
Aku pun segera mengantarnya menuju ke rak compact disk yang terletak bersebelahan dengan eskalator.
“Ini Mbak, album barunya Padi. Judulnya Tak Hanya Diam, kan?”
“Nah, ini yang kucari-cari. Makasih ya Mas.”
“Sama-sama. Kalau boleh tahu, Mbak suka sama Padi ya?”
“Sebenarnya aku nggak begitu ngefans banget sih sama Padi, tapi aku suka banget sama musik dan liriknya. Terutama liriknya itu lho. Kata-katanya begitu menyentuh dan sangat romantis. Pokoknya dalem banget maknanya.”
“Oh begitu ya. Kalau saya sangat ngefans berat sama Padi. Saya sangat menyukai lagu-lagunya Padi. Memang liriknya sangat puitis dan bermakna.”
”Wah, kok selera kita bisa sama ya?”
”Ya mungkin memang liriknya itu yang bisa membikin para penggemarnya suka.”
“Eh, ngomong-ngomong, saya belum pernah lihat Mas sebelumnya di sini. Biasanya saya sering dilayani sama Mas Didik atau si Devi. Mas baru ya?”
“Iya saya baru diterima kerja di sini. Sekarang aja masih trainee. Besok Senin baru masuk pertama kerja.”
“Wah, selamat ya. O ya, kenalin. Saya Viola. Saya pelanggan lama di sini. Sejak saya kecil, saya sering diajak oleh Ayah ke sini. ”
“Saya Ismail. Panggil aja Isma”
Kami pun mulai akrab. Viola ternyata orangnya sangat ramah dan enak kalau diajak ngobrol. Wawasannya cukup luas sehingga kami pun merasa cocok satu sama lain. Dia kuliah di Universitas Gadjah Mada Jogja, ambil Jurusan Psikologi. Dia seangkatan denganku. Kebetulan hari ini dia pulang ke Solo. Mumpung liburan akhir pekan katanya. Dia rutin pulang seminggu sekali naik kereta Prameks yang memang mempunyai trayek Solo-Jogja.
Obrolan kami pun terus berlanjut hingga tak sadar waktu sudah larut.
“Wah kelihatannya udah malem nih, Is. Aku harus pergi.”
“Sama, aku juga mau pulang, takut nggak kebagian bus kota.”
“Lho, emang kamu tinggal dimana, Is?”
“Aku kost di daerah dekat kampus. Tepatnya di Kentingan.”
Ngomong-ngomong aku merasa sering mengucapkan kalimat ini. Hari ini sudah tiga orang yang bertanya di mana aku tinggal. Pertama Eyang Lastri, kemudian Bu Ratna dan yang terakhir Viola.
“Wah, lumayan jauh juga ya dari sini. Eh, kalau kamu nggak keberatan, mau nggak kamu sekalian ikut denganku?”
“Emang kamu mau ke arah kampus juga?”
“Kebetulan hari ini aku ada jadwal ke dokter di daerah dekat kampus.”
“Ke dokter? Emang kamu sakit apa?”
“Ah, nggak ada apa-apa kok, cuma check up rutin aja.”
“Yakin kamu nggak papa?”
“Udah, jangan khawatir, I’m fine.”
“O ya, dalam perjalanan nanti ada masjid nggak? Aku mau sholat maghrib dulu. Takut nggak keburu.”
“Di dekat Hotel Novotel ada masjid kok. Kamu bisa sholat di sana. Entar tak tungguin.”
“Nggak papa kamu nungguin?”
“Nggak papa.”
“Kamu nggak sholat?”
“Aku lagi berhalangan. Tahu kan maksudku.”
“Kalau begitu, aku ganti baju dulu ya.”
“Aku juga mau ke Mbak Ivonne dulu. Ku tunggu di depan ya. Mobilku kuparkirkan di pinggir jalan.”
“OK, thanks.”
Tak berapa lama, kami pun meluncur dengan menggunakan mobil sedan warna biru metalik milik Viola menyusuri jalanan kota Solo dalam keremangan lampu jalan yang berpendar menuju ke arah kampus. Para pedagang kaki lima sudah mulai menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Kebanyakan mereka menjual aneka jenis makanan khas kota Solo. Memang kota Solo terkenal akan makanannya yang beraneka ragam terutama wedhangan hik yang menjadi tempat favoritku. Aku sering menghabiskan malam nongkrong bersama anak-anak “Mentari Buana” di tempat itu sambil minum wedhang jahe serta menyantap aneka jajanan yang tersedia di gerobak hik.
Setelah aku sholat Maghrib di masjid yang dimaksud Viola tadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Sesekali ku mencuri pandang memperhatikan Viola saat sedang menyetir. Dia terlihat sangat gembira. Senyumnya yang manis selalu terlukis di wajahnya yang cantik. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya dibalik keriangan dirinya. Dibalik keramahannya. Dibalik senyum manisnya. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Sambil memutar compact disk yang baru dibelinya tadi sore, sepanjang perjalanan kami terus-terusan ngobrol.
“Eh, Is. Ngomong-ngomong kamu udah lapar belum? Kita makan dulu yuk!”
“Mau makan di mana?”
“Di daerah Gladag. Tepatnya di depan Patung Slamet Riyadi yang baru diresmikan bulan kemarin. Aku sering ke warung lesehan langgananku. Masakannya sangat enak. Ada ayam goreng, bebek goreng dan berbagai macam sea food. Harganya pun relatif lebih murah. Penjualnya juga ramah. Gimana, mau mencoba?”
“Boleh, tapi aku yang traktir ya.”
“Nggak usah repot-repot. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ngajakin.”
“Ah, aku nggak enak, Vi. Aku pulang kan udah numpang mobil kamu. Masak makan juga dibayarin.”
“Santai aja lagi, Is.”
“Aku tetap merasa nggak enak. Biar aku yang bayarin ya. Mau kan kamu kutraktir?”
“Kalau kamu memaksa, apa boleh buat.”
Mobil Viola pun terus meluncur membelah malam. Jalan sudah mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum, malam minggu. Banyak anak muda yang ingin menghabiskan malam bersama dengan pasangannya masing-masing.
Kami pun telah sampai di tempat yang dimaksud Viola tadi. Viola segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di depan sebuah warung tenda berwarna orange yang berdiri di sepanjang trotoar. Cahaya remang -remang dari lampu minyak menambah suasana warung tersebut menjadi lebih hangat. Terlihat sudah banyak pengunjung yang duduk lesehan di sepanjang trotoar menunggu pesanan sambil melihat panorama kawasan Gladhag yang eksostis di malam hari. Tampak patung Slamet Riyadi berdiri dengan gagahnya, menutupi pesona gapura Gladhag yang telah dilupakan kenangannya. Sebenarnya patung itu kurang cocok di tempatkan di sini karena daerah ini merupakan kawasan konservasi. Banyak bangunan bersejarah berdiri di kawasan Gladhag yang merupakan jantung kota Solo. Disini terdapat bangunan Kantor Pos Pusat, Bank Indonesia, serta Beteng Vastenberg yang semuanya merupakan peninggalan dari jaman kolonial. Dikarenakan kebijakan Pemerintah Kota setempat yang kurang bijaksana, maka kawasan ini telah “tercemar” dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang secara kontekstual sangat kontras dengan bangunan-bangunan bersejarah yang ada seperti Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Belum lagi keberadaan Beteng Vastenberg yang kondisinya sangat memprihatinkan karena tidak terurus.
Ketika kami hendak memasuki warung tersebut, tiba-tiba dari arah belakangku suara seorang anak perempuan menyapaku.
“Halo, Om Isma. Ketemu lagi.”
Suaranya terasa tidak asing bagiku. Spontan kupalingkan wajahku.
“Hah, Putri. Sedang apa kau di sini?” tanyaku sambil seketika kegendong Putri.
“Putri bantuin Eyang jualan disini.”
“Eyang jualan di sini?”
Putri menggangguk.
“Lho, Is. Kamu kenal dengan Putri?”
“Iya. Tadi aku ketemu Putri sama Eyangnya di bus kota sewaktu aku berangkat ke StarMusikindo untuk wawancara.”
“Wah, kebetulan sekali. Aku udah kenal mereka lama. Ibunya Putri adalah adik kelas Ibuku dulu sewaktu SMU.”
“Halo, Kak Viola. Lho kok bisa bareng dengan Om Isma?”
“Sekarang jangan panggil Om donk. Sekarang panggilnya Kak Isma, ya. Biar sama dengan Kak Viola.”
“Ya, … Om Is, eh .. Kak Isma. Eh, … Kakak pacarnya Kak Viola ya?”
Aku dan Viola terkejut dengan pertanyaan Putri yang masih polos itu. Kulihat Viola menjadi salah tingkah. Aku pun juga merasakan perasaan yang mendesir secara tiba-tiba. Setelah dapat menguasai perasaanku, aku menjawab pertanyaan Putri tadi.
“Nggak, Putri. Kakak sama Kak Viola cuma teman. Kamu ini masih kecil udah tahu pacaran. Nggak boleh ya?”
“Baik, Kak. O ya, yuk masuk dulu. Eyang Putri ada di dalam. Eyang pasti seneng deh ketemu Kak Isma lagi. ”
Aku dan Viola segera masuk ke warung tenda. Terlihat Eyang Lastri sibuk melayani pelanggannya yang hendak membayar. Eyang Lastri sibuk mencarikan kembalian. Viola segera berjalan didepanku ketika hendak menyapa Eyang Lastri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam, eh Neng Viola. Apa kabar?”
“Baik-baik, Eyang.”
“Sendirian ke sini?”
“Nggak. Sama teman, Eyang. Nih orangnya.”
Aku pun segera menyapa Eyang Lastri sambil masih menggendong Putri.
“Assalamu’alaikum, Eyang”
“Wa’alaikum salam. Lho, Nak Isma?”
“Atas kehendak Allah, kita dipertemukan lagi, Eyang.”
“Kok bisa bareng dengan Neng Viola?”
“Kebetulan tadi Viola ke toko tempat saya kerja, Eyang. Pulangnya saya numpang mobil Viola karena kami searah. Di tengah jalan kami ingin makam malam dulu. Terus Viola ngajak saya ke sini. Eh … ternyata ini warungnya Eyang.”
“Bagaimana lamaran kerjanya, Nak Isma? Nak Mas dierima kerja di sana?”
“Alhamdulillah, berkat doa Eyang, saya diterima.”
“Wah, selamat ya Nak Isma. Ya sudah, kalian berdua mau makan apa? Biar Eyang buatkan yang spesial. Anggap saja ini sebagai ucapan syukur atas diterimanya Nak Isma kerja. Dan kali ini nggak usah bayar.”
“Lho, kok nggak usah bayar, Eyang?”
“Nggak apa-apa. Ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih Eyang atas pertolongan Nak Mas tadi siang.”
“Saya ikhlas kok, Eyang. Eyang nggak perlu repot-repot.”
“Eyang juga ikhlas, Nak Isma. Jadi mohon Nak Isma tidak menolak, seperti Eyang tadi siang juga tidak menolak atas pertolongan Nak Isma.”
“Kalau begitu makasih, Eyang.”
“Wah, saya kecipratan berkah nih.”
“Iya, Neng Viola. Kalau berteman dengan orang baik, Insya Allah akan terkena berkahnya juga. Nak Isma ini anak yang baik .”
“Ah, Eyang. Jangan memuji saya terus. Saya jadi malu.”
“Kalau boleh tahu, emangnya tadi Isma menolong Eyang apa?”
“Nak Isma tadi menolong Eyang dengan ikhlas memberikan tempat duduknya kepada Eyang sewaktu Eyang bergelantungan dengan Putri di bus kota. Padahal semua orang di dalam bus itu tidak ada yang menghiraukan Eyang. Nak Isma juga membawakan belanjaan Eyang yang lumayan berat karena Eyang habis kulakan di Pasar Gedhe.”
“Wah, aku jadi salut sama kamu, Is. Kamu ternyata orangnya baik banget.”
“Sudah, Vi. Nggak usah dibesar-besarkan. Yuk, kita cari tempat duduk.”
“Kalian mau makan apa? Terus minumannya apa?”
“Saya ayam goreng saja, Eyang. Minumnya teh manis. Kamu, Vi?”
“Saya juga ayam goreng, Eyang. Minumnya seperti biasa. Wedhang Jeruk.”
“Baik, nanti biar karyawan Eyang yang antar. Kalian pilih sendiri tempat duduknya. Jangan sungkan-sungkan di warungnya Eyang.”
“Makasih, Eyang. Kalau Putri mau makan apa?” tanyaku sambil kuturunkan Putri dari gendongan.
“Putri udah kenyang, Kak. Tadi udah makan udang goreng disuapin Eyang.”
“Lho, udah gedhe kok masih disuapin. Lain kali Putri makan sendiri ya. Udah diajarin makan yang benar di sekolah kan?”
“Udah, Kak Isma. Nanti lain kali Putri akan makan sendiri.”
“Anak pintar.”
Aku dan Viola segera mencari tempat duduk. Kami duduk lesehan di trotoar yang masih kosong. Trotoar itu diberi alas tikar dan dilengkapi sebuah meja kecil berkaki pendek tempat menaruh makanan. Terdapat sebuah lampu dengan kap terbuat dari rotan menggantung tepat di atas meja. Kami duduk bersandar pada tembok pagar bangunan yang terletak di belakang warung.Kami duduk menghadap jalan Slamet Riyadi tampak ramai dengan arus kendaraan baik mobil maupun sepeda motor. Bila malam Minggu, kawasan Gladhag sangatlah ramai. Karena selain sebagai jantung kota Solo, di kawasan ini juga ada sebuah pusat wisata kuliner yang terbentang sepanjang jalan yang berada di sebelah timur Gapura Gladhag, namanya Galabo, kepanjangannya Gladhag Langen Bogan. Hampir semua makanan khas Solo dijajakan di sana. Ada nasi liwet ( mirip dengan nasi uduk Betawi ), nasi gudheg ( daging buah nangka yang belum matang yang dimasak manis ), sambal goreng ceker (kaki ayam), tengkleng (gulai tulang kambing), hingga sate kere/gembus (ampas tahu), inthip ( kerak nasi ), srabi (kue dari tepung beras) dan kripik paru terdapat di sana. Para pendatang dari luar kota Solo pasti menyempatkan untuk singgah di sana sambail menikmati suasana malam kota Solo yang menawan. Belum lagi diringi lantunan tembang kenangan atau musik keroncong menambah suasana menjadi eksotis.
Warung Eyang Lastri tidak terdapat di kawasan Galabo. Warung Eyang terletak berseberang dengan Galabo atau di sebelah barat gapura Gladhag. Karena warung Eyang sudah berdiri lama sebelum Galabo ada. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Seorang pelayan menata pesanan kami di atas meja dan setelah selesai dia mempersilahkan kami untuk menyantap makanan yang telah tersaji. Kami menyantap makanan sambil mengobrol. Obrolan kami berkisar tentang kuliah dan kegiatan-kegiatan kami. Nggak ada perbicaraan yang spesial. Kami cuma sedang mengakrabkan diri dan mencoba lebih mengenal diri kami masing-masing.
Hampir satu jam kami mampir di warung Eyang Lastri. Dan karena dirasakan hari sudah semakin malam kami pun berpamitan ke pada Eyang Lastri.
“Eyang, kami pamit dulu. Terima kasih atas ayam gorengnya.”
“Iya, Eyang. Masakan Eyang benar-benar enak seperti yang dibilang Viola.”
“Kalian jangan kapok ya kemari. Sekali-kali kunjungi Eyang disini.”
“Insya Allah, Eyang. Kalau ada waktu, kami sempatkan kemari. Kami pamit dulu. Assalamu’ alaikum.”
“Permisi, Eyang. Assalamu’ alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan.”
“Baik, Eyang. Dah, Putri. Kak Isma dan Kak Viola pulang dulu ya.”
“Dah, Kak. Nanti main lagi kemari ya.”
Kami pun meninggalkan Eyang Lastri dan Putri menuju ke tempat parkir mobil. Setelah memasuki mobil, Viola kembali menghidupkan audio player di mobilnya. Alunan musik yang terdengar dari perangkat audio di mobil Viola menghangatkan suasana. Mengiringi perjalanan kami dalam membelah dinginnya malam menuju ke daerah kampus. Setelah kami terlarut dalam lantunan syair-syair serta nada-nada yang menghanyutkan jiwa, tanpa terasa kami telah sampai ke tempat kostku.
“Nah, disini tempat tinggalku. Nggak terasa ya udah sampai.”
“O, ini ya kost-kostan kamu, Is? Enak juga tempatnya. Halamannya cukup luas dan rindang.”
“Yuk, mampir dulu.” Aku pun turun dari mobilnya.
“Lain kali aja, Is. Udah telat nih ke dokternya. Nanti ditungguin. Lagian ini udah malam. Aku nggak enak sama dokternya soalnya beliau teman lama Ayahku dan sudah lama menjadi dokter langganan keluargaku. Namanya Dokter Lukman. Beliau sudah kuanggap seperti Pamanku sendiri.”
“Tapi janji ya lain kali mampir ke sini.”
“OK, aku janji. Nanti kuhubungi kalau aku mau mampir. Udah dulu ya.”
“Makasih, Vi. Atas tumpangannya.”
“You’re welcome. Nice to meet you, Isma. Daah.”
Mobil Viola pun meluncur meninggalkan aku dalam kegelapan malam yang dingin…..
Bersambung...
Bag3 - Pertemuan Pertama 01 ( Chap. Lagu untuk Viola )
Sungguh panas sekali siang ini. Bulan ini memang musim kemarau sedang panas-panasnya. Matahari bersinar sangat terik dan menyilaukan. Apalagi saat ini, aku berada di tengah-tengah penumpang yang berdiri bergelantungan di sebuah bus kota. Bau keringat yang membasahi baju mereka berbaur menjadi satu menusuk hidungku. Kucuran keringat mengalir deras di dahiku. Rasa haus mulai menerpaku. Bus kota ini memang penuh sesak dengan penumpang. Tidak ada tempat duduk yang tersisa untukku. Semua kursi telah penuh terisi. Kalau tidak mengingat siang ini aku ada janji untuk interview di StarMusikindo jam satu, mungkin aku sudah enak-enakan tiduran dengan diiringi lantunan lagu dan semilirnya angin yang berhembus masuk melalui jendela kamarku. Semoga pengorbananku siang ini tidak sia- sia. Semoga aku bisa diterima bekerja di sana. Aku memang sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk menambah uang saku karena kebutuhan kuliahku yang mulai memakan banyak biaya. Sedangkan kiriman dari ortu per bulan kurasa tidak mencukupi. Belum lagi sekarang aku sudah membentuk sebuah band yang baru. Tentu dengan adanya band ini pasti butuh biaya yang ekstra. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak akan kulewatkan.
Ketika bus kota hampir sampai di daerah Pasar Gedhe, sebuah bangunan pasar yang merupakan bangunan peninggalan jaman penjajahan kolonial dulu, seorang pria separuh baya yang duduk di sampingku sepertinya hendak bersiap untuk turun.
Tak lama kemudian kondektur pun berteriak, “ Pasar Gedhe, Pasar Gedhe!”
Pria itu segera berdiri dan maju mendekati pintu keluar.
Melihat kursi disampingku kosong, aku pun segera beranjak untuk duduk.
Bersamaan dengan turunnya pria tadi, seorang nenek dengan menggandeng cucu perempuannya naik ke dalam bus. Nenek tersebut tampak celingukan mencari tempat duduk yang kosong.
Keperhatikan semua penumpang yang duduk tampak tidak menghiraukan sang nenek. Bahkan mungkin ada yang sengaja tidak memperhatikan. Aku pun jadi merasa jengkel melihat ulah para penumpang tersebut. Mungkin sudah hilang rasa empati mereka terhadap sesamanya. Dan aku pun hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan ulah mereka.
Kulihat nenek tersebut membawa tas belanjaan yang lumayan besar. Mungkin beliau habis berbelanja membeli barang-barang kebutuhan pokok di Pasar Gedhe. Beliau tampaknya agak kerepotan juga. Selain membawa belanjaannya, nenek tersebut juga menggandeng cucunya. Sehingga ketika bus mulai berjalan, nenek itu agak terhuyung berdirinya.
Ketika kondektur menyuruh nenek tersebut agar berdiri lebih ke tengah, nenek tersebut berjalan mendekatiku. Seketika itu aku berdiri. Aku segera memanggil nenek tersebut.
“ Nek, silahkan duduk di kursi saya saja. Mari belanjaannya saya bawakan.”
Tanganku pun segera meraih tas belanjaan nenek itu. Memang berat juga belanjaannya. Mungkin hampir sekitar sepuluh kilo.
“Matur nuwun, Nak Mas.”
“Sama-sama, Nek.”
Nenek itu pun segera duduk ditempatku tadi. Cucu perempuannya dia posisikan duduk di pangkuannya. Sedangkan tas belanjaannya kutaruh di bawah tempat duduk.
“Nak Mas baik sekali mau menolong kami,” kata nenek itu tiba-tiba.
“Itu sudah kewajiban saya, Nek.”
“Nama Nak Mas siapa?”
“Nama saya Isma, Nek.”
“O, Nak Isma. Nak Isma bisa panggil saya Eyang Lastri. Kenalkan ini cucu Eyang. Namanya Putri. Ayo, salaman sama Om Isma.”
Cucu perempuannya pun segera menjulurkan tangannya.
Aku pun segera meraih tangan yang mungil itu.
“Halo, Put. Putri udah sekolah belum?”
“Udah, Om. Tapi masih di playgroup.”
“Udah bisa nyanyi, donk?”
“Iya, Om. Putri udah bisa nyanyi Balonku, Burung Kakak Tua dan Pelangi.”
“Wah, anak pintar.”
“Nak Isma mau kemana?” tanya Eyang Lastri.
“Saya mau melamar kerja, Eyang.”
“Melamar kerja di mana?”
“Alamatnya di Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya depan Solo Grand Mall , Eyang. Saya mau melamar kerja sebagai karyawan toko musik.”
“Sekarang Nak Isma kerja di mana?”
“Saya masih kuliah di UNS, Eyang. Saya kerja buat mencari tambahan uang saku.”
“Nak Isma tinggal di mana?”
“Asli saya dari Wonosobo, Eyang. Saya di sini kost di daerah Kentingan.”
“Wah, saya kagum dengan Nak Isma. Nak Mas mau bekerja untuk mencari uang, padahal Nak Mas sendiri masih kuliah. Nak Mas memang anak yang baik, mau meringankan beban orang tua.”
“Eyang jangan terlalu memuji saya.”
“Kalau sempat, Nak Isma bisa mampir ke rumah Eyang?”
“Eyang tinggal dimana?”
“Eyang tinggal di daerah Mangkuyudan. Eyang di sana tinggal dengan Putri dan dua orang pembantu. Anak Eyang cuma seorang, ya Ibunya si Putri ini. Namanya Larasati. Tapi dia sudah tinggal di Jakarta bersama suaminya. Sengaja Putri dititipkan sama Eyang dan sekolah di sini. Memang itu permintaan Eyang sendiri supaya Eyang tidak kesepian. Suami Eyang sudah lama meninggal dunia. Jadi sehari-hari, Putri ini lah yang selalu menemani dan menghibur Eyang. Kalau Nak Isma sudi berkunjung ke rumah Eyang, tentu Eyang akan sangat senang.”
“Terima kasih atas tawarannya, Eyang. Insya Allah kalau ada waktu, saya akan bersilahturahmi ke rumah Eyang.”
“Nanti kalau mau ke rumah, Nak Isma bisa telepon dulu. Ini nomer teleponnya. Nak Mas bisa mencatatnya.”
Segera kumasukkan nomer yang diberikan Eyang Lastri ke dalam memory card di handphoneku.
Karena aku terhanyut dalam obrolan dengan Eyang Lastri, tanpa terasa bus kota yang kutumpangi sampai di perempatan Gendengan di sebelah barat Solo Grand Mall. Kondektur pun kembali berteriak,” SGM, SGM!”
Aku pun segera berpamitan dengan Eyang Lastri.
“Eyang, saya turun disini dulu. Mohon doa restunya supaya saya bisa diterima. Dah, Putri. Om turun dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, semoga diterima yang Nak Mas. Dan jangan lupa ya Nak Isma mampir ke rumah.”
“Insya Allah, Eyang.”
Aku pun segera bergegas turun.
Kusempatkan diriku untuk melambaikan tangan ke arah Eyang Lastri dan Putri. Mereka pun membalas dengan lambaian tangan yang tulus dan senyum yang mengembang.
Bus kota tersebut kemudian berlalu dari hadapanku. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke arah StarMusikindo.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku berdiri di depan sebuah bangunan yang megah dengan gaya arsitektur minimalis modern. StarMusikindo merupakan toko musik terbesar dan teramai di kota Solo. Letaknya juga di pinggiran jalan protokol sehingga lokasinya sangat strategis. Tiap hari toko ini selalu ramai oleh pengunjung seperti yang sedang kulihat sekarang. Aku pun segera memasuki pintu utamanya yang bergaya hi-tech . Aku segera menuju ke customer service. Terlihat seorang cewek dengan wajah yang lumayan cantik, dengan rambut hitam yang panjang tergerai rapi dan mengenakan seragam sedang sibuk mengangkat telepon. Melihatku berjalan ke arahnya, cewek customer service itu segera meletakkan kembali teleponnya dan menyambutku dengan senyumnya yang ramah.
“Selamat siang, Mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan manajer di sini. Tadi saya udah janjian dengan beliau. Siang ini saya mau ada interview.”
“O, jadi Mas yang sudah masukin lowongan kerja kemarin? Langsung aja naik ke lantai atas, Mas. Bu Ratna sudah menunggu.”
“Maaf, siapa Bu Ratna?”
“Oh, maaf. Saya lupa kalau Mas belum tahu. Bu Ratna adalah manajer di StarMusikindo sini.”
“Begitu ya.”
“Silahkan. Mas langsung naik aja. Tangganya ada di sebelah sana.” Kata cewek customer service sambil menunjuk ke arah tangga yang terletak agak di belakang toko.
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun segera berlalu meninggalkannya menuju tangga yang dimaksud oleh cewek tadi. Toko ini memang sangat besar. Mungkin luasnya sekitar empat ratusan meter persegi. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai atas memiliki sebuah void yang cukup luas yang dilengkapi dengan dua buah eskalator untuk akses naik turun. Sedangkan tangga yang kunaiki ternyata hanya dikhususkan untuk para karyawan toko saja karena langsung menuju ke ruangan administrasi dari toko musik ini.
Sesampainya aku di lantai atas, aku segera menuju ke ruangan manajer yang papan namanya cukup terlihat jelas dari sini sehingga aku tidak perlu lagi bertanya untuk mencari-cari. Segera kuketuk pintu yang bertuliskan “MANAGER” sebanyak dua kali dan tak lama kemudian terdengar suara dari balik pintu yang berlapis panil kayu tersebut.
“Masuk. Nggak dikunci kok.”
Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Bu.”
“Selamat siang.” Terlihat seorang wanita separuh baya mengenakan setelan blazer warna merah marun sedang duduk di sebuah kursi besar dengan meja kerja yang terlihat rapi, menyambut diriku.
“Mari, silahkan duduk.”
Aku pun mengikuti perintahnya, duduk di depan meja kerjanya dan segera menyapa beliau.
“Kenalkan, saya Ismail,“ sapaku sambil menyodorkan tangan. Beliau pun membalasnya dengan ramah.
“Saya Ratna, manajer di sini. Panggil saja Bu Ratna. Saudara yang mau kerja di sini?”
“Betul, Bu. Saya yang mengajukan lamaran kerja di sini. Kata karyawan Ibu di telepon pagi tadi, hari ini akan ada interview.”
“Betul. Saya sendiri yang akan mewancarai Saudara. Saudara tinggal di mana?”
“Saya di Solo masih kuliah, Bu. Saya di sini kost di daerah dekat kampus UNS. Tepatnya di Kentingan. Asli saya dari Wonosobo.”
“O, begitu.”
Kulihat Bu Ratna sedang membaca curriculum vitae yang kumasukkan bersama surat lamaran kerjaku kemarin.
“Bagaimana, bisa kita mulai ? Saudara nggak usah tegang, rileks aja.”
“Baik, Bu. Insya Allah, saya siap.”
Hampir dua jam lamanya acara interview tersebut berlangsung. Bu Ratna ternyata orangnya sangat ramah. Beliau sering mengajakku bercanda di sela-sela interview sehingga hal itu agak mengurangi sedikit ketegangan yang menyelimuti diriku. Dan aku pun jadi lebih rileks dalam menjawab semua pertanyaaan yang diajukan oleh Bu Ratna kepadaku. Bu Ratna tampak manggut-manggut, mendengarkan semua jawaban yang kusampaikan kepadanya.
Waktu menunjukkan jam setengah tiga. Interview pun selesai.
“Bagaimana? Saudara cocok dengan tawaran yang tadi saya ajukan?” Bu Ratna berkata kepadaku sambil merapikan meja kerjanya.
“Saya bersedia, Bu.”
“OK, kalau begitu Saudara bisa mulai kerja besok hari Senin sebagai karyawan toko. Nanti seragamnya bisa diambil di customer service. Seperti yang telah kita sepakati. Waktu kerja Saudara setengah hari kerja mengingat Saudara masih kuliah. Hari Senin sampai Jum’at, Saudara dapat giliran masuk sore dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam dan untuk hari Sabtu Minggu, Saudara masuk pagi dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Ada yang keberatan?”
“Ada satu hal, Bu.”
“Apa itu?”
“Ibu boleh panggil saya cukup dengan Isma saja.”
“Baik, akan Ibu turuti. Sejujurnya Ibu sangat menyukai kepribadianmu, Isma. Semoga nanti kamu bisa menjadi karyawan yang baik di sini.”
“Insya Allah, Bu.”
“O ya, Is. Hari ini kamu ada acara nggak?”
“Kelihatannya nggak ada. Memang ada apa, Bu?”
“Ah, nggak ada apa-apa. Cuma Ibu ingin siang ini kamu bisa mulai mengenal toko ini lebih dekat supaya pas hari pertama kerja kamu nanti nggak kaku.”
“Wah, dengan senang hati, Bu.”
“Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu boleh pergi. Jangan lupa sekalian ambil seragamnya ya sama Mbak Shinta di customer service.”
“Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
“Monggo. Wa’alaikum salam.”
Setelah keluar dari ruangan Bu Ratna, aku lewati ruang administrasi kembali lalu kuturuni tangga menuju ke lantai dasar. Aku segera bergegas menuju ke customer service untuk mengambil seragamku. Ternyata cewek tadi itu namanya Mbak Shinta. Setelah melihatku, Mbak Shinta menyapa dengan ramah. Senyum yang manis terhampar di wajahnya yang cantik.
“Gimana, diterima nggak?”
“Alhamdulillah, Mbak. Saya diterima kerja di sini.”
“Syukurlah, saya ikut senang. O ya, kenalkan. Saya Shinta.”
“Saya Ismail. Mbak bisa panggil dengan Isma aja.”
“Terus kapan donk kamu bisa mulai kerja?”
“Sebenarnya sih baru besok hari Senin, tapi kata Bu Ratna, sore ini aku disuruh mengenal toko ini terlebih dahulu, mungkin semacam trainee kali ya, Mbak?”
“Memang disini biasanya kalau ada karyawan baru disuruh trainee dulu. Biar nggak kaku. O ya, kamu mau ambil seragam, kan? Sebentar kuambilkan.”
Mbak Shinta pun mengambil seragam yang sudah disiapkannya di rak meja dan segera menyerahkannya padaku.
”Tuh, ruang gantinya di sana.”
“Makasih, Mbak. Saya tinggal dulu ya.”
Sekarang aku telah mengganti pakaianku dengan seragam karyawan StarMusikindo yang berwarna kuning menyala dengan strip biru dilengannya, aku segera berjalan mengelilingi toko, mengitari rak-rak display tempat kaset dan compact disc diatur sedemikian rupa. Di toko ini juga menjual berbagai alat musik. Bahkan buku-buku tentang musik pun ada di sini. Kulihat beberapa karyawan toko yang tersebar di seluruh sudut ruangan terlihat sibuk melayani para pengunjung. Kira-kira jumlahnya ada enam orang. Semuanya memakai seragam sepertiku. Ketika aku sibuk mengamati, tiba-tiba ada dua orang cowok karyawan toko menghampiriku. Yang satu bertubuh tinggi besar berkepala gundul sedangkan yang satunya lagi berbadan gendut dengan rambut ikal. Karena merasa sebagai karyawan baru, aku pun menyapa mereka terlebih dahulu.
“Assalamu’ alaikum, Mas. Salam kenal. Saya Isma, karyawan baru di sini.”
“Wa’alaikum salam. Kelihatannya Bu Ratna udah terima karyawan lagi ya buat membantu kita di sini.” Balas karyawan toko yang bertubuh gendut. “Salam kenal juga, namaku Didik.”
“Kalau aku dipanggil Bram.” Yang bertubuh tinggi besar ikutan berkenalan.
“Jadi bisa kupanggil Mas Bram ama Mas Didik ya?”
“Boleh.”
Dalam hitungan menit, kami bertiga pun jadi akrab satu sama lain. Rasanya aku seperti mengenal mereka sebagai sahabat lama. Mereka berdua memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mas Bram orangnya agak kalem. Nggak banyak omong. Cocok banget kalau jadi security. Beda banget sama Mas Didik yang ngocol abis. Orangnya selalu ceria. Kalau ngobrol selalu di selingi dengan humor-humor segar sehingga suasananya menjadi menyenangkan. Oleh Mas Bram dan Mas Didik, aku dikenalkan dengan karyawan yang lain. Tanpa waktu yang lama, aku sudah mengenal semua karyawan di sini. Selain ada Mbak Shinta, Mas Didik dan Mas Bram, aku sudah berkenalan dengan Mbak Ivonne penjaga kasir, serta karyawan toko yang lain seperti Mas Seno, Rio, Devi dan Nisa. Ketiga karyawan terakhir ini sebaya denganku. Mereka semuanya sangat ramah padaku dan kelihatannya aku akan kerasan kerja di sini. Tanpa sengaja, aku melihat Bu Ratna sedang memperhatikanku dari balik jendela ruang kerjanya yang langsung menghadap ke arah toko. Aku segera tersenyum kepadanya dan beliau pun membalasnya. Merasa agak risih, aku pun kembali melanjutkan pekerjaaanku. Sore ini memang toko sangat ramai. Mungkin karena pas malam Minggu, kulihat pengunjung toko kebanyakan para anak ABG atau orang kuliahan sepertiku.
Ketika bus kota hampir sampai di daerah Pasar Gedhe, sebuah bangunan pasar yang merupakan bangunan peninggalan jaman penjajahan kolonial dulu, seorang pria separuh baya yang duduk di sampingku sepertinya hendak bersiap untuk turun.
Tak lama kemudian kondektur pun berteriak, “ Pasar Gedhe, Pasar Gedhe!”
Pria itu segera berdiri dan maju mendekati pintu keluar.
Melihat kursi disampingku kosong, aku pun segera beranjak untuk duduk.
Bersamaan dengan turunnya pria tadi, seorang nenek dengan menggandeng cucu perempuannya naik ke dalam bus. Nenek tersebut tampak celingukan mencari tempat duduk yang kosong.
Keperhatikan semua penumpang yang duduk tampak tidak menghiraukan sang nenek. Bahkan mungkin ada yang sengaja tidak memperhatikan. Aku pun jadi merasa jengkel melihat ulah para penumpang tersebut. Mungkin sudah hilang rasa empati mereka terhadap sesamanya. Dan aku pun hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan ulah mereka.
Kulihat nenek tersebut membawa tas belanjaan yang lumayan besar. Mungkin beliau habis berbelanja membeli barang-barang kebutuhan pokok di Pasar Gedhe. Beliau tampaknya agak kerepotan juga. Selain membawa belanjaannya, nenek tersebut juga menggandeng cucunya. Sehingga ketika bus mulai berjalan, nenek itu agak terhuyung berdirinya.
Ketika kondektur menyuruh nenek tersebut agar berdiri lebih ke tengah, nenek tersebut berjalan mendekatiku. Seketika itu aku berdiri. Aku segera memanggil nenek tersebut.
“ Nek, silahkan duduk di kursi saya saja. Mari belanjaannya saya bawakan.”
Tanganku pun segera meraih tas belanjaan nenek itu. Memang berat juga belanjaannya. Mungkin hampir sekitar sepuluh kilo.
“Matur nuwun, Nak Mas.”
“Sama-sama, Nek.”
Nenek itu pun segera duduk ditempatku tadi. Cucu perempuannya dia posisikan duduk di pangkuannya. Sedangkan tas belanjaannya kutaruh di bawah tempat duduk.
“Nak Mas baik sekali mau menolong kami,” kata nenek itu tiba-tiba.
“Itu sudah kewajiban saya, Nek.”
“Nama Nak Mas siapa?”
“Nama saya Isma, Nek.”
“O, Nak Isma. Nak Isma bisa panggil saya Eyang Lastri. Kenalkan ini cucu Eyang. Namanya Putri. Ayo, salaman sama Om Isma.”
Cucu perempuannya pun segera menjulurkan tangannya.
Aku pun segera meraih tangan yang mungil itu.
“Halo, Put. Putri udah sekolah belum?”
“Udah, Om. Tapi masih di playgroup.”
“Udah bisa nyanyi, donk?”
“Iya, Om. Putri udah bisa nyanyi Balonku, Burung Kakak Tua dan Pelangi.”
“Wah, anak pintar.”
“Nak Isma mau kemana?” tanya Eyang Lastri.
“Saya mau melamar kerja, Eyang.”
“Melamar kerja di mana?”
“Alamatnya di Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya depan Solo Grand Mall , Eyang. Saya mau melamar kerja sebagai karyawan toko musik.”
“Sekarang Nak Isma kerja di mana?”
“Saya masih kuliah di UNS, Eyang. Saya kerja buat mencari tambahan uang saku.”
“Nak Isma tinggal di mana?”
“Asli saya dari Wonosobo, Eyang. Saya di sini kost di daerah Kentingan.”
“Wah, saya kagum dengan Nak Isma. Nak Mas mau bekerja untuk mencari uang, padahal Nak Mas sendiri masih kuliah. Nak Mas memang anak yang baik, mau meringankan beban orang tua.”
“Eyang jangan terlalu memuji saya.”
“Kalau sempat, Nak Isma bisa mampir ke rumah Eyang?”
“Eyang tinggal dimana?”
“Eyang tinggal di daerah Mangkuyudan. Eyang di sana tinggal dengan Putri dan dua orang pembantu. Anak Eyang cuma seorang, ya Ibunya si Putri ini. Namanya Larasati. Tapi dia sudah tinggal di Jakarta bersama suaminya. Sengaja Putri dititipkan sama Eyang dan sekolah di sini. Memang itu permintaan Eyang sendiri supaya Eyang tidak kesepian. Suami Eyang sudah lama meninggal dunia. Jadi sehari-hari, Putri ini lah yang selalu menemani dan menghibur Eyang. Kalau Nak Isma sudi berkunjung ke rumah Eyang, tentu Eyang akan sangat senang.”
“Terima kasih atas tawarannya, Eyang. Insya Allah kalau ada waktu, saya akan bersilahturahmi ke rumah Eyang.”
“Nanti kalau mau ke rumah, Nak Isma bisa telepon dulu. Ini nomer teleponnya. Nak Mas bisa mencatatnya.”
Segera kumasukkan nomer yang diberikan Eyang Lastri ke dalam memory card di handphoneku.
Karena aku terhanyut dalam obrolan dengan Eyang Lastri, tanpa terasa bus kota yang kutumpangi sampai di perempatan Gendengan di sebelah barat Solo Grand Mall. Kondektur pun kembali berteriak,” SGM, SGM!”
Aku pun segera berpamitan dengan Eyang Lastri.
“Eyang, saya turun disini dulu. Mohon doa restunya supaya saya bisa diterima. Dah, Putri. Om turun dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, semoga diterima yang Nak Mas. Dan jangan lupa ya Nak Isma mampir ke rumah.”
“Insya Allah, Eyang.”
Aku pun segera bergegas turun.
Kusempatkan diriku untuk melambaikan tangan ke arah Eyang Lastri dan Putri. Mereka pun membalas dengan lambaian tangan yang tulus dan senyum yang mengembang.
Bus kota tersebut kemudian berlalu dari hadapanku. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke arah StarMusikindo.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku berdiri di depan sebuah bangunan yang megah dengan gaya arsitektur minimalis modern. StarMusikindo merupakan toko musik terbesar dan teramai di kota Solo. Letaknya juga di pinggiran jalan protokol sehingga lokasinya sangat strategis. Tiap hari toko ini selalu ramai oleh pengunjung seperti yang sedang kulihat sekarang. Aku pun segera memasuki pintu utamanya yang bergaya hi-tech . Aku segera menuju ke customer service. Terlihat seorang cewek dengan wajah yang lumayan cantik, dengan rambut hitam yang panjang tergerai rapi dan mengenakan seragam sedang sibuk mengangkat telepon. Melihatku berjalan ke arahnya, cewek customer service itu segera meletakkan kembali teleponnya dan menyambutku dengan senyumnya yang ramah.
“Selamat siang, Mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan manajer di sini. Tadi saya udah janjian dengan beliau. Siang ini saya mau ada interview.”
“O, jadi Mas yang sudah masukin lowongan kerja kemarin? Langsung aja naik ke lantai atas, Mas. Bu Ratna sudah menunggu.”
“Maaf, siapa Bu Ratna?”
“Oh, maaf. Saya lupa kalau Mas belum tahu. Bu Ratna adalah manajer di StarMusikindo sini.”
“Begitu ya.”
“Silahkan. Mas langsung naik aja. Tangganya ada di sebelah sana.” Kata cewek customer service sambil menunjuk ke arah tangga yang terletak agak di belakang toko.
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun segera berlalu meninggalkannya menuju tangga yang dimaksud oleh cewek tadi. Toko ini memang sangat besar. Mungkin luasnya sekitar empat ratusan meter persegi. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai atas memiliki sebuah void yang cukup luas yang dilengkapi dengan dua buah eskalator untuk akses naik turun. Sedangkan tangga yang kunaiki ternyata hanya dikhususkan untuk para karyawan toko saja karena langsung menuju ke ruangan administrasi dari toko musik ini.
Sesampainya aku di lantai atas, aku segera menuju ke ruangan manajer yang papan namanya cukup terlihat jelas dari sini sehingga aku tidak perlu lagi bertanya untuk mencari-cari. Segera kuketuk pintu yang bertuliskan “MANAGER” sebanyak dua kali dan tak lama kemudian terdengar suara dari balik pintu yang berlapis panil kayu tersebut.
“Masuk. Nggak dikunci kok.”
Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Bu.”
“Selamat siang.” Terlihat seorang wanita separuh baya mengenakan setelan blazer warna merah marun sedang duduk di sebuah kursi besar dengan meja kerja yang terlihat rapi, menyambut diriku.
“Mari, silahkan duduk.”
Aku pun mengikuti perintahnya, duduk di depan meja kerjanya dan segera menyapa beliau.
“Kenalkan, saya Ismail,“ sapaku sambil menyodorkan tangan. Beliau pun membalasnya dengan ramah.
“Saya Ratna, manajer di sini. Panggil saja Bu Ratna. Saudara yang mau kerja di sini?”
“Betul, Bu. Saya yang mengajukan lamaran kerja di sini. Kata karyawan Ibu di telepon pagi tadi, hari ini akan ada interview.”
“Betul. Saya sendiri yang akan mewancarai Saudara. Saudara tinggal di mana?”
“Saya di Solo masih kuliah, Bu. Saya di sini kost di daerah dekat kampus UNS. Tepatnya di Kentingan. Asli saya dari Wonosobo.”
“O, begitu.”
Kulihat Bu Ratna sedang membaca curriculum vitae yang kumasukkan bersama surat lamaran kerjaku kemarin.
“Bagaimana, bisa kita mulai ? Saudara nggak usah tegang, rileks aja.”
“Baik, Bu. Insya Allah, saya siap.”
Hampir dua jam lamanya acara interview tersebut berlangsung. Bu Ratna ternyata orangnya sangat ramah. Beliau sering mengajakku bercanda di sela-sela interview sehingga hal itu agak mengurangi sedikit ketegangan yang menyelimuti diriku. Dan aku pun jadi lebih rileks dalam menjawab semua pertanyaaan yang diajukan oleh Bu Ratna kepadaku. Bu Ratna tampak manggut-manggut, mendengarkan semua jawaban yang kusampaikan kepadanya.
Waktu menunjukkan jam setengah tiga. Interview pun selesai.
“Bagaimana? Saudara cocok dengan tawaran yang tadi saya ajukan?” Bu Ratna berkata kepadaku sambil merapikan meja kerjanya.
“Saya bersedia, Bu.”
“OK, kalau begitu Saudara bisa mulai kerja besok hari Senin sebagai karyawan toko. Nanti seragamnya bisa diambil di customer service. Seperti yang telah kita sepakati. Waktu kerja Saudara setengah hari kerja mengingat Saudara masih kuliah. Hari Senin sampai Jum’at, Saudara dapat giliran masuk sore dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam dan untuk hari Sabtu Minggu, Saudara masuk pagi dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Ada yang keberatan?”
“Ada satu hal, Bu.”
“Apa itu?”
“Ibu boleh panggil saya cukup dengan Isma saja.”
“Baik, akan Ibu turuti. Sejujurnya Ibu sangat menyukai kepribadianmu, Isma. Semoga nanti kamu bisa menjadi karyawan yang baik di sini.”
“Insya Allah, Bu.”
“O ya, Is. Hari ini kamu ada acara nggak?”
“Kelihatannya nggak ada. Memang ada apa, Bu?”
“Ah, nggak ada apa-apa. Cuma Ibu ingin siang ini kamu bisa mulai mengenal toko ini lebih dekat supaya pas hari pertama kerja kamu nanti nggak kaku.”
“Wah, dengan senang hati, Bu.”
“Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu boleh pergi. Jangan lupa sekalian ambil seragamnya ya sama Mbak Shinta di customer service.”
“Saya permisi dulu, Bu. Assalamu’ alaikum.”
“Monggo. Wa’alaikum salam.”
Setelah keluar dari ruangan Bu Ratna, aku lewati ruang administrasi kembali lalu kuturuni tangga menuju ke lantai dasar. Aku segera bergegas menuju ke customer service untuk mengambil seragamku. Ternyata cewek tadi itu namanya Mbak Shinta. Setelah melihatku, Mbak Shinta menyapa dengan ramah. Senyum yang manis terhampar di wajahnya yang cantik.
“Gimana, diterima nggak?”
“Alhamdulillah, Mbak. Saya diterima kerja di sini.”
“Syukurlah, saya ikut senang. O ya, kenalkan. Saya Shinta.”
“Saya Ismail. Mbak bisa panggil dengan Isma aja.”
“Terus kapan donk kamu bisa mulai kerja?”
“Sebenarnya sih baru besok hari Senin, tapi kata Bu Ratna, sore ini aku disuruh mengenal toko ini terlebih dahulu, mungkin semacam trainee kali ya, Mbak?”
“Memang disini biasanya kalau ada karyawan baru disuruh trainee dulu. Biar nggak kaku. O ya, kamu mau ambil seragam, kan? Sebentar kuambilkan.”
Mbak Shinta pun mengambil seragam yang sudah disiapkannya di rak meja dan segera menyerahkannya padaku.
”Tuh, ruang gantinya di sana.”
“Makasih, Mbak. Saya tinggal dulu ya.”
Sekarang aku telah mengganti pakaianku dengan seragam karyawan StarMusikindo yang berwarna kuning menyala dengan strip biru dilengannya, aku segera berjalan mengelilingi toko, mengitari rak-rak display tempat kaset dan compact disc diatur sedemikian rupa. Di toko ini juga menjual berbagai alat musik. Bahkan buku-buku tentang musik pun ada di sini. Kulihat beberapa karyawan toko yang tersebar di seluruh sudut ruangan terlihat sibuk melayani para pengunjung. Kira-kira jumlahnya ada enam orang. Semuanya memakai seragam sepertiku. Ketika aku sibuk mengamati, tiba-tiba ada dua orang cowok karyawan toko menghampiriku. Yang satu bertubuh tinggi besar berkepala gundul sedangkan yang satunya lagi berbadan gendut dengan rambut ikal. Karena merasa sebagai karyawan baru, aku pun menyapa mereka terlebih dahulu.
“Assalamu’ alaikum, Mas. Salam kenal. Saya Isma, karyawan baru di sini.”
“Wa’alaikum salam. Kelihatannya Bu Ratna udah terima karyawan lagi ya buat membantu kita di sini.” Balas karyawan toko yang bertubuh gendut. “Salam kenal juga, namaku Didik.”
“Kalau aku dipanggil Bram.” Yang bertubuh tinggi besar ikutan berkenalan.
“Jadi bisa kupanggil Mas Bram ama Mas Didik ya?”
“Boleh.”
Dalam hitungan menit, kami bertiga pun jadi akrab satu sama lain. Rasanya aku seperti mengenal mereka sebagai sahabat lama. Mereka berdua memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mas Bram orangnya agak kalem. Nggak banyak omong. Cocok banget kalau jadi security. Beda banget sama Mas Didik yang ngocol abis. Orangnya selalu ceria. Kalau ngobrol selalu di selingi dengan humor-humor segar sehingga suasananya menjadi menyenangkan. Oleh Mas Bram dan Mas Didik, aku dikenalkan dengan karyawan yang lain. Tanpa waktu yang lama, aku sudah mengenal semua karyawan di sini. Selain ada Mbak Shinta, Mas Didik dan Mas Bram, aku sudah berkenalan dengan Mbak Ivonne penjaga kasir, serta karyawan toko yang lain seperti Mas Seno, Rio, Devi dan Nisa. Ketiga karyawan terakhir ini sebaya denganku. Mereka semuanya sangat ramah padaku dan kelihatannya aku akan kerasan kerja di sini. Tanpa sengaja, aku melihat Bu Ratna sedang memperhatikanku dari balik jendela ruang kerjanya yang langsung menghadap ke arah toko. Aku segera tersenyum kepadanya dan beliau pun membalasnya. Merasa agak risih, aku pun kembali melanjutkan pekerjaaanku. Sore ini memang toko sangat ramai. Mungkin karena pas malam Minggu, kulihat pengunjung toko kebanyakan para anak ABG atau orang kuliahan sepertiku.
Kenangan Jaket Biru 01
KENANGAN DI JOGJA
Banyak mulut cerita tentangmu
Banyak mata kagumi elokmu
Sejuta pesonamu decakkan mereka
Bagai untaian permata tak ternilai
Budaya negeri bertebaran memikat
Tergerai semerbak penuhi ku berpijak
Harum mewangi laksana melati
Tak pernah terganti.....
Tak bisa terbeli.....
Betapa indah dirimu
Sungguh epik semua kisahmu
Terhampar dari puncak nan abadi
Terbentang hingga ke pantai misteri
Ingin lagi kusinggahimu
Nikmati lagi semua keramahanmu
Biar tertanam sampai ke khayalan
Senin, 26 Januari 2009
Bag2-Kebersamaan yang Terjalin 02 ( Chap. Lagu Untuk Viola )
Hari ini tumben kantin Bu Suminah agak sepi, mungkin karena hari ini hari Sabtu. Banyak dosen yang nggak ngasih kuliah di hari Sabtu so kampus juga sepi. Kebanyakan anak-anak sedang weekend atau pergi ke perpustakaan buat nyari bahan makalah. Bahkan kadang-kadang banyak juga yang pulang kampung. Aku dan Topan telah menunggu dari jam sembilan kurang seperempat tadi. Sudah hampir jam setengah sepuluh tapi belum kulihat batang hidung mereka. Karena bosan menunggu, Topan sudah sempat menghabiskan lima buah mendoan plus es teh dua gelas. Emang tuh anak makannya kuat banget. Padahal di warung Mas Dody tadi, dia udah sarapan nasi pecel plus mie goreng. Dia memang nggak pernah kenyang. Katanya sih biar lebih kuat dan lebih bertenaga kalau jadi vokalis. Emang apa hubungannya nyanyi dengan makan yang banyak? Ngaco nih anak.
Setelah menunggu hampir dua puluh menitan, dari kejauhan terlihat tiga sosok yang sedang berjalan menuju kantin. Topan pun melambaikan tangannya ke arah mereka dan mereka pun membalasnya.
“Akhirnya datang juga mereka, kenapa sih bisa molor gini?” umpat Topan.
“Nggak papa. Mungkin mereka ada acara dulu jadi datangnya agak terlambat.” Aku pun menenangkan Topan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga segera menghampiri dan duduk semeja dengan kami berdua. Danny berteriak kepada Bu Suminah, pemilik kantin untuk pesan minuman.
“Udah lama nunggu ya. Sorry deh kita telat, gue tadi ke perpustakaan dulu balikin buku. Kebetulan ketemu sama Arif dan Manto. Sekalian aja gue ajak bareng ke sini.” Danny memulai obrolan.
“O ya, Is. Katanya kamu ingin bikin band, bener nggak sih?” Si Arif ikutan ngobrol.
“Itu sih emang rencanaku, Rif. Aku memang udah lama sekali pengin bikin band. Awalnya sih cuma buat nyalurin hobi aja, tapi setelah kupikir-pikir, kenapa nggak sekalian aku bikin band secara profesional aja. Itung-itung bisa nambah uang saku. Nah, gimana menurut kalian?”
“Emang main band bisa dapet duit, Is?”
“Bisa aja. Gini caranya, Rif. Kita kan bisa ikutan festival-festival band yang akhir-akhir ini sering diadain. Kalau bisa menang, hadiahnya lumayan gede. Sampai jutaan rupiah. Belum lagi kalau kita nanti bisa main ke café-café, kita bisa dapat honor.”
“Bagus juga gagasan loe, tapi jangan lupa, Is! Hal itu bisa beresiko ama kuliah kita. Kita semua tahu kalau kuliah di arsitektur kan sering lembur bikin tugas.”
“Yah, Itu memang sudah resikonya, Dan. Tapi kalau kita pinter-pinter bagi waktu, mungkin nggak ada masalah kok. Kalau belum dicoba mana kita tahu? Gimana, kalian mau gabung nggak?”
“Gue ikut.” Tanpa disuruh, Topan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Danny, Arif dan Manto masih terdiam. Mereka saling memandang. Mungkin mereka berpikir dulu sebelum mengambil keputusan. Memang ini sebuah pilihan yang sulit antara kuliah dengan band. Aku pun menyadari hal itu dan aku nggak akan memaksa teman-temanku untuk mengikuti jalan yang telah kupilih. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka bertiga pun bicara.
“OK, gue ikutan.” Danny mengangkat tangannya
“Aku juga.” Arif juga mengangkat tangannya.
“Aku yo melu.” Manto yang dari tadi diam akhirnya bicara juga.
“Apa sudah kalian pikirkan masak-masak? Aku mau kita serius dalam band ini.”
“Beres, Boss.” Mereka pun menjawab dengan serempak.
Aku pun tersenyum gembira. Akhirnya aku bisa memulai mewujudkan apa yang telah kuimpikan selama ini bersama teman-temanku. Sebagai ucapan terima kasihku, makanan yang mereka pesan semua aku yang bayarin. Dan tentunya mereka senang bukan main. Terutama si Topan yang tadi paling banyak makan mendoannya.
“Ok, kapan kita mulai latihan, Is?” Topan membuka obrolan setelah kita lama tertawa-tawa dan bercanda merayakan terbentuknya band ini.
“Aku sih maunya secepatnya. Tapi kita harus cari dulu tempat latihan yang bagus serta menyusun schedule latihan rutin per minggu. Gimana, ada pendapat?”
“Gini, Is. Gue ada teman yang punya studio. Lokasinya di daerah Solo Baru. Tempatnya bagus. Alat-alatnya juga baru-baru. Kalau loe mau, nanti siang kita ke sana. Gimana?” Danny ngasih pendapat.
“Kalau siang ini, gue nggak bisa. Nanti siang gue ada acara. Gimana kalau besok pagi saja? Ngomong-ngomong jauh juga studionya. Gimana transportnya, Dan?”
“Itu sih kecil. Urusan transport, biar gue yang handle. Kita bisa pakai mobil gue dulu buat transportasi. Gampang deh bensinnya. Kan kita bisa patungan. Gini aja, gimana kalau kita sekalian ngadain iuran misalnya per minggu atau per bulan supaya kita punya kas buat band.”
“Wah, aku setuju banget tuh. Kita memang harus punya kas band. Nanti duitnya kan bisa kita pake buat keperluan band seperti transport, makan, beli alat atau apa kek.” Arif ikutan ngasih pendapat.
“Aku juga setuju banget ama usulan si Danny. Tapi urusan latihan belum kelar nih. Dan, gimana kalau sekalian aja loe handle masalah jadwal latihan. Bisa?”
“Beres, Is. No problem.”
”Nah, urusan latihan udah kelar. Sekarang urusan kas band. Gimana kalau kita iuran per minggu masing-masing sepuluh ribu rupiah. Kan nggak terlalu berat buat kantong. Nanti kas band, kita serahin sama si Manto. Kalian semua setuju nggak?”
“OK, setuju.” Mereka menjawab serempak.
“Piye, To? Sanggup nggak pegang kas band? Aku percaya ama kamu soalnya kamu orangnya kan agak teliti kalau urusan duit.”
“Thanks, Is. Aku sanggup. Lumayan nanti bisa aku pakai dulu buat modal bikin rental.”
“Yee, maunya.” Kami pun serempak melempar cabai rawit yang ada di piring tempat mendoan ke tubuh Manto.
“Sorry, Dab. Bercanda.”
“Ok, udah cukup acara ngelemparin cabainya. Nanti Bu Suminah bisa marah cabenya habis. Sekarang tinggal nama bandnya yang belum kita pikirin,” Topan pun berkata sambil mengambil mendoan lagi untuk dimakannya.
“O ya, sampai kelupaan. Ada usulan tentang nama band kita?” Aku mulai membuka musyawarah untuk menentukan nama band.
Mereka terdiam sejenak. Wajah mereka tampak serius mikirin nama apa yang cocok buat band baru kami.
“Gimana kalau The Crew.” Tiba-tiba Arif ngasih usulan.
“Kurang bagus, tuh. Mirip-mirip sama Motley Crue. Gimana kalau Kalkir.” Topan juga nggak mau kalah.
“Ah, norak loe. Masak nama band kok Kalkir. Entar keriting kalau kena air.” Danny mengejek.
“Udah, jangan ribut. Aku ada usul nih. Gimana kalau namanya Canopy Arc.” Manto pun ikut memberi usul.
“Lumayan juga. Ada unsur-unsur arsitekturnya. Tapi aku penginnya nama band kita bersifat universal. Jadi semua orang bisa tahu arti dan maksudnya.”
“Kalau begitu, gimana kalau namanya AREA51. Maksudnya AREA51 itu kan nama daerah di Amerika yang digunakan buat mempelajari aliens seperti di film Independent Day yang dibintangi Will Smith. Band kita itu diibaratkan seperti aliens, semua orang di dunia membicarakannya, semua orang mengenalnya dan semua orang ingin mengetahui seperti apa aliens itu. Jadi kita pengin band kita ini menjadi sebuah fenomena baru seperti halnya aliens. Gimana?”
Kami semua terdiam dan terpaku setelah mendengar pendapat Manto yang panjang lebar tentang arti dan maksud dari nama band kita.
“Menurutku, nama AREA51 sebenarnya nggak jelek banget sih, tapi sorry deh, To! Kedengarannya masih terlalu serem, apalagi dikaitkan dengan aliens, kok kesannya serem banget.” Aku mencoba ngasih tanggapan.
“So, apa donk nama yang cocok ama band kita?” Topan kelihatannya sudah mulai suntuk mikiran nama band.
Kami kembali terdiam.
Aku mencoba berpikir. Mencoba mencari sebuah nama. Sebuah nama yang nantinya akan menjadi biduk yang aku tunggangi untuk mengarungi lautan yang luas. Yang menjadi sarana serta tempatku bersandar dalam menempuh sebuah perjalanan hidupku yang panjang kelak.
Sesaat mataku berhenti berkedip. Pandanganku terpaku kepada Bu Suminah yang sedang mengantar segelas minuman berwarna coklat keputih-putihan kepada pelanggannya yang duduk di sebelah meja kasir. Minuman itu merupakan menu favorit di kantin ini. Sebuah minuman yang rasanya sangat enak dan gurih apalagi kalau dinikmati selagi panas dengan asap yang mengepul. Cocok diminum di udara dingin. Minuman yang menjadi kesukaan anak-anak arsitek di sini.
“Gimana kalau Coffeemilk.” Sebuah kata terlontar dari mulutku seketika.
Mereka bertiga sontak tertegun. Mereka saling memandang tanpa mengucap satu patah kata pun. Setelah lama terlarut dalam kesunyian, akhirnya…
“Sepakat.” Kami berlima serempak berteriak sambil memukul telapak tangan kita satu sama lain dengan penuh kegembiraan tanpa menghiraukan banyak orang yang memperhatikan kami. Topan, Danny, Manto dan Arif nggak menyangka kalau aku punya ide yang begitu tepat tentang nama band. Memang minuman kopi susu merupakan minuman kegemaran kita semua, apalagi kalau kita pas lembur bikin tugas kuliah sampai malam. Minuman itu selalu menemani kami menghabiskan malam yang dingin di depan meja gambar atau komputer. Akhirnya detik ini resmi terbentuklah sebuah band dengan nama: COFFEEMILK.
Bersambung...
Setelah menunggu hampir dua puluh menitan, dari kejauhan terlihat tiga sosok yang sedang berjalan menuju kantin. Topan pun melambaikan tangannya ke arah mereka dan mereka pun membalasnya.
“Akhirnya datang juga mereka, kenapa sih bisa molor gini?” umpat Topan.
“Nggak papa. Mungkin mereka ada acara dulu jadi datangnya agak terlambat.” Aku pun menenangkan Topan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga segera menghampiri dan duduk semeja dengan kami berdua. Danny berteriak kepada Bu Suminah, pemilik kantin untuk pesan minuman.
“Udah lama nunggu ya. Sorry deh kita telat, gue tadi ke perpustakaan dulu balikin buku. Kebetulan ketemu sama Arif dan Manto. Sekalian aja gue ajak bareng ke sini.” Danny memulai obrolan.
“O ya, Is. Katanya kamu ingin bikin band, bener nggak sih?” Si Arif ikutan ngobrol.
“Itu sih emang rencanaku, Rif. Aku memang udah lama sekali pengin bikin band. Awalnya sih cuma buat nyalurin hobi aja, tapi setelah kupikir-pikir, kenapa nggak sekalian aku bikin band secara profesional aja. Itung-itung bisa nambah uang saku. Nah, gimana menurut kalian?”
“Emang main band bisa dapet duit, Is?”
“Bisa aja. Gini caranya, Rif. Kita kan bisa ikutan festival-festival band yang akhir-akhir ini sering diadain. Kalau bisa menang, hadiahnya lumayan gede. Sampai jutaan rupiah. Belum lagi kalau kita nanti bisa main ke café-café, kita bisa dapat honor.”
“Bagus juga gagasan loe, tapi jangan lupa, Is! Hal itu bisa beresiko ama kuliah kita. Kita semua tahu kalau kuliah di arsitektur kan sering lembur bikin tugas.”
“Yah, Itu memang sudah resikonya, Dan. Tapi kalau kita pinter-pinter bagi waktu, mungkin nggak ada masalah kok. Kalau belum dicoba mana kita tahu? Gimana, kalian mau gabung nggak?”
“Gue ikut.” Tanpa disuruh, Topan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Danny, Arif dan Manto masih terdiam. Mereka saling memandang. Mungkin mereka berpikir dulu sebelum mengambil keputusan. Memang ini sebuah pilihan yang sulit antara kuliah dengan band. Aku pun menyadari hal itu dan aku nggak akan memaksa teman-temanku untuk mengikuti jalan yang telah kupilih. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka bertiga pun bicara.
“OK, gue ikutan.” Danny mengangkat tangannya
“Aku juga.” Arif juga mengangkat tangannya.
“Aku yo melu.” Manto yang dari tadi diam akhirnya bicara juga.
“Apa sudah kalian pikirkan masak-masak? Aku mau kita serius dalam band ini.”
“Beres, Boss.” Mereka pun menjawab dengan serempak.
Aku pun tersenyum gembira. Akhirnya aku bisa memulai mewujudkan apa yang telah kuimpikan selama ini bersama teman-temanku. Sebagai ucapan terima kasihku, makanan yang mereka pesan semua aku yang bayarin. Dan tentunya mereka senang bukan main. Terutama si Topan yang tadi paling banyak makan mendoannya.
“Ok, kapan kita mulai latihan, Is?” Topan membuka obrolan setelah kita lama tertawa-tawa dan bercanda merayakan terbentuknya band ini.
“Aku sih maunya secepatnya. Tapi kita harus cari dulu tempat latihan yang bagus serta menyusun schedule latihan rutin per minggu. Gimana, ada pendapat?”
“Gini, Is. Gue ada teman yang punya studio. Lokasinya di daerah Solo Baru. Tempatnya bagus. Alat-alatnya juga baru-baru. Kalau loe mau, nanti siang kita ke sana. Gimana?” Danny ngasih pendapat.
“Kalau siang ini, gue nggak bisa. Nanti siang gue ada acara. Gimana kalau besok pagi saja? Ngomong-ngomong jauh juga studionya. Gimana transportnya, Dan?”
“Itu sih kecil. Urusan transport, biar gue yang handle. Kita bisa pakai mobil gue dulu buat transportasi. Gampang deh bensinnya. Kan kita bisa patungan. Gini aja, gimana kalau kita sekalian ngadain iuran misalnya per minggu atau per bulan supaya kita punya kas buat band.”
“Wah, aku setuju banget tuh. Kita memang harus punya kas band. Nanti duitnya kan bisa kita pake buat keperluan band seperti transport, makan, beli alat atau apa kek.” Arif ikutan ngasih pendapat.
“Aku juga setuju banget ama usulan si Danny. Tapi urusan latihan belum kelar nih. Dan, gimana kalau sekalian aja loe handle masalah jadwal latihan. Bisa?”
“Beres, Is. No problem.”
”Nah, urusan latihan udah kelar. Sekarang urusan kas band. Gimana kalau kita iuran per minggu masing-masing sepuluh ribu rupiah. Kan nggak terlalu berat buat kantong. Nanti kas band, kita serahin sama si Manto. Kalian semua setuju nggak?”
“OK, setuju.” Mereka menjawab serempak.
“Piye, To? Sanggup nggak pegang kas band? Aku percaya ama kamu soalnya kamu orangnya kan agak teliti kalau urusan duit.”
“Thanks, Is. Aku sanggup. Lumayan nanti bisa aku pakai dulu buat modal bikin rental.”
“Yee, maunya.” Kami pun serempak melempar cabai rawit yang ada di piring tempat mendoan ke tubuh Manto.
“Sorry, Dab. Bercanda.”
“Ok, udah cukup acara ngelemparin cabainya. Nanti Bu Suminah bisa marah cabenya habis. Sekarang tinggal nama bandnya yang belum kita pikirin,” Topan pun berkata sambil mengambil mendoan lagi untuk dimakannya.
“O ya, sampai kelupaan. Ada usulan tentang nama band kita?” Aku mulai membuka musyawarah untuk menentukan nama band.
Mereka terdiam sejenak. Wajah mereka tampak serius mikirin nama apa yang cocok buat band baru kami.
“Gimana kalau The Crew.” Tiba-tiba Arif ngasih usulan.
“Kurang bagus, tuh. Mirip-mirip sama Motley Crue. Gimana kalau Kalkir.” Topan juga nggak mau kalah.
“Ah, norak loe. Masak nama band kok Kalkir. Entar keriting kalau kena air.” Danny mengejek.
“Udah, jangan ribut. Aku ada usul nih. Gimana kalau namanya Canopy Arc.” Manto pun ikut memberi usul.
“Lumayan juga. Ada unsur-unsur arsitekturnya. Tapi aku penginnya nama band kita bersifat universal. Jadi semua orang bisa tahu arti dan maksudnya.”
“Kalau begitu, gimana kalau namanya AREA51. Maksudnya AREA51 itu kan nama daerah di Amerika yang digunakan buat mempelajari aliens seperti di film Independent Day yang dibintangi Will Smith. Band kita itu diibaratkan seperti aliens, semua orang di dunia membicarakannya, semua orang mengenalnya dan semua orang ingin mengetahui seperti apa aliens itu. Jadi kita pengin band kita ini menjadi sebuah fenomena baru seperti halnya aliens. Gimana?”
Kami semua terdiam dan terpaku setelah mendengar pendapat Manto yang panjang lebar tentang arti dan maksud dari nama band kita.
“Menurutku, nama AREA51 sebenarnya nggak jelek banget sih, tapi sorry deh, To! Kedengarannya masih terlalu serem, apalagi dikaitkan dengan aliens, kok kesannya serem banget.” Aku mencoba ngasih tanggapan.
“So, apa donk nama yang cocok ama band kita?” Topan kelihatannya sudah mulai suntuk mikiran nama band.
Kami kembali terdiam.
Aku mencoba berpikir. Mencoba mencari sebuah nama. Sebuah nama yang nantinya akan menjadi biduk yang aku tunggangi untuk mengarungi lautan yang luas. Yang menjadi sarana serta tempatku bersandar dalam menempuh sebuah perjalanan hidupku yang panjang kelak.
Sesaat mataku berhenti berkedip. Pandanganku terpaku kepada Bu Suminah yang sedang mengantar segelas minuman berwarna coklat keputih-putihan kepada pelanggannya yang duduk di sebelah meja kasir. Minuman itu merupakan menu favorit di kantin ini. Sebuah minuman yang rasanya sangat enak dan gurih apalagi kalau dinikmati selagi panas dengan asap yang mengepul. Cocok diminum di udara dingin. Minuman yang menjadi kesukaan anak-anak arsitek di sini.
“Gimana kalau Coffeemilk.” Sebuah kata terlontar dari mulutku seketika.
Mereka bertiga sontak tertegun. Mereka saling memandang tanpa mengucap satu patah kata pun. Setelah lama terlarut dalam kesunyian, akhirnya…
“Sepakat.” Kami berlima serempak berteriak sambil memukul telapak tangan kita satu sama lain dengan penuh kegembiraan tanpa menghiraukan banyak orang yang memperhatikan kami. Topan, Danny, Manto dan Arif nggak menyangka kalau aku punya ide yang begitu tepat tentang nama band. Memang minuman kopi susu merupakan minuman kegemaran kita semua, apalagi kalau kita pas lembur bikin tugas kuliah sampai malam. Minuman itu selalu menemani kami menghabiskan malam yang dingin di depan meja gambar atau komputer. Akhirnya detik ini resmi terbentuklah sebuah band dengan nama: COFFEEMILK.
Bersambung...
Bag2-Kebersamaan yang Terjalin 01 ( Chap. Lagu Untuk Viola )
Empat bulan sebelumnya …
“Isma, kamu ada di dalam?” Tiba-tiba ada suara memanggilku dari luar. Tak berapa lama, terdengar suara pintu kamarku diketuk berkali-kali.
“Sebentar!“ Aku segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Di depanku terpampang seraut wajah yang kukenal, dengan tubuh yang gempal berdiri di depan pintu.
“Eh, loe, Pan. Ada apaan malam-malam begini teriak-teriak? Gangguin orang tidur aja loe.“
“Sorry, cuma mau ngasih tau, gue ada kabar bagus nih buat loe.“
“Kabar apaan?”
“Ngobrolnya di dalam aja, biar enak. Loe punya cemilan nggak?”
“Dasar, gendut. Makanan melulu yang loe pikirin. ”
Belum kusuruh masuk, Topan main selonong aja masuk ke kamarku. Dia tampak celingukan mencari-cari makanan sambil mengacak-ngacak meja belajarku yang penuh dengan tumpukan buku.
“Mana makanannya, Is? Kok nggak ketemu?”
“Lapar loe? Tuh di kolong meja komputer.”
“Cuma segini?”
“Dasar, udah untung gue kasih.”
“O ya, loe tadi jadi nggak masukin lamaran kerja ke StarMusikindo?”
“Jadi donk! Tadi sore gue udah pergi ke sana, ketemu sama karyawannya. Terus lamaran gue dititipkan dulu di customer service. Katanya nanti akan diserahin ke manajernya. Kalau sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan, akan ada panggilan menyusul. Nah, sekarang cepetan ngomong, ada kabar apaan?”
“Gini Is, tadi sore gue ketemu Danny, Arif ama Manto. Kemarin loe katanya mau nyari player buat ngisi posisi gitarist, basist ama drummer. Nah, kebetulan mereka bertiga pernah ngeband sewaktu di SMU. Danny pernah pegang bass waktu ngeband di SMUnya, Arif pernah jadi drummer terbaik se Temanggung terus si Manto juga jago main gitar kaya loe. Mereka dikasih tahu sama Liana kalau loe sedang nyari pemain buat bikin band. Mereka mau gabung ama kita. Gimana menurut loe?”
“Good, kapan kita bisa ketemu mereka?”
“Besok pagi jam sembilan di Kantin Bu Suminah.”
“OK, kalau gitu besok kita ketemu di sana. Good job, my friend.”
Pagi ini sungguh indah sekali. Semilir udara pagi menerpa wajahku. Kunikmati keindahan pagi sambil memegang secangkir teh hangat dan duduk-duduk dipagar balkon. Langit pun masih terlihat berwarna kemerah-merahan dan matahari mulai beranjak dari ufuk timur. Cukup lama aku tenggelam dalam dekapan pagi yang akhir-akhir ini jarang kunikmati. Seketika…
“Isma, ada telepon buat kamu,” teriak Mas Dody memecah keheningan pagi.
“Iya Mas.” Setelah menaruh gelas di pagar balkon, aku pun segera bergegas turun menuju tempat pesawat telepon yang diletakkan di salah satu sudut serambi rumah induk. Tampak Mas Dody masih memegangi gagang telepon menungguku. Mas Dody berumur sekitar hampir lima puluhan. Tampak uban sudah mulai tumbuh di sela-sela rambutnya yang, maaf, agak botak. Kulitnya putih bersih dengan perawakan yang tinggi besar. Orangnya sangat ramah. Hari ini beliau sudah rapi dengan kemeja warna biru dan celana coklat. Mungkin mau pergi ngantar Dik Ira ke sekolah.
“Makasih Mas, dari mana?”
“Katanya dari StarMusikindo.”
Pagi-pagi begini! Aku pun terperanjat setengah nggak percaya. Apa lamaranku diterima? Aku pun mulai deg-degan. Tanpa menunggu lama segera kuraih gagang telepon tersebut dari genggaman Mas Dody. Mas Dody pun berlalu menuju motor Vespanya warna biru siap-siap mau berangkat.
“Halo, Assalamu’ alaikum,” sapaku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, selamat pagi. Bisa bicara dengan Saudara Isma?” Terdengar suara perempuan di seberang telepon.
“Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, Mbak?”
“Begini, Saudara Isma. Saya dari StarMusikindo. Kebetulan kemarin manajer saya sudah terima surat lamaran kerja dari Saudara, dan beliau juga sudah mempelajarinya. Mungkin kualifikasi Saudara Isma cocok dengan lowongan ini dan manajer saya mengundang Saudara untuk interview siang ini di kantor.”
“Benarkah, kira-kira jam berapa, Mbak?”
“Sehabis makan siang, kira-kira jam satu. Saudara bisa?”
“Tentu saya akan datang. Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama, jangan lupa ya. Assalamu’ alaikum.”
“Beres, Mbak, Wa’alaikum salam.”
Telepon pun ditutup.
Aku masih terpaku. Aku nggak percaya dengan apa yang barusan aku dengar tadi. Mungkinkah aku diterima kerja! Yess!!! Tanpa tersadar aku berteriak dengan lantangnya sehingga anak-anak kost yang lain terkejut.
“Hey, Is. Ada apaan sih pagi-pagi gini teriak-teriak, kaya orang gila loe.” Fajar yang sedang duduk sambil membaca koran bertanya keheranan kepadaku.
“Sorry guys, hari ini gue seneng banget. Lamaran kerja gue diterima, percaya nggak?”
“Yang bener loe? Wah, makan-makan nih?” Topan yang berada di dekat Fajar ikutan nimbrung.
“Bisa diatur. Entar aja kalau gue udah terima gaji pertama.”
“Beneran ya.”
“Beres.”
“Ngomong-ngomong, kapan interviewnya?”
“Nanti siang jam satu.”
“O ya, Is. Kita jadi ketemu kan ama anak-anak di kantin Bu Suminah kan?”
“Jadi, donk. Jam sembilan, kan?”
“ Iya, makanya cepetan loe siap-siap. Ini udah hampir jam setengah sembilan lho. Takutnya anak-anak udah nungguin di kantin. Gue nanti jadi nggak enak sama mereka karena gue yang ngajakin ketemuan. Ngomong-ngomong loe belum mandi, kan? Buruan loe mandi, entar keburu ngantri.”
“OK, gue mandi dulu. Lho, loe nggak ke kampus, Jar?”
“Males ah, Sabtu-sabtu gini mendingan gue tiduran di kamar.”
“Dasar males loe.”
Aku meninggalkan Fajar yang masih sibuk membaca koran.
Topan pun beranjak dari duduknya untuk bersiap-siap ke kampus.
Setelah hampir lima belas menit bersiap-siap, kami berdua pun segera bergegas. Karena aku nggak punya motor, biasanya aku selalu membonceng Topan yang mengendarai “BMW” kesayangannya alias motor bebek butut merah warnanya. Aku terkadang heran dengan Topan. Seingatku dulu, waktu kita masih di awal-awal kuliah, Topan pernah ditawarin ortunya sebuah motor baru model racing. Tapi Topan menolaknya. Topan lebih memilih sebuah motor tua keluaran tahun 80-an untuk menemani hari-harinya ke kampus. Alasan sih katanya biar nggak terlalu membebani orang tua karena harganya lebih murah karena memang motor bekas. Saat itu, aku sempat kagum dengan pemikirannya tersebut karena menurutku ortunya termasuk orang yang berduit. Mereka mungkin bisa saja membeli sebuah mobil kalau Topan mau. Tapi temanku yang satu itu malah memilih sebuah motor tua. Tapi setelah waktu berjalan, baru kutahu ternyata dia seorang penggemar motor-motor tua. Bahkan dia telah bergabung dengan sebuah komunitas penggemar motor tua yang anggotanya kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Aku dulu pernah diajaknya mengikuti sebuah acara touring ke daerah Tawang Mangu dengan komunitas motor tuanya.
Ketika kami hendak berangkat, kulihat Fajar masih dengan setia membaca koran di serambi rumah yang kadang biasa difungsikan sebagai ruang tamu.
“Masih betah loe baca korannya?” tanya Topan.
“Soalnya ini ada artikel yang menarik, Pan. Tentang apresiasi masyarakat terhadap peningkatan produksi film nasional akhir-akhir ini,” jawab Fajar.
“Paling-paling film yang diproduksi itu kebanyakan film horror atau komedi. Karena bagi produser film yang penting biayanya bisa lebih murah dan laku di pasaran. Menurut mereka film yang bagus dari segi tema maupun kualitas belum tentu laris manis di pasaran. Itu dikarenakan sebagian masyarakat penikmat film di negara kita ini masih suka dibuat tertawa atau ditakut-takuti.”
“Jangan terlalu sentimen gitu. Memang film-film yang banyak diputar akhir-akhir ini berkisar seputar film horror maupun komedi. Tapi ada beberapa film yang secara kualitas sangat bagus, baik dari isi cerita, tema dan ilustrasi musiknya. Dan film itu juga laku di pasaran. Salah satu contohnya film Naga Bonar Jilid Dua yang dibintangi Deddy Mizwar dan Tora Sudiro. Sutradaranya oleh Deddy Mizwar sendiri. Film ini bertemakan tentang nasionalisme yang dikemas dengan apik dan tidak menjemukan. Bahkan justru sangat menghibur dengan guyonan-guyonan dan kritik-kritiknya yang tepat sasaran.”
“Udah, diskusinya dilanjutin nanti. Sekarang udah mau jam sembilan nih, Pan. Anak-anak mungkin sudah menunggu di kantin,” potongku.
“ OK, Jar. Nanti kita terusin ngobrol tentang film nasional. Sekarang kami ke kampus dulu ya. Assalamu’ alaikum.”
“ Baik, gue tunggu. Wa’alaikumsalam,” balas Fajar.
“Isma, kamu ada di dalam?” Tiba-tiba ada suara memanggilku dari luar. Tak berapa lama, terdengar suara pintu kamarku diketuk berkali-kali.
“Sebentar!“ Aku segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Di depanku terpampang seraut wajah yang kukenal, dengan tubuh yang gempal berdiri di depan pintu.
“Eh, loe, Pan. Ada apaan malam-malam begini teriak-teriak? Gangguin orang tidur aja loe.“
“Sorry, cuma mau ngasih tau, gue ada kabar bagus nih buat loe.“
“Kabar apaan?”
“Ngobrolnya di dalam aja, biar enak. Loe punya cemilan nggak?”
“Dasar, gendut. Makanan melulu yang loe pikirin. ”
Belum kusuruh masuk, Topan main selonong aja masuk ke kamarku. Dia tampak celingukan mencari-cari makanan sambil mengacak-ngacak meja belajarku yang penuh dengan tumpukan buku.
“Mana makanannya, Is? Kok nggak ketemu?”
“Lapar loe? Tuh di kolong meja komputer.”
“Cuma segini?”
“Dasar, udah untung gue kasih.”
“O ya, loe tadi jadi nggak masukin lamaran kerja ke StarMusikindo?”
“Jadi donk! Tadi sore gue udah pergi ke sana, ketemu sama karyawannya. Terus lamaran gue dititipkan dulu di customer service. Katanya nanti akan diserahin ke manajernya. Kalau sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan, akan ada panggilan menyusul. Nah, sekarang cepetan ngomong, ada kabar apaan?”
“Gini Is, tadi sore gue ketemu Danny, Arif ama Manto. Kemarin loe katanya mau nyari player buat ngisi posisi gitarist, basist ama drummer. Nah, kebetulan mereka bertiga pernah ngeband sewaktu di SMU. Danny pernah pegang bass waktu ngeband di SMUnya, Arif pernah jadi drummer terbaik se Temanggung terus si Manto juga jago main gitar kaya loe. Mereka dikasih tahu sama Liana kalau loe sedang nyari pemain buat bikin band. Mereka mau gabung ama kita. Gimana menurut loe?”
“Good, kapan kita bisa ketemu mereka?”
“Besok pagi jam sembilan di Kantin Bu Suminah.”
“OK, kalau gitu besok kita ketemu di sana. Good job, my friend.”
Pagi ini sungguh indah sekali. Semilir udara pagi menerpa wajahku. Kunikmati keindahan pagi sambil memegang secangkir teh hangat dan duduk-duduk dipagar balkon. Langit pun masih terlihat berwarna kemerah-merahan dan matahari mulai beranjak dari ufuk timur. Cukup lama aku tenggelam dalam dekapan pagi yang akhir-akhir ini jarang kunikmati. Seketika…
“Isma, ada telepon buat kamu,” teriak Mas Dody memecah keheningan pagi.
“Iya Mas.” Setelah menaruh gelas di pagar balkon, aku pun segera bergegas turun menuju tempat pesawat telepon yang diletakkan di salah satu sudut serambi rumah induk. Tampak Mas Dody masih memegangi gagang telepon menungguku. Mas Dody berumur sekitar hampir lima puluhan. Tampak uban sudah mulai tumbuh di sela-sela rambutnya yang, maaf, agak botak. Kulitnya putih bersih dengan perawakan yang tinggi besar. Orangnya sangat ramah. Hari ini beliau sudah rapi dengan kemeja warna biru dan celana coklat. Mungkin mau pergi ngantar Dik Ira ke sekolah.
“Makasih Mas, dari mana?”
“Katanya dari StarMusikindo.”
Pagi-pagi begini! Aku pun terperanjat setengah nggak percaya. Apa lamaranku diterima? Aku pun mulai deg-degan. Tanpa menunggu lama segera kuraih gagang telepon tersebut dari genggaman Mas Dody. Mas Dody pun berlalu menuju motor Vespanya warna biru siap-siap mau berangkat.
“Halo, Assalamu’ alaikum,” sapaku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, selamat pagi. Bisa bicara dengan Saudara Isma?” Terdengar suara perempuan di seberang telepon.
“Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, Mbak?”
“Begini, Saudara Isma. Saya dari StarMusikindo. Kebetulan kemarin manajer saya sudah terima surat lamaran kerja dari Saudara, dan beliau juga sudah mempelajarinya. Mungkin kualifikasi Saudara Isma cocok dengan lowongan ini dan manajer saya mengundang Saudara untuk interview siang ini di kantor.”
“Benarkah, kira-kira jam berapa, Mbak?”
“Sehabis makan siang, kira-kira jam satu. Saudara bisa?”
“Tentu saya akan datang. Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama, jangan lupa ya. Assalamu’ alaikum.”
“Beres, Mbak, Wa’alaikum salam.”
Telepon pun ditutup.
Aku masih terpaku. Aku nggak percaya dengan apa yang barusan aku dengar tadi. Mungkinkah aku diterima kerja! Yess!!! Tanpa tersadar aku berteriak dengan lantangnya sehingga anak-anak kost yang lain terkejut.
“Hey, Is. Ada apaan sih pagi-pagi gini teriak-teriak, kaya orang gila loe.” Fajar yang sedang duduk sambil membaca koran bertanya keheranan kepadaku.
“Sorry guys, hari ini gue seneng banget. Lamaran kerja gue diterima, percaya nggak?”
“Yang bener loe? Wah, makan-makan nih?” Topan yang berada di dekat Fajar ikutan nimbrung.
“Bisa diatur. Entar aja kalau gue udah terima gaji pertama.”
“Beneran ya.”
“Beres.”
“Ngomong-ngomong, kapan interviewnya?”
“Nanti siang jam satu.”
“O ya, Is. Kita jadi ketemu kan ama anak-anak di kantin Bu Suminah kan?”
“Jadi, donk. Jam sembilan, kan?”
“ Iya, makanya cepetan loe siap-siap. Ini udah hampir jam setengah sembilan lho. Takutnya anak-anak udah nungguin di kantin. Gue nanti jadi nggak enak sama mereka karena gue yang ngajakin ketemuan. Ngomong-ngomong loe belum mandi, kan? Buruan loe mandi, entar keburu ngantri.”
“OK, gue mandi dulu. Lho, loe nggak ke kampus, Jar?”
“Males ah, Sabtu-sabtu gini mendingan gue tiduran di kamar.”
“Dasar males loe.”
Aku meninggalkan Fajar yang masih sibuk membaca koran.
Topan pun beranjak dari duduknya untuk bersiap-siap ke kampus.
Setelah hampir lima belas menit bersiap-siap, kami berdua pun segera bergegas. Karena aku nggak punya motor, biasanya aku selalu membonceng Topan yang mengendarai “BMW” kesayangannya alias motor bebek butut merah warnanya. Aku terkadang heran dengan Topan. Seingatku dulu, waktu kita masih di awal-awal kuliah, Topan pernah ditawarin ortunya sebuah motor baru model racing. Tapi Topan menolaknya. Topan lebih memilih sebuah motor tua keluaran tahun 80-an untuk menemani hari-harinya ke kampus. Alasan sih katanya biar nggak terlalu membebani orang tua karena harganya lebih murah karena memang motor bekas. Saat itu, aku sempat kagum dengan pemikirannya tersebut karena menurutku ortunya termasuk orang yang berduit. Mereka mungkin bisa saja membeli sebuah mobil kalau Topan mau. Tapi temanku yang satu itu malah memilih sebuah motor tua. Tapi setelah waktu berjalan, baru kutahu ternyata dia seorang penggemar motor-motor tua. Bahkan dia telah bergabung dengan sebuah komunitas penggemar motor tua yang anggotanya kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Aku dulu pernah diajaknya mengikuti sebuah acara touring ke daerah Tawang Mangu dengan komunitas motor tuanya.
Ketika kami hendak berangkat, kulihat Fajar masih dengan setia membaca koran di serambi rumah yang kadang biasa difungsikan sebagai ruang tamu.
“Masih betah loe baca korannya?” tanya Topan.
“Soalnya ini ada artikel yang menarik, Pan. Tentang apresiasi masyarakat terhadap peningkatan produksi film nasional akhir-akhir ini,” jawab Fajar.
“Paling-paling film yang diproduksi itu kebanyakan film horror atau komedi. Karena bagi produser film yang penting biayanya bisa lebih murah dan laku di pasaran. Menurut mereka film yang bagus dari segi tema maupun kualitas belum tentu laris manis di pasaran. Itu dikarenakan sebagian masyarakat penikmat film di negara kita ini masih suka dibuat tertawa atau ditakut-takuti.”
“Jangan terlalu sentimen gitu. Memang film-film yang banyak diputar akhir-akhir ini berkisar seputar film horror maupun komedi. Tapi ada beberapa film yang secara kualitas sangat bagus, baik dari isi cerita, tema dan ilustrasi musiknya. Dan film itu juga laku di pasaran. Salah satu contohnya film Naga Bonar Jilid Dua yang dibintangi Deddy Mizwar dan Tora Sudiro. Sutradaranya oleh Deddy Mizwar sendiri. Film ini bertemakan tentang nasionalisme yang dikemas dengan apik dan tidak menjemukan. Bahkan justru sangat menghibur dengan guyonan-guyonan dan kritik-kritiknya yang tepat sasaran.”
“Udah, diskusinya dilanjutin nanti. Sekarang udah mau jam sembilan nih, Pan. Anak-anak mungkin sudah menunggu di kantin,” potongku.
“ OK, Jar. Nanti kita terusin ngobrol tentang film nasional. Sekarang kami ke kampus dulu ya. Assalamu’ alaikum.”
“ Baik, gue tunggu. Wa’alaikumsalam,” balas Fajar.
Kamis, 22 Januari 2009
Bag1-Pagi yang Melelahkan 02 ( Chap. Lagu Untuk Viola )
Setelah terengah-engah berlarian, akhirnya aku sampai juga di depan kanopi gedung Jurusan Arsitektur. Kuberhenti langkahku sejenak untuk mengatur nafas yang masih ngos-ngosan tak beraturan. Kulihat jam tanganku menunjukkan jam sebelas lebih lima puluh lima. Celaka, tinggal lima menit lagi dari deadline pengumpulan tugas. Aku harus segera bergegas, takut nggak keburu. Tak menunggu lama, segera kuberlari menuju tangga yang terletak di ujung lobby gedung jurusan. Letak ruang dosen berada di lantai dua. Lumayan capek juga naik tangga.
“Kenapa kampusku nggak pakai lift aja sih,” umpatku.
Setibanya di lantai satu, kulihat Topan menuruni tangga berlawanan arah denganku. Dia melihat ke arahku dengan senyum yang mengejek. Sialan juga nih anak, kenapa tadi pas di warung aku nggak dikasih tau kalau udah mau deadline.
“Pan, tega loe sama teman. Kenapa tadi loe nggak ngasih tahu kalau udah hampir deadline,” umpatku.
“Yee, salah loe sendiri, gue tadi udah ngasih tau ke loe kalau udah jam sebelas, e…loe malah cuek aja, asyik main gitar sama si bule,” Topan membalas nggak kalah sengitnya.
Bener juga sih yang dia omongin. Memang aku tadi terlalu keasyikan bersama David sampai lupa waktu. David memang jago banget main gitarnya dan aku pun nggak bosan-bosan melihatnya.
“Lho, kok malah bengong, buruan! Sebentar lagi tugasnya mau di bawa pulang ama Pak Edy lho.”
“Ah, yang bener loe,” Sontak kusegera berlari menuju ruang dosen. Sampai di lantai dua, nafasku mulai kembang kembis. Dadaku terasa sesak sekali. Aku nggak peduli. Aku terus berlari, menuju ruangan Pak Edy. Kulihat teman-temanku terpaku melihatku seperti orang dikejar hantu. Mereka meledekku, mentertawai aku, bahkan ada juga ada yang nyukurin aku. Jahat bener tuh anak, temen susah malah disukurin. Sekali lagi aku nggak peduli, nggak peduli!
Sesampainya di ruang dosen, terlihat sebuah bayangan beranjak keluar dari ruang tempat pengumpulan makalah. Mati aku! Pak Edy sudah mau pulang. Tanpa pikir panjang, segera kuhadang langkahnya. Dan akibatnya, tentu Pak Edy jadi kesal dan marah sekali.
“Isma, apa-apaan kamu! Kenapa kamu menghalangi jalan Bapak, hah?”
“Maaf, Pak. Saya cuma mau ngumpulin tugas.” Kujulurkan tanganku yang memegang makalah kearah Pak Edy. Reaksi Pak Edy sungguh membuatku sangat deg-degan. Beliau hanya diam saja terpaku sambil memandangiku dengan tatapan mata yang tajam tanpa menghiraukan makalah yang kujulurkan padanya. Lama beliau seperti itu, mungkin sampai dua menitan. Aku nggak berani menatap matanya yang terus melotot kepadaku. Sereem banget! Akhirnya setelah sekian lama menatapku beliau hanya bisa geleng–geleng kepala.
“Isma, kamu tahu kan aturannya, ini sudah jam dua belas lewat satu menit dan kamu terlambat seperti biasanya! Jadi Bapak nggak bisa kasih toleransi lagi,” kata Pak Edy sambil menunjuk ke arah jam tangannya.
“Aduh, maaf Pak, kan cuma lewat satu menit, nggak papa kan Pak? Nih, jam saya aja masih jam dua belas tepat, jam Bapak tuh yang lebih cepat semenit.”
“Memangnya Bapak peduli.”
“Tolonglah, Pak.”
“ Pokoknya tetap nggak bisa. Titik!”
“ Please, Pak, please! Saya udah capek-capek ngerjain Pak, sampai nggak tidur semaleman, masa Bapak tega sih sama saya.”
“Itu bukan urusan Bapak.”
Aku terus mengiba kepada Pak Edy sampai tanganku seperti seorang abdi dalem keraton yang sedang menyembah pada rajanya. Tentu saja aku jadi tontonan gratis di ruangan dosen tersebut. Banyak teman-temanku yang tertawa melihat tingkahku. Dosen-dosen yang lain juga ikut-ikutan tersenyum melihatku. Duh, malunya! Apalagi adik-adik tingkat satu juga ada disitu. Mau ditaruh dimana mukaku nih. Tapi aku nggak ambil pusing, yang penting aku bisa lulus dari mata kuliah yang memusingkan plus membosankan ini. Tak lama kemudian, Pak Edy pun luluh dan mau menerima makalahku.
“Kali ini Bapak kasih kamu toleransi, tapi hanya sekali ini saja. Lain kali tidak ada ampun lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak.” Alhamdulillah, lega rasanya.
“Kalau Bapak tidak memandang otak kamu yang lumayan encer, mungkin Bapak tidak bisa kasih kamu keringanan. Is, sebenarnya apa sih masalahmu kok sering kali terlambat kalau ada tugas?” tanya Pak Edy.
“Eee… anu, Pak. Sebentar lagi akan diadakan festival band yang akan saya ikuti. Dan saya bersama dengan teman-teman sibuk mempersiapkan diri supaya nanti dalam festival bisa tampil dengan maksimal.”
“Kegiatan seperti itu sih boleh-boleh aja, itu kan kegiatan yang positif daripada kamu malah terjerumus ke dalam kegiatan-kegiatan yang negatif semisal pergaulan bebas hingga memakai drugs. Itu sangat dilarang!”
“Memang seharusnya begitu, Pak. Ngomong-ngomong, Bapak suka musik?”
“Asal kamu tahu, Is. Bapak dari dulu juga suka sekali mendengarkan musik. Band favorit Bapak dari jaman Bapak muda dulu adalah Koes Plus. Bapak setiap hari selalu mendengarkan lagu-lagunya di mobil Bapak. Khususnya lagu yang berjudul Hatiku Beku, itu lagu favorit Bapak. Tapi ingat, Isma! Kamu harus pintar-pintar bagi waktu. Jangan sampai kuliahmu terbengkalai karena terlalu asyik dengan kegiatan musik yang kau geluti.” Pak Edy pun mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya layaknya seorang bapak untuk menasehati anaknya. Aku pun hanya bisa manggut-manggut kaya kebo dicocok hidungnya.
“Iya, Pak, terima kasih buat nasehatnya.”
“Baiklah, sekarang Bapak pergi dulu, Isma. Tapi ingat! Jangan sampai kamu terlambat lagi.”
“Insya Allah, Pak. Akan saya usahakan.”
Pak Edy pun segera berlalu dari hadapanku. Tanpa malu-malu, kerebahkan pantatku di lantai sambil bersandar di dinding ruang dosen yang terbuat dari partisi kayu. Rasa capek yang kualami sungguh menyiksaku. Ditambah lagi pegal-pegal karena berlarian dari kost sampai ke kampus yang membuat betisku serasa ditusuk-tusuk. Kuhela nafas perlahan. Kuseka keringat yang mengucur di dahi dengan tanganku. Tiba-tiba selembar kain putih terpampang di depan wajahku.
“Nih, buat mengusap keringatmu.” Ada suara menyapaku. Kudongakkan wajahku. Rupanya temanku, Dewi mengulurkan selembar tissue padaku. Dewi berasal dari Klaten. Dia memakai kerudung warna putih tulang untuk menutupi rambutnya. Wajahnya oval dengan alis tebal dan senyum yang manis. Kulitnya agak kecoklatan dengan perawakan agak tinggi. Mungkin untuk kategori cewek dia termasuk jangkung. Hampir sama tingginya denganku.
“Thanks, kamu udah ngumpulin makalahnya, Wi?”
“Dari jam sebelas tadi. Emang kamu dari mana aja sampai terlambat begitu?”
Aku segera berdiri sambil membersihkan celana jeansku yang kotor oleh debu.
“Akhir-akhir ini aku sibuk sekali.”
“Kaya mau Pilkada aja, emangnya sibuk ngapain sih?”
“Pokoknya sibuk banget, biasalah, urusan band. Kamu ini mau tahu aja!”
“Yee kok malah sewot! Aku cuma pengin tahu aja, emang nggak boleh? Kalau nggak mau ngasih tau, nggak papa kok. Jo nesu tha.”
“Sorry deh, Wi. Aku masih capek nih, aku nggak marah kok sama kamu.”
“I understand, yo wis ra papa.” Ih, bahasanya Dewi emang sering nyampur-nyampur kaya gado-gado.
Sambil berjalan keluar dari ruang dosen, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Di layar LCD-nya terpampang nama Topan.
“Dari siapa, Is?” Dewi ikutan nimbrung.
“Dari Topan.”
Segera kuangkat,”Assalamu’alaikum. Ya, ada apa, Pan?”
Dari seberang sana terdengar suara Topan menjawab.
”Wa’alaikum salam, udah kelar belum urusan loe sama Pak Edy? Anak-anak udah nungguin nih di kantin Bu Suminah.”
“Emang ada apaan?”
“Yee, nih anak, udah pikun loe? Hari ini kan jadwal kita latihan band. Buruan! Kita tunggu nih.”
“Sorry, gue lupa. OK, gue segera turun, tungguin ya.”
“See you. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Telpon pun tertutup.
“Ada apaan, Is?” Dewi penasaran.
“Anak-anak udah nungguin di kantin Bu Suminah. Hari ini kita ada jadwal latihan band, kamu mau ikut turun ke kantin?”
“Boleh, lagi pula aku juga nggak ada urusan lagi disini, yuk.”
Aku dan Dewi pun segera meninggalkan ruang dosen.
Sebelum kami sampai di ujung tangga lantai satu, terdengar suara yang memanggilku dari belakang.
“Isma, tunggu aku!”
Aku segera menengok ke belakang. Dari balik dinding muncul sosok yang sangat kukenal berlari ke arahku. Rupanya si Arif, anak Temanggung, dengan rambutnya yang gondrong dikucir. Tubuhnya atletis dengan kulit yang putih bersih seperti anak cewek. Dia sedang berlari menghampiriku.
“Kamu di calling juga ama si Topan, Rif? Katanya anak-anak sudah pada ngumpul di kantin.”
“Iya, setelah ngumpulin makalah, tadi aku disuruh menghadap sama dosen Pembimbing Akademisku dulu, katanya sih mau dimintain tolong bikin gambar perspektif untuk pembuatan proposal proyek Pusat Perbelanjaan yang lokasinya di Salatiga.”
“Wah, lumayan dong, bisa dapat tambahan uang jajan nih, kita-kita ditraktir ya,” Dewi yang dari tadi diam ikutan ngobrol.
“Kamu ini, Wi! Belum apa-apa kok udah ngomongin duit. Nanti kalau udah pasti proyeknya, beres lah.”
“Janji ya!”
“Beres.”
“Kalau urusan makan-makan ditunda dulu. Anak-anak udah nunggu tuh di kantin, yuk cepetan dikit,” sahutku memotong obrolan.
Kami bertiga pun segera bergegas menuruni tangga menuju kantin Bu Suminah. Kantin Bu Suminah tidak jauh letaknya dari gedung jurusan. Paling-paling cuma dua puluh meter si sebelah utara gedung. Tempatnya sangat nyaman sebab bangunannya sengaja dibuat terbuka. Cuma pakai pembatas dinding dari gedheg setinggi satu meter aja mengelilingi kantin sehingga semilir angin masih bisa masuk ke dalam.. Belum lagi disekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang sehingga terasa teduh. Jadi enak kalau buat tempat ngobrol sambil ngemil mendoan, yaitu makanan yang terbuat dari tempe goreng yang dilapisi tepung berbumbu. Dari kejauhan, tampak Topan melambaikan tangannya. Kami bertiga pun segera menghampirinya. Disitu rupanya telah ada Danny, Manto, Agus, Liana dan Yanti. Mereka semuanya teman seangkatanku di jurusan arsitektur. Mereka menempati satu meja besar yang berada di ujung kantin. Terlihat masih ada beberapa kursi yang kosong sehingga kita bertiga pun segera bergabung dengan mereka.
“Kemana aja loe, Is? Kita udah nungguin dari tadi nih, dimarahin lagi ya ama Pak Edy? Syukurin loe, makanya jangan dipelihara kebiasaan telat loe, bikin repot aja. “ Danny membuka obrolan.
Danny berasal dari Jakarta sama seperti si Topan.. Tubuhnya tinggi besar dengan perawakan kekar serta potongan rambut cepak ala TNI. Dia sangat hobi dengan fotografi, sehingga kamera lengkap dengan aksesorisnya kemana-mana selalu tersedia di dalam tas ranselnya. Kadang-kadang dia sering pula menggelantungkan kamera tersebut dipundaknya. Nggak jauh beda sama tukang foto keliling.
“Sorry, Dan! Emangnya gue seneng telat terus kaya gini? Loe tahu sendiri kan, kegiatan kita padat sekali. Kalau tadi sih memang salah gue. Gue terlalu asyik ngejam ama temen gue, so jadi nggak ingat waktu, “ jawabku.
“Makanya kalau ada teman ngingetin, didengerin, jangan dicuekin.“ Topan ikutan nimpalin.
“Sorry, Sorry.” Aku serasa jadi terdakwa nih digugat rame-rame.
“OK, kita jangan obrolin masalah itu lagi, sekarang jadi nggak nih latihannya? Tuh udah hampir jam satu, kalau telat, bisa-bisa dimarahin sama Mas Deny!“ Tiba-tiba Manto memotong obrolan.
Manto berasal dari Jogja. Sebenarnya orangnya agak pendiam. Tubuhnya kurus dengan model rambut yang mirip dengan si Arif. Cuma dia memakai kacamata dan lebih pendek serta lebih hitam dari si Arif.
“Gus, kamu ikutan kita nggak?” Aku bertanya kepada Agus yang dari tadi sibuk baca buku komik.
“Ah, males, hari ini aku ada acara sama anak-anak himpunan, mau bahas laporan pertanggung jawaban tahunan, lain kali aja deh aku ikut,“ jawab Agus.
Agus berasal dari Semarang. Anaknya agak kutu buku dan dia juga berkacamata seperti si Manto. Dia juga termasuk salah satu pengurus himpunan mahasiswa arsitektur. Jabatannya wakil ketua himpunan. Anaknya memang sangat menyukai kegiatan berorganisasi. Tubuhnya paling kecil di antara kami tapi jangan ditanya dandanannya, selalu fashionable abis. Setiap hari tampilannya selalu modis. Mungkin suatu hari dia pengin jadi model.
“Aku juga nggak ikutan, aku mau balik ke kost aja, capek nih mau istirahat, semalam kan aku kurang tidur sehabis ngerjain makalah.” Dewi menyahut.
“Kalau kalian gimana?” tanyaku kepada Liana dan Yanti.
Kedua cewek yang kutanya ini masing-masing berasal dari Boyolali dan Salatiga. Wajah mereka sama-manis. Mereka juga agak tomboy. Bedanya, Liana berkerudung sedangkan Yanti membiarkan rambutnya yang kemerahan tergerai panjang nggak teratur. Kemeja panjang kotak-kotak yang dibiarkan tidak dikancing dan digulung lengannya sebatas sikut dipadu kaos hitam di dalamnya selalu melekat ditubuhnya yang seksi sebagai baju kebesarannya. Hobinya mendaki gunung dan panjat dinding! Pokoknya beda jauh deh ama si Dewi yang feminim. Kalo Liana tampak memakai blus warna hitam dengan dipadu kerudung dan celana putih sehingga terlihat anggun.
“Lain kali saja, aku ada janjian sama anak-anak Ajusta Brata siang ini,” jawab Yanti. Ajusta Brata adalah nama klub pecinta alam Fakultas Teknik UNS.
“Maaf, aku juga tidak bisa. Aku ada urusan mendadak di rektorat. O ya, kalian jadi ikutan festival minggu depan?” sahut Liana.
“Jadi dong, makanya kita akhir-akhir ini sibuk latihan buat persiapan festival, siapa tahu kita bisa menang, ya nggak Is?” Topan menimpali.
“Insya Allah, soalnya ini festival besar yang pertama kali kita ikuti. Mudah-mudahan bisa juara satu.”
“Amin,” Teman-temanku menjawab serempak.
“Hadiahnya juga lumayan gedhe. Juara satu bisa dapat uang sepuluh jutaan, belum lagi masih ada pemilihan player terbaik. O ya, katanya gitaris terbaik hadiahnya dapat gitar Gibson Lespaul yang loe penginin, Is,” kata Danny.
“Yang bener loe, Dan? Gue memang pengin banget punya gitar model itu. Soundnya menurut gue paling yahud dibandingkan gitar-gitar yang lain. Sekarang ada kesempatan mendapatkan secara gratis, nggak akan gue sia-siain deh,” Aku sangat bersemangat sekali. Aku pun berkhayal seandainya aku bisa mendapatkan gitar yang lama kuinginkan itu, mungkin impianku selama ini dapat cepat terwujud.
“Kalau gitu, yuk, cabut! Mobil gue tuh udah gue parkir di sana,” kata Danny sambil menunjukkan mobil jenis SUV warna hitam miliknya yang diparkir di sebelah kantin. Danny memang anak orang berduit. Dia yang paling tajir di antara kami. Di Solo saja dia mengontrak rumah di tengah kota yang dia pakai sebagai tempat tinggal.
Setelah membayar makanan dan minuman ke kasir, kami berlima segera beranjak meninggalkan kantin menuju ke arah mobilnya Danny. Kami pun berpisah dengan Agus, Dewi, Liana dan Yanti.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke handphoneku. Pengirimnya dari orang yang kukenal dan selama ini aku memang dekat dengannya.
“Dari siapa, Is?” Topan bertanya kepadaku.
“Dari Viola.”
“Duh, yang udah kangen, nggak sabaran banget sih si Viola.”
“Ngacau loe, siapa yang kangen? Nih, pesannya kita disuruh cepetan. Mas Deny udah marah-marah nungguin kita tuh, yuk buruan.”
Setelah semuanya masuk ke mobil, kami pun segera meluncur menuju studio tempat latihan yang letaknya lumayan jauh juga dari kampus, tepatnya sih di daerah Solo Baru. Selama perjalanan menuju ke studio, aku coba untuk memejamkan mataku sejenak, mengosongkan pikiranku, menerawang ke masa-masa dulu, ke masa di mana aku memulai perjalanan ini dan bertemu dengannya pertama kali. Bertemu dengan Viola …
Bersambung...
“Kenapa kampusku nggak pakai lift aja sih,” umpatku.
Setibanya di lantai satu, kulihat Topan menuruni tangga berlawanan arah denganku. Dia melihat ke arahku dengan senyum yang mengejek. Sialan juga nih anak, kenapa tadi pas di warung aku nggak dikasih tau kalau udah mau deadline.
“Pan, tega loe sama teman. Kenapa tadi loe nggak ngasih tahu kalau udah hampir deadline,” umpatku.
“Yee, salah loe sendiri, gue tadi udah ngasih tau ke loe kalau udah jam sebelas, e…loe malah cuek aja, asyik main gitar sama si bule,” Topan membalas nggak kalah sengitnya.
Bener juga sih yang dia omongin. Memang aku tadi terlalu keasyikan bersama David sampai lupa waktu. David memang jago banget main gitarnya dan aku pun nggak bosan-bosan melihatnya.
“Lho, kok malah bengong, buruan! Sebentar lagi tugasnya mau di bawa pulang ama Pak Edy lho.”
“Ah, yang bener loe,” Sontak kusegera berlari menuju ruang dosen. Sampai di lantai dua, nafasku mulai kembang kembis. Dadaku terasa sesak sekali. Aku nggak peduli. Aku terus berlari, menuju ruangan Pak Edy. Kulihat teman-temanku terpaku melihatku seperti orang dikejar hantu. Mereka meledekku, mentertawai aku, bahkan ada juga ada yang nyukurin aku. Jahat bener tuh anak, temen susah malah disukurin. Sekali lagi aku nggak peduli, nggak peduli!
Sesampainya di ruang dosen, terlihat sebuah bayangan beranjak keluar dari ruang tempat pengumpulan makalah. Mati aku! Pak Edy sudah mau pulang. Tanpa pikir panjang, segera kuhadang langkahnya. Dan akibatnya, tentu Pak Edy jadi kesal dan marah sekali.
“Isma, apa-apaan kamu! Kenapa kamu menghalangi jalan Bapak, hah?”
“Maaf, Pak. Saya cuma mau ngumpulin tugas.” Kujulurkan tanganku yang memegang makalah kearah Pak Edy. Reaksi Pak Edy sungguh membuatku sangat deg-degan. Beliau hanya diam saja terpaku sambil memandangiku dengan tatapan mata yang tajam tanpa menghiraukan makalah yang kujulurkan padanya. Lama beliau seperti itu, mungkin sampai dua menitan. Aku nggak berani menatap matanya yang terus melotot kepadaku. Sereem banget! Akhirnya setelah sekian lama menatapku beliau hanya bisa geleng–geleng kepala.
“Isma, kamu tahu kan aturannya, ini sudah jam dua belas lewat satu menit dan kamu terlambat seperti biasanya! Jadi Bapak nggak bisa kasih toleransi lagi,” kata Pak Edy sambil menunjuk ke arah jam tangannya.
“Aduh, maaf Pak, kan cuma lewat satu menit, nggak papa kan Pak? Nih, jam saya aja masih jam dua belas tepat, jam Bapak tuh yang lebih cepat semenit.”
“Memangnya Bapak peduli.”
“Tolonglah, Pak.”
“ Pokoknya tetap nggak bisa. Titik!”
“ Please, Pak, please! Saya udah capek-capek ngerjain Pak, sampai nggak tidur semaleman, masa Bapak tega sih sama saya.”
“Itu bukan urusan Bapak.”
Aku terus mengiba kepada Pak Edy sampai tanganku seperti seorang abdi dalem keraton yang sedang menyembah pada rajanya. Tentu saja aku jadi tontonan gratis di ruangan dosen tersebut. Banyak teman-temanku yang tertawa melihat tingkahku. Dosen-dosen yang lain juga ikut-ikutan tersenyum melihatku. Duh, malunya! Apalagi adik-adik tingkat satu juga ada disitu. Mau ditaruh dimana mukaku nih. Tapi aku nggak ambil pusing, yang penting aku bisa lulus dari mata kuliah yang memusingkan plus membosankan ini. Tak lama kemudian, Pak Edy pun luluh dan mau menerima makalahku.
“Kali ini Bapak kasih kamu toleransi, tapi hanya sekali ini saja. Lain kali tidak ada ampun lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak.” Alhamdulillah, lega rasanya.
“Kalau Bapak tidak memandang otak kamu yang lumayan encer, mungkin Bapak tidak bisa kasih kamu keringanan. Is, sebenarnya apa sih masalahmu kok sering kali terlambat kalau ada tugas?” tanya Pak Edy.
“Eee… anu, Pak. Sebentar lagi akan diadakan festival band yang akan saya ikuti. Dan saya bersama dengan teman-teman sibuk mempersiapkan diri supaya nanti dalam festival bisa tampil dengan maksimal.”
“Kegiatan seperti itu sih boleh-boleh aja, itu kan kegiatan yang positif daripada kamu malah terjerumus ke dalam kegiatan-kegiatan yang negatif semisal pergaulan bebas hingga memakai drugs. Itu sangat dilarang!”
“Memang seharusnya begitu, Pak. Ngomong-ngomong, Bapak suka musik?”
“Asal kamu tahu, Is. Bapak dari dulu juga suka sekali mendengarkan musik. Band favorit Bapak dari jaman Bapak muda dulu adalah Koes Plus. Bapak setiap hari selalu mendengarkan lagu-lagunya di mobil Bapak. Khususnya lagu yang berjudul Hatiku Beku, itu lagu favorit Bapak. Tapi ingat, Isma! Kamu harus pintar-pintar bagi waktu. Jangan sampai kuliahmu terbengkalai karena terlalu asyik dengan kegiatan musik yang kau geluti.” Pak Edy pun mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya layaknya seorang bapak untuk menasehati anaknya. Aku pun hanya bisa manggut-manggut kaya kebo dicocok hidungnya.
“Iya, Pak, terima kasih buat nasehatnya.”
“Baiklah, sekarang Bapak pergi dulu, Isma. Tapi ingat! Jangan sampai kamu terlambat lagi.”
“Insya Allah, Pak. Akan saya usahakan.”
Pak Edy pun segera berlalu dari hadapanku. Tanpa malu-malu, kerebahkan pantatku di lantai sambil bersandar di dinding ruang dosen yang terbuat dari partisi kayu. Rasa capek yang kualami sungguh menyiksaku. Ditambah lagi pegal-pegal karena berlarian dari kost sampai ke kampus yang membuat betisku serasa ditusuk-tusuk. Kuhela nafas perlahan. Kuseka keringat yang mengucur di dahi dengan tanganku. Tiba-tiba selembar kain putih terpampang di depan wajahku.
“Nih, buat mengusap keringatmu.” Ada suara menyapaku. Kudongakkan wajahku. Rupanya temanku, Dewi mengulurkan selembar tissue padaku. Dewi berasal dari Klaten. Dia memakai kerudung warna putih tulang untuk menutupi rambutnya. Wajahnya oval dengan alis tebal dan senyum yang manis. Kulitnya agak kecoklatan dengan perawakan agak tinggi. Mungkin untuk kategori cewek dia termasuk jangkung. Hampir sama tingginya denganku.
“Thanks, kamu udah ngumpulin makalahnya, Wi?”
“Dari jam sebelas tadi. Emang kamu dari mana aja sampai terlambat begitu?”
Aku segera berdiri sambil membersihkan celana jeansku yang kotor oleh debu.
“Akhir-akhir ini aku sibuk sekali.”
“Kaya mau Pilkada aja, emangnya sibuk ngapain sih?”
“Pokoknya sibuk banget, biasalah, urusan band. Kamu ini mau tahu aja!”
“Yee kok malah sewot! Aku cuma pengin tahu aja, emang nggak boleh? Kalau nggak mau ngasih tau, nggak papa kok. Jo nesu tha.”
“Sorry deh, Wi. Aku masih capek nih, aku nggak marah kok sama kamu.”
“I understand, yo wis ra papa.” Ih, bahasanya Dewi emang sering nyampur-nyampur kaya gado-gado.
Sambil berjalan keluar dari ruang dosen, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Di layar LCD-nya terpampang nama Topan.
“Dari siapa, Is?” Dewi ikutan nimbrung.
“Dari Topan.”
Segera kuangkat,”Assalamu’alaikum. Ya, ada apa, Pan?”
Dari seberang sana terdengar suara Topan menjawab.
”Wa’alaikum salam, udah kelar belum urusan loe sama Pak Edy? Anak-anak udah nungguin nih di kantin Bu Suminah.”
“Emang ada apaan?”
“Yee, nih anak, udah pikun loe? Hari ini kan jadwal kita latihan band. Buruan! Kita tunggu nih.”
“Sorry, gue lupa. OK, gue segera turun, tungguin ya.”
“See you. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Telpon pun tertutup.
“Ada apaan, Is?” Dewi penasaran.
“Anak-anak udah nungguin di kantin Bu Suminah. Hari ini kita ada jadwal latihan band, kamu mau ikut turun ke kantin?”
“Boleh, lagi pula aku juga nggak ada urusan lagi disini, yuk.”
Aku dan Dewi pun segera meninggalkan ruang dosen.
Sebelum kami sampai di ujung tangga lantai satu, terdengar suara yang memanggilku dari belakang.
“Isma, tunggu aku!”
Aku segera menengok ke belakang. Dari balik dinding muncul sosok yang sangat kukenal berlari ke arahku. Rupanya si Arif, anak Temanggung, dengan rambutnya yang gondrong dikucir. Tubuhnya atletis dengan kulit yang putih bersih seperti anak cewek. Dia sedang berlari menghampiriku.
“Kamu di calling juga ama si Topan, Rif? Katanya anak-anak sudah pada ngumpul di kantin.”
“Iya, setelah ngumpulin makalah, tadi aku disuruh menghadap sama dosen Pembimbing Akademisku dulu, katanya sih mau dimintain tolong bikin gambar perspektif untuk pembuatan proposal proyek Pusat Perbelanjaan yang lokasinya di Salatiga.”
“Wah, lumayan dong, bisa dapat tambahan uang jajan nih, kita-kita ditraktir ya,” Dewi yang dari tadi diam ikutan ngobrol.
“Kamu ini, Wi! Belum apa-apa kok udah ngomongin duit. Nanti kalau udah pasti proyeknya, beres lah.”
“Janji ya!”
“Beres.”
“Kalau urusan makan-makan ditunda dulu. Anak-anak udah nunggu tuh di kantin, yuk cepetan dikit,” sahutku memotong obrolan.
Kami bertiga pun segera bergegas menuruni tangga menuju kantin Bu Suminah. Kantin Bu Suminah tidak jauh letaknya dari gedung jurusan. Paling-paling cuma dua puluh meter si sebelah utara gedung. Tempatnya sangat nyaman sebab bangunannya sengaja dibuat terbuka. Cuma pakai pembatas dinding dari gedheg setinggi satu meter aja mengelilingi kantin sehingga semilir angin masih bisa masuk ke dalam.. Belum lagi disekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang sehingga terasa teduh. Jadi enak kalau buat tempat ngobrol sambil ngemil mendoan, yaitu makanan yang terbuat dari tempe goreng yang dilapisi tepung berbumbu. Dari kejauhan, tampak Topan melambaikan tangannya. Kami bertiga pun segera menghampirinya. Disitu rupanya telah ada Danny, Manto, Agus, Liana dan Yanti. Mereka semuanya teman seangkatanku di jurusan arsitektur. Mereka menempati satu meja besar yang berada di ujung kantin. Terlihat masih ada beberapa kursi yang kosong sehingga kita bertiga pun segera bergabung dengan mereka.
“Kemana aja loe, Is? Kita udah nungguin dari tadi nih, dimarahin lagi ya ama Pak Edy? Syukurin loe, makanya jangan dipelihara kebiasaan telat loe, bikin repot aja. “ Danny membuka obrolan.
Danny berasal dari Jakarta sama seperti si Topan.. Tubuhnya tinggi besar dengan perawakan kekar serta potongan rambut cepak ala TNI. Dia sangat hobi dengan fotografi, sehingga kamera lengkap dengan aksesorisnya kemana-mana selalu tersedia di dalam tas ranselnya. Kadang-kadang dia sering pula menggelantungkan kamera tersebut dipundaknya. Nggak jauh beda sama tukang foto keliling.
“Sorry, Dan! Emangnya gue seneng telat terus kaya gini? Loe tahu sendiri kan, kegiatan kita padat sekali. Kalau tadi sih memang salah gue. Gue terlalu asyik ngejam ama temen gue, so jadi nggak ingat waktu, “ jawabku.
“Makanya kalau ada teman ngingetin, didengerin, jangan dicuekin.“ Topan ikutan nimpalin.
“Sorry, Sorry.” Aku serasa jadi terdakwa nih digugat rame-rame.
“OK, kita jangan obrolin masalah itu lagi, sekarang jadi nggak nih latihannya? Tuh udah hampir jam satu, kalau telat, bisa-bisa dimarahin sama Mas Deny!“ Tiba-tiba Manto memotong obrolan.
Manto berasal dari Jogja. Sebenarnya orangnya agak pendiam. Tubuhnya kurus dengan model rambut yang mirip dengan si Arif. Cuma dia memakai kacamata dan lebih pendek serta lebih hitam dari si Arif.
“Gus, kamu ikutan kita nggak?” Aku bertanya kepada Agus yang dari tadi sibuk baca buku komik.
“Ah, males, hari ini aku ada acara sama anak-anak himpunan, mau bahas laporan pertanggung jawaban tahunan, lain kali aja deh aku ikut,“ jawab Agus.
Agus berasal dari Semarang. Anaknya agak kutu buku dan dia juga berkacamata seperti si Manto. Dia juga termasuk salah satu pengurus himpunan mahasiswa arsitektur. Jabatannya wakil ketua himpunan. Anaknya memang sangat menyukai kegiatan berorganisasi. Tubuhnya paling kecil di antara kami tapi jangan ditanya dandanannya, selalu fashionable abis. Setiap hari tampilannya selalu modis. Mungkin suatu hari dia pengin jadi model.
“Aku juga nggak ikutan, aku mau balik ke kost aja, capek nih mau istirahat, semalam kan aku kurang tidur sehabis ngerjain makalah.” Dewi menyahut.
“Kalau kalian gimana?” tanyaku kepada Liana dan Yanti.
Kedua cewek yang kutanya ini masing-masing berasal dari Boyolali dan Salatiga. Wajah mereka sama-manis. Mereka juga agak tomboy. Bedanya, Liana berkerudung sedangkan Yanti membiarkan rambutnya yang kemerahan tergerai panjang nggak teratur. Kemeja panjang kotak-kotak yang dibiarkan tidak dikancing dan digulung lengannya sebatas sikut dipadu kaos hitam di dalamnya selalu melekat ditubuhnya yang seksi sebagai baju kebesarannya. Hobinya mendaki gunung dan panjat dinding! Pokoknya beda jauh deh ama si Dewi yang feminim. Kalo Liana tampak memakai blus warna hitam dengan dipadu kerudung dan celana putih sehingga terlihat anggun.
“Lain kali saja, aku ada janjian sama anak-anak Ajusta Brata siang ini,” jawab Yanti. Ajusta Brata adalah nama klub pecinta alam Fakultas Teknik UNS.
“Maaf, aku juga tidak bisa. Aku ada urusan mendadak di rektorat. O ya, kalian jadi ikutan festival minggu depan?” sahut Liana.
“Jadi dong, makanya kita akhir-akhir ini sibuk latihan buat persiapan festival, siapa tahu kita bisa menang, ya nggak Is?” Topan menimpali.
“Insya Allah, soalnya ini festival besar yang pertama kali kita ikuti. Mudah-mudahan bisa juara satu.”
“Amin,” Teman-temanku menjawab serempak.
“Hadiahnya juga lumayan gedhe. Juara satu bisa dapat uang sepuluh jutaan, belum lagi masih ada pemilihan player terbaik. O ya, katanya gitaris terbaik hadiahnya dapat gitar Gibson Lespaul yang loe penginin, Is,” kata Danny.
“Yang bener loe, Dan? Gue memang pengin banget punya gitar model itu. Soundnya menurut gue paling yahud dibandingkan gitar-gitar yang lain. Sekarang ada kesempatan mendapatkan secara gratis, nggak akan gue sia-siain deh,” Aku sangat bersemangat sekali. Aku pun berkhayal seandainya aku bisa mendapatkan gitar yang lama kuinginkan itu, mungkin impianku selama ini dapat cepat terwujud.
“Kalau gitu, yuk, cabut! Mobil gue tuh udah gue parkir di sana,” kata Danny sambil menunjukkan mobil jenis SUV warna hitam miliknya yang diparkir di sebelah kantin. Danny memang anak orang berduit. Dia yang paling tajir di antara kami. Di Solo saja dia mengontrak rumah di tengah kota yang dia pakai sebagai tempat tinggal.
Setelah membayar makanan dan minuman ke kasir, kami berlima segera beranjak meninggalkan kantin menuju ke arah mobilnya Danny. Kami pun berpisah dengan Agus, Dewi, Liana dan Yanti.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke handphoneku. Pengirimnya dari orang yang kukenal dan selama ini aku memang dekat dengannya.
“Dari siapa, Is?” Topan bertanya kepadaku.
“Dari Viola.”
“Duh, yang udah kangen, nggak sabaran banget sih si Viola.”
“Ngacau loe, siapa yang kangen? Nih, pesannya kita disuruh cepetan. Mas Deny udah marah-marah nungguin kita tuh, yuk buruan.”
Setelah semuanya masuk ke mobil, kami pun segera meluncur menuju studio tempat latihan yang letaknya lumayan jauh juga dari kampus, tepatnya sih di daerah Solo Baru. Selama perjalanan menuju ke studio, aku coba untuk memejamkan mataku sejenak, mengosongkan pikiranku, menerawang ke masa-masa dulu, ke masa di mana aku memulai perjalanan ini dan bertemu dengannya pertama kali. Bertemu dengan Viola …
Bersambung...
Bag1-Pagi yang Melelahkan 01 ( Chap. Lagu Untuk Viola )
“Excuse me, bos! You’ve a text message!!!”
Tersentak aku mendengar handphoneku berbunyi. Rupanya ada SMS yang masuk. Setelah kulihat di layar LCDnya, ternyata hanya SMS dari operator selular yang menawarkan program layanan unggulan terbarunya. Segera kutengok jam di dinding kamarku yang sudah menunjukkan jam setengah delapan pagi. Komputer di kamarku terlihat masih menyala. Ternyata aku ketiduran sehabis sholat shubuh. Mungkin aku kecapekan karena semalaman bergadang mengerjakan makalah sebagai tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosenku. Kebetulan hari ini ada pengumpulan tugas akhir mata kuliah Filsafat Ilmu. Nanti jam dua belas siang tepat harus segera dikumpulkan, nggak boleh telat sama sekali. Katanya kalau sampai telat, bisa-bisa nanti aku nggak lulus. Sebenarnya aku nggak begitu suka dengan mata kuliah Filsafat Ilmu. Abis susah banget! Dan dosennya galak lagi! Namanya Pak Edy. Orangnya sebenarnya nggak terlalu banyak ngomong, rada cool gitu, tapi kalau pas marah, nggak kebayang deh seremnya.
Aku mahasiswa semester lima Jurusan Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Solo. Namaku Isma. Lengkapnya Muhammad Ismail Ruzain. Aku berasal dari Wonosobo. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang terletak di dataran tinggi dengan udaranya yang dingin serta pemandangan alamnya yang menakjubkan. Aku hidup di keluarga yang bahagia meskipun secara ekonomi kami tergolong biasa-biasa saja. Bapakku hanya bekerja sebagai pegawai kecamatan sedangkan Ibuku adalah seorang guru TK. Aku mempunyai dua saudara perempuan yang masih duduk di bangku SMU dan SMP. Namanya Arfi dan Nadya. Aku kangen sekali dengan mereka semua. Terutama aku kangen sekali dengan masakan Ibu. Maklum, di Solo aki makan apa adanya seperti anak-anak kost yang lain. Sudah lama aku tidak pulang ke Wonosobo karena kesibukanku akhir-akhir ini. Seingatku terakhir aku pulang ketika hari lebaran tahun lalu.
Aku segera beranjak dari tempat tidurku yang acak-acakkan. Kamarku pun tak kalah berantakan. Banyak tumpukan buku-buku literatur serta kertas coret-coretan berserakan di sana-sini. Kuambil sekeping biskuit sambil beranjak dari tempat tidur menuju ke arah komputerku. Terlihat komputerku masih aktif dengan mode standby. Seketika kugerakkan mouse untuk mengaktifkannya kembali sehingga di monitor tampaklah sebuah dokumen yang kukerjakan semalam masih terpampang rapi. Setelah beberapa saat membaca lagi apa yang sudah kukerjakan, segera kuraih keyboard yang tertutup oleh kertas coret-coretan konsep. Jari-jariku mulai menari diatas tutsnya untuk meneruskan mengetik. Makalahku ternyata masih kurang beberapa bagian di bab kesimpulan.
Setelah sekian lama mengetik, Alhamdulillah, akhirnya makalahku kelar juga. Kulirik jam menunjukkan angka delapan. Setelah ku edit, kuambil setumpuk kertas HVS A4 lalu kumasukkan ke tempat printerku yang terletak agak di samping kanan CPU komputer. Setelah kertas terpasang, segera kuaktifkan perintah untuk mencetak dokumen yang jumlahnya 75 lembar.
“Ternyata cukup banyak juga aku membuatnya,” gumamku.
Sambil menunggu hasil cetakan, kuaktifkan program pemutar mp3 untuk menghilangkan rasa jemu. Dan tak lama kemudian segera melantun lagu favoritku dari band Padi, bergema ke seluruh penjuru kamarku.
Merekahnya fajar hatiku
Menghayatkan luruhku
Dan resapkan keharuman
Engkau yang mencintaiku
Dan ternyata cinta
Yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta
Tulus mendekap jiwaku … ( petikan dari lagu Ternyata Cinta oleh Padi, dari album Self Tittled )
Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kamarku. Aku pun bergegas membuka pintu kamarku sambil meregangkan otot-otot tubuhku yang masih kaku. Kulangkahkan kaki keluar menuju balkon. Kuhirup segarnya udara pagi dalam-dalam mengisi rongga paru-paruku.
Tak lama kemudian, kulihat Fajar teman kostku berjalan ke arahku sambil mengangkat sebuah ember yang terisi penuh dengan pakaian kotor.
“Mau nyuci nih,” sapaku.
“Udah bangun loe,” balasnya. “Biasanya kan loe nggak pernah kesiangan, lembur tugas?” Aku mengangguk mengiyakannya. Fajar berasal dari Jakarta. Dia seangkatan denganku tapi beda jurusan. Dia ambil jurusan Ilmu Komunikasi. Kamarnya persis bersebelahan dengan kamarku. Kami sama-sama menempati kost-kostan yang bernama “Wisma Mentari Buana“, yang terletak di sebelah barat kampus UNS. Kost-kostan yang kutempati ini mempunyai 18 kamar. Bangunannya sendiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan bangunan induk yang berbentuk rumah Jawa kuno yang letaknya tepat di tengah-tengah kost-kostan, sedangkan bagian satunya merupakan bangunan baru yang terletak di sayap kiri dan sayap kanan dari bangunan induk. Masing-masing sayap terdiri dari 6 kamar yang terbagi menjadi dua lantai, 3 kamar di lantai bawah dan 3 kamar di lantai atas. Sedangkan sisanya berada di belakang bangunan induk. Aku menempati sayap kiri di lantai atas bersama Fajar dan satu lagi teman kuliahku yang namanya Topan. Dia anak Jakarta juga, bahkan satu SMU sama Fajar. Bedanya Topan anak Fisika sedangkan Fajar anak Sosial.
Fajar segera berlalu dari hadapanku menuruni tangga yang terletak di ujung balkon. Tubuhnya yang kurus hitam itu segera menghilang dari pandanganku. Tak lama kemudian kudengar suara pintu yang terbuka. Sebuah wajah yang kukenal segera menyeruak keluar.
“Pagi, Pan. Kesiangan juga loe,” sapaku.
Tampak wajah kusut Topan yang masih terkantuk-kantuk dengan rambut keritingnya yang awut-awutan nongol di balik pintu. Tak lama kemudian tubuhnya yang gempal keluar dari kamar.
“Iya nih, semalam gue begadang ngerjain tugas dari Pak Edy sampai jam dua malam”, balasnya sambil mengucek matanya yang masih lengket. “Emang punya loe udah kelar?”
”Tuh, barusan di print, lama banget nunggunya, sampai 75 lembar sih bikinnya.”
“Gila loe, banyak amat! Emang apa aja yang loe tulis sampai bisa 75 lembar gitu? Gue aja cuma 24 lembar udah pusing tujuh keliling, itupun juga udah termasuk cover serta kata pengantar.”
Aku pun terbengong-bengong, kok bisanya tugas sesulit itu bikin makalahnya cuma 24 lembar. Aku saja sampai begadang bikinnya. Ah, peduli amat! Yang penting aku sudah mengerjakan semaksimal mungkin.
“Udah sarapan belum loe?” tanya Topan tiba-tiba.
“Belum tuh, tadi gue cuma sempet ngemil biskuit di kamar.”
“Turun yuk ke warung.”
Sejenak aku terdiam. Tak lama kemudian aku pun mengiyakan, soalnya perutku juga sudah mulai keroncongan. Topan balik lagi ke kamarnya untuk mengambil dompet yang diletakkan di atas monitor komputernya.
“Gue ditraktir ya,” kataku.
“Enak aja loe! Duit gue udah abis nih. Bulan ini gue juga belum bayar kost, mana sempat traktir-traktir. Kiriman dari ortu juga telat.” Topan membalas dengan ketus sambil memperlihatkan dompet bututnya yang cuma terdapat beberapa uang kertas seribuan didalamnya.
Sempat kuintip kamar Topan yang pintunya sudah dibukanya lebar-lebar. Wah, ternyata sama-sama hancur, nggak kalah berantakan sama kamarku. Maklum, kamar cowok! Abis begadang bikin tugas pula! Biasalah kalau berantakan. Setelah Topan keluar kamar, kuikuti dia dari belakang menuruni tangga. Kupalingkan wajahku sejenak menengok ke dalam kamarku untuk melihat hasil cetakan tugasku. Ternyata baru beberapa puluh lembar yang telah tercetak. Maklum, printer lama. Mungkin nanti sehabis sarapan baru kelar. Aku pun kembali mengikuti Topan.
Tak lama setelah tiba di ujung tangga, terdengar suara cewek menyapa kami berdua.
“Pagi Mas Isma, pagi Mas Topan, belum cuci muka ya, tuh mukanya masih pada kusut”.
Tampak seorang gadis berpakaian seragam SMU lengkap dengan tas ransel di punggungnya berdiri di depan kami berdua. Wajahnya lumayan manis, perawakannya sedang, nggak pendek-pendek amat, juga nggak terlalu tinggi. Rambutnya ikal dan terikat rapi. Namanya Dik Ira. Dia anak dari Mas Dody, pemilik kost-kostan ini. Mas Dody tinggal di rumah induk bersama keluarganya. Mas Dody mempunyai seorang istri dan 3 orang anak. Istrinya sering kami panggil dengan sebutan Mamah Rini. Sedangkan anak sulungnya cowok bernama Willy. Dia masih kuliah tingkat pertama di perguruan tinggi swasta di kota Solo. Kemudian anak keduanya ya Dik Ira ini. Dan anaknya yang paling bontot, namanya Dik Harry. Dia masih duduk di kelas dua SLTP.
“Kok Dik Ira belum berangkat sekolah, ini kan udah jam delapan lewat”, balasku.
Dik Ira dengan wajahnya yang manis menjawab dengan senyum mengembang. “Hari ini masuknya agak siangan, Mas. Soalnya hari ini kan hari pertama setelah ujian tengah semester minggu lalu, nah biasanya di sekolah diadakan lomba antar kelas. Istilah kerennya class meeting. Jadi datang kesiangan nggak papa. Mas berdua mau ke warung kan? Nanti bilangin ama Papah ya kalau Ira udah nungguin”.
Dik Ira memang masih sering diantar sama Mas Dody kalau berangkat sekolah. Katanya sekolah Dik Ira agak jauh dari sini. Kira-kira hampir 6 kilometer.
”OK, nanti Mas sampein, kami tinggal dulu ya”, balas Topan yang dari tadi masih mengucek matanya. Kemudian Dik Ira pun berlalu menuju ke serambi rumah sambil mengambil buku dari balik tas ranselnya. Dia tampak serius membaca. Ternyata buku komik yang dibacanya. Kita berdua pun segera bergegas menuju warung. Soalnya perut kami sudah tidak mau kompromi.
Warung yang kita tuju letaknya nggak terlalu jauh. Cuma lima belas meter di sebelah barat kost-kostan. Warung itu juga milik Mas Dody. Katanya sih dulu usaha turun temurun dari ortunya Mas Dody. Ukurannya tidak terlalu besar. Kurang lebih sekitar 6 x 8 meter. Dinding batanya cuma setinggi satu meteran kemudian diteruskan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Orang Jawa sering menyebutnya dengan istilah “gedheg”. Warung Mas Dody memang yang paling ramai di lingkungan ini. Meskipun banyak warung makan yang bertebaran di sekitar tempat kostku, warung Mas Dody lah yang paling sering di kunjungi. Selain harganya murah, masakannya pun enak. Harga mahasiswa rasa restoran bintang lima, begitu kata Mas Dody setengah berpromosi.
Aku dan Topan segera bergegas, takut nggak kebagian. Pagi begini, biasanya nasi pecel lah menu yang paling laris. Dengan lauk tempe goreng plus teh hangat, mmmh, nggak kebayang deh nikmatnya. Kalau duitnya berlebih, bolehlah ditambah telur ceplok biar lebih mantap. Dan seperti yang telah kuduga, tampaknya warung Mas Dody sudah mulai ramai. Segera kuambil piring yang berisi menu nasi pecel yang telah tersedia di meja saji. Di warung Mas Dody, yang membeli mengambil makanannya sendiri. Istilahnya pokwe alias “njipuk dhewe”. Kecuali minum, yang satu itu memang harus pesan dulu sama Mamah Rini.
Setelah menuang sambal pecel ke dalam nasi serta mengambil dua buah tempe goreng, aku segera mencari tempat duduk yang letaknya berada di samping meja saji karena tempat duduk yang lainnya sudah penuh terisi. Tak lama kemudian Topan mengambil tempat duduk di samping kiriku. Terlihat anak-anak “Mentari Buana” yang lain telah menyantap sarapannya dengan lahap. Terlihat Kang Deden, anak Garut yang berbadan gemuk sedang menyantap mie rebus. Wajahnya terlihat berkeringat karena menyantap mie yang panas. Kang Deden menempati kamar yang terletak di sayap kanan lantai atas. Dia kakak tingkatku di jurusan arsitektur. Orangnya ramah dan suka bercanda. Sangat enak sebagai teman ngobrol. Disampingnya ada Uda Kamal, anak Padang yang kuliah di teknik sipil, sedang sibuk mengaduk-aduk es tehnya. Uda, begitu kami memanggilnya, seangkatan dengan Kang Deden. Kamarnya terletak di sayap kanan lantai bawah. Berbeda dengan Kang Deden, Uda agak pendiam orangnya. Tapi menurutku, Uda paling pintar se-kost-kostan. Dia sering menjadi asisten dosen sejak duduk di semester dua. Lalu diseberang mereka berdua ada Mas Unang dari Surabaya dan si Hasan dari Makassar. Kamar Mas Unang dan Hasan berada di belakang rumah induk. Mereka berempat tampak sedang asyik ngobrol sambil menyantap sarapannya masing-masing.
Seketika Mamah Rini datang menghampiri sambil membawa teh hangat pesananku. Umurnya sekitar empat puluhan. Rambutnya ikal agak beruban. Beliau sifatnya sangat keibuan, care banget sama anak-anak kost. Kadang beliau nggak segan-segan “ngerokin” anak kost yang sedang masuk angin. Kami dianggap seperti anaknya sendiri. Itu sebabnya kami memanggil beliau dengan panggilan Mamah Rini.
“Makasih, Mah. O ya, tadi Dik Ira udah nungguin Mas Dody di serambi rumah, sudah siap berangkat sekolah.”
“Jam berapa sih sekarang?”
“Udah jam delapan lewat lima belas, Mah.
“Begitu, ya, makasih deh Is, nanti Mamah sampaikan sama Mas Dody.”
Mamah Rini pun berlalu, kembali sibuk melayani pesanan minum dari pelanggan warung yang lain.
Tiba-tiba Kang Deden menyapaku. “Hey Is, komputer kamu nanti malam dipakai nggak? Aku mau pinjam buat nerusin Football Manager-nya, tangguh nih, udah hampir selesai musimnya.”
“Kelihatannya nanti malam sampai jam sembilan nganggur tuh. Semua tugas kuliah udah kelar. Sok kalau Kang Deden mau pakai. Emang kurang berapa pertandingan lagi, Kang?”
“Masih sisa tiga pertandingan lagi, mungkin masih ada peluang Liverpool juara kalau menang terus.”
“Emang sekarang peringkat berapa, Kang?”
“Peringkat dua, selisihnya cuma empat poin di bawah Arsenal.”
Di kost-kostanku memang lagi demam main game PC Football Manager, sebuah permainan simulasi sepakbola yang mengharuskan kita menjadi seorang manajer atau pelatih sebuah tim. Malah sekali-kali kita main secara multiplayer, hingga kadang-kadang sampai shubuh baru kelar. Mas Dody pernah marah-marah sama anak-anak kost, soalnya tagihan listriknya jadi membengkak dua kali lipat. Akhirnya anak-anak pun patungan buat bayar rekening listriknya, termasuk aku.
Ketika aku hampir selesai menyantap sarapanku, seorang bule berkacamata bulat dengan rambut gondrong keriting sebatas bahu berwarna coklat, dan membawa sepiring nasi penuh lauk duduk di samping kananku. Dia anak Institut Seni Indonesia Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan ISI Solo tingkat tujuh yang ambil Jurusan Musik Pertunjukan. Kampus ISI bersebelahan dengan kampusku. Bule ini namanya David. Aslinya dari Manchester, Inggris. Wajahnya mirip dengan John Lennon dari band The Beatles, itu sih kalau dilihat dari Monas. Sorry, David. Just kidding.
“Morning, Isma.” David menyapaku ramah.
“Morning, David. How are you?” Aku pun balas menyapanya dengan bahasa Inggrisku yang kurang begitu lancar.
“Not very good, I’ve a little cold.”
“O ya, Why?”
“Last night, I am sopping with rain.”
“Have you drink a medicine?”
“Yes, I have, but it’s not help me much.”
“You must try to drink this.” Kataku sambil menunjuk menu kopi jahe hangat yang ada di depanku.
David pun akhirnya mengikuti saranku. Dia segera memesan segelas kopi jahe hangat pada Mamah Rini. Setelah pesanannya datang, dia pun segera meminumnya hampir separuh gelas. Sampai akhirnya dia bersendawa cukup keras sehingga semua orang yang ada di warung terkejut dan menengok kepadanya.
“Sorry, I’m sorry.” David pun segera minta maaf, sadar akan kekurang sopanannya. Dasar bule!
“Feeling better ?” tanyaku kemudian.
“Yes, I feel warm. Thanks, Isma.”
“You’re welcome, David.”
Wajah David pun terlihat sedikit lebih segar sekarang. Nggak pucat kaya tadi. Dia pun segera melahap sarapannya yang dari tadi dicuekin.
“Do you still play music with your band, Isma?” tanyanya tiba-tiba sambil mulutnya menggigit tempe goreng.
“Sure. ”
“How’s your guitar’s skill now?”
“Better than last mont. It’s cause of you, David. You teach me very well.”
“With my pleasure. I’m glad to hear that. “
“David, I have a one request.”
“What’s that?”
“Can you show me one more time about advanced guitar’s technique like tipping technique?”
“Sure. Give me your guitar but i finish my breakfeast first.”
“OK, wait a minute.”
Aku pun segera bergegas kembali ke kost untuk mengambil gitar kesayanganku yang ada di kamar. Gitar akustik Yamaha Klasik warna kayu itu kubeli sendiri waktu aku masih SMU. Waktu itu aku membelinya dengan uang sakuku sendiri yang kusisihkan sedikit demi sedikit.
Karena terlalu bersemangat ketika aku masuk kamar untuk mengambil gitar, aku sampai nggak tahu kalau hasil cetakan makalahku udah kelar. Aku terburu-buru segera balik ke warung di mana David sudah menungguku untuk memberikan les gitar gratis. Sampai di warung, aku segera memberikan gitarku ke David yang sudah selesai melahap sarapannya. Setelah diraihnya gitarku dalam dekapannya, David pun mulai memainkan jemarinya di atas dawai gitarku. Jari-jarinya meliuk-liuk sangat cepat sehingga aku pun agak kesulitan untuk melihatnya. David pun menyadari dan dia agak melambatkan tempo supaya aku bisa melihat jari-jarinya yang panjang menari. Aku sangat serius mengikutinya.
Hampir tiga jam lamanya aku belajar gitar sama David. Hingga waktu Topan mengingatkanku kalau sebentar lagi sudah hampir jam sebelas siang, aku kurang menghiraukannya. Aku masih terlalu asyik memperhatikan David bermain gitar. Setelah beberapa menit, saat aku nggak sengaja melihat jam tangan yang di pakai sama David, sontak aku sangat terperanjat.
Astaghfirullah! Deadline pengumpulan makalah !!!
Karena panik, aku segera berlari meninggalkan David yang terbengong-bengong melihatku.
“Hey, Isma. What’s going on?”
“I’m sorry, David. I must go to campus. Please take care my guitar. See you later,“ teriakku sambil berlari-lari seperti orang kesurupan dan parahnya lagi aku sampai lupa membayar sarapannya.
Tersentak aku mendengar handphoneku berbunyi. Rupanya ada SMS yang masuk. Setelah kulihat di layar LCDnya, ternyata hanya SMS dari operator selular yang menawarkan program layanan unggulan terbarunya. Segera kutengok jam di dinding kamarku yang sudah menunjukkan jam setengah delapan pagi. Komputer di kamarku terlihat masih menyala. Ternyata aku ketiduran sehabis sholat shubuh. Mungkin aku kecapekan karena semalaman bergadang mengerjakan makalah sebagai tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosenku. Kebetulan hari ini ada pengumpulan tugas akhir mata kuliah Filsafat Ilmu. Nanti jam dua belas siang tepat harus segera dikumpulkan, nggak boleh telat sama sekali. Katanya kalau sampai telat, bisa-bisa nanti aku nggak lulus. Sebenarnya aku nggak begitu suka dengan mata kuliah Filsafat Ilmu. Abis susah banget! Dan dosennya galak lagi! Namanya Pak Edy. Orangnya sebenarnya nggak terlalu banyak ngomong, rada cool gitu, tapi kalau pas marah, nggak kebayang deh seremnya.
Aku mahasiswa semester lima Jurusan Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Solo. Namaku Isma. Lengkapnya Muhammad Ismail Ruzain. Aku berasal dari Wonosobo. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang terletak di dataran tinggi dengan udaranya yang dingin serta pemandangan alamnya yang menakjubkan. Aku hidup di keluarga yang bahagia meskipun secara ekonomi kami tergolong biasa-biasa saja. Bapakku hanya bekerja sebagai pegawai kecamatan sedangkan Ibuku adalah seorang guru TK. Aku mempunyai dua saudara perempuan yang masih duduk di bangku SMU dan SMP. Namanya Arfi dan Nadya. Aku kangen sekali dengan mereka semua. Terutama aku kangen sekali dengan masakan Ibu. Maklum, di Solo aki makan apa adanya seperti anak-anak kost yang lain. Sudah lama aku tidak pulang ke Wonosobo karena kesibukanku akhir-akhir ini. Seingatku terakhir aku pulang ketika hari lebaran tahun lalu.
Aku segera beranjak dari tempat tidurku yang acak-acakkan. Kamarku pun tak kalah berantakan. Banyak tumpukan buku-buku literatur serta kertas coret-coretan berserakan di sana-sini. Kuambil sekeping biskuit sambil beranjak dari tempat tidur menuju ke arah komputerku. Terlihat komputerku masih aktif dengan mode standby. Seketika kugerakkan mouse untuk mengaktifkannya kembali sehingga di monitor tampaklah sebuah dokumen yang kukerjakan semalam masih terpampang rapi. Setelah beberapa saat membaca lagi apa yang sudah kukerjakan, segera kuraih keyboard yang tertutup oleh kertas coret-coretan konsep. Jari-jariku mulai menari diatas tutsnya untuk meneruskan mengetik. Makalahku ternyata masih kurang beberapa bagian di bab kesimpulan.
Setelah sekian lama mengetik, Alhamdulillah, akhirnya makalahku kelar juga. Kulirik jam menunjukkan angka delapan. Setelah ku edit, kuambil setumpuk kertas HVS A4 lalu kumasukkan ke tempat printerku yang terletak agak di samping kanan CPU komputer. Setelah kertas terpasang, segera kuaktifkan perintah untuk mencetak dokumen yang jumlahnya 75 lembar.
“Ternyata cukup banyak juga aku membuatnya,” gumamku.
Sambil menunggu hasil cetakan, kuaktifkan program pemutar mp3 untuk menghilangkan rasa jemu. Dan tak lama kemudian segera melantun lagu favoritku dari band Padi, bergema ke seluruh penjuru kamarku.
Merekahnya fajar hatiku
Menghayatkan luruhku
Dan resapkan keharuman
Engkau yang mencintaiku
Dan ternyata cinta
Yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta
Tulus mendekap jiwaku … ( petikan dari lagu Ternyata Cinta oleh Padi, dari album Self Tittled )
Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kamarku. Aku pun bergegas membuka pintu kamarku sambil meregangkan otot-otot tubuhku yang masih kaku. Kulangkahkan kaki keluar menuju balkon. Kuhirup segarnya udara pagi dalam-dalam mengisi rongga paru-paruku.
Tak lama kemudian, kulihat Fajar teman kostku berjalan ke arahku sambil mengangkat sebuah ember yang terisi penuh dengan pakaian kotor.
“Mau nyuci nih,” sapaku.
“Udah bangun loe,” balasnya. “Biasanya kan loe nggak pernah kesiangan, lembur tugas?” Aku mengangguk mengiyakannya. Fajar berasal dari Jakarta. Dia seangkatan denganku tapi beda jurusan. Dia ambil jurusan Ilmu Komunikasi. Kamarnya persis bersebelahan dengan kamarku. Kami sama-sama menempati kost-kostan yang bernama “Wisma Mentari Buana“, yang terletak di sebelah barat kampus UNS. Kost-kostan yang kutempati ini mempunyai 18 kamar. Bangunannya sendiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan bangunan induk yang berbentuk rumah Jawa kuno yang letaknya tepat di tengah-tengah kost-kostan, sedangkan bagian satunya merupakan bangunan baru yang terletak di sayap kiri dan sayap kanan dari bangunan induk. Masing-masing sayap terdiri dari 6 kamar yang terbagi menjadi dua lantai, 3 kamar di lantai bawah dan 3 kamar di lantai atas. Sedangkan sisanya berada di belakang bangunan induk. Aku menempati sayap kiri di lantai atas bersama Fajar dan satu lagi teman kuliahku yang namanya Topan. Dia anak Jakarta juga, bahkan satu SMU sama Fajar. Bedanya Topan anak Fisika sedangkan Fajar anak Sosial.
Fajar segera berlalu dari hadapanku menuruni tangga yang terletak di ujung balkon. Tubuhnya yang kurus hitam itu segera menghilang dari pandanganku. Tak lama kemudian kudengar suara pintu yang terbuka. Sebuah wajah yang kukenal segera menyeruak keluar.
“Pagi, Pan. Kesiangan juga loe,” sapaku.
Tampak wajah kusut Topan yang masih terkantuk-kantuk dengan rambut keritingnya yang awut-awutan nongol di balik pintu. Tak lama kemudian tubuhnya yang gempal keluar dari kamar.
“Iya nih, semalam gue begadang ngerjain tugas dari Pak Edy sampai jam dua malam”, balasnya sambil mengucek matanya yang masih lengket. “Emang punya loe udah kelar?”
”Tuh, barusan di print, lama banget nunggunya, sampai 75 lembar sih bikinnya.”
“Gila loe, banyak amat! Emang apa aja yang loe tulis sampai bisa 75 lembar gitu? Gue aja cuma 24 lembar udah pusing tujuh keliling, itupun juga udah termasuk cover serta kata pengantar.”
Aku pun terbengong-bengong, kok bisanya tugas sesulit itu bikin makalahnya cuma 24 lembar. Aku saja sampai begadang bikinnya. Ah, peduli amat! Yang penting aku sudah mengerjakan semaksimal mungkin.
“Udah sarapan belum loe?” tanya Topan tiba-tiba.
“Belum tuh, tadi gue cuma sempet ngemil biskuit di kamar.”
“Turun yuk ke warung.”
Sejenak aku terdiam. Tak lama kemudian aku pun mengiyakan, soalnya perutku juga sudah mulai keroncongan. Topan balik lagi ke kamarnya untuk mengambil dompet yang diletakkan di atas monitor komputernya.
“Gue ditraktir ya,” kataku.
“Enak aja loe! Duit gue udah abis nih. Bulan ini gue juga belum bayar kost, mana sempat traktir-traktir. Kiriman dari ortu juga telat.” Topan membalas dengan ketus sambil memperlihatkan dompet bututnya yang cuma terdapat beberapa uang kertas seribuan didalamnya.
Sempat kuintip kamar Topan yang pintunya sudah dibukanya lebar-lebar. Wah, ternyata sama-sama hancur, nggak kalah berantakan sama kamarku. Maklum, kamar cowok! Abis begadang bikin tugas pula! Biasalah kalau berantakan. Setelah Topan keluar kamar, kuikuti dia dari belakang menuruni tangga. Kupalingkan wajahku sejenak menengok ke dalam kamarku untuk melihat hasil cetakan tugasku. Ternyata baru beberapa puluh lembar yang telah tercetak. Maklum, printer lama. Mungkin nanti sehabis sarapan baru kelar. Aku pun kembali mengikuti Topan.
Tak lama setelah tiba di ujung tangga, terdengar suara cewek menyapa kami berdua.
“Pagi Mas Isma, pagi Mas Topan, belum cuci muka ya, tuh mukanya masih pada kusut”.
Tampak seorang gadis berpakaian seragam SMU lengkap dengan tas ransel di punggungnya berdiri di depan kami berdua. Wajahnya lumayan manis, perawakannya sedang, nggak pendek-pendek amat, juga nggak terlalu tinggi. Rambutnya ikal dan terikat rapi. Namanya Dik Ira. Dia anak dari Mas Dody, pemilik kost-kostan ini. Mas Dody tinggal di rumah induk bersama keluarganya. Mas Dody mempunyai seorang istri dan 3 orang anak. Istrinya sering kami panggil dengan sebutan Mamah Rini. Sedangkan anak sulungnya cowok bernama Willy. Dia masih kuliah tingkat pertama di perguruan tinggi swasta di kota Solo. Kemudian anak keduanya ya Dik Ira ini. Dan anaknya yang paling bontot, namanya Dik Harry. Dia masih duduk di kelas dua SLTP.
“Kok Dik Ira belum berangkat sekolah, ini kan udah jam delapan lewat”, balasku.
Dik Ira dengan wajahnya yang manis menjawab dengan senyum mengembang. “Hari ini masuknya agak siangan, Mas. Soalnya hari ini kan hari pertama setelah ujian tengah semester minggu lalu, nah biasanya di sekolah diadakan lomba antar kelas. Istilah kerennya class meeting. Jadi datang kesiangan nggak papa. Mas berdua mau ke warung kan? Nanti bilangin ama Papah ya kalau Ira udah nungguin”.
Dik Ira memang masih sering diantar sama Mas Dody kalau berangkat sekolah. Katanya sekolah Dik Ira agak jauh dari sini. Kira-kira hampir 6 kilometer.
”OK, nanti Mas sampein, kami tinggal dulu ya”, balas Topan yang dari tadi masih mengucek matanya. Kemudian Dik Ira pun berlalu menuju ke serambi rumah sambil mengambil buku dari balik tas ranselnya. Dia tampak serius membaca. Ternyata buku komik yang dibacanya. Kita berdua pun segera bergegas menuju warung. Soalnya perut kami sudah tidak mau kompromi.
Warung yang kita tuju letaknya nggak terlalu jauh. Cuma lima belas meter di sebelah barat kost-kostan. Warung itu juga milik Mas Dody. Katanya sih dulu usaha turun temurun dari ortunya Mas Dody. Ukurannya tidak terlalu besar. Kurang lebih sekitar 6 x 8 meter. Dinding batanya cuma setinggi satu meteran kemudian diteruskan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Orang Jawa sering menyebutnya dengan istilah “gedheg”. Warung Mas Dody memang yang paling ramai di lingkungan ini. Meskipun banyak warung makan yang bertebaran di sekitar tempat kostku, warung Mas Dody lah yang paling sering di kunjungi. Selain harganya murah, masakannya pun enak. Harga mahasiswa rasa restoran bintang lima, begitu kata Mas Dody setengah berpromosi.
Aku dan Topan segera bergegas, takut nggak kebagian. Pagi begini, biasanya nasi pecel lah menu yang paling laris. Dengan lauk tempe goreng plus teh hangat, mmmh, nggak kebayang deh nikmatnya. Kalau duitnya berlebih, bolehlah ditambah telur ceplok biar lebih mantap. Dan seperti yang telah kuduga, tampaknya warung Mas Dody sudah mulai ramai. Segera kuambil piring yang berisi menu nasi pecel yang telah tersedia di meja saji. Di warung Mas Dody, yang membeli mengambil makanannya sendiri. Istilahnya pokwe alias “njipuk dhewe”. Kecuali minum, yang satu itu memang harus pesan dulu sama Mamah Rini.
Setelah menuang sambal pecel ke dalam nasi serta mengambil dua buah tempe goreng, aku segera mencari tempat duduk yang letaknya berada di samping meja saji karena tempat duduk yang lainnya sudah penuh terisi. Tak lama kemudian Topan mengambil tempat duduk di samping kiriku. Terlihat anak-anak “Mentari Buana” yang lain telah menyantap sarapannya dengan lahap. Terlihat Kang Deden, anak Garut yang berbadan gemuk sedang menyantap mie rebus. Wajahnya terlihat berkeringat karena menyantap mie yang panas. Kang Deden menempati kamar yang terletak di sayap kanan lantai atas. Dia kakak tingkatku di jurusan arsitektur. Orangnya ramah dan suka bercanda. Sangat enak sebagai teman ngobrol. Disampingnya ada Uda Kamal, anak Padang yang kuliah di teknik sipil, sedang sibuk mengaduk-aduk es tehnya. Uda, begitu kami memanggilnya, seangkatan dengan Kang Deden. Kamarnya terletak di sayap kanan lantai bawah. Berbeda dengan Kang Deden, Uda agak pendiam orangnya. Tapi menurutku, Uda paling pintar se-kost-kostan. Dia sering menjadi asisten dosen sejak duduk di semester dua. Lalu diseberang mereka berdua ada Mas Unang dari Surabaya dan si Hasan dari Makassar. Kamar Mas Unang dan Hasan berada di belakang rumah induk. Mereka berempat tampak sedang asyik ngobrol sambil menyantap sarapannya masing-masing.
Seketika Mamah Rini datang menghampiri sambil membawa teh hangat pesananku. Umurnya sekitar empat puluhan. Rambutnya ikal agak beruban. Beliau sifatnya sangat keibuan, care banget sama anak-anak kost. Kadang beliau nggak segan-segan “ngerokin” anak kost yang sedang masuk angin. Kami dianggap seperti anaknya sendiri. Itu sebabnya kami memanggil beliau dengan panggilan Mamah Rini.
“Makasih, Mah. O ya, tadi Dik Ira udah nungguin Mas Dody di serambi rumah, sudah siap berangkat sekolah.”
“Jam berapa sih sekarang?”
“Udah jam delapan lewat lima belas, Mah.
“Begitu, ya, makasih deh Is, nanti Mamah sampaikan sama Mas Dody.”
Mamah Rini pun berlalu, kembali sibuk melayani pesanan minum dari pelanggan warung yang lain.
Tiba-tiba Kang Deden menyapaku. “Hey Is, komputer kamu nanti malam dipakai nggak? Aku mau pinjam buat nerusin Football Manager-nya, tangguh nih, udah hampir selesai musimnya.”
“Kelihatannya nanti malam sampai jam sembilan nganggur tuh. Semua tugas kuliah udah kelar. Sok kalau Kang Deden mau pakai. Emang kurang berapa pertandingan lagi, Kang?”
“Masih sisa tiga pertandingan lagi, mungkin masih ada peluang Liverpool juara kalau menang terus.”
“Emang sekarang peringkat berapa, Kang?”
“Peringkat dua, selisihnya cuma empat poin di bawah Arsenal.”
Di kost-kostanku memang lagi demam main game PC Football Manager, sebuah permainan simulasi sepakbola yang mengharuskan kita menjadi seorang manajer atau pelatih sebuah tim. Malah sekali-kali kita main secara multiplayer, hingga kadang-kadang sampai shubuh baru kelar. Mas Dody pernah marah-marah sama anak-anak kost, soalnya tagihan listriknya jadi membengkak dua kali lipat. Akhirnya anak-anak pun patungan buat bayar rekening listriknya, termasuk aku.
Ketika aku hampir selesai menyantap sarapanku, seorang bule berkacamata bulat dengan rambut gondrong keriting sebatas bahu berwarna coklat, dan membawa sepiring nasi penuh lauk duduk di samping kananku. Dia anak Institut Seni Indonesia Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan ISI Solo tingkat tujuh yang ambil Jurusan Musik Pertunjukan. Kampus ISI bersebelahan dengan kampusku. Bule ini namanya David. Aslinya dari Manchester, Inggris. Wajahnya mirip dengan John Lennon dari band The Beatles, itu sih kalau dilihat dari Monas. Sorry, David. Just kidding.
“Morning, Isma.” David menyapaku ramah.
“Morning, David. How are you?” Aku pun balas menyapanya dengan bahasa Inggrisku yang kurang begitu lancar.
“Not very good, I’ve a little cold.”
“O ya, Why?”
“Last night, I am sopping with rain.”
“Have you drink a medicine?”
“Yes, I have, but it’s not help me much.”
“You must try to drink this.” Kataku sambil menunjuk menu kopi jahe hangat yang ada di depanku.
David pun akhirnya mengikuti saranku. Dia segera memesan segelas kopi jahe hangat pada Mamah Rini. Setelah pesanannya datang, dia pun segera meminumnya hampir separuh gelas. Sampai akhirnya dia bersendawa cukup keras sehingga semua orang yang ada di warung terkejut dan menengok kepadanya.
“Sorry, I’m sorry.” David pun segera minta maaf, sadar akan kekurang sopanannya. Dasar bule!
“Feeling better ?” tanyaku kemudian.
“Yes, I feel warm. Thanks, Isma.”
“You’re welcome, David.”
Wajah David pun terlihat sedikit lebih segar sekarang. Nggak pucat kaya tadi. Dia pun segera melahap sarapannya yang dari tadi dicuekin.
“Do you still play music with your band, Isma?” tanyanya tiba-tiba sambil mulutnya menggigit tempe goreng.
“Sure. ”
“How’s your guitar’s skill now?”
“Better than last mont. It’s cause of you, David. You teach me very well.”
“With my pleasure. I’m glad to hear that. “
“David, I have a one request.”
“What’s that?”
“Can you show me one more time about advanced guitar’s technique like tipping technique?”
“Sure. Give me your guitar but i finish my breakfeast first.”
“OK, wait a minute.”
Aku pun segera bergegas kembali ke kost untuk mengambil gitar kesayanganku yang ada di kamar. Gitar akustik Yamaha Klasik warna kayu itu kubeli sendiri waktu aku masih SMU. Waktu itu aku membelinya dengan uang sakuku sendiri yang kusisihkan sedikit demi sedikit.
Karena terlalu bersemangat ketika aku masuk kamar untuk mengambil gitar, aku sampai nggak tahu kalau hasil cetakan makalahku udah kelar. Aku terburu-buru segera balik ke warung di mana David sudah menungguku untuk memberikan les gitar gratis. Sampai di warung, aku segera memberikan gitarku ke David yang sudah selesai melahap sarapannya. Setelah diraihnya gitarku dalam dekapannya, David pun mulai memainkan jemarinya di atas dawai gitarku. Jari-jarinya meliuk-liuk sangat cepat sehingga aku pun agak kesulitan untuk melihatnya. David pun menyadari dan dia agak melambatkan tempo supaya aku bisa melihat jari-jarinya yang panjang menari. Aku sangat serius mengikutinya.
Hampir tiga jam lamanya aku belajar gitar sama David. Hingga waktu Topan mengingatkanku kalau sebentar lagi sudah hampir jam sebelas siang, aku kurang menghiraukannya. Aku masih terlalu asyik memperhatikan David bermain gitar. Setelah beberapa menit, saat aku nggak sengaja melihat jam tangan yang di pakai sama David, sontak aku sangat terperanjat.
Astaghfirullah! Deadline pengumpulan makalah !!!
Karena panik, aku segera berlari meninggalkan David yang terbengong-bengong melihatku.
“Hey, Isma. What’s going on?”
“I’m sorry, David. I must go to campus. Please take care my guitar. See you later,“ teriakku sambil berlari-lari seperti orang kesurupan dan parahnya lagi aku sampai lupa membayar sarapannya.
My time
About me
- Ismail Ruzain
- Berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke hari, .... namun hal itu sangat sulit !!!
Labels
- Artikel Arsitektur (6)
- Artikel Bisnis (9)
- Artikel Internet (2)
- Artikel Komputer dan Gadget (9)
- Artikel Media dan Komunikasi (6)
- Artikel Travelling (2)
- Cerpen (2)
- Diskografi (3)
- Faiz Collections (1)
- Foto Album (2)
- Lagu (1)
- Novel (34)
- Puisi (6)
- Renungan (4)
- Salam (1)
- Videoklip (7)
My Lapak
say no for drugs, free sex and violence, let's make the world with love and peace
My Facebook Badge
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.


